Semua orang saling bertatapan, mereka menyadari sebuah bahaya. Jadi mereka berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Naladhipa mengacak rambut dan pakaiannya lalu menguap. Dia berbicara seolah-seolah jauh dari pintu dan baru bangun tidur, "Tamu mana yang tidak tahu diri datang tengah malam? Tunggu sebentar." Di balik pintu Danadyaksa memasang muka masam. Mantan gurunya sedang mencibirnya. Sepertinya dia akan sangat lebih kesal setelah ini. Terlihat saat dia menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Naladhipa menunjuk kolong ranjang. Semua orang mengerti dan berjalan dengan pelan. Mereka mengangkat ranjang dan menyibak kain yang menutupinya. Terlihat sebuah pintu rahasia, mereka membuka dan masuk kedalam. Setelah semua masuk Naladhipa membereskannya seperti sedia kala. Dia membuka pintu dengan bibir cemberut dan mencibir tamunya, "Rupanya ada Mahapatih Harsa Loka bertamu ke gubuk reotku ini. Apa besok kamu akan mati, sehingga datang di tengah malam begini!" Danadyaks
"Dalam ilmu kedijayaan, memang benar! Tapi dalam cinta? Cih! Kamu lupa? Kamu itu kakaknya, jadi itu bukan penghalang bagiku. Bukan hanya keluarga tapi dewata dan seluruh alam semesta menentangnya!" Remeh Pangeran Adhinatha menepuk pelan pundak Danumaya yang membeku dengan wajah merah padam. "Takdirku sangat sial!" Batin Danumaya, tangannya mengepal dengan sorot mata yang menggelap. Amarahnya pemuda itu tersulut, tidak perlu dijelaskan, Danumaya juga mengerti dan itu menyebalkan! "Mau berlatih bersama?" Tanya Danumaya beranjak dari duduknya. "Kamu yakin? Di tempat ini?" Ujar Pangeran Adhinatha, dengan sebelah alis yang terangkat. Matanya menyisir halaman yang terdapat berbagai tanaman dan bunga serta kolam ikan di mana Danumaya berdiri. "Tentu! Kamu takut?" Remeh Danumaya, giginya berkertak dan rahangnya mengatup. Dengan dalih berlatih, Danumaya bisa dengan puas memukul Pangeran songong ini! "Kapan lagi bisa mukulin Pangeran Mahkota? Ini kesempatan yang langka," batin Danumaya
Suara dingin mengalun dari arah kolam. Kedua pemuda itu menoleh dan mata mereka membulat bersama. Mereka seperti melihat hantu. "Huh! Membosankan!" Candramaya mendengkus, menatap sinis kepada dua pemuda yang asyik berkelahi. "Sebosan itu hidup kalian," sambungnya. Kepalanya menyembul keluar. Rambutnya yang hitam tergerai, walaupun tidak memakai riasan atau perhiasan. Gadis itu tetap cantik walaupun tatapannya terlihat dingin. "Kamu, sudah bangun?" Tanya Pangeran Adhinatha, matanya berbinar dan tersenyum. Walaupun bibirnya sangat sakit untuk di gerakan. Pemuda tampan itu tersipu malu, kedua tangannya reflek menutupi mulutnya, "Keterlaluan! Ada dendam apa dia dengan bibirku?" Batin Adhinatha. Walaupun terlihat kacau, pemuda itu tidak kehilangan aura kebangsawanannya. Dia tinggi dan kulitnya putih. Rambut panjangnya yang tergerai terlihat begitu lembut, dia juga mengunakan ikat kepala yang membuatnya begitu menawan. Wajahnya memerah, dia malu dan kesal! Kenapa saat gadis itu
Wajah pemuda itu berubah masam, dia merasa tersindir. "Gadis tengik! Setelah lama tidur, mulutnya semakin jahat saja."Utari sedikit bingung, memang seperti itu seharusnya seorang kakak terhadap adiknya. Tapi ini berbeda. Dengan nafas panjang akhirnya Utari setuju. "Baiklah ..aku tinggalkan kalian berdua."Dia mengingat pesan suaminya. Sehingga dia tidak kaget dengan perubahan gadis itu.Setelah Utari dan pelayan pergi meninggalkan mereka berdua. Candramaya tertawa jahat, dari sorot matanya dia sedang mengejek sepupunya. Gadis itu mengangkat paha sapi dan menggigitnya dengan ganas. Danumaya bersedekap angkuh, pemuda manis itu bersandar di pintu dengan cemberut. Setelah Ibunya pergi, dia berjalan mendekati Candramaya. Setelah puas mencabik-cabik paha sapi itu dengan gigi taringnya, dia meletakan kembali ke nampan. Semua nampan berisi makanan, diletakan diatas lantai.Candramaya duduk bersila di lantai, dia makan dengan lahap.Nyam! Nyam!"Duduklah denganku Kakang, kamu tidak lelah b
Tenggorokan Wismaya terasa tercekik, dia benar-benar merasa takut. Dia tau apa itu balas dendam. Setiap balas dendam pasti akan memakan korban dan banyaknya darah yang akan tumpah. Walaupun yang dia lakukan dengan mawar hitam adalah sebuah gerakan untuk balas dendam. Dia tidak rela jika putri satu-satunya dari Adik kesayangannya terluka. Wismaya menggebrak meja cukup keras dan berkata, "Balas dendam itu bukan permainan, kamu bisa apa? Paman terlalu memanjakanmu jadi kamu menganggap dunia luar begitu menyenangkan. Di luar sana banyak orang jahat. Kamu mengerti tidak?" Candrama terperanjat, dia kaget dan takut saat Pamannya menggebrak meja. Ini pertama kalinya dia melihat Pamannya marah. "Keputusanku sudah bulat Paman. jika saja malam itu Paman mengabulkan permintaanku, aku tidak akan bertindak sejauh ini." Gadis penurut itu membantah untuk pertama kalinya. "Urunkan niatmu, Nak! Paman akan carikan pemuda baik untukmu. Dan menikahlah dan hidup seperti gadis biasa." Setelah menga
Candramaya lari terbirit-birit sambil menangis, ujung bibirnya berdarah. Dia berteriak, "Bibi, Kakang memukul pantatku!"Suara teriakan gadis itu sampai di telinga Utari. Wanita itu berniat menghampirinya tapi tangannya di tahan oleh Wismaya.Pria itu menggeleng dan berkata, "Biarkan ..Danu pasti baru menghukumnya. Dia harus di sadarkan, bahwa niatnya untuk balas dendam tidak lah mudah dan berbahaya."Utari mengangguk, dia mematuhi nasehat suaminya.Danumaya melempar bantal dan mengeram, "Sialan!!!!"Teriakan itu mampu membuat tubuh Candramaya bergetar, dia mengunci kamarnya.Sorot mata Danumaya yang mengelap berangsur tenang. Dia menyeka darah Candramaya di bibirnya dengan jempolnya. Dia memandanginya dan menyesal.Gadis itu pasti sangat frustasi, sehingga memilih jalan itu. Dia tahu betapa menderitanya Candramaya karena kematian orang tuanya.Sedangkan Candramaya memutuskan untuk pergi dari rumah itu dan berniat ingin pergi ke Harsa Loka dan membunuh Raja Adi Wijaya.Karena dia lah
"Lepaskan!" Indrayana Arya mencoba melepaskan cekalan itu, namun gagal. Wajahnya menjadi cemberut, pemuda itu memukul perut pria gendut itu dengan kesal. Pria gendut itu tetap tidak bergerak, tatapannya terlihat datar. Pria itu berkata, "Ayo kita pulang, Ketua menunggu kita. "Sebentar saja, Paman. Tolong lepaskan," dengan wajah memelas, Indrayana berusaha membujuk pengasuhnya. Pria ini begitu patuh dan setia. "Iya," jawab pria bernama Sentot, pria itu mengangguk dan melepaskan cengkramannya. Pria itu berusia sekitar 60 tahunan. Sedangkan pria satunya berusia Sekitar 40 tahunan bernama Darma. Saat Indrayana berhasil membujuk pengasuhnya, dia segera kembali ketempat itu. Namun gadis itu sudah pergi. Wajahnya semakin muram, "Paman gendut!" Indrayana Arya berjalan sambil berkacak pinggang, wajahnya masam dan matanya sedikit berair. Dia berteriak, "Kenapa Paman mengacaukan urusanku? Gara-gara Paman! Dia sudah pergi." Darma tertawa karena melihat tingkah pemuda manja itu. Waja
Candramaya, dia bergeming dengan mata yang merah dan berair. Amarahnya sekarang seperti gunung merapi yang dalam hitungan detik akan meledak. Dan memutahkan segalanya, gadis itu mengeram lirih, "Arya Balaaditya!" Gadis itu menyadari bahwa Pamannya sengaja melakukannya. Dia bukan pria sembrono. Kebo Ireng menutup mulutnya. Sedangkan Wismaya dia hanya diam. Dia harus siap untuk menghadapi kemarahan keponakannya. Wismaya mengangguk dan Kebo Ireng mengerti. Dia mengundurkan diri dan pamit. "Tutup pintunya?!" Perintah Wismaya, Pria itu berdiri dan tatapannya tajam. Pelayan langsung bergegas menjalankan perintah. Setelah pintu itu tertutup rapat, Wismaya membuka mulutnya, "Tunjukan dirimu!" Candramaya muncul sekarang, dia berdiri tepat di hadapannya. Matanya semerah darah, wajahnya mengeras dan nafasnya tampak liar dan tidak terkendali. Gadis itu memegang keris dan mengarahkan mata keris itu ke leher Pamannya, "Kenapa Paman melakukan ini?" "Paman tidak ingin kamu salah jal