Naura masuk ke dalam mobil disusul Ariz setelahnya, ketika mobil mulai malaju saat itulah kecanggungan di antara mereka sangat terasa.
Meskipun, semalam keduanya makan bersama dan mengobrol layaknya teman akrab, tetap saja akan terasa canggung saat dua orang lawan jenis berada dalam satu mobil dan tidak ada siapapun selain mereka. "Naura, apa kamu tidak punya kesibukan lain, selain pekerjaan kamu sebagai Babysitter anak saya?" Tanya Ariz memecah keheningan. Sebelum menjawab, Naura menoleh ke arah Ariz, namun pria itu sangat fokus menyetir dan matanya hanya menatap jalan. "Iya, Pak. Saya tidak punya kesibukan lain, selain mengurus Kenan dan Kenzo. Kalau libur, sesekali saya bergaul dengan teman-teman saya atau berkunjung ke rumah orang tua!" "Rumah orang tua kamu di mana?" Tanya Ariz penasaran. "Tidak terlalu jauh, Pak, sekitar sepuluh kilometer dari Apartemen saya!" "Begitu ya," Ariz mengangguk paham, dia memang tidak tahu apa-apa tentang Naura sebelumnya. "Sebelumnya saya sempat kuliah, tapi tidak saya lanjutkan, saya lebih milih menabung untuk membeli rumah!" Jelas Naura. "Kalau memang kamu tidak ada kesibukan lain, saya mau malam ini kamu lembur lagi!” Ujar Ariz. "Untuk menjaga si kembar, Pak?" Tanya Naura memastikan, lagi-lagi jantungnya berdegup kencang, dia pikir Ariz ingin dilayani makan malam dan berbincang lagi dengannya. Naura tidak bisa mengatakan kalau dia menyukai Ariz, namun bisa menghabiskan waktu dengan pria itu membuat hatinya merasa senang. "Iya, sekalian bantu-bantu mengemasi barang, rumah akan direnovasi dan untuk sementara kita akan tinggal di mansion, tolong kamu bantu kemasi barang-barang istri saya!" Lanjut Ariz yang seketika menghanguskan perasaan senang yang tak wajar di hati Naura. "Kalau untuk barang-barang yang berat, nanti ada orang yang sudah saya suruh untuk mengurus, apa kamu bersedia?" Tambah Ariz. Ariz hanya ingin Naura membantu mengemasi pakaian, tas, sepatu, make up dan semua barang-barang Salma. Dia tahu mungkin Naura akan keberatan, karena tugas itu di luar pekerjaannya sebagai Babysitter. Akan tetapi saat ini, hanya Naura yang bisa dia andalkan. "Iya, Pak! Pasti saya bantu, saya tidak keberatan kalau harus lembur lagi." Naura menyambut hangat, walaupun saat ini kepalanya pening dan tubuhnya pegal-pegal karena harus bangun di tengah malam untuk mengurus si kembar yang menangis karena sedang sakit. Dia rasa, tubuhnya masih kuat jika hanya membantu mengemasi barang. "Terimakasih, Naura! Saya akan tambah gaji kamu bulan ini!" Ariz senang mendengarnya. Mereka tiba di Apotek, Ariz membeli obat demam anak sesuai resep dokter, membelikan obat untuk Naura yang telat makan dan kelelahan, serta vitamin untuk wanita itu agar tetap sehat. Entah bisikan setan dari mana, sebelum pulang, Naura kembali ke dalam Apotek dan meminta Ariz untuk menunggunya sebentar. Wanita itu teringat ucapan Liana, dia pikir sesekali memanfaatkan kesempatan agar bisa bersama dengan Ariz yang tampan tidak ada salahnya. Dia tidak berniat merebut suami Salma, tapi jika dihadapkan dengan peluang seperti ini, dia tidak bisa melewatkannya, apalagi kemungkinan Salma akan sembuh hanya sekian persen. Naura membeli obat tidur untuk Ariz, malam ini dia akan mencoba peruntungannya. Wanita itu kembali ke mobil dengan wajah yang sedikit tegang, namun dia berusaha untuk tetap terlihat biasa saja. "Apa yang kamu beli?" Tanya Ariz. "Hanya obat pelancar datang bulan, Pak!" Naura segera memasukkan obat itu ke dalam tasnya. "Ya sudah, kita pulang sekarang!" Ariz menyalakan mesin mobil. Naura kesusahan menarik sabuk pengaman, Ariz membantunya sehingga tubuh pria itu harus condong dan jarak mereka menjadi sangat dekat, saat itu Naura bisa mendengar dan merasakan napas hangat Ariz dan menatap wajahnya dari samping. Pemandangan yang sangat indah, betapa beruntungnya Salma yang dapat melihat Ariz di sampingnya setiap saat. Ketika bangun tidur dan ketika akan tidur, Salma selalu melihat wajah teduh Ariz, rasanya tidak ada hal buruk yang Salma miliki. Wajah cantiknya, pekerjaan dan hartanya, suami yang tampan dan sangat mencintainya, kedua anak yang pintar dan lucu, Salma benar-benar memiliki takdir yang cerah. Bagi Naura, kehidupan Salma sangatlah sempurna! "Terimakasih, Pak!" Naura tersenyum. Ariz tidak mengatakan apapun, dia menyetir dan sedikit merasa bersalah. Ya, bersalah pada istrinya, dia baru sadar sejak semalam dia terus berdua dengan Naura. Mereka memang tidak macam-macam, bahkan yang mereka bicarakan hanya seputar Salma dan anak-anak. Tapi rasanya tidak pantas jika seperti ini, makan bersama, berada dalam satu mobil, duduk bersebelahan dan mengobrol. Kalau saja istrinya tahu, pasti dia akan cemburu. Maka dari itu, selama di perjalanan pulang, Ariz tidak mengajak Naura berbicara hingga mereka sampai di rumah. Naura sibuk mengurus Kenan dan Kenzo sedangkan Ariz menghindari Naura dengan menyibukkan diri di ruang kerja. Malamnya Ariz bersikap cuek dan makan malam bersama Ibunya, meski Naura membantu menyiapkan makan malam dia tidak diajak seperti kemarin. Naura menjadi kesal, baru saja dia merasa melayang karena perhatian Ariz, kini pria itu tidak menatapnya sedikitpun. Naura pergi ke kamar Ariz dan Salma untuk mengemasi barang-barang. Di sana dia melihat koleksi pakaian Salma yang bagus dan mewah, dia merasa terhibur, bahkan semangat dengan pekerjaan ini. Kapan lagi dia bisa melihat dan menyentuh pakaian buatan desainer dan semua barang bermerek kelas dunia. Pintu kamar dibuka, Ariz sedikit terkejut melihat Naura di dalam kamarnya, namun dia ingat kalau dirinya sendiri yang menyuruh Naura mengemasi barang Salma. "Naura, apa kamu masih lama?" Tanya Ariz yang sebenarnya sudah mengantuk. Tapi, besok sore semua barang harus sudah diangkut ke mansion, agar renovasi bisa segera dilaksanakan. "Eh, Pak Ariz, Bapak mau tidur, ya? Barang-barang Bu Salma masih banyak, Pak. Apa saya lanjut besok saja?" Tanya Naura merasa tidak enak jika Ariz harus menunda istirahat hanya karena ada dirinya yang belum menyelesaikan pekerjaan. "Kamu lanjut saja, saya mau menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tolong buatkan saya kopi, ya! Antar ke ruang kerja!" Titah Ariz yang kemudian pergi. "Baik, Pak!" Naura mengangguk patuh. Beberapa menit kemudian, dia turun ke dapur untuk menyempatkan membuat kopi, dia bersyukur Kenan dan Kenzo bisa tertidur pulas sehingga dia tidak terlalu kerepotan. "Ya ampun, aku bukan hanya Babysitter, tapi aku mengurus semua orang di rumah ini! Awas saja kalau gajiku hanya ditambah sedikit!" Pekiknya sambil mengaduk secangkir kopi dengan sendok kecil. Matanya membulat ketika teringat sesuatu, Naura merogoh saku celananya dan mengeluarkan obat tidur yang dia beli di Apotek. Matanya melirik ke segala arah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, dia mencampurkan obat tidur itu ke dalam kopi lalu mengantarnya ke ruang kerja Ariz. Setelah itu, Naura kembali ke kamar Salma dan mengemasi sisa pakaian di lemari. Naura tertegun saat melihat koleksi gaun pendek milik Salma. Gaun-gaun itu berjejer rapi, seingatnya, dia tidak pernah melihat Salma memakai gaun-gaun itu. Kalau ada acara formal, pasti Salma akan memakai gaun yang panjangnya sampai mata kaki. Kemungkinan, itu gaun pribadi yang hanya dia pakai di kamar, lebih tepatnya untuk berpesta dengan suaminya. "Aku pikir Bu Salma hanya mengoleksi lingerie, ternyata ada beberapa kostum cosplay dan gaun-gaun pendek yang cantik!" Mata Naura menatap lekat gaun-gaun itu, gaun berwarna merah muda tanpa lengan dan hiasan di belahan dada membuat Naura sangat tertarik. Dengan lancang dia memakai gaun itu dan berlenggak-lenggok di cermin, dia tertawa kegirangan, merasa sangat cantik saat tubuhnya dibalut gaun pendek yang mewah. Di sisi lain Ariz merasa kepalanya sangat berat, seperti habis berputar-putar ratusan kali, dia jalan sempoyongan menuju kamarnya. Ketika masuk ke dalam kamar, dia dikejutkan dengan Naura yang memakai gaun pendek milik istrinya. Akan tetapi kepalanya sangat pusing dan dia tidak bisa mengatakan apapun, Ariz ambruk ke lantai sebelum berhasil mencapai tempat tidurnya. "Pak Ariz!" Naura berlari dan berusaha menolong Ariz, dia merutuki dirinya yang kini memakai gaun milik Salma dan pastinya Ariz sudah melihat kelakuannya. "Ternyata obat tidurnya sudah bekerja!" Naura tersenyum miring, dia kembali teringat pada ucapan Liana. "Aku harus memanfaatkan kesempatan ini!" Dengan susah payah Naura mengangkat tubuh Ariz yang berat ke atas tempat tidur, dia membuka semua pakaian Ariz dan menutupi tubuh polos pria itu menggunakan selimut, setelahnya dia melucuti pakaiannya sendiri dan tidur di samping Ariz hingga pagi menjelang.Cahaya matahari menyorot tajam hingga menembus jendela kamar, Naura terisak di tepi ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Terusik dengan tangisan seorang wanita, Ariz menggeliat dan membuka matanya. Otaknya masih belum bisa merespons apa yang dia lihat saat ini. Ariz terus menggosok matanya, berharap ini hanya bagian dari mimpi. Namun, suara tangisan Naura semakin nyata menusuk telinganya. Dia bangun dengan perasaan takut, "Na... Naura? Kamu?" Ariz melihat dirinya yang tidak mengenakan apapun, begitu juga dengan Naura. Udara pagi bahkan tidak membuatnya kedinginan, sebaliknya butiran keringat keluar dari dahinya beriringan dengan dada yang terasa ingin meledak. "Ini semua karena Pak Ariz yang memaksa! Aku sudah bilang aku tidak mau melakukan hal ini, tapi Pak Ariz terus memaksaku!" Naura sangat marah dan melemparkan bantal ke wajah Ariz. Pria itu terdiam sejenak, lalu kemudian menyangkal, "Tidak mungkin, Naura! Saya tidak mabuk dan man
Liana melangkah lebih dekat ke depan Naura, wanita itu gemetar dan melihat ke lantai, dia sudah tidak punya wajah setelah menjebak Ariz semalam, dan pastinya Liana mengerti akan hal itu, Naura sudah tidak bisa mengelak. "Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu, Naura. Kamu sudah terlanjur malu, jadi lanjutkan saja! Nanti ketika Ariz datang ke sini mencari kamu, langsung lari ke pelukannya dan menangis!" Ujar Liana. "Bilang kalau kamu sangat menyesal dan merasa bersalah pada Salma, minta Ariz mengantarkan kamu ke rumah sakit untuk menjenguk Salma, setelah itu pura-pura pingsan!" Liana berbicara sambil berjalan memutari tubuh Naura, suaranya mengisi pendengaran Naura dari segala arah. "Bu Liana yakin membiarkan semua itu terjadi? Maksud saya, Bu Liana ingin saya dan Pak Ariz menjalin hubungan terlarang?" Tanya Naura mengerjap tidak percaya. Pikir Naura, Apakah Liana sungguh sudi membiarkan Ariz bersama dirinya? Seorang Salma yang cantik dan kaya raya saja selalu dibenci ole
Naura sedang sibuk berselancar di media sosial, mencari informasi lowongan pekerjaan. Akibat ulahnya yang gegabah, dia kehilangan pekerjaannya dalam sekejap, dan sekarang dia harus kembali bersusah payah mencari sumber penghasilan.Setiap kali melihat uang di rekeningnya menipis, dia merutuki tindakannya yang bodoh, seharusnya dia tidak menjebak Ariz dengan cara seperti itu, dia jadi malu dan mengundurkan diri dengan sendirinya. Sudah satu bulan lebih, tapi Ariz tidak mencarinya. Rencana Liana hanya omong kosong. Mana mungkin Ariz mencarinya, memangnya dia siapa? Pikir Naura. Bel pintu berbunyi, Naura menghela napas, dia kira itu adalah kurir laundry yang biasa mengantarkan pakaiannya. Dia melangkah malas, lalu membuka pintu tanpa melihat ke depan."Ya?" Dengan posisi miring di depan pintu, Naura masih sibuk menatap ponselnya. "Naura!" Pemilik nama membelalak, suara itu, dia sangat mengenalinya dan ketika mendongak, sosok Ariz yang tinggi kokoh sudah berdiri tegak di depannya.M
Naura terperanjat dari ranjang rawat, dia duduk dalam keadaan tegang sekujur tubuh. Dia tidak menyangka, kalau Liana benar-benar telah mempersiapkan semuanya sampai sejauh ini. Naura sudah terlanjur masuk ke dalam skenario drama yang dibuat oleh Liana, tidak mudah baginya untuk membuka jalan menuju hati Aris. Namun, Liana sudah mengerahkan usaha agar dirinya bisa mendapat celah, dan tidak mungkin dia akan mundur begitu saja. "Sa... Saya hamil? Pak, bagaimana ini?" Wajah polos Naura terlihat cemas. "Jawab dulu, apa kamu hanya berhubungan dengan saya?" Desak Ariz, pria itu masih berharap bukan dirinya yang menyebabkan kehamilan Naura. "I.. Iya Pak! Malam itu pengalaman pertama saya." Jawab Naura, kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup. "Astaga! Jadi itu anak saya?" Ariz mendongak ke atas berusaha mengumpulkan kesabaran. Kemudian dia duduk di kursi, memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia masih memiliki istri, tapi kini perempuan lain sedang mengandung anaknya!
“Sebenarnya apa yang ibu lakukan sampai Kak Ariz sangat marah?” Kening Ammar berkerut, dia sudah sangat muak setiap hari melihat Liana bertumpang kaki, menonton televisi sambil memakan camilan sampai berserakan di lantai. Istrinya, Andin, selalu saja mengeluh dan menangis karena Liana banyak memberi perintah dan selalu memarahinya seolah semua yang Andin lakukan salah. Andin sedang hamil enam bulan, tapi dia harus melayani mertuanya seperti pembantu. “Tidak ada! Ibu hanya mengetahui perselingkuhan dia dengan Naura, lalu Ibu diusir!” Kata Liana. Ammar tidak percaya dengan yang Liana katakan, setahunya Ariz bukan pria seperti itu. Tidak mungkin Ariz mengkhianati Salma dengan perempuan yang amat tidak sebanding dengan Salma. “Ibu ini bicara apa? Jangan begitulah, Bu! Kak Salma masih koma, seharusnya kita doakan yang baik-baik, bukan malah bikin gosip!” Kata Ammar yang curiga kalau ini hanya akal-akalan Liana. “Gosip? Buat apa Ibu buat gosip tentang anak Ibu sendiri
Ariz tertawa kecil mendengarnya, sudah lama dia tidak melihat hal seperti ini. Yaitu, di saat seorang wanita bersikap manja dan takut kehilangannya. Dia merasa Naura memberikan warna baru dalam hidupnya, perasaan yang dia rasakan sekarang seperti permen yang manis, dia tidak akan mau memuntahkannya. Sama halnya dengan Naura, dia tidak mungkin sanggup kehilangan wanita itu. Naura bukan hanya cantik, tapi dia memiliki sifat polos dan perhatian yang selalu sukses melelehkan hati Ariz. “Tidak mungkin, Naura! Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku dan aku tidak bisa jauh dari kamu!” “Sungguh?” Kedua mata Naura berbinar. Ariz mengangguk dan memeluk Naura yang masih setia meringkuk di pengakuannya. Saat mereka sedang berdua seperi ini, Ariz tidak bisa memikirkan hal lain. Naura memblokir semua orang dari pikirannya, dan Ariz hanya bisa fokus padanya. “Selama ini kamu menganggap aku apa? Kamu benar-benar menyayangiku atau aku ini hanya sekadar teman tidur karena istri kamu
Liburan telah tiba, Salma dan Ariz bersiap untuk menyenangkan anak kembar mereka. Kali ini mereka akan ke Villa di luar kota dan menikmati waktu bersama untuk satu minggu. “Sayang, kamu sudah memasukkan semuanya ke dalam koper? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya Ariz sebelum menutup bagasi mobil. Salma menggelengkan kepala, “Tidak sayang, bahkan aku sudah menyiapkan semuanya dari beberapa hari yang lalu!” “Sepertinya kamu lebih senang daripada anak-anak, ya!” Goda Ariz, dia merangkul mesra istrinya, mereka berjalan menuju pintu depan. “Kamu tahu, aku sudah menunggu momen ini sejak lama, menghabiskan waktu dengan kalian tanpa memikirkan pekerjaan. Ya, walaupun aku tidak yakin liburan kali ini akan berjalan lancar dengan tiga lelakiku yang nakal!” Salma mencolek hidung mancung suaminya. Mereka menatap ke dalam mobil, di mana dua bocah lelaki berusia lima tahun sedang bercanda dan berebut mainan. Keduanya selalu bertengkar dan berisik sepanjang waktu, kecuali saat tidur. Me
Sambil makan malam bersama, Ariz mencurahkan isi hatinya mengenai Salma kepada Naura, dia berkata sangat rindu dan cemas dengan kondisi Salma yang masih belum ada perubahan, dia takut istrinya tidak selamat. Ariz bukan orang yang suka bercerita, dia lebih sering memendam isi hati dan pikirannya sendiri. Namun, karena Ibunya malah menyuruh Ariz menikah lagi seolah Salma tidak akan selamat, dia merasa dunianya runtuh dan harapannya dipatahkan. Dia tidak punya sandaran yang menguatkannya saat ini. "Sabar, Pak! Saya yakin Bu Salma akan segera pulih dan kembali ke sini, Kenan dan Kenzo sepertinya sudah sangat merindukan Ibunya!" "Aamiin, kamu benar-benar yakin istri saya akan sadar dari komanya?" Tanya Ariz setelah menerima tanggapan positif dari Naura. "Sangat yakin, Pak! Bahkan setiap hari saya mendoakan beliau, Bu Salma orang yang sangat baik kepada saya. Dia memberi saya pekerjaan, membantu renovasi rumah saya di kampung, dan suka memberi saya barang-barang yang bagus..." Na
Ariz tertawa kecil mendengarnya, sudah lama dia tidak melihat hal seperti ini. Yaitu, di saat seorang wanita bersikap manja dan takut kehilangannya. Dia merasa Naura memberikan warna baru dalam hidupnya, perasaan yang dia rasakan sekarang seperti permen yang manis, dia tidak akan mau memuntahkannya. Sama halnya dengan Naura, dia tidak mungkin sanggup kehilangan wanita itu. Naura bukan hanya cantik, tapi dia memiliki sifat polos dan perhatian yang selalu sukses melelehkan hati Ariz. “Tidak mungkin, Naura! Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku dan aku tidak bisa jauh dari kamu!” “Sungguh?” Kedua mata Naura berbinar. Ariz mengangguk dan memeluk Naura yang masih setia meringkuk di pengakuannya. Saat mereka sedang berdua seperi ini, Ariz tidak bisa memikirkan hal lain. Naura memblokir semua orang dari pikirannya, dan Ariz hanya bisa fokus padanya. “Selama ini kamu menganggap aku apa? Kamu benar-benar menyayangiku atau aku ini hanya sekadar teman tidur karena istri kamu
“Sebenarnya apa yang ibu lakukan sampai Kak Ariz sangat marah?” Kening Ammar berkerut, dia sudah sangat muak setiap hari melihat Liana bertumpang kaki, menonton televisi sambil memakan camilan sampai berserakan di lantai. Istrinya, Andin, selalu saja mengeluh dan menangis karena Liana banyak memberi perintah dan selalu memarahinya seolah semua yang Andin lakukan salah. Andin sedang hamil enam bulan, tapi dia harus melayani mertuanya seperti pembantu. “Tidak ada! Ibu hanya mengetahui perselingkuhan dia dengan Naura, lalu Ibu diusir!” Kata Liana. Ammar tidak percaya dengan yang Liana katakan, setahunya Ariz bukan pria seperti itu. Tidak mungkin Ariz mengkhianati Salma dengan perempuan yang amat tidak sebanding dengan Salma. “Ibu ini bicara apa? Jangan begitulah, Bu! Kak Salma masih koma, seharusnya kita doakan yang baik-baik, bukan malah bikin gosip!” Kata Ammar yang curiga kalau ini hanya akal-akalan Liana. “Gosip? Buat apa Ibu buat gosip tentang anak Ibu sendiri
Naura terperanjat dari ranjang rawat, dia duduk dalam keadaan tegang sekujur tubuh. Dia tidak menyangka, kalau Liana benar-benar telah mempersiapkan semuanya sampai sejauh ini. Naura sudah terlanjur masuk ke dalam skenario drama yang dibuat oleh Liana, tidak mudah baginya untuk membuka jalan menuju hati Aris. Namun, Liana sudah mengerahkan usaha agar dirinya bisa mendapat celah, dan tidak mungkin dia akan mundur begitu saja. "Sa... Saya hamil? Pak, bagaimana ini?" Wajah polos Naura terlihat cemas. "Jawab dulu, apa kamu hanya berhubungan dengan saya?" Desak Ariz, pria itu masih berharap bukan dirinya yang menyebabkan kehamilan Naura. "I.. Iya Pak! Malam itu pengalaman pertama saya." Jawab Naura, kepalanya menunduk dan bibirnya terkatup. "Astaga! Jadi itu anak saya?" Ariz mendongak ke atas berusaha mengumpulkan kesabaran. Kemudian dia duduk di kursi, memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia masih memiliki istri, tapi kini perempuan lain sedang mengandung anaknya!
Naura sedang sibuk berselancar di media sosial, mencari informasi lowongan pekerjaan. Akibat ulahnya yang gegabah, dia kehilangan pekerjaannya dalam sekejap, dan sekarang dia harus kembali bersusah payah mencari sumber penghasilan.Setiap kali melihat uang di rekeningnya menipis, dia merutuki tindakannya yang bodoh, seharusnya dia tidak menjebak Ariz dengan cara seperti itu, dia jadi malu dan mengundurkan diri dengan sendirinya. Sudah satu bulan lebih, tapi Ariz tidak mencarinya. Rencana Liana hanya omong kosong. Mana mungkin Ariz mencarinya, memangnya dia siapa? Pikir Naura. Bel pintu berbunyi, Naura menghela napas, dia kira itu adalah kurir laundry yang biasa mengantarkan pakaiannya. Dia melangkah malas, lalu membuka pintu tanpa melihat ke depan."Ya?" Dengan posisi miring di depan pintu, Naura masih sibuk menatap ponselnya. "Naura!" Pemilik nama membelalak, suara itu, dia sangat mengenalinya dan ketika mendongak, sosok Ariz yang tinggi kokoh sudah berdiri tegak di depannya.M
Liana melangkah lebih dekat ke depan Naura, wanita itu gemetar dan melihat ke lantai, dia sudah tidak punya wajah setelah menjebak Ariz semalam, dan pastinya Liana mengerti akan hal itu, Naura sudah tidak bisa mengelak. "Jangan setengah-setengah melakukan sesuatu, Naura. Kamu sudah terlanjur malu, jadi lanjutkan saja! Nanti ketika Ariz datang ke sini mencari kamu, langsung lari ke pelukannya dan menangis!" Ujar Liana. "Bilang kalau kamu sangat menyesal dan merasa bersalah pada Salma, minta Ariz mengantarkan kamu ke rumah sakit untuk menjenguk Salma, setelah itu pura-pura pingsan!" Liana berbicara sambil berjalan memutari tubuh Naura, suaranya mengisi pendengaran Naura dari segala arah. "Bu Liana yakin membiarkan semua itu terjadi? Maksud saya, Bu Liana ingin saya dan Pak Ariz menjalin hubungan terlarang?" Tanya Naura mengerjap tidak percaya. Pikir Naura, Apakah Liana sungguh sudi membiarkan Ariz bersama dirinya? Seorang Salma yang cantik dan kaya raya saja selalu dibenci ole
Cahaya matahari menyorot tajam hingga menembus jendela kamar, Naura terisak di tepi ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Terusik dengan tangisan seorang wanita, Ariz menggeliat dan membuka matanya. Otaknya masih belum bisa merespons apa yang dia lihat saat ini. Ariz terus menggosok matanya, berharap ini hanya bagian dari mimpi. Namun, suara tangisan Naura semakin nyata menusuk telinganya. Dia bangun dengan perasaan takut, "Na... Naura? Kamu?" Ariz melihat dirinya yang tidak mengenakan apapun, begitu juga dengan Naura. Udara pagi bahkan tidak membuatnya kedinginan, sebaliknya butiran keringat keluar dari dahinya beriringan dengan dada yang terasa ingin meledak. "Ini semua karena Pak Ariz yang memaksa! Aku sudah bilang aku tidak mau melakukan hal ini, tapi Pak Ariz terus memaksaku!" Naura sangat marah dan melemparkan bantal ke wajah Ariz. Pria itu terdiam sejenak, lalu kemudian menyangkal, "Tidak mungkin, Naura! Saya tidak mabuk dan man
Naura masuk ke dalam mobil disusul Ariz setelahnya, ketika mobil mulai malaju saat itulah kecanggungan di antara mereka sangat terasa. Meskipun, semalam keduanya makan bersama dan mengobrol layaknya teman akrab, tetap saja akan terasa canggung saat dua orang lawan jenis berada dalam satu mobil dan tidak ada siapapun selain mereka. "Naura, apa kamu tidak punya kesibukan lain, selain pekerjaan kamu sebagai Babysitter anak saya?" Tanya Ariz memecah keheningan. Sebelum menjawab, Naura menoleh ke arah Ariz, namun pria itu sangat fokus menyetir dan matanya hanya menatap jalan. "Iya, Pak. Saya tidak punya kesibukan lain, selain mengurus Kenan dan Kenzo. Kalau libur, sesekali saya bergaul dengan teman-teman saya atau berkunjung ke rumah orang tua!" "Rumah orang tua kamu di mana?" Tanya Ariz penasaran. "Tidak terlalu jauh, Pak, sekitar sepuluh kilometer dari Apartemen saya!" "Begitu ya," Ariz mengangguk paham, dia memang tidak tahu apa-apa tentang Naura sebelumnya. "Sebelumny
Sambil makan malam bersama, Ariz mencurahkan isi hatinya mengenai Salma kepada Naura, dia berkata sangat rindu dan cemas dengan kondisi Salma yang masih belum ada perubahan, dia takut istrinya tidak selamat. Ariz bukan orang yang suka bercerita, dia lebih sering memendam isi hati dan pikirannya sendiri. Namun, karena Ibunya malah menyuruh Ariz menikah lagi seolah Salma tidak akan selamat, dia merasa dunianya runtuh dan harapannya dipatahkan. Dia tidak punya sandaran yang menguatkannya saat ini. "Sabar, Pak! Saya yakin Bu Salma akan segera pulih dan kembali ke sini, Kenan dan Kenzo sepertinya sudah sangat merindukan Ibunya!" "Aamiin, kamu benar-benar yakin istri saya akan sadar dari komanya?" Tanya Ariz setelah menerima tanggapan positif dari Naura. "Sangat yakin, Pak! Bahkan setiap hari saya mendoakan beliau, Bu Salma orang yang sangat baik kepada saya. Dia memberi saya pekerjaan, membantu renovasi rumah saya di kampung, dan suka memberi saya barang-barang yang bagus..." Na
Liburan telah tiba, Salma dan Ariz bersiap untuk menyenangkan anak kembar mereka. Kali ini mereka akan ke Villa di luar kota dan menikmati waktu bersama untuk satu minggu. “Sayang, kamu sudah memasukkan semuanya ke dalam koper? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya Ariz sebelum menutup bagasi mobil. Salma menggelengkan kepala, “Tidak sayang, bahkan aku sudah menyiapkan semuanya dari beberapa hari yang lalu!” “Sepertinya kamu lebih senang daripada anak-anak, ya!” Goda Ariz, dia merangkul mesra istrinya, mereka berjalan menuju pintu depan. “Kamu tahu, aku sudah menunggu momen ini sejak lama, menghabiskan waktu dengan kalian tanpa memikirkan pekerjaan. Ya, walaupun aku tidak yakin liburan kali ini akan berjalan lancar dengan tiga lelakiku yang nakal!” Salma mencolek hidung mancung suaminya. Mereka menatap ke dalam mobil, di mana dua bocah lelaki berusia lima tahun sedang bercanda dan berebut mainan. Keduanya selalu bertengkar dan berisik sepanjang waktu, kecuali saat tidur. Me