Share

Bab 2 Ular Mulai Masuk

Sambil makan malam bersama, Ariz mencurahkan isi hatinya mengenai Salma kepada Naura, dia berkata sangat rindu dan cemas dengan kondisi Salma yang masih belum ada perubahan, dia takut istrinya tidak selamat. 

  Ariz bukan orang yang suka bercerita, dia lebih sering memendam isi hati dan pikirannya sendiri. Namun, karena Ibunya malah menyuruh Ariz menikah lagi seolah Salma tidak akan selamat, dia merasa dunianya runtuh dan harapannya dipatahkan. Dia tidak punya sandaran yang menguatkannya saat ini. 

  "Sabar, Pak! Saya yakin Bu Salma akan segera pulih dan kembali ke sini, Kenan dan Kenzo sepertinya sudah sangat merindukan Ibunya!"

  "Aamiin, kamu benar-benar yakin istri saya akan sadar dari komanya?" Tanya Ariz setelah menerima tanggapan positif dari Naura. 

  "Sangat yakin, Pak! Bahkan setiap hari saya mendoakan beliau, Bu Salma orang yang sangat baik kepada saya. Dia memberi saya pekerjaan, membantu renovasi rumah saya di kampung, dan suka memberi saya barang-barang yang bagus..." Naura sangat semangat, membicarakan Salma, wanita yang selama ini menjadi panutan sekaligus malaikat di hidupnya. 

  "Dia bukan hanya boss bagi saya, tapi dia itu teman, kakak, dan orang yang sangat berjasa di hidup saya. Karena itu, saya selalu mendoakan beliau setiap hari!" Sambungnya. 

  Di balik tembok, Liana mengintip dan menguping pembicaraan mereka, dia merasa sangat senang melihat putranya berbincang dan tersenyum dengan seorang wanita. 

  "Wah.. Wah... Naura yang pintar! Kelihatannya dia gampang akrab dan nyambung diajak bicara, sampai anakku nyaman begitu. Biasanya, kalau makan sangat cepat, tapi saat dengan Naura..." Liana menutup mulutnya menahan tawa. 

  "Lumayan cocok, daripada Salma sok kaya yang selalu membuat anakku terlihat seperti kacung, lebih baik Naura yang sederhana!" Ujarnya, kemudian dia pergi dan mengurungkan niatnya mengambil air di dapur, dia tidak ingin mengganggu Ariz yang sedang bersama Naura. 

  *****

  Hari ini adalah hari Minggu, biasanya Ariz akan mengajak Kenan dan Kenzo ke tempat bermain anak dan pulangnya mereka akan mengunjungi Salma di rumah sakit. 

  Namun, karena kemarin dia sudah berkunjung, Ariz memutuskan untuk tidak ke rumah sakit dulu sampai kedua anaknya kembali sehat. 

  Selesai mandi dan sarapan, Ariz pergi ke kamar anak-anaknya, di sana terlihat Naura yang masih setia menjaga mereka. 

  "Demamnya belum turun?" Tanya Ariz. 

  Naura yang setengah terlentang segera bangun dan berdiri, si kembar juga ikut terkejut dengan kedatangan Ariz yang tiba-tiba.

  "Belum, Pak! Hari ini saya mau ke apotek, beli obat yang kemarin diresepkan Dokter, obat yang sebelumnya, kurang ampuh." Ucap Naura. 

  Sebelumnya, Dokter bilang si kembar hanya mengalami demam biasa karena masa pertumbuhan. Jadi, Naura hanya memberi mereka kompres pendingin dan obat sirup penurun panas. 

 Akan tetapi, sampai hari ini demam mereka malah bertambah dan keduanya kehilangan selera makan. 

  "Biar saya antar!" 

  Naura membulatkan mata, selama dia bekerja di sini, dia akan diantar oleh supir kemanapun dia pergi, tidak pernah sekalipun dia semobil dengan Ariz. 

  Begitupun jika ada acara yang mengharuskan dia ikut untuk menjaga Kenan dan Kenzo, Naura pasti naik mobil yang berbeda. 

  "Ta.. Tapi... Saya biasa dengan supir, Pak!" Naura bingung harus bagaimana menanggapi situasi ini. 

  Memang sangat tidak mungkin jika Ariz tertarik padanya, dia juga tidak berani untuk sekadar memimpikan hal itu, tapi berada satu mobil dengan Ariz pasti akan sangat canggung. 

  Lagi-lagi Naura teringat Salma, jika ada Salma di sini, tidak mungkin Ariz akan memberi tawaran seperti ini. 

  "Aku tidak boleh berpikir macam-macam, ini hanya diantar ke apotek untuk keperluan si kembar, dan pastinya aku duduk di kursi belakang!" Naura bersuara dalam hati berusaha menjaga pikirannya.

  "Tidak apa-apa, kali ini pergi ke apotek dengan saya, sekalian beli obat untuk kamu! Jangan sampai karena mengurus anak-anak saya, kamu juga ikut sakit, nanti siapa yang akan merawat mereka?" Ariz terkekeh, pria itu duduk di atas ranjang dan memeriksa suhu tubuh kedua putranya. 

  "Baik, Pak! Saya siap-siap dulu!” Naura mengangguk, saat ini jantungnya berdegup sangat kencang ketika merasa Ariz memberinya perhatian. 

  Naura pergi keluar dari kamar itu untuk bersiap dan membiarkan Ariz bersama kedua anaknya. 

  Wanita itu setengah berlari, ingin segera sampai ke kamar belakang, di tengah jalan tidak sengaja dia bertabrakan dengan Liana. 

  "Ma... Maaf, maaf Bu! Saya tidak sengaja!" Naura takut Liana akan marah dengan suara delapan oktafnya yang melengking. 

  "Naura! Kenapa kamu buru-buru begitu? Jalan tidak pakai mata!" Sentak Liana. 

  "Iya, maaf Bu, saya jalannya pakai kaki!" Jawab Naura, sebelum kembali melangkah, bajunya sudah ditarik oleh Liana. 

  "Kamu berani menjawab saya seperti itu?! Dari mana kamu?" Tanya Liana dengan tatapan tajam yang membuat Naura merinding. 

  "Dari kamar si kembar, Bu! Kenapa? Ada yang bisa saya bantu?" Naura berusaha tetap tenang dan terlihat ramah seperti biasanya. 

  "Tadi ‘kan, saya sudah tanya, kenapa kamu buru-buru? Habis lihat hantu? Atau kamu habis meracuni cucu saya?" Tuduh Liana. 

  "Tidak, Bu! Tadi Pak Ariz datang dan nyuruh saya siap-siap ke apotek untuk beli obat demam si kembar. Jadi, saya buru-buru mau bersiap." 

  Mendengar penuturan Naura yang terasa kaku, Liana memperhatikan wajah wanita itu dengan teliti. Terlihat rona kemerahan dan sisa keringat ketegangan di dahi wanita itu. 

  "Oh, kenapa muka kamu merah begitu? Anak saya cuma mengajak kamu ke apotek untuk beli obat, bukan mengajak kencan, tidak usah tersipu!" Goda Liana sedikit memberi pancingan. 

  "Astaga, saya tidak berpikir seperti itu, Bu, saya…" Belum menyelesaikan ucapannya, Liana sudah mendekat. 

  "Terus seperti apa? Kalau kamu suka Ariz, kamu boleh mendekati dia, selagi Salma masih koma di rumah sakit, kamu bisa memanfaatkan waktu dengan baik!" Bisik Liana. 

  "Maksud Ibu, apa?" Naura mengerutkan dahi, dia mendengar semuanya dengan jelas. Namun, untuk menghindari kesalahpahaman dia memilih pura-pura bodoh. 

  "Jangan sok polos, Naura! Semalam kamu sengaja cari perhatian Ariz, ‘kan? Menyambut Ariz saat rambut kamu masih basah, menyediakan makan malam, bahkan sampai pura-pura pingsan!" 

  Naura meneguk ludahnya susah payah ketika mendengar ucapan wanita paruh baya itu, dia berusaha mengelak dan berkata, "Tidak, Bu! Saya tidak punya maksud seperti itu, semalam…" 

  Melihat wajah Liana dan mendengar suara tawa jahat yang samar, tenggorokan Naura seolah tercekat, mulutnya terkunci rapat dan tidak sanggup membela diri. 

  Semalam dia benar-benar tidak sengaja menyambut Ariz dalam keadaan rambut tergerai yang masih basah. Naura pikir, Ariz akan pulang larut, dia menawarkan diri untuk menyajikan makan malam hanya sebagai bentuk rasa peduli pada majikan, bahkan sebelumnya Liana sendiri yang menyuruhnya untuk melayani Ariz dengan baik. 

 Soal pingsan.... Dia bahkan tidak benar-benar pingsan! 

  Hati kecil Naura mengakui, kalau dia sedikit bersandiwara, tadinya dia hanya ingin Ariz lebih mengapresiasi kerja kerasnya mengurus si kembar, tidak menyangka akan diajak makan malam bersama. 

  "Sudahlah Naura, jangan munafik jadi perempuan! Sekali lagi saya ingatkan, manfaatkan waktu dengan baik selagi ada kesempatan!" Liana menepuk pundak Naura, kemudian pergi untuk menemui cucunya. 

  *******

  Selama kurang lebih satu tahun bekerja di rumah itu, dia sangat tahu kalau Liana Brahmana tidak pernah menyukai Salma, bahkan cenderung membenci menantunya itu. 

  Naura tidak ingin dirinya menjadi alat balas dendam Liana kepada Salma. Terkadang dia tidak mengerti, apa yang Liana tidak suka dari Salma? Padahal, Salma adalah wanita yang nyaris bisa dikatakan sempurna. 

  Tidak ingin terlalu memikirkan ucapan Liana, dia bergegas ke kamar belakang. Kamar itu milik asisten rumah tangga keluarga Brahmana yang bernama Bi Nur, yang kini sedang cuti masa pemulihan setelah operasi usus buntu. 

  Kamar Bi Nur sering dipakai Naura untuk beristirahat, dia juga menyimpan beberapa pakaian dan barang miliknya di sana, agar jika ada keperluan mendadak dan membuatnya terpaksa menginap seperti sekarang, dia tidak kerepotan bolak balik ke apartemen. 

  Setelah berpakaian dan memoles tipis wajahnya, kini Naura berdiri canggung di samping mobil. 

  Ariz heran melihatnya, sampai keningnya berkerut. "Kamu kenapa diam?" Tanya Ariz pada Naura. 

  "Tidak apa-apa, Pak. Saya duduk di belakang ‘kan, Pak?" Naura meremas jari-jari tangannya sendiri karena gugup. 

  "Di depan saja, dengan saya! Sekalian ada yang mau saya bicarakan!" Ariz mengangkat dagunya sedikit, berisyarat pada Naura untuk segera masuk ke mobil. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status