Di ruang tunggu poli kandungan, suasana hening hanya dipecah oleh suara ibu-ibu muda yang sesekali berbisik dengan suami mereka. Sandara, dengan raut wajah pucat, duduk menyendiri di pojok ruangan. Tangan dinginnya terus meremas-remas sambil matanya yang sayu menatap ke lantai. Di sekitarnya, kebahagiaan tampak jelas pada wajah para ibu yang ditemani suami mereka, berbeda dengan Sandara yang hanya ditemani oleh sahabatnya, Alin.Alin, yang duduk disamping Sandara, menatap wajahnya yang tampak gelisah. "Tenang, ada gue," bisik Alin lembut, mencoba memberikan dukungan. Dia tahu betul betapa beratnya momen ini bagi Sandara, apalagi tanpa kehadiran pasangannya.Sandara mengangkat wajah, matanya yang berkaca-kaca menatap Alin. "Kita pulang aja yuk," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh keraguan dan ketakutan."Ngapain? Kita udah daftar," jawab Alin, berusaha meyakinkan. Dia tahu betapa pentingnya pemeriksaan ini bagi kesehatan Sandara dan bayi yang dikandungnya.Suasana r
Alin menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi taman yang dingin di rumah sakit sambil mengusap kepala Sandara yang terlihat letih. "Sebelum kita pulang, ayo kita isi perut dulu. Dokter bilang lo harus makan banyak biar bayi di perut lo nggak rewel nanti," katanya lembut, matanya berbinar karena telah menemukan solusi. "Ada sup daging enak dekat sini, favorit lo itu. Pasti lo suka." Sandara mengangkat kepala, mencoba tersenyum walau lemah. "Baiklah, ayo. Gue juga udah lapar," jawabnya pelan. Mereka berdua kemudian melangkah lelah ke taksi yang telah menunggu, menuju restoran yang sudah lama menjadi kesukaan Sandara. Sesampainya di sana, mereka memesan sup daging spesial yang aromanya menguar menggugah selera. Mata Sandara berbinar seiring dengan hidangan yang tiba. "Waw, kelihatannya enak banget," ucapnya, tidak sabar ingin menikmati kehangatan sup tersebut.Sandara memperhatikan semangkuk sup daging yang baru saja dihidangkan di meja mereka. Asap yang mengepul menambah aroma yang m
Sandara dan Alin, dengan napas terengah-engah, terus melihat ke segala arah di kafe yang semarak itu. Mata mereka berpindah dari satu wajah ke wajah lain, mencari sosok yang mungkin saja adalah Erdo. Suasana kafe yang penuh dengan gelak tawa dan perbincangan semakin membuat mereka gelisah. "Kita harus cepat, Dara," desis Alin, sambil matanya tak berhenti memindai area. "Gue benar-benar khawatir kalau Erdo benar-benar di sini."Sandara mengangguk, lalu segera mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol untuk menghubungi Leo, asisten suaminya. "Leo, gue butuh lo untuk menjemput gue dan Alin di kafe sekarang. Ada masalah," katanya dengan suara yang tergesa-gesa.Setelah menutup panggilan, Sandara kembali menoleh ke belakang, dan hatinya serasa melompat. Di antara kerumunan, ia melihat Erdo yang tersenyum sinis kepadanya. Mata Erdo yang tajam dan senyumnya yang mengejek membuat bulu kuduk Sandara merinding. Namun, dalam sekejap, ketika ia hendak menarik perhatian Alin, sosok itu t
Alin menggeser tubuhnya di sofa yang empuk, tangannya gemetar memegang ponsel. Matanya sesekali melirik ke arah pintu kamar Sandara, khawatir akan ada bayang yang tidak diinginkan muncul. Di ruang tamu yang hanya diterangi lampu temaram, suasana semakin membuatnya cemas. Dada Alin terasa sesak, napasnya terengah-engah seperti ada beban berat yang menindihnya.Ia terus menggumam sendiri, mencoba mencerna informasi yang baru saja didapat dari Sandara. Apakah benar Erdo, saudara tiri Sandara yang memiliki dendam pada mereka, telah kembali ke kota ini? Semua logika mengatakan itu tidak mungkin, tapi intuisi Alin mengatakan lain. "Leo bilang nggak mungkin Erdo kembali... tapi apa jangan-jangan dia salah?" pikirnya, seraya jemarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk layar ponsel.Setiap detik terasa seperti jam baginya. "Kenapa Om Bima nggak pulang-pulang sih?" desisnya dengan nada frustrasi. Sandara membutuhkan perlindungan, dan Alin merasa tak mampu memberikan itu sendirian. Ia menoleh sekali
Sandara duduk lemas di sofa, tubuhnya bergetar dan wajahnya pucat pasi. Leo, asisten suaminya, berdiri di sampingnya dengan ekspresi cemas yang nyata. "Apa kamu baik-baik saja? Kita ke rumah sakit sekarang. Kalau terjadi apa-apa padamu aku yang akan disalahkan oleh Bos Bima," ucap Leo, matanya tak lepas memantau kondisi Sandara."Tenang Leo, gue nggak apa-apa, cuma masuk angin doang," balas Sandara dengan suara serak, mencoba menenangkan Leo yang tampak gelisah. Napasnya terengah-engah, tapi dia berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja."Iya Leo, Dara nggak apa-apa kok. Jadi nggak perlu Om Bima tahu," sahut Alin, sahabat setia Sandara, yang berusaha mempertahankan senyum di wajahnya meskipun matanya terlihat khawatir. Ia kemudian menuntun Sandara agar duduk lebih nyaman."Biar aku ambilkan air hangat untukmu," tambah Alin sambil beranjak menuju dapur.Tak lama setelah Alin meninggalkan ruangan, Sandara tidak dapat menahan rasa mualnya dan terpaksa muntah ke lantai. Leo, yang masi
"Ayo makan, satenya sudah siap," ucap Leo seraya meletakkan beberapa bungkus sate yang baru saja ia beli di atas meja di depan Sandara. Dengan mata berbinar Sandara membukanya, aroma daging bakar dan bumbu tercium di indera penciuamannya begitu menggugah selera. "Makasih Leo," ucap Sandara seraya mengambil satu tusuk sate dan menggigitnya."Em, enak banget," ucapnya sembari menguyah daging itu. Namun baru satu tusuk saja Sandara sudah tak berselera makan. Ia memberikannya pada Leo dan memintanya untuk menghabiskan sate tersebut."Gue nggak lapar," ujar Sandara dengan suara lirih, seraya menundukkan kepala.Leo memperhatikan Sandara dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Kamu yakin baik-baik saja?" tanya Leo, sambil mengambil tusuk sate dari tangan Sandara dan mulai memakannya. Dia bisa merasakan kegelisahan yang tersembunyi di balik ucapan Sandara yang pendek itu.Alin, yang duduk di seberang mereka, juga menangkap perubahan suasana. "Sandara, kalau ada yang mengganggu pikiran lo
Mata Bima memandang kosong ke depan, jantungnya berdegup kencang seolah ingin segera menyatukan dirinya dengan Sandara. Setiap detik terasa seperti jam, dan setiap kilometer yang ditempuh terasa seperti berjalan di atas batu bara. Ketidak nyamanan yang disebabkan oleh kemacetan kota hanya menambah beban pikirannya yang sudah dilanda kegelisahan.Di sampingnya, Leo hanya bisa memberikan semangat seadanya, walaupun ia tahu itu tidak cukup untuk menenangkan hati bosnya yang sedang dilanda kerinduan. Bima terus mengeluh dan hatinya semakin resah, mengingat betapa ia merindukan kehangatan Sandara, yang mungkin masih terlelap di tempat tidur, terbungkus dalam selimut kehangatan yang jauh dari jangkauan Bima saat ini.Sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut, Bima merenung, mencoba mengingat setiap detail wajah Sandara yang selama ini menjadi sumber ketenangan hatinya. Leo, yang mencoba menjadi seorang kawan di perjalanan yang membosankan ini, terus mencoba menyakinkan Bima bahwa rindu
Bima memandang sekeliling apartemen yang tiba-tiba terasa begitu asing dan hampa. Hatinya dipenuhi kekhawatiran yang tak terbendung sejak Sandara menghilang tanpa kabar. Wajahnya yang biasa terlihat hangat saat bersama Sandara kini kembali ke raut dingin yang menakutkan, menandakan badai yang sedang bergolak di dalam dirinya."Kita ke rumah lama Sandara!" perintahnya dengan suara yang keras dan tegas, seolah-olah mencoba menutupi kegugupannya. Leo, yang selalu setia di sisinya, mengangguk patuh, namun matanya tidak berani bertemu dengan tatapan tajam Bima.Dengan langkah cepat dan mantap, Bima melangkah keluar dari apartemen, mantel tebalnya berkibar-kibar, menyembunyikan senjata api yang ia selipkan dengan hati-hati. Leo mengikuti di belakang, hati-hati agar tidak terlalu dekat namun juga tidak ingin kehilangan jejak bosnya di tengah kekacauan ini.Mereka berdua memasuki mobil yang sudah siap, dan Leo segera mengemudikan mobil menuju ke rumah lama Sandara, tempat yang mungkin menyimp
Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk