Share

Bab 2

Bima dan Sandara menatap Bu Laras dengan wajah terkejut, tidak menyangka akan permintaan yang baru saja diutarakan oleh wanita paruh baya itu.

"Bima nggak mungkin menikah dengan perempuan ini!" tolak Bima tegas, alis berkerut menahan emosi, seolah menyalahkan Sandara yang duduk di sampingnya.

"Sama, gue juga nggak mau nikah sama lo!" balas Sandara seraya meremas saputangan yang ada di tangannya, kesal.

Diam-diam, Bu Laras tersenyum tipis. Masalah yang menimpa anak semata wayangnya bersama gadis yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka memberikan peluang untuk mewujudkan keinginannya agar Bima segera menikah. Terlebih lagi Bima bisa terlepas dari kekasihnya yang bekerja sebagai model dan Bu Laras sangat tidak menyukainya. Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menenangkan suara hati yang semakin keras.

"Kenapa nggak mungkin, Bima? Kamu harus bertanggung jawab atas ucapanmu. Sudah tersebar berita bahwa kalian berdua menikah, kini waktunya untuk membuktikannya demi menjaga nama baik keluarga," tegas Bu Laras, berusaha menyadarkan anaknya.

Mendengar penjelasan Bu Laras, Leo - asisten Bima - angguk-anggukkan kepala, menegaskan dukungannya. "Bos, apa yang dikatakan Nyonya Laras benar. Berita ini sudah ramai di media sosial dan di antara masyarakat. Bos harus menikah dengan Nona Sandara demi nama baik keluarga dan perusahaan kita," bisik Leo, menyakinkan.

Bima merasa terjepit, frustasi yang meluap membuatnya tak memiliki pilihan lain untuk menjaga nama baik keluarga dan perusahaannya.

"Baiklah, aku akan menikah dengannya," ucapnya dengan suara yang tegas. "Siapa nama kamu?"

Mendengar hal itu, Sandara terkejut, bola matanya membulat. Namun, ia segera menjawab, "Sandara."

"Kita bicarakan masalah ini!" tegas Bima, menarik Sandara keluar dari dalam mobil mamanya saat gadis itu hendak protes.

"Lepas!" bentak Sandara, berusaha menepis cengkeraman tangan Bima. Namun, Bima tak serta merta melepaskannya, malah membawanya masuk ke dalam mobil sport miliknya.

"Gue nggak mau nikah sama Om! Lagi pula kita nggak ngelakuin apa-apa!" teriak Sandara sambil memegangi tangannya yang memerah akibat cengkraman kuat Bima, saat ia sudah duduk di dalam mobil Bima.

"Siapa juga yang mau menikah sama kamu. Kamu itu bukan tipe saya!" Bima melirik sinis ke arah Sandara. Teriakan Bima itu membuat Sandara semakin geram.

"Sial! Kalau bukan demi nama baik keluarga dan perusahaan aku sudah membuangmu jauh-jauh!" gumam Bima kesal, sambil menggertakkan gigi.

Atmosfer dalam mobil itu menjadi mencekam, menggambarkan betapa kompleks dan emosionalnya situasi yang sedang dihadapi keduanya.

Bima melonggarkan dasinya dan membuang nafas berat. "Saya akan memberikan sejumlah uang sama kamu, tapi kamu harus mau menikah denganku. Bagaimana?" Ucapan Bima membawa kesan pengejekan yang menyiratkan dominasi.

Mendengar kata 'uang', Sandara terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia sangat membutuhkan uang itu untuk melunasi hutang keluarganya.

"Kalau gue punya uang, gue nggak perlu takut dikejar debt collector lagi. Gue bisa hidup tenang," gumam Sandara dalam hati, matanya menerawang jauh.

"Om tampan, lo bayar gue?" tanya Sandara dengan nada ragu, mencoba meyakinkan diri sendiri kalau ia tak salah dengar.

"Seratus juta," ucap Bima datar, menatap Sandara dengan ekspresi dingin. Sandara menarik nafas dalam-dalam, terkejut sekaligus tergoda. Ia membeku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Dua ratus lima puluh juta!" tambah Bima, mengeluarkan senjata pamungkasnya untuk membuat Sandara mau menikah dengannya.

Sandara semakin terkejut, dadanya berdebar semakin kencang. Seumur hidupnya, ia belum pernah memiliki uang sebanyak itu.

Dalam benaknya, ia sudah mulai membayangkan betapa bahagianya jika memiliki uang sebesar dua ratus lima puluh juta, sambil melupakan rasa hina yang dibawakan tawaran tersebut.

Sandara menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca seiring dengan keputusannya. "Baiklah, gue mau nikah sama Om," ucapnya setelah memikirkan semuanya dengan matang. Terutama tentang uang sejumlah dua ratus lima puluh juta yang ditawarkannya.

Sudut bibir Bima terangkat membentuk senyuman licik, kemudian ia pun melajukan mobilnya menuju apartemen mewah yang ia miliki.

Sesampainya di sana, Sandara tak bisa menahan kagum. "Wow, bagus banget apartemennya," gumamnya, menatap ke sekeliling apartemen yang dipenuhi barang-barang mewah milik Bima. Dinding berlapis marmer dan lukisan mahal melengkapi suasana elit di dalam ruangan tersebut.

Bima memasuki ruang kerjanya namun tak berapa lama ia kembali keluar dan duduk di di sofa, mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyodorkannya kepada Sandara.

"Tanda tangani surat kontrak pernikahan kita," ucapnya dengan nada datar. Dihadapannya terpampang perjanjian pernikahan kontrak yang telah ia siapkan sebelumnya.

Sandara menatap perjanjian itu, ragu sejenak, namun akhirnya ia membulatkan tekadnya. Tanpa berpikir panjang, Sandara pun menandatangani perjanjian pernikahan kontraknya dengan Bima.

"Sebentar lagi, orang-orangku akan datang ke sini. Bersiap-siaplah, kita akan menikah," ucap Bima dengan nada datar, tanpa ekspresi gembira di wajahnya.

"Se-sekarang?" tanya Sandara, matanya terbelalak karena biasanya orang menikah akan menyiapkan segalanya dengan cermat, bukan mendadak seperti ini.

"Ya, dan kamu sudah tanda tangan," jawab Bima sambil mengepalkan tangannya, tetap santai.

Tak lama, bel apartemen berbunyi. Leo datang bersama dua orang MUA yang siap mendandani Sandara. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, Sandara sudah selesai dipoles dan mengenakan gaun pengantin yang anggun. Bima pun tampak gagah mengenakan setelan jas berwarna senada. Begitu tampan hingga membuat Sandara terpesona seketika.

"Tidak sabar ingin menjadi istriku, ya?" celetuk Leo, menggoda Sandara sembari mengajak mereka ke kediaman mewah keluarga Bima untuk melangsungkan pernikahan.

Begitu sampai di rumah mewah itu, Bima dan Sandara di sambut senyuman hangat Bu Laras. Begitu juga dengan papa Sandara, Sudiro Hutomo dan mama tirinya, Ajeng sudah duduk di sana sedari tadi.

Ajeng terkejut melihat rumah mewah milik keluarga Bima, ia tak menyangka anak tirinya mendapat suami kaya raya, senyum licik pun terpatri di wajah wanita itu.

Sandara duduk di samping Bima yang duduk tenang di depan Pak Penghulu. Pria tampan itu mulai mengucapkan ijab qobul dalam satu tarikan nafas.

"Bagaimana, para saksi? Sah?"

"Sah!" jawab mereka bersamaan.

Dalam sekejap, Sandara resmi menjadi istri Bima.

Setelah pernikahan selesai, Bima dan Sandara kembali ke apartemen mereka. Begitu sampai di rumah, Sandara berniat untuk tetap memperlakukan Bima dengan baik. Sandara menyiapkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya.

Namun, alih-alih menerima cangkir kopi itu dengan senang hati, Bima malah berlalu begitu saja.

"Tidak perlu berlagak sebagai istri, ingat pernikahan kita hanyalah pura-pura," ucap Bima meninggalkan Sandara dan memasuki ruang kerjanya.

"Iih, apaan sih marah-marah mulu. Heran, nggak jelas banget!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status