Leo sedang menyesap kuah makanan ketika tiba-tiba kuah itu terasa menyengat di tenggorokannya saat Sandara berbicara di telepon, "Aku sangat rindu Bima." Saat mendengar itu, Leo terbatuk keras, kuahnya nyaris tersembur. Walaupun bukan kali pertama Leo menyaksikan kemesraan antara Sandara dan suaminya, setiap momen seperti itu selalu meninggalkan rasa canggung yang mendalam, seakan-akan ia tak lebih dari penggangu yang tidak diinginkan. "Leo, lo kenapa?" Sandara bertanya, perhatiannya beralih sejenak dari pembicaraan mesra dengan Bima. "Oh, tidak apa-apa, Dara. Cuma tersedak sumpit," jawab Leo, mencoba bersikap tenang, sementara di seberang telepon terdengar suara tawa Bima yang lepas. Sandara pun tertawa kecil, "Hati-hati, jangan sampai sumpitnya ikut tertelan," canda Sandara ringan. Saat masih berbincang, Sandara lanjut, "Oh iya, Om, nanti sore gue mau jalan-jalan sama Alin. Sudah lama banget kita nggak bertemu." "Tak masalah, tapi biar Leo yang mengantarmu," Bima memotong
"Kalau gue ngomong sama Leo besok gue mau pergi ke rumah sakit buat periksa kehamilan pasti dia langsung laporan sama Om Bima," batin Sandara memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Dia harus merahasiakan hal ini terlebih dulu sebelum jelas apakah ia hamil atau tidak. "Besok gue jalan-jalan sama Alin," jawab Sandara yang tak sepenuhnya berbohong. Sandara menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan rasa cemas yang mulai menggebu di dalam dada. Di hadapannya, Leo tampak gelisah, sepertinya dia juga merasakan ketegangan yang sama. "Alin cantik ya? Gimana, apa lo suka sama dia?" ucap Sandara sambil mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan topik yang lebih ringan. Dia berharap bisa mengalihkan perhatian Leo dari rencana kehamilannya yang masih dirahasiakan. Leo, yang sebelumnya tampak asyik dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba terkejut. Matanya melebar sejenak sebelum ia menundukkan kepala, pipinya memerah. "Dia cantik," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, malu
Di ruang tunggu poli kandungan, suasana hening hanya dipecah oleh suara ibu-ibu muda yang sesekali berbisik dengan suami mereka. Sandara, dengan raut wajah pucat, duduk menyendiri di pojok ruangan. Tangan dinginnya terus meremas-remas sambil matanya yang sayu menatap ke lantai. Di sekitarnya, kebahagiaan tampak jelas pada wajah para ibu yang ditemani suami mereka, berbeda dengan Sandara yang hanya ditemani oleh sahabatnya, Alin.Alin, yang duduk disamping Sandara, menatap wajahnya yang tampak gelisah. "Tenang, ada gue," bisik Alin lembut, mencoba memberikan dukungan. Dia tahu betul betapa beratnya momen ini bagi Sandara, apalagi tanpa kehadiran pasangannya.Sandara mengangkat wajah, matanya yang berkaca-kaca menatap Alin. "Kita pulang aja yuk," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh keraguan dan ketakutan."Ngapain? Kita udah daftar," jawab Alin, berusaha meyakinkan. Dia tahu betapa pentingnya pemeriksaan ini bagi kesehatan Sandara dan bayi yang dikandungnya.Suasana r
Alin menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi taman yang dingin di rumah sakit sambil mengusap kepala Sandara yang terlihat letih. "Sebelum kita pulang, ayo kita isi perut dulu. Dokter bilang lo harus makan banyak biar bayi di perut lo nggak rewel nanti," katanya lembut, matanya berbinar karena telah menemukan solusi. "Ada sup daging enak dekat sini, favorit lo itu. Pasti lo suka." Sandara mengangkat kepala, mencoba tersenyum walau lemah. "Baiklah, ayo. Gue juga udah lapar," jawabnya pelan. Mereka berdua kemudian melangkah lelah ke taksi yang telah menunggu, menuju restoran yang sudah lama menjadi kesukaan Sandara. Sesampainya di sana, mereka memesan sup daging spesial yang aromanya menguar menggugah selera. Mata Sandara berbinar seiring dengan hidangan yang tiba. "Waw, kelihatannya enak banget," ucapnya, tidak sabar ingin menikmati kehangatan sup tersebut.Sandara memperhatikan semangkuk sup daging yang baru saja dihidangkan di meja mereka. Asap yang mengepul menambah aroma yang m
Sandara dan Alin, dengan napas terengah-engah, terus melihat ke segala arah di kafe yang semarak itu. Mata mereka berpindah dari satu wajah ke wajah lain, mencari sosok yang mungkin saja adalah Erdo. Suasana kafe yang penuh dengan gelak tawa dan perbincangan semakin membuat mereka gelisah. "Kita harus cepat, Dara," desis Alin, sambil matanya tak berhenti memindai area. "Gue benar-benar khawatir kalau Erdo benar-benar di sini."Sandara mengangguk, lalu segera mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol untuk menghubungi Leo, asisten suaminya. "Leo, gue butuh lo untuk menjemput gue dan Alin di kafe sekarang. Ada masalah," katanya dengan suara yang tergesa-gesa.Setelah menutup panggilan, Sandara kembali menoleh ke belakang, dan hatinya serasa melompat. Di antara kerumunan, ia melihat Erdo yang tersenyum sinis kepadanya. Mata Erdo yang tajam dan senyumnya yang mengejek membuat bulu kuduk Sandara merinding. Namun, dalam sekejap, ketika ia hendak menarik perhatian Alin, sosok itu t
Alin menggeser tubuhnya di sofa yang empuk, tangannya gemetar memegang ponsel. Matanya sesekali melirik ke arah pintu kamar Sandara, khawatir akan ada bayang yang tidak diinginkan muncul. Di ruang tamu yang hanya diterangi lampu temaram, suasana semakin membuatnya cemas. Dada Alin terasa sesak, napasnya terengah-engah seperti ada beban berat yang menindihnya.Ia terus menggumam sendiri, mencoba mencerna informasi yang baru saja didapat dari Sandara. Apakah benar Erdo, saudara tiri Sandara yang memiliki dendam pada mereka, telah kembali ke kota ini? Semua logika mengatakan itu tidak mungkin, tapi intuisi Alin mengatakan lain. "Leo bilang nggak mungkin Erdo kembali... tapi apa jangan-jangan dia salah?" pikirnya, seraya jemarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk layar ponsel.Setiap detik terasa seperti jam baginya. "Kenapa Om Bima nggak pulang-pulang sih?" desisnya dengan nada frustrasi. Sandara membutuhkan perlindungan, dan Alin merasa tak mampu memberikan itu sendirian. Ia menoleh sekali
Sandara duduk lemas di sofa, tubuhnya bergetar dan wajahnya pucat pasi. Leo, asisten suaminya, berdiri di sampingnya dengan ekspresi cemas yang nyata. "Apa kamu baik-baik saja? Kita ke rumah sakit sekarang. Kalau terjadi apa-apa padamu aku yang akan disalahkan oleh Bos Bima," ucap Leo, matanya tak lepas memantau kondisi Sandara."Tenang Leo, gue nggak apa-apa, cuma masuk angin doang," balas Sandara dengan suara serak, mencoba menenangkan Leo yang tampak gelisah. Napasnya terengah-engah, tapi dia berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja."Iya Leo, Dara nggak apa-apa kok. Jadi nggak perlu Om Bima tahu," sahut Alin, sahabat setia Sandara, yang berusaha mempertahankan senyum di wajahnya meskipun matanya terlihat khawatir. Ia kemudian menuntun Sandara agar duduk lebih nyaman."Biar aku ambilkan air hangat untukmu," tambah Alin sambil beranjak menuju dapur.Tak lama setelah Alin meninggalkan ruangan, Sandara tidak dapat menahan rasa mualnya dan terpaksa muntah ke lantai. Leo, yang masi
"Ayo makan, satenya sudah siap," ucap Leo seraya meletakkan beberapa bungkus sate yang baru saja ia beli di atas meja di depan Sandara. Dengan mata berbinar Sandara membukanya, aroma daging bakar dan bumbu tercium di indera penciuamannya begitu menggugah selera. "Makasih Leo," ucap Sandara seraya mengambil satu tusuk sate dan menggigitnya."Em, enak banget," ucapnya sembari menguyah daging itu. Namun baru satu tusuk saja Sandara sudah tak berselera makan. Ia memberikannya pada Leo dan memintanya untuk menghabiskan sate tersebut."Gue nggak lapar," ujar Sandara dengan suara lirih, seraya menundukkan kepala.Leo memperhatikan Sandara dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Kamu yakin baik-baik saja?" tanya Leo, sambil mengambil tusuk sate dari tangan Sandara dan mulai memakannya. Dia bisa merasakan kegelisahan yang tersembunyi di balik ucapan Sandara yang pendek itu.Alin, yang duduk di seberang mereka, juga menangkap perubahan suasana. "Sandara, kalau ada yang mengganggu pikiran lo