"Ayo makan, satenya sudah siap," ucap Leo seraya meletakkan beberapa bungkus sate yang baru saja ia beli di atas meja di depan Sandara. Dengan mata berbinar Sandara membukanya, aroma daging bakar dan bumbu tercium di indera penciuamannya begitu menggugah selera. "Makasih Leo," ucap Sandara seraya mengambil satu tusuk sate dan menggigitnya."Em, enak banget," ucapnya sembari menguyah daging itu. Namun baru satu tusuk saja Sandara sudah tak berselera makan. Ia memberikannya pada Leo dan memintanya untuk menghabiskan sate tersebut."Gue nggak lapar," ujar Sandara dengan suara lirih, seraya menundukkan kepala.Leo memperhatikan Sandara dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Kamu yakin baik-baik saja?" tanya Leo, sambil mengambil tusuk sate dari tangan Sandara dan mulai memakannya. Dia bisa merasakan kegelisahan yang tersembunyi di balik ucapan Sandara yang pendek itu.Alin, yang duduk di seberang mereka, juga menangkap perubahan suasana. "Sandara, kalau ada yang mengganggu pikiran lo
Mata Bima memandang kosong ke depan, jantungnya berdegup kencang seolah ingin segera menyatukan dirinya dengan Sandara. Setiap detik terasa seperti jam, dan setiap kilometer yang ditempuh terasa seperti berjalan di atas batu bara. Ketidak nyamanan yang disebabkan oleh kemacetan kota hanya menambah beban pikirannya yang sudah dilanda kegelisahan.Di sampingnya, Leo hanya bisa memberikan semangat seadanya, walaupun ia tahu itu tidak cukup untuk menenangkan hati bosnya yang sedang dilanda kerinduan. Bima terus mengeluh dan hatinya semakin resah, mengingat betapa ia merindukan kehangatan Sandara, yang mungkin masih terlelap di tempat tidur, terbungkus dalam selimut kehangatan yang jauh dari jangkauan Bima saat ini.Sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut, Bima merenung, mencoba mengingat setiap detail wajah Sandara yang selama ini menjadi sumber ketenangan hatinya. Leo, yang mencoba menjadi seorang kawan di perjalanan yang membosankan ini, terus mencoba menyakinkan Bima bahwa rindu
Bima memandang sekeliling apartemen yang tiba-tiba terasa begitu asing dan hampa. Hatinya dipenuhi kekhawatiran yang tak terbendung sejak Sandara menghilang tanpa kabar. Wajahnya yang biasa terlihat hangat saat bersama Sandara kini kembali ke raut dingin yang menakutkan, menandakan badai yang sedang bergolak di dalam dirinya."Kita ke rumah lama Sandara!" perintahnya dengan suara yang keras dan tegas, seolah-olah mencoba menutupi kegugupannya. Leo, yang selalu setia di sisinya, mengangguk patuh, namun matanya tidak berani bertemu dengan tatapan tajam Bima.Dengan langkah cepat dan mantap, Bima melangkah keluar dari apartemen, mantel tebalnya berkibar-kibar, menyembunyikan senjata api yang ia selipkan dengan hati-hati. Leo mengikuti di belakang, hati-hati agar tidak terlalu dekat namun juga tidak ingin kehilangan jejak bosnya di tengah kekacauan ini.Mereka berdua memasuki mobil yang sudah siap, dan Leo segera mengemudikan mobil menuju ke rumah lama Sandara, tempat yang mungkin menyimp
Mobil yang dikemudikan Leo meluncur bak kilat menembus jalanan, mengejar waktu untuk sampai ke rumah sakit secepat mungkin. Di kursi belakang, Bima duduk dengan kekhawatiran yang terpahat jelas di wajahnya. Sambil memegang tangan Sandara yang lemah, ia merasakan perih di dadanya melihat kondisi wanita yang dicintainya. Bibir Sandara yang pucat terasa kontras dengan bekas tamparan yang memerah di pipinya, dan darah yang membasahi sudut bibirnya menambah luka di hati Bima. "Aku nggak akan melepaskan saudara tirimu itu. Aku akan balas dia!" bisik Bima dengan suara serak, penuh janji balas dendam kepada pelaku yang telah menyakiti Sandara. Di sisi lain, Sandara terbaring tak sadarkan diri, tak mampu merespons janji yang dilontarkan Bima. Dalam hati kecilnya, Bima berharap kata-katanya bisa memberi kekuatan bagi Sandara untuk bertahan. "Cepat Leo!" serunya lagi, tak bisa menyembunyikan rasa tidak sabarnya. Leo yang duduk di depan hanya mengangguk, fokus penuh pada jalan, meningkatkan k
Reva, dengan tatapan penuh kemarahan, tidak menyangka bahwa Sandara memiliki keberanian dan kemampuan untuk melawan. "Kau pikir kau bisa menghentikan rencanaku, Sandara?" geram Reva, sambil mencoba menguasai Sandara dengan gerakan cepat dan agresif. Namun, Sandara tidak gentar. Dengan napas yang terengah-engah, dia mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk memberikan perlawanan. "Gue nggak akan membiarkan lo atau siapa pun membahayakan ayah gue!" serunya dengan mata yang berapi-api. Pertarungan itu berlangsung sengit, dengan kedua belah pihak saling bertukar pukulan dan tendangan. Sandara, meskipun terengah, terus berjuang dengan kekuatan yang dia tidak tahu dimiliki sebelumnya. Di tengah pertarungan, terdengar suara langkah kaki mendekat. Ayah Sandara muncul di ambang pintu dengan wajah yang penuh kekhawatiran. "Ayah!" Sandara berseru, seolah mendapatkan suntikan semangat baru. Melihat ayahnya, ia semakin bersemangat untuk mengakhiri pertarungan ini. Dengan dorongan adrenalin, San
Bima merasakan detak jantungnya semakin kencang saat menatap Sandara yang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan infus menempel di tangannya. Sandara baru saja menjalani operasi besar dan wajahnya tampak sangat pucat, namun rasa lega menyelimuti hati Bima karena istrinya itu berhasil melewati masa kritis. Dengan perlahan, tatapan Bima beralih dari wajah Sandara ke perutnya yang masih rata, di mana calon buah hati mereka berada.Di dalam kesunyian ruangan VVIP itu, Bima berbicara pelan, penuh dengan emosi yang terbendung, "Untung kamu masih bisa bertahan. Entah penyesalan seperti apa yang akan menghampiriku saat kamu dan calon anak kita nggak ada," kata Bima, suaranya bergetar menahan emosi. Air matanya mulai menggenang, menandakan betapa takutnya dia kehilangan Sandara dan anak yang belum lahir itu.Bima menggenggam tangan Sandara yang dingin, berharap sentuhannya dapat memberikan kekuatan untuknya. Pikirannya melayang ke insiden yang hampir merenggut nyawa Sandara. Ia mengingat
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu