Beranda / Fiksi Sejarah / Keris Darah Candramaya / 6. Dua Orang Itu Adalah Orang Teladan

Share

6. Dua Orang Itu Adalah Orang Teladan

"Tentu ada, Gusti"

Adi Wijaya terbelaklak, wajahnya terlihat tegang dan pucat. Jawaban singkat itu tentu saja seperti anak panah yang melesat menghujam jantung Adi Wijaya.

Adi Wijaya terpojok sekarang!

Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat, tatapan gadis itu kosong. "Katakan, Nak? Katakan yang kamu ketahui?"

Candramaya kecil menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman.

Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu.

"Du-dua orang, Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar.

Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat dengan cemas. Apalagi tatapan gadis itu kosong, dengan lembut Wismaya menepuk pundak lemah Candramaya untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan berkata, "Katakan yang kamu tahu, Nak?"

Candramaya menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman.

Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu.

"Du-dua orang, dia Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar.

"Hiks! Hiks!

Seluruh ruangan terkejut, tatapan mereka tertuju pada pria paruh baya yang bernama Bima Reksa. Patih kerajaan Harsa Loka yang terkenal bijaksana. Namun citra itu perlahan runtuh sedikit demi sedikit.

Sedangkan, Adi Wijaya duduk di singgasananya dengan resah. Mungkinkah mahkotanya akan jatuh dari kepalanya karna masalah yang di ciptakan oleh putranya sendiri?

Entahlah ...

Yang jelas sekarang hanya ada api yang berkobar dalam mata Adi Wijaya. Yang akan menghanguskan apa saja yang dia pandang.

"Paman Patiih! Kamu bisa jelaskan?" Suara bariton itu mengalun lirih, namun mampu membuat bulu kuduk berdiri.

Bagaimana tidak?

Tatapan sang Raja terlihat seperti binatang buas yang kelaparan.

Para punggawa saling bertanya, mereka masih belum mencerna. Mana mungkin seorang Patih yang sangat bijaksana dan setia bisa melakukan hal yang begitu keji dan biadab.

Apakah Raja Harsa Loka terlibat?

Bukankan Bima Reksa adalah orang kepercayaan Adi Wijaya.

Tapi tidak ada satupun punggawa yang berani meragukan karakter Adi Wijaya. Dia Raja yang terkenal Arif bijaksana. Selama Harsa Loka di bawah kendalinya, kerajaan ini makmur dan sentosa.

Apalagi wajah Adi Wijaya yang terlihat begitu terkejut. Saat mendengar keempat orang yang bisa di katakan dalam jajaran pendekar pilih tanding yang membuat Harsa Loka terlihat begitu gagah. Kini tewas secara mengenaskan.

Kenyataannya, pemimpin yang selalu mereka agung-agungkan layaknya dewa jauh dari pemikiran mereka.

Raut wajah Adi Wijaya berubah bengis dengan sudut bibir terangkat, "Aku hanya perlu orang yang disalahkan," batinnya.

Patih Bima Reksa yang terpojok menatap ke arah Adi Wijaya. Entah apa yang harus dia lakukan. Bersimpuh dan memohon ampun itu lebih baik.

"Ampun Gusti!" Ujar Bima Reksa, yang sekarang sedang bersimpuh dengan menyatukan dua telapak tangannya. Tapi hamba tidak sendiri. Arya Baaladitya yang bersamaku!" Jawab sang Patih, air matanya luruh bibirnya bergetar dengan kepala menunduk.

Sesuai arahan Arya Baladitya saat memberikan surat kepada Bima Reksa. Saat misi ini gagal jangan pernah menyebut nama Raja. Tapi menyebut namanya.

"Itu tidak mungkin!" Dewi Kamaratih memekik dan sontak berdiri. Dia tidak terima dengan tuduhan terhadap suami putrinya.

Adi Wijaya melirik Kamaratih, mengisyaratkan sang istri untuk diam dan duduk kembali.

Dengan terpaksa Kamaratih menuruti isyarat suaminya. Namun wajahnya tidak bisa menyembunyikan perasaan gelisah yang melanda hatinya. Tangannya meremas pahanya dengan kuat.

"Kenapa Patih Bima Reksa menyebut nama Arya Balaadytia bukannya Danadyaksa? Tapi! Aku tidak peduli! Asalkan dia tidak menyebut namaku," batin Adi Wijaya, hatinya sedikit merasa lega.

Wajah Dewi Puspita berseri menatap adiknya yang bernama Danadyaksa. Adiknya akan menjadi Patih negri ini dan dia akan menjadi satu-satunya permaisuri. Ini lah hari yang dia tunggu, hari kehancuran Kamaratih dan putrinya.

''Itu benar Kanjeng Ibu! Akulah pelakunya" Suara bariton terdengar seiring dengan derap langkah kaki yang mulai mendekat. Namun Arya Balaaditya tetap terlihat tenang.

Pria itu terlalu naif, dia berpikir mertuanya pasti akan menolongnya.

Dia terlalu percaya diri.

"Berarti anak itu yang memberikan perintah untuk membunuh mereka semua!" Batin Adi Wijaya. Terlihat guratan kemarahan menghiasi wajahnya. Saat Arya Baladitya berjalan mendekatinya.

Arya Baladitya sekarang berdiri di sisi Bima Reksa yang sedang bersimpuh, dia pun melakukan hal yang sama.

Narendra terlihat sumpringah, dia menikmati pertunjukan di pagi ini. Mengingat pemeran utama dari drama ini adalah pria yang sangat dia benci.

Pria yang berhasil menjadi orang yang selalu Adi wijaya bangga-banggakan. Dan sekarang citra pria hebat itu hancur di mata Adi Wijaya. Narendra puas tentunya.

Seisi ruangan semakin gaduh, semua orang berbisik mereka di buat tercengang, mereka berpikir dua orang itu adalah orang teladan. Jadi mana mungkin?

"Mereka berdua mengakuinya! Masalah ini selesai. Bawa mereka ke penjara, besok pagi mereka akan di gantung di alun-alun di depan semua rakyat Harsa Loka!"

Tanpa penyelidikan dan tanpa memikirkan putrinya yang sedang sakit dan cucunya yang masih kecil, Adi Wijaya menjatuhkan hukuman tanpa berfikir lebih dulu.

Dia lakukan demi menutupi kesalahan putranya dan untuk meredam rumor yang akan timbul semakin liar jika masalah ini tidak segera diselesaikan. Walau ada yang harus menjadi tumbal.

Arya Balaaditya dan Bima Reksa terduduk lesu. Begitu juga Danadyaksa dia juga terancam di gantung.

Semua orang hanya diam menerima titah.

***

Sorenya.

Seorang wanita muda berjalan memasuki sebuah kamar yang luas dan megah dengan langkah tergesa-gesa. Kebetulan sang pemilik kamar berada di kamar putrinya.

Di tangannya menggenggam sebuah stempel. Dengan senyum menyeringai tatapan licik, gadis berniat menaruh benda itu di atas nakas yang terletak di sisi ranjang.

Namun!

Klekk!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status