Arya Balaaditya menoleh dan tubuhnya terasa membeku, tatapannya lurus menatap lengan istrinya yang di cengkeram oleh Ayah mertuanya. Otaknya seperti mati rasa, dia benar-benar tidak bisa berpikir.Kamaratih merasakan firasat buruk, " jangan-jangan?" Batinnya.Memang siapa yang lebih mengenal tua bangka itu jika bukan istrinya.Senyum licik menghiasi wajah Adi Wijaya. Dengan suara rendah, tua bangka itu berkata, "Putramu atau Putriku? Pilih salah satu!"Deg!Pilihan macam apa ini. Bukankah ini seperti buah si malakama.Seisi ruangan pun terdiam.Jantung Asri Kemuning berdebar kencang, matanya mengerjab-erjam saat melihat tangannya. Dengan ragu dia bertanya, "Romo ...jangan bercanda?"Dengan tawa meledek, Adi Wijaya menunjuk wajahnya seraya berkata, " Apa aku terlihat sedang bercanda? Hah! Kamu tidak tulikan, Nak?"Rupanya, Adi Wijaya butuh tameng agar di masa depan Arya Balaaditya tidak akan membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpanya sekarang. Bukankah orang jahat terlahir dar
Candramaya kecil menghentikan tangisannya, dia diam dan tidak bergerak. Seiring dengan suara auman yang semakin dekat serta suara rumput kering yang terinjak. Gadis itu mengingat sesuatu, dia meninggalkan kerisnya. Sekarang dia pasti akan menjadi makanan harimau itu. Tanpa pikir panjang dia berlari kembali, Karena rasa takut yang menyerang dia tersandung batu terjal, ibu jari kakinya berdarah. Tubuh kecilnya tersungkur mengenaskan di atas tanah yang dingin. "Tooloooongggg!" Gadis itu berteriak, suaranya menggema. Gadis itu meringis, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Mata harimau itu menyala bagaikan api di tengah malam, yang akan membakar apa saja yang dia pandang. Candramaya hanya menangis melihat harimau besar itu berjalan mendekatinya secara perlahan. Hingga samar-samar dari kejauhan ada suara kaki kuda yang mendekat. Gadis itu menoleh, tampak seorang pria dewasa menaiki kuda dengan gagah. Kudanya melaju tapi kedua tangannya memegang busur panah dan melepaskan anak pa
Adi Wijaya mengamati respon setiap orang. Dia yakin rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Selain keadilan, mereka juga suka dengan harta kekayaan. Itu yang terlintas dalam benak orang serakah itu. Dia pikir semua orang sama sepertinya.Penantian sepanjang malam ini sangat mengecewakan. Wajah Wismaya terlihat dingin kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, dia menyadari ada permainan besar di balik semua ini. Semua terlihat rapih dan terencana. Mungkin rakyat Harsa Loka akan melupakan tragedi ini hanya dalam beberapa hari. Tapi tidak dengannya, begitu juga Candramaya. Gadis itu, menarik tangan Pamannya.Wismaya melirik lalu berjongkok membelai surai keponakannya dengan lembut, "Ayo kita pulang, Nak?"Gadis itu menggeleng dan bertanya dengan dingin, "Apa mereka akan di hukum?"Dahi Wismaya berkerut, dia bingung bagaimana menjelaskan masalah ini kepada seorang anak kecil. Jadi dengan tersenyum tipis Wismaya menjawab, "Mereka akan di hukum, Dewata." Mata gadis itu sem
"Jangan ikuti aku!" Gadis itu berjalan tanpa menghiraukan sepupunya. Danumaya hanya terdiam, melihat Candramaya yang mulai menjauh dengan tatapan setajam pisau. "Jika sudah pergi jangan kembali lagi!" Dia berniat untuk menghiraukannya dan bersikap kejam. Tapi mau gimana lagi, bukankah dia sangat terobsesi dengan saudaranya sendiri. Bagaimana tidak? Candramaya adalah gadis yang sangat menawan. Dia seperti bunga cosmos di tengah sabana, cantik, anggun dan rapuh. Bibirnya merah bagai kelopak bunga mawar, kulitnya putih langsat. Kecantikan khas wanita jawa. Dan seperti namanya, dia bersinar bagai bulan purnama. Kecantikannya tersohor di Kadipaten Waringin sampai Harsa Loka dan sekitarnya. Bahkan Putra Mahkota Adhinata sering mengirim hadiah namun selalu di abaikan. Candramaya keluar dari gapura kadipaten Waringin. Tidak ada pengawal yang menghalangi, karna menggunakan kekuatan dari keris saktinya yang dia genggam, membuatnya tak terlihat. Ini seperti Ajian Halimun! K
Danumaya kaget dan sontak berdiri, dia mendengar teriakan Candramaya. Tadi dia berhenti saat melihat Candramaya sedang diam berdiri. Dia memilih duduk dan bersandar di pohon karena terlalu mabuk, dia ketiduran. Walaupun kepalanya sangat sakit, dia berlari dengan gontai. Dia takut terjadi sesuatu dengan gadis itu, "Tunggu, Kakang!" Saat melihat sosok itu lari ketakutan ke arahnya. Cukup membuat Danumaya merasa lega, gadis itu baik-baik saja. Mungkin dia melihat hantu. Jadi Danumaya berhenti berlari. Lagian dia sedang mabuk. Jadi apa bedanya berlari dan berjalan, sama-sama pelan. Sambil mengatur nafasnya yang terengah dia berjalan pelan dengan sempoyongan. Dengan percaya diri dan tersenyum lebar, dia merentangkan kedua tangannya. Di sudah siap memeluk gadis itu. Di sisi lain. Jleb!! "Akhhh!" Candramaya jatuh tersungkur ke tanah, saat keris itu berhasil menembus masuk lewat punggungnya. Badannya terasa panas dan dingin secara bersamaan, ini pertama kalinya keris itu masuk ke
Sebuah tamparan melayang ke wajah Danumaya yang tampan dan mendarat cukup keras! Bahkan utari memukul-mukul dada putranya yang bidang. "Pemuda gila! Anak kurang ajar! Jika kamu mengatakan ini di depan Romomu, kamu pasti sudah digantung di alun-alun.""Ini semua salah Romo, membawa gadis itu ke rumah ini. Kalian menjaganya dengan cinta dan kasih sayang, dan membuat Putra kalian menjadi gila!" Kata Danumaya, dengan wajah memerah mengeluarkan isi hatinya."Tarik kata-katamu!""Itulah kebenarannya, Ibu."Seketika Utari berhenti memukul putra, dia hanya bisa diam."Salahkan aku mencintainya, Ibu?" Tanya Danumaya, suaranya bergetar dan parau dan terduduk lemas di tepi ranjang. Kedua tangannya saling meremas! Matanya berair dan merah, bibirnya bergetar menahan tangis akibat rasa frustasi yang membuat hatinya sesak.Mata nyalang Utari meredup, berubah menjadi tatapan iba. "Kamu salah Nak, pandang dia sebagia Adikmu! Bukan sebagai seorang gadis. Kamu harus mencintainya sebagai seorang Kakak
Danumaya menahan nafas, punggungnya menegang dan terasa panas. Dia menelan salivanya secara kasar, tertohok saat sang Putri mengatakan kalau cintanya ternoda. Dan itu benar adanya. "Bisakah Putri membangunkan Raden Ayu Candramaya? Semua orang di sini sangat khawatir," dengan suara lembut dan hati-hati Ki Joko Tejo memohon kepada sang Putri. Putri Tanjung Kidul mengangkat sebelas alisnya, kelakarnya menggema dan nyaring, ekornya mengibas-ngibas. Suasana menjadi mencengkam dan suhu ruangan menjadi dingin. Tubuh Danumaya bergetar, keringat dingin keluar dari pori-pori keningnya dan wajahnya semakin memucat. Ingin rasanya pinsan di tempat, dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang terjadi sekarang. Berbeda dengan Ki Joko Tejo yang berusaha tenang, ini bukan hal baru. Sebagai mantan pendekar yang sudah melalang buana dalam jagat persilatan. Tawa sang Putri akhirnya meredam, seiring dengan wujudnya yang berubah menjadi wanita yang cantik jelita. "Bukan aku yang yang membuatnya
Danadyaksa mengangguk pelan, suara Adi Wijaya berhasil membuatnya bergidig ngeri. Tentu saja, pria tua itu semakin tua semakin mengerikan. Bukannya bertobat, dia justru semakin keji dan bengis! Tidak heran jika Adi Wijaya tega mengasingkan istri pertamanya dan putri kandungnya sendiri. Apalagi seseorang yang tidak ada hubungan dengannya. Danadyaksa mengambil beberapa tangkai bunga mawar berwarna hitam dan meletakannya di depan sang Raja yang sedang duduk bersila. "Kamu sedang menguji kesabaranku!" Tanya Adi Wijaya, raut wajahnya berubah datar dengan tatapan elang yang menusuk dan mengintimidasi. Danadyaksa menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menundukan kepala dengan tangan menyatu memohon ampun, "Hamba tidak berani, Gusti Prabu." "Lalu apa ini, Patih!" Adi Wijaya mengeram kesal sambil meremas Mawar Hitam itu. Danadyaksa menghirup nafas dalam-dalam, menetralkan rasa takut yang menguasai jiwanya lalu berkata, "Itu racun, Gusti." Adi Wijaya buru-buru melempar bunga yang d