Share

Bab 7 Ciuman Pertama

Naura terperanjat dari ranjang rawat, dia duduk dalam keadaan tegang sekujur tubuh.

Dia tidak menyangka, kalau Liana benar-benar telah mempersiapkan semuanya sampai sejauh ini.

Naura sudah terlanjur masuk ke dalam skenario drama yang dibuat oleh Liana, tidak mudah baginya untuk membuka jalan menuju hati Aris.

Namun, Liana sudah mengerahkan usaha agar dirinya bisa mendapat celah, dan tidak mungkin dia akan mundur begitu saja.

"Sa... Saya hamil? Pak, bagaimana ini?" Wajah polos Naura terlihat cemas.

"Jawab dulu, apa kamu hanya berhubungan dengan saya?" Desak Ariz, pria itu masih berharap bukan dirinya yang menyebabkan kehamilan Naura.

"I.. Iya Pak! Malam itu pengalaman pertama saya." Jawab Naura, kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup.

"Astaga! Jadi itu anak saya?" Ariz mendongak ke atas berusaha mengumpulkan kesabaran. Kemudian dia duduk di kursi, memijat pelipisnya yang berdenyut.

Dia masih memiliki istri, tapi kini perempuan lain sedang mengandung anaknya!

"Pak, tolong jangan marah, jangan menyuruh saya menggugurkan kandungan atau semacamnya! Saya tidak mau, Pak!" Rengek Naura.

Perempuan itu berusaha sekuat tenaga agar bisa mengeluarkan air mata, dia harus bisa meraih simpati Ariz.

Akan tetapi, Ariz hanya diam hanyut dengan pikirannya sendiri.

Jika dia bertanggung jawab pada Naura, itu sama saja dengan dia mengkhianati Salma. Tapi, dia juga tidak mungkin menghabisi nyawa calon anaknya yang tidak bersalah.

Melihat Ariz yang kebingungan, Naura mengulum senyum, meski dia tidak hamil sungguhan, tapi sudah pasti Ariz akan mempertimbangkan keputusannya.

Naura yakin, Ariz tidak akan melepaskannya begitu saja dalam keadaan seperti ini.

"Apa ini rumah sakit tempat Bu Salma dirawat?" Tanya Naura, suaranya dibuat bergetar.

"Iya, jangan katakan apapun yang membuat saya tambah merasa bersalah!" Lirikan Ariz yang tajam dan penuh ancaman, menyuruh Naura untuk tutup mulut.

"Saya yang salah! Saya mau menjenguk Bu Salma, saya ingin minta maaf!" Naura nekat turun dari ranjang rawat, berjalan cepat menuju pintu.

Sebelum dia berhasil keluar Ariz sudah menarik tangannya. Naura meringis dan berkata, "Saya ingin menemui Bu Salma, saya harus minta maaf!"

"Tidak! Kamu pulang bersamaku ke Mansion!" Ujar Ariz, suaranya serak dan tegas, dia menggenggam erat tangan Naura dan membawanya keluar.

Di tengah jalan, terlihat beberapa perawat berlarian, Dokter Dimas yang merupakan Dokter utama yang menangani Salma berpapasan dengan Ariz. "Pak Ariz! Keadaan Bu Salma semakin memburuk, detak jantungnya melemah lagi!" Ungkapnya.

"Pak, ayo kita lihat kondisi Bu Salma dulu, saya mau minta maaf, saya sudah bersalah!" Naura terus meracau. Akan tetapi, cengkeraman Ariz kian menguat, menariknya untuk pergi dari sana, tanpa peduli dengan omongan Dokter Dimas.

Dokter Dimas yang tidak mendapat jawaban apapun dari Ariz, mengernyit heran. Jangankan dijawab, bahkan Ariz berlalu begitu saja tanpa menoleh ke arahnya.

Biasanya Ariz sangat peduli dan khawatir tentang kondisi Salma, dia akan duduk di samping istrinya selama yang dia bisa walaupun beberapa orang telah menyuruhnya untuk keluar.

Sampai di Area parkir, Ariz sedikit mendorong bahu Naura untuk masuk ke dalam mobil. Dia menutup pintu mobil dengan keras, tanpa mengucapkan sepatah kata, Ariz menancap gas.

"Pak, kondisi Bu Salma semakin menurun, seharusnya tadi kita melihatnya dulu!" Naura masih membahas Salma untuk melihat reaksi Ariz.

"Tidak usah Naura! Sebelum saya ke Apartemen kamu, saya sudah ke sini dan menjenguk istri saya, biarkan Dokter melakukan tugasnya, sekarang kamu pulang dengan saya!"

Naura mencebikkan bibir, dalam hatinya dia sangat senang karena Ariz lebih mementingkan dirinya dibanding Salma.

Sedangkan Ariz, dia bingung setengah mati, tidak mungkin dia membawa perempuan lain yang tengah mengandung anaknya ke hadapan Salma, dia benar-benar malu dan merasa bersalah.

*******

Mereka sampai di Mansion minimalis yang mewah di kawasan perumahan elit. Naura tertegun melihat bangunan itu, dia mengikuti langkah Ariz dan masuk ke sana.

Kenan dan Kenzo yang sibuk bermain, mengalihkan perhatian saat pintu dibuka, mereka dikejutkan dengan kehadiran orang yang selama ini mereka rindukan.

"Nanny!"

"Nanny kembali! Horeee Nanny sudah kembali!"

Keduanya berlari dan bersorak riang, memeluk erat Naura yang berjongkok sambil merentangkan kedua tangan.

"Nanny, aku dan Kenzo sayang Nanny, kenapa Nanny pergi lama sekali? Jangan pergi lagi, ya?!" Ucap Kenan, pelukannya sangat erat pada Naura.

"Kalau Nanny pergi aku akan lapor polisi supaya mereka mencari Nanny!" Tambah Kenzo.

Naura terkekeh mendengarnya. "Iya Ken, Nanny janji tidak akan pergi lagi."

"Ini sudah malam, Nanny kalian harus beristirahat sebelum besok mengurus kalian lagi. Sekarang kalian juga harus tidur!" Ariz melepaskan kedua anaknya dari pelukan Naura, menuntun mereka masuk ke dalam kamar.

Si kembar yang baru saja senang dengan kembalinya Naura hanya bisa mendengkus kesal, namun tetap menuruti Ariz.

Untuk sesaat Naura tertegun dan mengagumi Mansion itu, suasananya lebih nyaman daripada rumah Salma yang sangat besar bagaikan istana.

Ariz menepuk pundak Naura, membuatnya terkejut dan berbalik badan, "Kenan dan Kenzo sudah tidur, Pak? Kalau belum, saya akan membacakan dongeng dulu untuk mereka."

"Mereka sudah cuci kaki dan berbaring di tempat tidur, nanti juga tidur sendiri!" Ucap Ariz yang artinya Naura tidak perlu menemani Kenan dan Kenzo.

"Selama kamu tidak ada, mereka sudah mengusir tiga Babysitter, aku tidak mengerti kenapa mereka hanya mau kamu, bagaimana kamu bisa sangat dekat dengan anak-anakku?" Ariz mulai berbicara dengan bahasa yang tidak terlalu formal.

"Karena aku bukan sekadar bekerja, tapi aku benar-benar menyayangi mereka!" Naura memberikan senyum paling manis yang dia punya.

"Sekarang kamu akan menjadi Babysitter mereka lagi. Kamu akan tinggal di sini, tidak perlu pulang pergi!" Putus Ariz.

Naura sangat senang mendengarnya, namun dia masih belum puas, "Tapi kenapa, Pak?" Tanyanya, dia harus tahu alasan Ariz memintanya untuk tinggal di sini dan berharap keputusan itu dibuat karena dia sedang hamil.

"Karena anak-anakku membutuhkan kamu!" Ungkap Ariz kemudian.

"Bagaimana dengan kandunganku? Apa Pak Ariz akan menyuruhku melakukan aborsi?" Wajah Naura memelas dan ketakutan.

"Aku tidak akan membunuh darah dagingku sendiri!" Ucap Ariz, suaranya yang lembut diiringi sebelah tangannya yang mengusap rambut Naura.

Rambut hitam panjang yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya itu, diselipkan ke belakang telinga.

Keduanya bertatapan begitu lekat, Ariz terus mendesak tubuhnya, hingga Naura mundur beberapa langkah.

"Pak..." Pekik Naura ketika punggungnya sudah menabrak tembok.

Ariz memejamkan mata, menciumi bibir Naura dengan napas yang tergesa-gesa, gerakannya begitu rakus dan memaksa, seakan dirinya melepaskan seluruh hasrat yang selama ini terbelenggu dalam benaknya.

Seseorang di balik tembok menutup rapat mulutnya dengan kedua tangan, sapu ijuk masih terhimpit di ketiaknya, keringat kelelahan bercampur dengan keringat dingin hasil kejutan yang dia saksikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status