Share

Keris Darah Candramaya
Keris Darah Candramaya
Author: Songdeok eunjoo

1. Malam berdarah

Brak!!!

Suara pintu terdobrak paksa, membuat Candramaya kecil langsung loncat ke dalam pangkuan Ibunya. Wanita berusia 27 tahun yang duduk di sisi ranjang dengan perasaan was-was.

Padmasari mendekap tubuh munyil putrinya yang menggigil ketakutan. Tangannya mengelus pucuk surai Candramaya menyalurkan rasa aman dan nyaman.

Padmasari menatap suaminya dengan cemas. Dia sedang berdiri di depan pintu kamar, sambil memegang pedang yang masih di dalam sarungnya.

Terdengar suara rintik hujan yang mulai terdengar deras begitu juga dengan suara gaduh pertaruangan.

"Menyingkir! Kalian bukan tandinganku!"

"Dasar pengacau! Serang!"

Cuaca malam itu sangat buruk. Menciptakan suasana mencengkam, seiring dengan suara eraman dan teriakkan.

Damarjati menoleh ke arah istrinya yang sedang memeluk putri semata wayangnya. Tatapannya dalam dan lekat, begitu juga perasaannya yang berkecambuk. Setelah menyaksikan para pengawalnya yang sedang bertarung dengan penyusup mulai terlihat kewalahan.

Candramaya kecil sangat bingung dengan apa yang sedang dia alami, terlebih lagi saat melihat Ibunya memejamkan mata dengan tangan kanan menyentuh dada.

Mulutnya komat-kamit.

Tiba-tiba sebuah keris kecil keluar dari dada Padmasari.

Mata Candramaya melebar, mulutnya membuka tanpa sadar. Dia merasa takjub.

Bagaimana tidak?

Sebuah benda keluar dari dada seseorang.

Padmasari menatap benda kecil yang sekarang berada di dalam genggamannya dan berkata, "Pegang keris kecil ini, Nak! Dan jangan pernah kau lepaskan apapun yang terjadi. Ini sekarang menjadi milikmu dan hanya kamu yang bisa menyentuhnya," ucapnya.

Padmasari tidak menyangka akan mewariskan pusaka turun temurun dengan cara seperti ini. Dia masih muda dan putrinya masih terlalu kecil.

Padmasari memaksa putrinya untuk menerima benda asing itu.

Dahi Candramaya mengerut, menatap bingung sebuah keris kecil.

Candramaya menyentuh lengan Ibunya dengan suara lirih dan bergetar, "Ibu ...Maya takut!"

Air mata Padmasari tumpah, hatinya terasa pilu. Putrinya masih sangat kecil, dengan berat hati Padmasari melepaskan tangan sang putri, lalu mencium wajah putrinya berkali-kali.

Waktu mereka tidak banyak! Mungkin ini yang terakhir Padmasari melihat dan menyentuh putrinya.

"Ingat, Nak! Keris ini sama seperti dengan nyawamu! Jangan kamu berikan kepada siapa pun! Cepat sembunyi, rapalkan mantra yang selalu ibu ajarkan!" ujar Padmasari. Suaranya terasa berat seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya.

"Untuk apa?" Tanya Candramaya.

Gadis kecil itu tentu merasa bingung.

"Turuti perintah Ibu, Nak! Sekarang sembunyi!" Padmasari sedikit memekik.

Gadis berusia 6 tahun itu mengangguk dengan bibir mengerucut lalu turun dari ranjang dan menyembunyikan tubuh kecilnya di bawah kolong ranjang.

Tangan Candramaya memegang keris kecil berwarna perak dengan ukiran aksara jawa bertatakan emas dengan gagang kepala naga.

"Ibu, tolong jaga putriku, sekarang dia putrimu" batin Padmasari. Saat melihat gadis kecilnya bertelungkup di bawah kolong ranjang, hati Padmasari terasa teriris-iris.

Kebisingan itu lenyap, suasana seketika menjadi sunyi hanya suara hujan dan petir yang terdengar.

Namun terdengar suara derap langkah kaki dari luar kamar yang mulai mendekat. Padmasari berjalan mendekati suaminya yang berdiri tegap.

Damarjati menoleh, pria itu tersenyum tipis dan menatap lamat istrinya lalu berkata, "Kamu yakin Padma? Aku akan menahan mereka. Pergi dan bawa putri kita."

Padmasari tersenyum lembut, tangannya membelai dagu suaminya yang kokoh. "Kamu kira aku akan meninggalkanmu kang mas? Tidak akan! Putri kita tidak sendirian, ada kanjeng Ibu yang akan menjaganya," ucapnya.

Damarjati meraih tubuh sang istri dan mendekapnya erat, menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Padmasari.

Padmasari membalas pelukan suaminya, matanya memancarkan tekad yang kuat. Dia tidak menyesal sedikitpun atas keputusannya untuk tetap berada di sisi Damarjati apapun yang terjadi.

lni malam berdarah yang tak terelakan. Malam yang akan merubah hidup putrinya.

Candramaya menyaksikan kedua orang tuanya berpelukan, seolah mereka akan terpisah.

Hati gadis kecil itu selalu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa kedua orang tuanya memakai pakaian serba putih? Pakaian yang biasa digunakan untuk acara pemakaman

Lamunan Candramaya buyar saat dua orang berpakaian serba hitam dengan persenjataan yang lengkap sudah berada di ambang pintu kamar. Tubuhnya meringsut mundur seiring dengan rasa takut yang dia rasakan.

"Sekarang giliranmu!" Ucap dari salah satu pria misterius bertubuh tinggi dan kekar, wajahnya tertutup kain yang telihat hanya bola mata seperti mata binatang liar.

"Maaf Senopati Damarjati, kami hanya menunaikan tugas dari Sinuwun," ujar pria satunya yang tubuhnya lebih kurus dan pendek. Pria itu menundukan kepala lalu menyatukan kedua tangan untuk memberi hormat.

"Tidak Paman, jabatan Paman lebih tinggi dariku," kata Damarjati merasa sungkan, masih bersikap baik dan tenang. Dia mengenali siapa dua orang yang ada di hadapannya.

"Sebaiknya kamu menyerah, kami hanya butuh kepalamu. Kami berjanji akan melepaskan keluargamu," kata pria bertubuh tinggi dan kekar, terdengar angkuh dan sombong. Pria itu melirik sejenak ke arah wanita berparas ayu yang berada di sisi Damarjati.

Padmasari menelan salivanya dengan kasar, seiring jantungnya yang bergemuruh hebat, amarahnya tersulut dengan penuturan salah satu penyusup itu. "Kami kesatria, bukan pengecut! Kalian atau kami yang akan mati!" Ucapnya.

"Ketiga kepala rekanmu sudah kami dapatkan, tinggal kepalamu," sarkas pria bertubuh tinggi dan kekar.

"Tunaikan tugas kalian!" Tantang Damarjati, dia benar-benar marah saat mengetahui ketiga sahabatnya telah tiada.

Tanpa basa-basi, Damarjati mengeluarkan sebilah pedang dari sarungnya. Demikian pula dengan istrinya.

Kedua penyusup itu saling bertatapan dan pria kurus dan agak pendek mengangguk lalu menyingkir.

Ini pertarungan dua lawan satu!

Pertarungan sengit berlangsung cukup lama. Jelas saja pria bertubuh tinggi dan kekar itu bukan pria sembarangan.

Ilmunya cukup tinggi, Damarjati dan Padmasri pun kewalahan menghadapi pria itu.

Sedangkan satunya lagi hanya menonton pertarungan sengit yang sedang berlangsung.

Pria bertubuh tinggi dan kekar mengeluarkan sebuah ajian yang membuat telapak tangannya berwarna merah menyala. Lalu dia ayunkan ke arah dada Damarjati dengan cukup keras.

Bug!

Tubuh Damarjati tersungkur ke lantai dengan mengenaskan. Lalu memutahkan darah hitam pekat, saat terkena pukulan tepat di atas dada kirinya.

"Akhh!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status