Share

Bab 5 Naura Dijemput Kembali

Liana melangkah lebih dekat ke depan Naura, wanita itu gemetar dan melihat ke lantai, dia sudah tidak punya wajah setelah menjebak Ariz semalam, dan pastinya Liana mengerti akan hal itu, Naura sudah tidak bisa mengelak.

"Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu, Naura. Kamu sudah terlanjur malu, jadi lanjutkan saja! Nanti ketika Ariz datang ke sini mencari kamu, langsung lari ke pelukannya dan menangis!" Ujar Liana.

"Bilang kalau kamu sangat menyesal dan merasa bersalah pada Salma, minta Ariz mengantarkan kamu ke rumah sakit untuk menjenguk Salma, setelah itu pura-pura pingsan!" Liana berbicara sambil berjalan memutari tubuh Naura, suaranya mengisi pendengaran Naura dari segala arah.

"Bu Liana yakin membiarkan semua itu terjadi? Maksud saya, Bu Liana ingin saya dan Pak Ariz menjalin hubungan terlarang?" Tanya Naura mengerjap tidak percaya.

Pikir Naura, Apakah Liana sungguh sudi membiarkan Ariz bersama dirinya? Seorang Salma yang cantik dan kaya raya saja selalu dibenci oleh Liana, apalagi dirinya yang hanya wanita biasa dan baru kehilangan pekerjaan.

"Tentu saja! Saya yang akan atur semuanya, kamu hanya perlu lakukan perintah saya. Nanti saat kamu pingsan, dokter akan memeriksa kamu dan kamu akan dinyatakan hamil, di saat itu juga dokter akan mengabarkan kalau kondisi Salma semakin memburuk!"

"Perhatian Ariz pasti akan terbagi, saat itu kamu harus berpikir bagaimana caranya agar Ariz lebih memilih kamu!"

Liana sudah menyusun rencana agar Naura bisa masuk sebagai orang ketiga dan menjadi ujung tombaknya untuk memisahkan Ariz dan Salma.

Dia akan mempersiapkan semua itu dari sekarang, dia yakin Ariz akan mencari Naura karena dia sudah menyiapkan sesuatu yang akan membuat Ariz berubah pikiran.

Jika nanti pikiran putranya tetap tidak berubah, kedua cucunya pasti tidak akan bisa lepas dari Naura dan memintanya untuk kembali.

"Tapi saya tidak berhubungan dengan Pak Ariz dan saya tidak mungkin hamil, bagaimana saya akan terus berbohong?" Naura cemas, menurutnya Ariz bukan orang yang mudah dikelabui.

"Itu kita pikirkan nanti, yang jelas saya ingin memastikan kalau kamu bersedia melakukan semua itu, tanpa ragu!" Tekan Liana.

"Kalau sudah begini.. Saya berdia, Bu!" Naura mengangguk mantap meski sedikit merasa malu.

"Kamu menyukai Ariz?" Liana ingin mendengar langsung, sebenarnya tanpa perlu Naura jawab dia sudah tahu jawabannya, sudah sangat jelas, kalau dari dulu, Naura selalu salah tingkah dan kerap memandang Ariz dengan tatapan mendamba.

Naura menghela napas kemudian mengangguk, "Sepertinya... Saya jatuh cinta dengan Pak Ariz, Bu. Saya selalu merasa..."

"Ah sudahlah, simpan kata-kata puitis kamu yang norak itu! Yang terpenting bagi saya kamu harus berhasil mengambil hati Ariz!" Liana menepuk pundak Naura, tidak melanjutkan obrolannya lagi, dia keluar dari apartemen.

Naura mendengkus jengkel, Liana datang dan pergi sesuka hati, tanpa permisi dan tanpa pamit. Belum lagi ketika dia bicara selalu dipotong, seakan ucapannya tidak penting sama sekali.

Alih-alih terus memikirkan Liana, dia lebih mengkhawatirkan Kenan dan Kenzo saat ini, kedua anak kecil itu pasti sedang mencarinya.

"Sabar anak-anakku, aku pasti akan segera kembali... Sebagai Ibu kalian!"

******

Ariz sudah rapi dengan kemeja putih dan celana kerja yang membalut tubuh atletisnya, jas hitam tersemat di tangan kirinya.

Pria itu masuk ke ruang kerjanya, mengambil berkas yang dia perlukan untuk meeting sore ini.

Di atas meja, terlihat sebuah botol minuman Alkohol yang sudah kosong, tergeletak dengan cangkir beling yang menyisakan beberapa tetes di dalamnya.

Ariz meneguk ludah dan berkata, "Alkohol?"

Minuman yang sudah sejak lama menjadi hal asing baginya. Salma melarang keras untuk dia mabuk-mabukkan, sejak saat itu juga dia tidak pernah minum alkohol jenis apapun.

Dia memang menyimpan beberapa botol, tapi tidak pernah meminumnya lagi.

"Bagaimana bisa alkohol ini ada di meja? Jadi, semalam aku benar-benar mabuk dan tidur bersama Naura?" Pikirannya melayang mengingat ucapan Naura, kalau semalam dia memaksa wanita itu untuk tidur dengannya.

Ariz memejamkan mata, ini seperti tamparan keras tak kasat mata yang langsung menyambar pipinya dan menembus hingga ke tulang.

Tidak bisa berkata-kata lagi, Ariz berusaha membuang jauh-jauh pikirannya.

Naura sudah pergi dan baginya tidak ada yang perlu dibahas lagi, tadi malam tidak lebih dari kesalahan tidak disengaja yang bahkan dia sendiri tidak mengingatnya.

Sebelum Ariz masuk ke mobil, kedua anak kembarnya berlari, wajah mereka terlihat cerah, tidak murung seperti sebelumnya.

"Kalian sudah sembuh?" Tanya Ariz mendekap kedua putranya.

"Sudah, Papa! Sekarang badan Kenzo sudah tidak panas lagi!" Lapor Kenzo memegangi keningnya yang sudah tidak demam.

"Kenan juga, Pa! Sudah sembuh, tidak lemas lagi!" Tambah Kenan.

Ariz mengusap rambut kedua anaknya, merasa lega karena keduanya sudah kembali sehat.

"Bagus! Sore ini Papa ada meeting penting, kalian di rumah berdua saja tidak apa-apa? Sebentar lagi, supir akan menjemput kalian untuk pindah ke Mansion!" Ujarnya melirik ke arah jam tangan.

Semua barang telah dipindahkan ke Mansion, tinggal pakaiannya dan Salma yang masih berada di kamar, Kenan dan Kenzo hanya tinggal menunggu dijemput oleh sopir.

Sebenarnya, rumah yang dia tempati saat ini adalah peninggalan orang tua Salma. Luas, besar, mewah dan kokoh.

Akan tetapi, gayanya terlalu tua dan membosankan, sejak mereka kecelakaan dan Salma mengalami koma, Ariz merasa butuh suasana baru untuk menjaga pikirannya agar tetap jernih dan waras.

Maka dari itu, dia memutuskan untuk merenovasi rumah itu agar sedikit bergaya dan terkesan modern. Dengan harapan begitu Salma kembali, istrinya itu bisa melupakan kecelakaan mengerikan yang mereka alami.

"Berdua saja? Kalau diculik bagaimana?" Tanya Kenan.

"Ada sekuriti, kalian pasti aman!" Jawab Ariz.

"Terus nanti di Mansion kita cuma berdua? Nanny mana? Kok, Nanny tidak ikut?" Mata Kenzo bergulir mencari keberadaan Naura yang tidak dilihatnya sejak pagi.

Ariz tersenyum untuk menghibur mereka, "Nanny sudah tidak bekerja di sini lagi, nanti Papa cari pengasuh baru, ya!" Ariz mengusap pipi Kenzo.

"Tidak! Aku maunya Nanny!" Kenzo menepis tangan Ariz.

"Aku juga suka sama Nanny, aku maunya ditemani Nanny, bukan dengan yang lain!" Timpal Kenan menarik celana Ariz.

Ariz berdecak, dia tidak mau menyebut atau mendengar nama Naura, dia tidak mau mengingat wanita itu.

Dia tidak tahu harus menjelaskan apa kepada anak-anaknya, daripada membujuk Kenan dan Kenzo, Ariz kembali berdiri dan membalikkan tubuhnya.

"Papa pergi dulu." Dengan cuek Ariz bergegas, tanpa menoleh atau melambaikan tangan, dia masuk ke mobil dan pergi begitu saja.

*

Satu bulan kemudian...

Ketika hendak pulang dari kantor, pihak rumah sakit menelepon Ariz, membuatnya segera meluncur ke sana. Salma mendapat tindakan yang serius dari para dokter.

"Tadi detak jantung Bu Salma sangat lemah, tapi kami berusaha memacunya agar kembali stabil, tapi sepertinya akan sulit!" Dokter memaparkan dengan kata-kata yang sopan, walau lebih tepatnya dia harus mengatakan kalau Salma hampir saja kehilangan nyawa.

"Keadaan Bu Salma semakin melemah, saya tidak bisa memastikan sampai kapan dia akan bertahan, kukunya sudah membiru, napasnya juga dingin." Sambung dokter itu.

Kenyataannya, kondisi Salma sangat parah, keadaan koma yang dialaminya saat ini sudah seperti raga yang kehilangan jiwa, hanya tersisa napas dan detak jantung yang lemah, dia berada di ambang kematian.

Ariz bersikeras agar istrinya tetap mendapat perawatan intens, dengan keyakinan istrinya pasti akan sadar dari koma, dia selalu membantah tiap kali Dokter mengatakan kemungkinan Salma untuk hidup sangat rendah bahkan tidak mungkin.

"Lakukan yang terbaik, saya mau istri saya selamat!" Tegas Ariz.

"Selama dia masih bernapas, kalian harus terus menjaga dan merawatnya sampai pulih! Saya akan bayar berapapun biayanya asalkan istrinya kembali!" Ariz akan mengorbankan segalanya untuk hidup Salma.

"Kami selalu berusaha, Pak. Tapi setiap hari--" Kilah dokter itu.

"Tidak ada tapi!" Ariz tidak mau mendengarnya, dia berjalan masuk ke ruangan Salma dan membiarkan dokter itu pergi.

Pria itu duduk menghadap istrinya, mengusap lembut pipi pucat Salma yang mendingin, dia tidak peduli sebanyak apa dia mendengar kalimat kalau Salma akan berakhir.

"Sayang, sudah tiga bulan kamu di sini, kamu tidak mau pulang denganku? Tidak mau bertemu Kenan dan Kenzo?" Ariz menciumi tangan Salma.

"Sampai kapan kamu menyiksaku seperti ini? Setiap malam rasanya sangat dingin dan sepi, aku mohon Salma... Buka mata kamu!"

Ketika Ariz sedang meratapi istrinya, ponselnya berdering, ada panggilan dari sekuriti yang menjaga Mansion. Takut itu adalah kabar menyangkut kedua anaknya, dia segera mengangkatnya.

"Halo, Pak?"

"Iya, kenapa menelepon saya? Ada maling? Atau anak saya kabur?" Tanya Ariz spontan.

"Bukan, Pak. Tapi, itu... Babysitter si kembar pergi membawa koper, katanya dia tidak mau bekerja di sini lagi, saya tidak tahu dia kenapa, tapi kelihatannya habis menangis."

"Astaga! Lagi?" Ariz terperangah, ini sudah Babysitter ke tiga yang dibuat angkat kaki oleh si kembar.

"Iya, Pak!"

"Ya sudah biarkan saja, nanti saya urus kalau sudah pulang. Kamu jaga-jaga, jangan sampai anak-anak saya kabur dari Mansion!"

Ariz menutup telepon, wajahnya terlihat kesal, dia sudah kewalahan menghadapi Kenan dan Kenzo. "Mereka sengaja melakukan ini agar aku memanggil Naura kembali!"

Bangkit dari kursi, Ariz mengecup kening Salma. Dia pergi untuk membereskan masalah kedua putranya, dengan terpaksa Ariz tidak punya jalan lain.

Dia bergegas, hendak menjemput Naura ke apartemen tempat wanita itu tinggal, menyampingkan ego dan harga dirinya, dia akan meminta Naura kembali untuk mengurus Kenan dan Kenzo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status