Bima dan Sandara menatap Bu Laras dengan wajah terkejut, tidak menyangka akan permintaan yang baru saja diutarakan oleh wanita paruh baya itu.
"Bima nggak mungkin menikah dengan perempuan ini!" tolak Bima tegas, alis berkerut menahan emosi, seolah menyalahkan Sandara yang duduk di sampingnya. "Sama, gue juga nggak mau nikah sama lo!" balas Sandara seraya meremas saputangan yang ada di tangannya, kesal. Diam-diam, Bu Laras tersenyum tipis. Masalah yang menimpa anak semata wayangnya bersama gadis yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka memberikan peluang untuk mewujudkan keinginannya agar Bima segera menikah. Terlebih lagi Bima bisa terlepas dari kekasihnya yang bekerja sebagai model dan Bu Laras sangat tidak menyukainya. Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menenangkan suara hati yang semakin keras. "Kenapa nggak mungkin, Bima? Kamu harus bertanggung jawab atas ucapanmu. Sudah tersebar berita bahwa kalian berdua menikah, kini waktunya untuk membuktikannya demi menjaga nama baik keluarga," tegas Bu Laras, berusaha menyadarkan anaknya. Mendengar penjelasan Bu Laras, Leo - asisten Bima - angguk-anggukkan kepala, menegaskan dukungannya. "Bos, apa yang dikatakan Nyonya Laras benar. Berita ini sudah ramai di media sosial dan di antara masyarakat. Bos harus menikah dengan Nona Sandara demi nama baik keluarga dan perusahaan kita," bisik Leo, menyakinkan. Bima merasa terjepit, frustasi yang meluap membuatnya tak memiliki pilihan lain untuk menjaga nama baik keluarga dan perusahaannya. "Baiklah, aku akan menikah dengannya," ucapnya dengan suara yang tegas. "Siapa nama kamu?" Mendengar hal itu, Sandara terkejut, bola matanya membulat. Namun, ia segera menjawab, "Sandara." "Kita bicarakan masalah ini!" tegas Bima, menarik Sandara keluar dari dalam mobil mamanya saat gadis itu hendak protes. "Lepas!" bentak Sandara, berusaha menepis cengkeraman tangan Bima. Namun, Bima tak serta merta melepaskannya, malah membawanya masuk ke dalam mobil sport miliknya. "Gue nggak mau nikah sama Om! Lagi pula kita nggak ngelakuin apa-apa!" teriak Sandara sambil memegangi tangannya yang memerah akibat cengkraman kuat Bima, saat ia sudah duduk di dalam mobil Bima. "Siapa juga yang mau menikah sama kamu. Kamu itu bukan tipe saya!" Bima melirik sinis ke arah Sandara. Teriakan Bima itu membuat Sandara semakin geram. "Sial! Kalau bukan demi nama baik keluarga dan perusahaan aku sudah membuangmu jauh-jauh!" gumam Bima kesal, sambil menggertakkan gigi. Atmosfer dalam mobil itu menjadi mencekam, menggambarkan betapa kompleks dan emosionalnya situasi yang sedang dihadapi keduanya. Bima melonggarkan dasinya dan membuang nafas berat. "Saya akan memberikan sejumlah uang sama kamu, tapi kamu harus mau menikah denganku. Bagaimana?" Ucapan Bima membawa kesan pengejekan yang menyiratkan dominasi. Mendengar kata 'uang', Sandara terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia sangat membutuhkan uang itu untuk melunasi hutang keluarganya. "Kalau gue punya uang, gue nggak perlu takut dikejar debt collector lagi. Gue bisa hidup tenang," gumam Sandara dalam hati, matanya menerawang jauh. "Om tampan, lo bayar gue?" tanya Sandara dengan nada ragu, mencoba meyakinkan diri sendiri kalau ia tak salah dengar. "Seratus juta," ucap Bima datar, menatap Sandara dengan ekspresi dingin. Sandara menarik nafas dalam-dalam, terkejut sekaligus tergoda. Ia membeku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. "Dua ratus lima puluh juta!" tambah Bima, mengeluarkan senjata pamungkasnya untuk membuat Sandara mau menikah dengannya. Sandara semakin terkejut, dadanya berdebar semakin kencang. Seumur hidupnya, ia belum pernah memiliki uang sebanyak itu. Dalam benaknya, ia sudah mulai membayangkan betapa bahagianya jika memiliki uang sebesar dua ratus lima puluh juta, sambil melupakan rasa hina yang dibawakan tawaran tersebut. Sandara menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca seiring dengan keputusannya. "Baiklah, gue mau nikah sama Om," ucapnya setelah memikirkan semuanya dengan matang. Terutama tentang uang sejumlah dua ratus lima puluh juta yang ditawarkannya. Sudut bibir Bima terangkat membentuk senyuman licik, kemudian ia pun melajukan mobilnya menuju apartemen mewah yang ia miliki. Sesampainya di sana, Sandara tak bisa menahan kagum. "Wow, bagus banget apartemennya," gumamnya, menatap ke sekeliling apartemen yang dipenuhi barang-barang mewah milik Bima. Dinding berlapis marmer dan lukisan mahal melengkapi suasana elit di dalam ruangan tersebut. Bima memasuki ruang kerjanya namun tak berapa lama ia kembali keluar dan duduk di di sofa, mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyodorkannya kepada Sandara. "Tanda tangani surat kontrak pernikahan kita," ucapnya dengan nada datar. Dihadapannya terpampang perjanjian pernikahan kontrak yang telah ia siapkan sebelumnya. Sandara menatap perjanjian itu, ragu sejenak, namun akhirnya ia membulatkan tekadnya. Tanpa berpikir panjang, Sandara pun menandatangani perjanjian pernikahan kontraknya dengan Bima. "Sebentar lagi, orang-orangku akan datang ke sini. Bersiap-siaplah, kita akan menikah," ucap Bima dengan nada datar, tanpa ekspresi gembira di wajahnya. "Se-sekarang?" tanya Sandara, matanya terbelalak karena biasanya orang menikah akan menyiapkan segalanya dengan cermat, bukan mendadak seperti ini. "Ya, dan kamu sudah tanda tangan," jawab Bima sambil mengepalkan tangannya, tetap santai. Tak lama, bel apartemen berbunyi. Leo datang bersama dua orang MUA yang siap mendandani Sandara. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, Sandara sudah selesai dipoles dan mengenakan gaun pengantin yang anggun. Bima pun tampak gagah mengenakan setelan jas berwarna senada. Begitu tampan hingga membuat Sandara terpesona seketika. "Tidak sabar ingin menjadi istriku, ya?" celetuk Leo, menggoda Sandara sembari mengajak mereka ke kediaman mewah keluarga Bima untuk melangsungkan pernikahan. Begitu sampai di rumah mewah itu, Bima dan Sandara di sambut senyuman hangat Bu Laras. Begitu juga dengan papa Sandara, Sudiro Hutomo dan mama tirinya, Ajeng sudah duduk di sana sedari tadi. Ajeng terkejut melihat rumah mewah milik keluarga Bima, ia tak menyangka anak tirinya mendapat suami kaya raya, senyum licik pun terpatri di wajah wanita itu. Sandara duduk di samping Bima yang duduk tenang di depan Pak Penghulu. Pria tampan itu mulai mengucapkan ijab qobul dalam satu tarikan nafas. "Bagaimana, para saksi? Sah?" "Sah!" jawab mereka bersamaan. Dalam sekejap, Sandara resmi menjadi istri Bima. Setelah pernikahan selesai, Bima dan Sandara kembali ke apartemen mereka. Begitu sampai di rumah, Sandara berniat untuk tetap memperlakukan Bima dengan baik. Sandara menyiapkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya. Namun, alih-alih menerima cangkir kopi itu dengan senang hati, Bima malah berlalu begitu saja. "Tidak perlu berlagak sebagai istri, ingat pernikahan kita hanyalah pura-pura," ucap Bima meninggalkan Sandara dan memasuki ruang kerjanya. "Iih, apaan sih marah-marah mulu. Heran, nggak jelas banget!"Sandara terdiam duduk dengan lesu di ruang tamu apartemen milik Bima yang sepi. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bima. Benar apa yang dikatakannya, mereka hanya menikah pura-pura saja, dan Sandara melakukannya hanya demi uang. "Tampan sih tampan tapi galak plus ngeselin banget!" gerutu Sandara kesal dengan sikap Bima padanya. Di saat tengah rasa kesalnya pada Bima, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sandara segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping, dan wajahnya semakin merah padam saat melihat nama 'mama tiri" yang tertera di layar ponselnya. "Mau apa lagi dia nelpon? Apa uang kemarin belum cukup juga?" gumam Sandara kesal. Dengan ragu, Sandara mengangkat telepon tersebut. Suara mama tirinya di ujung sana terdengar tajam, "Sandara, sekarang karena kamu sudah menikah dengan pria kaya itu, cepat minta uang darinya untuk membayar hutang kita!" Sandara menelan ludah, wajahnya terlihat tegang, berusaha m
Sandara memasuki kamarnya, ia berniat untuk mengemas beberapa pakaiannya untuk di bawanya ke apartemen Bima. Biar bagaimana pun sekarang ia telah menikah meski hanya pernikahan kontrak. Di tempat lain, Leo yang mendapati Sandara yang ternyata pulang ke rumah pun segara meninggalkan tempat itu. Baru saja Sandara selesai mengemas pakaiannya ke dalam koper, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar dan Ajeng, ibu tirinya, berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis. Dalam sekejap, Ajeng mengambil tas kecil yang tergeletak di tempat tidur Sandara. "Kembalikan tas gue! Itu uang buat bayar hutang!" seru Sandara dengan menatap tajam pada Ajeng, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak. Ajeng tertawa sinis, menggenggam erat tas itu di tangannya. "Nggak, ini uangku. Kamu saja yang jadi gantinya buat membayar hutang itu." Wajah Sandara memerah, matanya berkaca-kaca karena merasa dipermainkan. "Kamu nggak punya hak untuk mengambil uang itu! Aku akan melunasi semua hutang-hutang papaku!" teri
"Lepaskan dia!" teriak Leo dengan suara menggelegar yang seketika membuat suasana hening. Wajahnya tegang dan matanya menyala penuh amarah. Sandara, yang sebelumnya terpojok oleh para pria hidung belang, menoleh dan bernafas lega melihat sosok Leo berdiri di dekat pintu masuk. Para pria hidung belang yang tadinya mengerumuni Sandara dengan tatapan penuh nafsu pun mundur teratur, mereka merasa takut dengan sosok Leo yang dikenal sebagai asisten Bima Aryasena, seorang pengusaha muda yang terkenal kejam dan tak segan untuk menutup perusahaan yang bermasalah dengannya. Mereka sadar bahwa mencoba melawan Leo hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi diri mereka dan usaha mereka. Sandara berlari menuju Leo, air mata mengalir deras di pipinya, "Om, tolong bawa Dara pergi dari tempat ini," pinta Sandara dengan suara gemetar, memohon perlindungan dari Leo. Leo menatap tajam para pria yang semakin mundur, "Pergi kalian, atau usaha kalian akan gulung tikar!" ancam Leo dengan suara
Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya. "Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu. Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya. "Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan. Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpe
Sandara terkejut ketika pintu apartemen terbuka dan seorang wanita cantik berambut panjang lurus melangkah masuk dengan langkah cepat. Matanya melotot penuh emosi, seolah-olah sedang mencari mangsa. Sandara menelan ludah, merasa ada yang tidak beres. "Siapa kamu!" seru wanita itu, Reva, dengan menatap tajam padanya. "Gue?" Sandara menunjuk dirinya sendiri sambil celingukan. "Gue San.." Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sandara. Kepalanya terasa berputar, dan pandangannya kabur sejenak. Pipinya terasa panas dan perih, sementara hatinya merasa terhina dan marah. "Kenapa kamu ada di apartemen kekasihku!" Reva begitu marah melihat Sandara yang berada di dalam apartemen milik Bima. "Sayang, aku bisa jelaskan semuanya," Bima menarik tangan Reva yang masih terkepal. Wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin bercucuran di keningnya. "Apa maksudnya Bima! Kamu selingkuh sama anak kecil ini!" Reva menuding Sandara dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar, seolah-olah dia hampi
Sandara mengusap pergelangan tangannya yang letih setelah mengantarkan pesanan demi pesanan di kafe tempatnya bekerja. Raut wajahnya berubah pucat ketika Alin, rekannya yang juga bekerja di kafe, membuka percakapan. "Dar, beneran lo udah nikah?" tanya Alin dengan rasa ingin tahu yang besar. Sandara cepat-cepat membekap mulut Alin, mata paniknya menelusuri sekeliling, takut ada yang mendengar. "Jangan keras-keras! Lo mau gue dipecat apa?!" bisik Sandara dengan suara tergesa-gesa.Peraturan di kafe adalah karyawan harus single, dan Sandara sangat membutuhkan pekerjaan ini, lebih lagi setelah bisnis ayahnya bangkrut dan utang menggunung. Alin menarik tangan Sandara yang menutup mulutnya, mengerucutkan bibirnya. "Gue cuma tanya," katanya dengan nada serius. "Iya, gue nikah. Tapi cuma pura-pura kok," balas Sandara dalam bisikan.Alin mengerutkan kening, kebingungan menerka apa yang sebenarnya terjadi. "Nikah pura-pura? Maksudnya gimana?" tanya Alin dengan nada yang penuh tanda tanya.
Sandara melangkah perlahan menuju meja Reva dengan nampan yang memikul cangkir kopi hangat pesanan model itu. Sesampainya di sana, matanya membulat melihat Bima, suaminya kontraknya, tersenyum manis di samping Reva. Dadanya sedikit terasa sesak, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu. "Gue gak perlu kaget, kan? Mereka kan emang pasangan kekasih," batinnya sambil menyunggingkan senyum agar tetap terukir di wajah cantiknya. "Silahkan, ini pesanannya Kak," ujar Sandara dengan suara yang ramah, meski hatinya merasa kesal saat meletakkan kopi itu di hadapan Reva. Reva hanya menatapnya dengan sinis sebelum bermanja pada Bima. "Sayang, kamu mau pesan apa? Mumpung masih ada pelayan nih," goda Reva dengan suara manis, memeluk Bima dan menekankan kata 'pelayan' sambil memandang Sandara dengan tatapan yang menantang. Bima hanya menatap sekilas pada Sandara, dan Sandara terpaku, menahan emosi sambil menunggu Bima memesan. Jantungnya berdebar, tapi sebagai pegawai kafe, ia tahu haru
Reva tiba-tiba menghentikan langkahnya di tengah kafe, matanya melebar dalam kepanikan saat ia merogoh tasnya yang baru saja diambil kembali dari Sandara. Raut wajahnya cemas mempercepat detak jantung para pengunjung kafe yang kini memerhatikan sang model cantik tersebut. "Bima," panggilnya dengan suara bergetar, menginterupsi ketenangan yang tengah menaungi Bima yang asyik dengan tabletnya.Bima segera mendongak, dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya, suaranya pelan. Reva melahap udara, matanya berpindah-pindah dari wajah Bima ke Sandara yang berdiri dengan santainya beberapa langkah di belakang. "Cincin aku, Bima. Hilang," desisnya, sambil menahan bibir bawahnya yang gemetar. "Tadi aku titip tas ke Sandara." Ia mengarahkan jari gemetarnya ke arah Sandara yang menggeleng pelan. "Cincin apa? Kamu yakin, kamu tadi memakainya?" tanya Bima, masih dengan ketenangan yang terpelihara, sambil matanya mencuri pandang ke arah Sandara yang masih bersikap tenang."Aku yakin, aku memakainya, Bi