Liburan telah tiba, Salma dan Ariz bersiap untuk menyenangkan anak kembar mereka. Kali ini mereka akan ke Villa di luar kota dan menikmati waktu bersama untuk satu minggu.
“Sayang, kamu sudah memasukkan semuanya ke dalam koper? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya Ariz sebelum menutup bagasi mobil. Salma menggelengkan kepala, “Tidak sayang, bahkan aku sudah menyiapkan semuanya dari beberapa hari yang lalu!” “Sepertinya kamu lebih senang daripada anak-anak, ya!” Goda Ariz, dia merangkul mesra istrinya, mereka berjalan menuju pintu depan. “Kamu tahu, aku sudah menunggu momen ini sejak lama, menghabiskan waktu dengan kalian tanpa memikirkan pekerjaan. Ya, walaupun aku tidak yakin liburan kali ini akan berjalan lancar dengan tiga lelakiku yang nakal!” Salma mencolek hidung mancung suaminya. Mereka menatap ke dalam mobil, di mana dua bocah lelaki berusia lima tahun sedang bercanda dan berebut mainan. Keduanya selalu bertengkar dan berisik sepanjang waktu, kecuali saat tidur. Meskipun begitu, anak kembar mereka sangat tampan dan menggemaskan. “Kasihan sekali wanita satu-satunya ini, bagaimana kalau liburan ini kita buat gadis kecil yang cantik agar kamu punya teman?” usul Ariz. Salma hanya tersenyum seraya melemparkan tatapan penuh arti yang hanya dimengerti oleh suaminya. Ariz membukakan pintu mobil dan mempersilakan istrinya masuk, di dalam mobil dia sudah menyiapkan camilan kesukaan dan memutar lagu favorit sang istri. Tujuh tahun menikah, tidak ada yang berubah, dia selalu mencintai dan meratukan Salma, bahkan sebelum menikah mereka berpacaran selama lima tahun, totalnya mereka sudah bersama selama dua belas tahun. Akan tetapi, Ariz tidak pernah bosan dan selalu punya seribu alasan untuk jatuh cinta pada istrinya lagi dan lagi. "Papa! Mama! kita akan berangkat sekarang?" Tanya Kenzo yang duduk di kursi belakang. "Iya, jangan bertengkar ya, Ken! Jangan menangis, kalau bernyanyi boleh, perjalanan kita harus menyenangkan!" Ujar Ariz mengingatkan anaknya. Kenzo mengangguk, "Aku, 'kan anak baik, Kenan saja yang selalu mengajak bertengkar." Timpalnya yang melirik ke arah saudara kembarnya yang sibuk makan cokelat. "Eh, enak saja, kamu yang usil, kamu juga yang cengeng!" Tampik Kenan yang tidak terima. "Hey sudah, lebih baik kita berdoa, supaya selamat sampai tujuan!" Salma melerai kedua anaknya sebelum mereka saling pukul dan berakhir menangis. Perjalanan sangat menyenangkan, mereka bernyanyi, mengobrol, memakan camilan, dan melihat pemandangan yang bagus. Hingga Kenan dan Kenzo tertidur pulas di dalam mobil. Tiba-tiba langit menjadi gelap, petir kecil mulai terdengar, gerimis mengguyur jalan dan membuat Ariz harus berhati-hati. Setiap tikungan dilewati tanpa kendala, sampai sebuah truk bermuatan batu dari arah berlawan terlihat hilang kendali. "Ariz awas!!!" Jerit Salma. Ariz membanting stir karena panik, mobil mereka jatuh terguling ke dalam jurang. Teriakan Salma terdengar sangat kencang membuat semua orang di sekitar sana berlari untuk menolong. ***** Dua bulan setelah kejadian.... Ariz mengusap punggung tangan Salma yang dingin, keadaannya sudah pulih, anak-anak mereka juga selamat dan perlahan sembuh dari trauma kecelakaan, hanya Salma yang hingga saat ini belum membuka matanya. "Sayang, aku kangen kamu..." Ariz mencium tangan istrinya dengan air mata yang menetes. Dia merasa sangat bersalah atas kecelakaan yang mereka alami, beruntung Tuhan masih menyelamatkannya dan anak-anak. Tetapi tetap saja, hatinya sakit melihat keadaan Salma yang berada di antara hidup dan mati. Liana—ibu kandung Ariz masuk keruangan dan melihat kesedihan putranya. "Sudahlah Ariz, sampai kapan kamu menangis seperti itu? Dokter bilang, kemungkinannya sangat rendah untuk Salma hidup, kamu harus belajar ikhlas dari sekarang!" Ariz mendongak dan menatap tajam ke arah Liana. "Maksud ibu apa? Ibu mau bilang kalau Salma akan meninggal dan semua ini sia-sia?" Sergahnya sambil membendung emosi. "Memang begitu kenyataannya." Liana membuang muka dengan tatapan sinis. "Sekarang ini, Ibu harusnya menyemangati aku, mendoakan Salma, dia ini istriku, Bu, Ibunya Kenan dan Kenzo, cucu Ibu!" Ujar Ariz menyadarkan ibunya, walaupun dia tahu Ibunya tidak pernah menyukai Salma dan tidak akan sadar betapa berharganya Salma. "Iya Ibu tahu, tapi cepat atau lambat Salma akan meninggalkan kita. Jadi, daripada kamu nangis terus di sini, bukannya lebih baik cari calon ibu baru untuk si kembar?" Ariz terkejut sampai bangkit dari kursi, "Ibu ini apa-apaan? Sampai kapanpun aku tidak akan bercerai dengan Salma atau menikah lagi! Aku yakin Salma pasti akan sembuh, dia akan bangun, dia akan kembali!" Tegas Ariz. "Kalau Ibu di sini hanya untuk membuatku semakin pusing, tolong Ibu pergi saja!" Terpaksa dia harus mengusir ibunya. "Dasar bodoh!" Gerutu Liana yang terdengar samar, dia melangkah keluar dari ruangan dengan dada yang bergejolak. ****** Liana kembali ke rumah, melempar tas ke atas sofa dan duduk dengan hati yang memanas, darahnya mendidih sampai ujung kepala. Padahal baginya, keadaan Salma yang sedang koma adalah waktu yang tepat untuk memisahkan anak dan menantunya itu. Tapi sayang, meski Salma sudah berada di ujung maut, Ariz tetap tidak mau melepaskannya. Sejak dulu, Liana tidak pernah setuju Ariz menikah dengan Salma hingga sampai sekarang dia masih ingin menyingkirkan Salma dari hidup Ariz. Salma adalah wanita yatim piatu kaya raya, dia anak dari seorang pengusaha tekstil. Sampai saat ini, Salma masih menjabat sebagai CEO di perusahaan peninggalan ayahnya. Bukannya bangga, Liana merasa tidak suka jika wanita itu menjadi istri anaknya. Dia berpikir, Salma hanya menganggap Ariz sebagai pria sederhana yang sangat mencintainya, Ariz sangat penurut dan mau melakukan apa saja untuk Salma. Liana tidak suka akan hal itu, membuat putra sulungnya terlihat tidak berharga, ditambah Ariz juga lebih mendengarkan dan mengutamakan Salma dibandingkan dia yang merupakan ibu kandungnya. "Sialan! Kamu sudah tidak berguna, Salma! Tapi berurung Ariz masih cinta sama kamu. Dasar menantu sombong sok kaya seperti kamu memang pantas mati!" Mulut Liana masih mengoceh tidak karuan mengutuk menantunya. "Bu, mau minum apa?" Tiba-tiba seorang wanita datang, dia adalah Naura, pengasuh Kenan dan Kenzo. "Ah, Naura, kamu belum pulang?" Sedikit terkejut, Liana takut Naura mendengar ucapannya, dia juga heran mengapa Naura masih di rumah ini, biasanya jam kerja Naura hanya sampai jam 5 sore. "Belum Bu, Kenan dan Kenzo demam, mereka tidak bisa ditinggal." Ungkap Naura, dia berdiri dengan postur yang sopan. Selain itu, Naura sangat ramah dan senantiasa mengulas senyuman hangat. Liana memperhatikan wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan penuh penilaian, dia teringat ucapan Salma yang mengatakan kalau Naura adalah wanita yang ceria dan menyenangkan sehingga Kenan dan Kenzo betah bersamanya. "Kamu telaten sekali ya, mengurus cucu-cucu saya, umur kamu berapa?" Tanya Liana. "Dua puluh empat tahun, Bu!" Jawab Naura, ini pertama kalinya Liana mengajak dia bicara, biasanya hanya menyuruh-nyuruh saja. "Kamu... Belum menikah?" Liana bertanya lebih jauh. Naura mengerutkan kening, heran kenapa Liana bertanya seperti itu padanya, namun dia segera menjawab, "Belum." Senyum Naura berubah menjadi kaku. Liana menyeringai, entah apa yang ada di dalam benak wanita paruh baya itu, "Ya sudah buatkan saya teh hangat, langsung antarkan ke kamar saya. Oh iya, nanti kalau Ariz sudah pulang, layani dengan baik ya, dia sangat lelah hari ini!" Titah Liana, kemudian dia melenggang pergi ke kamarnya di lantai atas. "Baik, Bu!" Naura mengangguk. Setelah membuatkan minuman untuk Liana, wanita itu mulai kebingungan, anak-anak sudah tidur dan dia tidak tahu harus melakukan apa, dia juga tidak punya kamar di rumah itu. Naura ingin sekali mandi dan menyegarkan tubuhnya untuk melepas lelah setelah seharian mengurus si kembar yang sedang sakit, tapi ini sudah hampir jam sembilan malam, "Ah, sudahlah mandi saja!" Ketika selesai mandi dan berpakaian, Naura berjalan ke arah dapur berniat mengambil makanan sambil sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Bel pintu terdengar, Naura gelagapan dan segera bergegas untuk membukakan pintu. Saat pintu terbuka, terlihat Ariz yang berdiri tegap, raut wajahnya muram. Akan tetapi, dia langsung terkejut saat melihat Naura yang membukakan pintu dengan keadaan rambut yang basah. "Naura? Kamu belum pulang?" Mata Ariz membulat, entah kenapa Naura terlihat sangat berbeda. Biasanya Ariz melihat Naura memakai seragam Babysitter dengan rambut yang selalu terikat. Tapi sekarang, dia melihat Naura menggeraikan rambut dan hanya memakai kaos serta rok di bawah lutut. "Malam ini saya tidak pulang, Pak! Kenan dan Kenzo demam, mereka tidak bisa ditinggalkan, selalu merengek." Tutur Naura, dia merasa gugup karena ini pertama kalinya dia berhadapan dengan Ariz sedekat ini. "Kamu tidak keberatan mengurus mereka sampai malam begini? Jam kerja kamu harusnya selesai tadi sore." Ariz melirik jam tangannya. "Tidak keberatan, Pak! Memang sudah tugas saya mengurus mereka, saya juga sayang pada mereka!" "Terimakasih, Naura! Kamu bisa menginap di sini, pakai saja kamar Bi Nur, selagi dia masih pulang kampung!" Ariz mengalihkan pandangannya dan segera masuk ke rumah. Ariz menghela napas panjang, lalu setelahnya, dia melepas sepatu dan melonggarkan dasi. "Bapak, mau makan malam? Kalau mau, biar saya hangatkan supnya!" Tawar Naura, dia tidak ada maksud apapun, dia hanya peduli kepada Ariz sebagai majikannya, selain itu Liana juga sudah berpesan agar dia melayani Ariz dengan baik. "Boleh." Jawab Ariz tanpa menoleh, dia berjalan ke arah meja makan dan duduk di sana. Setelah menghangatkan sup, Naura menyajikan makan malam untuk Ariz. Setelah semuanya dihidangkan, dia melangkah pergi, Naura merasa tatapan Ariz sedikit berbeda padanya dan mungkin saja Ariz tidak suka dengan kehadirannya. Beberapa langkah menjauh dari Ariz, tubuh wanita itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. Ariz menoleh, ketika melihat Naura yang tergeletak di lantai, dia segera membantunya. Ariz berusaha membangunkan tubuh wanita itu dengan kedua tangannya yang menyanggah. Naura tidak pingsan, hanya saja tubuhnya sangat lemas hingga matanya menjadi sayu. "Naura! Naura! Kamu kenapa? Perlu saya panggilkan dokter?" Tanya Ariz panik. "Tidak usah, Pak! Saya cuma kelelahan dan lemas karena seharian mengurus anak-anak, saya jadi lupa makan." Napas Naura terengah-engah dan bibirnya mulai pucat. "Astaga, bagaimana bisa sampai lupa makan? Memangnya perut kamu tidak terasa lapar? Ayo, makan sama saya!" Ariz membantunya berdiri dan memapah Naura menuju meja makan. "Iya, tapi nanti saja, kalau Bapak sudah selesai." Naura menolak, dia tidak mungkin makan bersama Ariz, apalagi hanya berdua. Jika Salma ada di sini, pasti dia akan cemburu dan marah. "Sekarang! Makan bersama saya!" Tegas Ariz tidak menerima penolakan. "Tapi, Pak..." Sebelum bisa membantah, Ariz sudah menggendong dan mendudukkan Naura di kursi dan mengambilkan piring untuk wanita itu. Melihat Naura yang berpenampilan berbeda dan kelalahan karena mengurus anak-anaknya, membuat Ariz merasa harus memperlakukannya dengan baik.Sambil makan malam bersama, Ariz mencurahkan isi hatinya mengenai Salma kepada Naura, dia berkata sangat rindu dan cemas dengan kondisi Salma yang masih belum ada perubahan, dia takut istrinya tidak selamat. Ariz bukan orang yang suka bercerita, dia lebih sering memendam isi hati dan pikirannya sendiri. Namun, karena Ibunya malah menyuruh Ariz menikah lagi seolah Salma tidak akan selamat, dia merasa dunianya runtuh dan harapannya dipatahkan. Dia tidak punya sandaran yang menguatkannya saat ini. "Sabar, Pak! Saya yakin Bu Salma akan segera pulih dan kembali ke sini, Kenan dan Kenzo sepertinya sudah sangat merindukan Ibunya!" "Aamiin, kamu benar-benar yakin istri saya akan sadar dari komanya?" Tanya Ariz setelah menerima tanggapan positif dari Naura. "Sangat yakin, Pak! Bahkan setiap hari saya mendoakan beliau, Bu Salma orang yang sangat baik kepada saya. Dia memberi saya pekerjaan, membantu renovasi rumah saya di kampung, dan suka memberi saya barang-barang yang bagus..." Na
Naura masuk ke dalam mobil disusul Ariz setelahnya, ketika mobil mulai malaju saat itulah kecanggungan di antara mereka sangat terasa. Meskipun, semalam keduanya makan bersama dan mengobrol layaknya teman akrab, tetap saja akan terasa canggung saat dua orang lawan jenis berada dalam satu mobil dan tidak ada siapapun selain mereka. "Naura, apa kamu tidak punya kesibukan lain, selain pekerjaan kamu sebagai Babysitter anak saya?" Tanya Ariz memecah keheningan. Sebelum menjawab, Naura menoleh ke arah Ariz, namun pria itu sangat fokus menyetir dan matanya hanya menatap jalan. "Iya, Pak. Saya tidak punya kesibukan lain, selain mengurus Kenan dan Kenzo. Kalau libur, sesekali saya bergaul dengan teman-teman saya atau berkunjung ke rumah orang tua!" "Rumah orang tua kamu di mana?" Tanya Ariz penasaran. "Tidak terlalu jauh, Pak, sekitar sepuluh kilometer dari Apartemen saya!" "Begitu ya," Ariz mengangguk paham, dia memang tidak tahu apa-apa tentang Naura sebelumnya. "Sebelumny
Cahaya matahari menyorot tajam hingga menembus jendela kamar, Naura terisak di tepi ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Terusik dengan tangisan seorang wanita, Ariz menggeliat dan membuka matanya. Otaknya masih belum bisa merespons apa yang dia lihat saat ini. Ariz terus menggosok matanya, berharap ini hanya bagian dari mimpi. Namun, suara tangisan Naura semakin nyata menusuk telinganya. Dia bangun dengan perasaan takut, "Na... Naura? Kamu?" Ariz melihat dirinya yang tidak mengenakan apapun, begitu juga dengan Naura. Udara pagi bahkan tidak membuatnya kedinginan, sebaliknya butiran keringat keluar dari dahinya beriringan dengan dada yang terasa ingin meledak. "Ini semua karena Pak Ariz yang memaksa! Aku sudah bilang aku tidak mau melakukan hal ini, tapi Pak Ariz terus memaksaku!" Naura sangat marah dan melemparkan bantal ke wajah Ariz. Pria itu terdiam sejenak, lalu kemudian menyangkal, "Tidak mungkin, Naura! Saya tidak mabuk dan man
Liana melangkah lebih dekat ke depan Naura, wanita itu gemetar dan melihat ke lantai, dia sudah tidak punya wajah setelah menjebak Ariz semalam, dan pastinya Liana mengerti akan hal itu, Naura sudah tidak bisa mengelak. "Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu, Naura. Kamu sudah terlanjur malu, jadi lanjutkan saja! Nanti ketika Ariz datang ke sini mencari kamu, langsung lari ke pelukannya dan menangis!" Ujar Liana. "Bilang kalau kamu sangat menyesal dan merasa bersalah pada Salma, minta Ariz mengantarkan kamu ke rumah sakit untuk menjenguk Salma, setelah itu pura-pura pingsan!" Liana berbicara sambil berjalan memutari tubuh Naura, suaranya mengisi pendengaran Naura dari segala arah. "Bu Liana yakin membiarkan semua itu terjadi? Maksud saya, Bu Liana ingin saya dan Pak Ariz menjalin hubungan terlarang?" Tanya Naura mengerjap tidak percaya. Pikir Naura, Apakah Liana sungguh sudi membiarkan Ariz bersama dirinya? Seorang Salma yang cantik dan kaya raya saja selalu dibenci ole
Naura sedang sibuk berselancar di media sosial, mencari informasi lowongan pekerjaan. Akibat ulahnya yang gegabah, dia kehilangan pekerjaannya dalam sekejap, dan sekarang dia harus kembali bersusah payah mencari sumber penghasilan.Setiap kali melihat uang di rekeningnya menipis, dia merutuki tindakannya yang bodoh, seharusnya dia tidak menjebak Ariz dengan cara seperti itu, dia jadi malu dan mengundurkan diri dengan sendirinya. Sudah satu bulan lebih, tapi Ariz tidak mencarinya. Rencana Liana hanya omong kosong. Mana mungkin Ariz mencarinya, memangnya dia siapa? Pikir Naura. Bel pintu berbunyi, Naura menghela napas, dia kira itu adalah kurir laundry yang biasa mengantarkan pakaiannya. Dia melangkah malas, lalu membuka pintu tanpa melihat ke depan."Ya?" Dengan posisi miring di depan pintu, Naura masih sibuk menatap ponselnya. "Naura!" Pemilik nama membelalak, suara itu, dia sangat mengenalinya dan ketika mendongak, sosok Ariz yang tinggi kokoh sudah berdiri tegak di depannya.M
Naura terperanjat dari ranjang rawat, dia duduk dalam keadaan tegang sekujur tubuh. Dia tidak menyangka, kalau Liana benar-benar telah mempersiapkan semuanya sampai sejauh ini. Naura sudah terlanjur masuk ke dalam skenario drama yang dibuat oleh Liana, tidak mudah baginya untuk membuka jalan menuju hati Aris. Namun, Liana sudah mengerahkan usaha agar dirinya bisa mendapat celah, dan tidak mungkin dia akan mundur begitu saja. "Sa... Saya hamil? Pak, bagaimana ini?" Wajah polos Naura terlihat cemas. "Jawab dulu, apa kamu hanya berhubungan dengan saya?" Desak Ariz, pria itu masih berharap bukan dirinya yang menyebabkan kehamilan Naura. "I.. Iya Pak! Malam itu pengalaman pertama saya." Jawab Naura, kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup. "Astaga! Jadi itu anak saya?" Ariz mendongak ke atas berusaha mengumpulkan kesabaran. Kemudian dia duduk di kursi, memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia masih memiliki istri, tapi kini perempuan lain sedang mengandung anaknya!
“Sebenarnya apa yang ibu lakukan sampai Kak Ariz sangat marah?” Kening Ammar berkerut, dia sudah sangat muak setiap hari melihat Liana bertumpang kaki, menonton televisi sambil memakan camilan sampai berserakan di lantai. Istrinya, Andin, selalu saja mengeluh dan menangis karena Liana banyak memberi perintah dan selalu memarahinya seolah semua yang Andin lakukan salah. Andin sedang hamil enam bulan, tapi dia harus melayani mertuanya seperti pembantu. “Tidak ada! Ibu hanya mengetahui perselingkuhan dia dengan Naura, lalu Ibu diusir!” Kata Liana. Ammar tidak percaya dengan yang Liana katakan, setahunya Ariz bukan pria seperti itu. Tidak mungkin Ariz mengkhianati Salma dengan perempuan yang amat tidak sebanding dengan Salma. “Ibu ini bicara apa? Jangan begitulah, Bu! Kak Salma masih koma, seharusnya kita doakan yang baik-baik, bukan malah bikin gosip!” Kata Ammar yang curiga kalau ini hanya akal-akalan Liana. “Gosip? Buat apa Ibu buat gosip tentang anak Ibu sendiri
Ariz tertawa kecil mendengarnya, sudah lama dia tidak melihat hal seperti ini. Yaitu, di saat seorang wanita bersikap manja dan takut kehilangannya. Dia merasa Naura memberikan warna baru dalam hidupnya, perasaan yang dia rasakan sekarang seperti permen yang manis, dia tidak akan mau memuntahkannya. Sama halnya dengan Naura, dia tidak mungkin sanggup kehilangan wanita itu. Naura bukan hanya cantik, tapi dia memiliki sifat polos dan perhatian yang selalu sukses melelehkan hati Ariz. “Tidak mungkin, Naura! Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku dan aku tidak bisa jauh dari kamu!” “Sungguh?” Kedua mata Naura berbinar. Ariz mengangguk dan memeluk Naura yang masih setia meringkuk di pengakuannya. Saat mereka sedang berdua seperi ini, Ariz tidak bisa memikirkan hal lain. Naura memblokir semua orang dari pikirannya, dan Ariz hanya bisa fokus padanya. “Selama ini kamu menganggap aku apa? Kamu benar-benar menyayangiku atau aku ini hanya sekadar teman tidur karena istri kamu
Ariz tertawa kecil mendengarnya, sudah lama dia tidak melihat hal seperti ini. Yaitu, di saat seorang wanita bersikap manja dan takut kehilangannya. Dia merasa Naura memberikan warna baru dalam hidupnya, perasaan yang dia rasakan sekarang seperti permen yang manis, dia tidak akan mau memuntahkannya. Sama halnya dengan Naura, dia tidak mungkin sanggup kehilangan wanita itu. Naura bukan hanya cantik, tapi dia memiliki sifat polos dan perhatian yang selalu sukses melelehkan hati Ariz. “Tidak mungkin, Naura! Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku dan aku tidak bisa jauh dari kamu!” “Sungguh?” Kedua mata Naura berbinar. Ariz mengangguk dan memeluk Naura yang masih setia meringkuk di pengakuannya. Saat mereka sedang berdua seperi ini, Ariz tidak bisa memikirkan hal lain. Naura memblokir semua orang dari pikirannya, dan Ariz hanya bisa fokus padanya. “Selama ini kamu menganggap aku apa? Kamu benar-benar menyayangiku atau aku ini hanya sekadar teman tidur karena istri kamu
“Sebenarnya apa yang ibu lakukan sampai Kak Ariz sangat marah?” Kening Ammar berkerut, dia sudah sangat muak setiap hari melihat Liana bertumpang kaki, menonton televisi sambil memakan camilan sampai berserakan di lantai. Istrinya, Andin, selalu saja mengeluh dan menangis karena Liana banyak memberi perintah dan selalu memarahinya seolah semua yang Andin lakukan salah. Andin sedang hamil enam bulan, tapi dia harus melayani mertuanya seperti pembantu. “Tidak ada! Ibu hanya mengetahui perselingkuhan dia dengan Naura, lalu Ibu diusir!” Kata Liana. Ammar tidak percaya dengan yang Liana katakan, setahunya Ariz bukan pria seperti itu. Tidak mungkin Ariz mengkhianati Salma dengan perempuan yang amat tidak sebanding dengan Salma. “Ibu ini bicara apa? Jangan begitulah, Bu! Kak Salma masih koma, seharusnya kita doakan yang baik-baik, bukan malah bikin gosip!” Kata Ammar yang curiga kalau ini hanya akal-akalan Liana. “Gosip? Buat apa Ibu buat gosip tentang anak Ibu sendiri
Naura terperanjat dari ranjang rawat, dia duduk dalam keadaan tegang sekujur tubuh. Dia tidak menyangka, kalau Liana benar-benar telah mempersiapkan semuanya sampai sejauh ini. Naura sudah terlanjur masuk ke dalam skenario drama yang dibuat oleh Liana, tidak mudah baginya untuk membuka jalan menuju hati Aris. Namun, Liana sudah mengerahkan usaha agar dirinya bisa mendapat celah, dan tidak mungkin dia akan mundur begitu saja. "Sa... Saya hamil? Pak, bagaimana ini?" Wajah polos Naura terlihat cemas. "Jawab dulu, apa kamu hanya berhubungan dengan saya?" Desak Ariz, pria itu masih berharap bukan dirinya yang menyebabkan kehamilan Naura. "I.. Iya Pak! Malam itu pengalaman pertama saya." Jawab Naura, kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup. "Astaga! Jadi itu anak saya?" Ariz mendongak ke atas berusaha mengumpulkan kesabaran. Kemudian dia duduk di kursi, memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia masih memiliki istri, tapi kini perempuan lain sedang mengandung anaknya!
Naura sedang sibuk berselancar di media sosial, mencari informasi lowongan pekerjaan. Akibat ulahnya yang gegabah, dia kehilangan pekerjaannya dalam sekejap, dan sekarang dia harus kembali bersusah payah mencari sumber penghasilan.Setiap kali melihat uang di rekeningnya menipis, dia merutuki tindakannya yang bodoh, seharusnya dia tidak menjebak Ariz dengan cara seperti itu, dia jadi malu dan mengundurkan diri dengan sendirinya. Sudah satu bulan lebih, tapi Ariz tidak mencarinya. Rencana Liana hanya omong kosong. Mana mungkin Ariz mencarinya, memangnya dia siapa? Pikir Naura. Bel pintu berbunyi, Naura menghela napas, dia kira itu adalah kurir laundry yang biasa mengantarkan pakaiannya. Dia melangkah malas, lalu membuka pintu tanpa melihat ke depan."Ya?" Dengan posisi miring di depan pintu, Naura masih sibuk menatap ponselnya. "Naura!" Pemilik nama membelalak, suara itu, dia sangat mengenalinya dan ketika mendongak, sosok Ariz yang tinggi kokoh sudah berdiri tegak di depannya.M
Liana melangkah lebih dekat ke depan Naura, wanita itu gemetar dan melihat ke lantai, dia sudah tidak punya wajah setelah menjebak Ariz semalam, dan pastinya Liana mengerti akan hal itu, Naura sudah tidak bisa mengelak. "Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu, Naura. Kamu sudah terlanjur malu, jadi lanjutkan saja! Nanti ketika Ariz datang ke sini mencari kamu, langsung lari ke pelukannya dan menangis!" Ujar Liana. "Bilang kalau kamu sangat menyesal dan merasa bersalah pada Salma, minta Ariz mengantarkan kamu ke rumah sakit untuk menjenguk Salma, setelah itu pura-pura pingsan!" Liana berbicara sambil berjalan memutari tubuh Naura, suaranya mengisi pendengaran Naura dari segala arah. "Bu Liana yakin membiarkan semua itu terjadi? Maksud saya, Bu Liana ingin saya dan Pak Ariz menjalin hubungan terlarang?" Tanya Naura mengerjap tidak percaya. Pikir Naura, Apakah Liana sungguh sudi membiarkan Ariz bersama dirinya? Seorang Salma yang cantik dan kaya raya saja selalu dibenci ole
Cahaya matahari menyorot tajam hingga menembus jendela kamar, Naura terisak di tepi ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Terusik dengan tangisan seorang wanita, Ariz menggeliat dan membuka matanya. Otaknya masih belum bisa merespons apa yang dia lihat saat ini. Ariz terus menggosok matanya, berharap ini hanya bagian dari mimpi. Namun, suara tangisan Naura semakin nyata menusuk telinganya. Dia bangun dengan perasaan takut, "Na... Naura? Kamu?" Ariz melihat dirinya yang tidak mengenakan apapun, begitu juga dengan Naura. Udara pagi bahkan tidak membuatnya kedinginan, sebaliknya butiran keringat keluar dari dahinya beriringan dengan dada yang terasa ingin meledak. "Ini semua karena Pak Ariz yang memaksa! Aku sudah bilang aku tidak mau melakukan hal ini, tapi Pak Ariz terus memaksaku!" Naura sangat marah dan melemparkan bantal ke wajah Ariz. Pria itu terdiam sejenak, lalu kemudian menyangkal, "Tidak mungkin, Naura! Saya tidak mabuk dan man
Naura masuk ke dalam mobil disusul Ariz setelahnya, ketika mobil mulai malaju saat itulah kecanggungan di antara mereka sangat terasa. Meskipun, semalam keduanya makan bersama dan mengobrol layaknya teman akrab, tetap saja akan terasa canggung saat dua orang lawan jenis berada dalam satu mobil dan tidak ada siapapun selain mereka. "Naura, apa kamu tidak punya kesibukan lain, selain pekerjaan kamu sebagai Babysitter anak saya?" Tanya Ariz memecah keheningan. Sebelum menjawab, Naura menoleh ke arah Ariz, namun pria itu sangat fokus menyetir dan matanya hanya menatap jalan. "Iya, Pak. Saya tidak punya kesibukan lain, selain mengurus Kenan dan Kenzo. Kalau libur, sesekali saya bergaul dengan teman-teman saya atau berkunjung ke rumah orang tua!" "Rumah orang tua kamu di mana?" Tanya Ariz penasaran. "Tidak terlalu jauh, Pak, sekitar sepuluh kilometer dari Apartemen saya!" "Begitu ya," Ariz mengangguk paham, dia memang tidak tahu apa-apa tentang Naura sebelumnya. "Sebelumny
Sambil makan malam bersama, Ariz mencurahkan isi hatinya mengenai Salma kepada Naura, dia berkata sangat rindu dan cemas dengan kondisi Salma yang masih belum ada perubahan, dia takut istrinya tidak selamat. Ariz bukan orang yang suka bercerita, dia lebih sering memendam isi hati dan pikirannya sendiri. Namun, karena Ibunya malah menyuruh Ariz menikah lagi seolah Salma tidak akan selamat, dia merasa dunianya runtuh dan harapannya dipatahkan. Dia tidak punya sandaran yang menguatkannya saat ini. "Sabar, Pak! Saya yakin Bu Salma akan segera pulih dan kembali ke sini, Kenan dan Kenzo sepertinya sudah sangat merindukan Ibunya!" "Aamiin, kamu benar-benar yakin istri saya akan sadar dari komanya?" Tanya Ariz setelah menerima tanggapan positif dari Naura. "Sangat yakin, Pak! Bahkan setiap hari saya mendoakan beliau, Bu Salma orang yang sangat baik kepada saya. Dia memberi saya pekerjaan, membantu renovasi rumah saya di kampung, dan suka memberi saya barang-barang yang bagus..." Na
Liburan telah tiba, Salma dan Ariz bersiap untuk menyenangkan anak kembar mereka. Kali ini mereka akan ke Villa di luar kota dan menikmati waktu bersama untuk satu minggu. “Sayang, kamu sudah memasukkan semuanya ke dalam koper? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya Ariz sebelum menutup bagasi mobil. Salma menggelengkan kepala, “Tidak sayang, bahkan aku sudah menyiapkan semuanya dari beberapa hari yang lalu!” “Sepertinya kamu lebih senang daripada anak-anak, ya!” Goda Ariz, dia merangkul mesra istrinya, mereka berjalan menuju pintu depan. “Kamu tahu, aku sudah menunggu momen ini sejak lama, menghabiskan waktu dengan kalian tanpa memikirkan pekerjaan. Ya, walaupun aku tidak yakin liburan kali ini akan berjalan lancar dengan tiga lelakiku yang nakal!” Salma mencolek hidung mancung suaminya. Mereka menatap ke dalam mobil, di mana dua bocah lelaki berusia lima tahun sedang bercanda dan berebut mainan. Keduanya selalu bertengkar dan berisik sepanjang waktu, kecuali saat tidur. Me