Share

Bab 4 Bantuan Orang Dalam

Cahaya matahari menyorot tajam hingga menembus jendela kamar, Naura terisak di tepi ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos.

Terusik dengan tangisan seorang wanita, Ariz menggeliat dan membuka matanya. Otaknya masih belum bisa merespons apa yang dia lihat saat ini.

Ariz terus menggosok matanya, berharap ini hanya bagian dari mimpi. Namun, suara tangisan Naura semakin nyata menusuk telinganya.

Dia bangun dengan perasaan takut, "Na... Naura? Kamu?"

Ariz melihat dirinya yang tidak mengenakan apapun, begitu juga dengan Naura.

Udara pagi bahkan tidak membuatnya kedinginan, sebaliknya butiran keringat keluar dari dahinya beriringan dengan dada yang terasa ingin meledak.

"Ini semua karena Pak Ariz yang memaksa! Aku sudah bilang aku tidak mau melakukan hal ini, tapi Pak Ariz terus memaksaku!" Naura sangat marah dan melemparkan bantal ke wajah Ariz.

Pria itu terdiam sejenak, lalu kemudian menyangkal, "Tidak mungkin, Naura! Saya tidak mabuk dan mana mungkin saya melakukan hal seperti itu pada kamu?!" Ariz berdiri dan memunguti pakaiannya, dia segera masuk ke kamar mandi.

Ariz menyalakan shower, mengguyur seluruh tubuhnya untuk segera sadar sepenuhnya dan mengingat semua yang terjadi semalam.

Dia yakin seratus persen, dia tidak mabuk. Tidak ada alkohol yang masuk ke tubuhnya dan tidak mungkin juga jika dia melakukan itu pada Naura hanya karena dibutakan nafsu.

Seingatnya, semalam dia berada di ruang kerja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan, satu-satunya yang dia minum hanya kopi buatan Naura.

Selesai mandi, Ariz berpakaian di dalam kamar mandi, dia tidak mau Naura melihat tubuhnya. Ternyata wanita itu masih menangis di tepi ranjang, terlihat sangat kacau dengan rambutnya yang kusut.

"Berhenti menangis dan cepat pakai bajumu!" Titah Ariz, suara yang dingin membuat Naura berhenti menangis seketika.

Ariz membalikkan badan, dia tidak ingin melihat tubuh Naura, tidak ada minat sedikitpun dalam dirinya terhadap wanita itu.

Sikap baiknya kemarin, tidak lebih hanya sebagai bentuk menghargai usaha dan perhatian Naura kepada anak-anaknya.

Tapi, kenapa mereka bisa berakhir satu ranjang seperti ini? Ariz tidak habis pikir.

"Katakan padaku, apa yang kamu masukkan ke dalam kopi itu?" Tanya Ariz setelah Naura selesai berpakaian, mereka berhadapan, namun mata Ariz hanya melihat ke tembok.

Naura terkejut, mulutnya terbuka tapi tidak kunjung bersuara, dia gelapan tidak tahu harus menjawab apa, tidak menyangka Ariz akan dengan mudah menebak kejadian ini.

"Jawab!" Bentak Ariz, sangat kencang.

Naura tersentak hingga kedua bahunya terangkat, "kenapa Pak Ariz bertanya seperti itu? Saya hanya membuatkan kopi biasa." Air menggenang di pelupuk mata Naura, dia sangat takut dan kalut secara bersamaan.

"Saya sudah bilang saya tidak mabuk, bahkan saya tidak ingat apa-apa, saya tidak melakukan apapun kepada kamu, semalam saya hanya minum kopi dari kamu dan pasti ada campurannya!"

"Saya tidak mencampurkan sesuatu di kopi Bapak, hanya serbuk kopi dan dua sendok gula. Setelah Bapak memaksa saya berbuat seperti semalam, sekarang Bapak menuduh saya sengaja menjebak?" Tampik Naura, cairan bening kembali meleleh dari matanya.

"Kalau iya? Kamu punya bukti kalau semalam saya melecehkan kamu?" Ariz sama sekali tidak kasihan melihat air mata Naura.

"Saya tidak punya bukti, karena semalam saya takut dan terpaksa melayani Bapak, saya tidak mungkin mengkhianati Bu Salma dengan sengaja menjebak Bapak!" Kali ini Naura berani meninggikan suaranya.

"Begitu juga dengan saya, tidak mungkin saya mengkhianati istri saya!" Balas Ariz dengan suara yang tak kalah tinggi, urat-urat di lehernya menonjol dan rahangnya menggertak.

"Tapi nyatanya Bapak sudah melakukan itu, Bapak sudah mengkhianati Bu Salma!" Suara pelan Naura sangat menusuk.

"Saya keluar dari rumah ini dan berhenti dari pekerjaan!" Wanita itu berjingkat pergi dari kamar Ariz.

*****

Liana terperangah melihat Naura keluar dari rumah dengan berurai air mata, wanita itu berjalan seperti tidak ada siapapun di rumah, dia juga tidak menemui Kenan dan Kenzo terlebih dahulu.

Wajahnya yang terlihat kesal dan jejak tangis di kedua matanya yang sembab, membuat Liana menyimpulkan kalau Naura baru saja dipecat oleh Ariz.

Tidak lama kemudian, Ariz turun dengan wajah penuh amarah, dia menatap kepergian Naura dan menghela napasnya.

Dia tetap bersikukuh, dia tidak melakukan apapun pada wanita itu, jika memang semalam mereka melakukannya, Ariz hanya menganggap itu sebuah kesalahan yang tidak berarti baginya, dia memegang teguh kesetiannya untuk Salma.

"Ariz, kenapa Naura pergi? Kamu memecat dia?" Liana terlihat tidak senang, dia langsung protes.

"Biarkan saja, Bu!" Jawab Ariz tidak peduli.

Sebelum Ariz pergi, dia berjalan lebih dulu dan menghadang Ariz, tepat di depannya.

"Tapi kenapa? Siapa yang akan mengurus si kembar kalau bukan Naura? Ingat istri kamu itu sedang simulasi jadi mayat, kamu juga harus berlatih menjadi duda dari sekarang!"

"Kamu harus terbiasa tanpa istri kamu, sebelum dia benar-benar meninggal! Kenan dan Kenzo juga sama, mereka harus terbiasa tanpa Salma, jangan terlalu egois, Ariz!"

Celotehan Liana membuat emosi Ariz semakin membara, siap meledak tidak lama lagi. Kata-kata Liana lebih terdengar seperti menyumpahi Salma agar cepat meninggal.

"Istri kamu sudah tidak berguna, sekarang kita butuh Naura, tapi kamu malah pecat dia!" Liana masih terus mengomel, dia tidak menyadari Ariz sudah mengepalkan tangannya sangat kuat.

"Kenan dan Kenzo sangat dekat dengan Naura, dia sudah seperti Ibu kedua untuk si kembar, mereka pasti sangat sedih kalau Naura tidak ada di sini. Daripada kamu pecat Naura, lebih baik pecat saja Salma!"

Tangan Ariz meraih guci kaca di atas nakas dan melemparnya ke lantai hingga pecah berkeping-keping. "Diam!" Kedua mata Ariz menyorot lebar.

"Ibu jangan ikut campur, wanita itu sudah menjebakku agar tidur dengannya, di tempat tidurku dengan Salma! Aku tidak peduli siapa dia, masih banyak orang yang bisa menjadi babysitter anak-anakku!" Pungkas Ariz sambil mengembuskan napas panas penuh emosi.

"Tapi, Ariz--"

Liana terdiam saat Aris mengangkat telapak tangannya, menandakan dia tidak ingin mendengar apapun lagi.

"Daripada Ibu terus memperkeruh keadaan dan memojokkan Salma, lebih baik Ibu tinggal dengan Ammar, mungkin sesekali Ibu bisa mengomentari istrinya agar tidak bosan!"

"Jadi, kamu mengusir Ibu? Begitu?" Tantang Liana, tidak menyangka anaknya akan berani bicara seperti itu.

"Iya." Jawab Ariz singkat.

"Baiklah, Ibu akan pindah ke rumah Ammar!" Tegas Liana, dia melotot dan tampak sangat marah berharap putranya itu langsung meminta maaf karena telah menyinggungnya.

Namun, Ariz tidak peduli, dia berjalan meninggalkan Liana dan masuk ke kamar anak-anaknya.

******

Hari itu juga, Liana keluar dari rumah Ariz, dia tidak akan ikut anak dan cucunya pindah ke Mansion.

Terpaksa dia harus tinggal dengan putra keduanya, Ammar, yang tidak terlalu kaya dan rumahnya terbilang sederhana.

Siangnya, Liana nekat pergi ke Apartemen Naura, dia sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi semalam sampai Ariz sangat marah.

Kalau memang Ariz benar-benar sudah mengkhianati Salma, dia akan sangat bersyukur dan akan memberikan Naura imbalan yang setimpal.

Naura yang kedatangan tamu tak diundang tidak punya pilihan selain mengizinkan Liana untuk masuk ke Apartemennya.

"Naura sebenarnya apa yang terjadi semalam? Apa benar kamu menjebak Ariz?" Tanya Liana penuh selidik.

"Tidak Bu Liana, itu salah paham..."

Sebelum Naura selesai bicara, Liana sudah memotong, dia sangat hobi menyela orang lain, "saya memang menyuruh kamu memanfaatkan keadaan, tapi bukan berarti harus dilakukan dengan terburu-buru tanpa berpikir dulu, Naura..." Suara Liana begitu lembut.

"Ariz itu saya sekolahkan sampai ke luar negeri, dia cerdas! Jadi kamu harus cerdik kalau ingin mempermainkannya!"

"Maaf Bu Liana, itu semua hanya ketertarikan sesaat saya pada Pak Ariz, saya tidak berniat merusak rumah tangga Pak Ariz dan Bu Salma!" Ungkap Naura tidak berniat memperpanjang masalah ini, dia benar-benar takut setelah melihat kemarahan Ariz tadi pagi.

"Saya salah dan tidak akan pernah menunjukkan wajah saya lagi." Naura menunduk malu.

Liana mengangkat dagu Naura menggunakan telunjuknya dan berkata, "Hey, jangan berkecil hati dulu, aku ada di pihakmu! Malah aku mendukung kamu untuk mendapatkan Ariz, tapi kamu harus bersabar, tidak lama lagi Ariz pasti mencari kamu!"

"Ta... Tapi kenapa Pak Ariz mencari saya? Apa dia melaporkan saya ke polisi?" Naura mulai panik.

"Bukan, tapi karena hubungan kalian akan segera dimulai!" Senyum licik terbit di bibir Liana yang terpoles lipstik merah gelap.

Naura mengernyit tidak paham, "Maksud Bu Liana, apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status