Candramaya lari terbirit-birit sambil menangis, ujung bibirnya berdarah. Dia berteriak, "Bibi, Kakang memukul pantatku!"Suara teriakan gadis itu sampai di telinga Utari. Wanita itu berniat menghampirinya tapi tangannya di tahan oleh Wismaya.Pria itu menggeleng dan berkata, "Biarkan ..Danu pasti baru menghukumnya. Dia harus di sadarkan, bahwa niatnya untuk balas dendam tidak lah mudah dan berbahaya."Utari mengangguk, dia mematuhi nasehat suaminya.Danumaya melempar bantal dan mengeram, "Sialan!!!!"Teriakan itu mampu membuat tubuh Candramaya bergetar, dia mengunci kamarnya.Sorot mata Danumaya yang mengelap berangsur tenang. Dia menyeka darah Candramaya di bibirnya dengan jempolnya. Dia memandanginya dan menyesal.Gadis itu pasti sangat frustasi, sehingga memilih jalan itu. Dia tahu betapa menderitanya Candramaya karena kematian orang tuanya.Sedangkan Candramaya memutuskan untuk pergi dari rumah itu dan berniat ingin pergi ke Harsa Loka dan membunuh Raja Adi Wijaya.Karena dia lah
"Lepaskan!" Indrayana Arya mencoba melepaskan cekalan itu, namun gagal. Wajahnya menjadi cemberut, pemuda itu memukul perut pria gendut itu dengan kesal. Pria gendut itu tetap tidak bergerak, tatapannya terlihat datar. Pria itu berkata, "Ayo kita pulang, Ketua menunggu kita. "Sebentar saja, Paman. Tolong lepaskan," dengan wajah memelas, Indrayana berusaha membujuk pengasuhnya. Pria ini begitu patuh dan setia. "Iya," jawab pria bernama Sentot, pria itu mengangguk dan melepaskan cengkramannya. Pria itu berusia sekitar 60 tahunan. Sedangkan pria satunya berusia Sekitar 40 tahunan bernama Darma. Saat Indrayana berhasil membujuk pengasuhnya, dia segera kembali ketempat itu. Namun gadis itu sudah pergi. Wajahnya semakin muram, "Paman gendut!" Indrayana Arya berjalan sambil berkacak pinggang, wajahnya masam dan matanya sedikit berair. Dia berteriak, "Kenapa Paman mengacaukan urusanku? Gara-gara Paman! Dia sudah pergi." Darma tertawa karena melihat tingkah pemuda manja itu. Waja
Candramaya, dia bergeming dengan mata yang merah dan berair. Amarahnya sekarang seperti gunung merapi yang dalam hitungan detik akan meledak. Dan memutahkan segalanya, gadis itu mengeram lirih, "Arya Balaaditya!" Gadis itu menyadari bahwa Pamannya sengaja melakukannya. Dia bukan pria sembrono. Kebo Ireng menutup mulutnya. Sedangkan Wismaya dia hanya diam. Dia harus siap untuk menghadapi kemarahan keponakannya. Wismaya mengangguk dan Kebo Ireng mengerti. Dia mengundurkan diri dan pamit. "Tutup pintunya?!" Perintah Wismaya, Pria itu berdiri dan tatapannya tajam. Pelayan langsung bergegas menjalankan perintah. Setelah pintu itu tertutup rapat, Wismaya membuka mulutnya, "Tunjukan dirimu!" Candramaya muncul sekarang, dia berdiri tepat di hadapannya. Matanya semerah darah, wajahnya mengeras dan nafasnya tampak liar dan tidak terkendali. Gadis itu memegang keris dan mengarahkan mata keris itu ke leher Pamannya, "Kenapa Paman melakukan ini?" "Paman tidak ingin kamu salah jal
Nafas Wismaya naik turun tidak beraturan, dia memijit pelipisnya yang pening dan terduduk kembali. "Anak keras kepala!" Ujarnya lirih. Sedangkan gadis keras kepala itu pergi meninggalkan Pamannya seorang diri. Awalnya dia merasa ragu dan pendiriannya mulai goyah. Tapi bukankah tidak ada yang tidak mungkin kan? Jika dia sudah melangkah ke depan, seperti apapun tantangannya dia tidak akan mundur. Ini adalah bentuk baktinya sebagai seorang anak. Itulah yang selalu Candramaya percayai. *** Arya Balaaditya sekarang berada di persembunyiannya. Sebuah hutan belantara yang terkenal angker dan berbahaya. Ternyata ada tempat yang indah. Ada sebuah air terjun, dan sungai dengan bebatuan besar, airnya jernih dan segar. Di tepi sungai ada beberapa rumah yang sederhana. Tempat itu cukup ramai karena Ada sekitar Lima belas orang dan semuanya laki-laki, berpawakan sangar. Orang jika melihatnya, pasti seperti gerombolan perampok atau pembunuh bayaran. Tapi itu adalah faktanya dulu.
Candramaya terlihat linglung, sepertinya gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Bukankah saat akan berangkat terjadi bencana? Seolah-olah dia tidak harus pergi. Dan sekarang roda kereta itu rusak.Apa ini firasat?Sedangkan langit terlihat cerah walaupun hampir senja dan semua terlihat tenang. Candramaya menghilangkan keraguannya, dia tidak boleh mundur sekarang."Bukankah setelah kita melewati hutan belantara ini, kita akan memasuki sebuah perkampungan? Di situ kita bisa beristirahat dan melanjutkan perjalanan esuk harinya," gadis itu menatap langit yang cerah dengan tatapan dinginnya. Dia hafal perjalanan ini, karena ini bukan pertama kalinya.Pendiriannya kokoh bagaikan karang. Sekuat apapun ombak menerjang, dia tidak akan goyah.Setelah melewati perjalanan yang melelahkan, hampir setengah hari, mana mungkin Candramaya mau kembali dengan tangan kosong.Pelayan itu mengangguk, dia bernama Darsih. Wanita itu yang selalu melayani Candramaya saat masih kecil hingga sekarang.Semua peng
Semua perampok bersorak kegirangan. Candramaya hanya bisa menangis dan menggigil ketakutan. Dia mencoba membrontak. Gadis itu di seret ke semak-semak dengan paksa dan di dorong ke tanah. Candramaya jatuh tersungkur dengan menyedihkan. "Ibu ..!" Ujar Candramaya lirih. Candramaya membayar sifat keras kepalanya dengan sangat mahal. Jika dia menurut dan mau menunggu pasti kejadiannya tidak akan seburuk ini. Dia tidak berani memanggil nama penunggu keris dan bahkan menggunakannya dalam keadaan mendesak seperti ini. Dia ingat dengan peringatan Pamannya. Sejujurnya dia takut tidak bisa mengendalikan kerisnya. Mata pria bernama Barja di selimuti kabut hasrat, dia menunduk dan merobek sebagian kain yang di kenakan Candramaya hingga terlihat pahanya yang mulus. Tubuh pria tua itu terasa terbakar, jangkunnya naik turun dan air liurnya menetes. Tubuh Candramaya menggigil ketakutan, dia merangkak dengan sisa tenaga. Barja semakin bersemangat, dia menarik kaki Candramaya, "Mau kemana
Candramaya jatuh kedalam sungai, dia masih menggenggam cunduk manik itu dan berusaha naik ke permukaan.Namun arus sungai sangat deras, dia berulang kali akan tenggelam. Sekarang yang dia takutkan bukan hanya perampok. Tapi ujung dari sungai ini.Para perampok itu menganga, gadis itu sungguh nekat dan berani. Mereka menatap nanar gadis itu yang hanyut ke dalam sungai.Hati mereka terasa sakit, seolah-olah sekarung emas hanyut begitu saja. Tangkapan mereka terlepas sia-sia. Dan mereka merasa di rugikan.Barja berteriak kesal, "Kita kehilangan gadis itu!""Ayo kita kejar dia ketua," ujar salah satu perampok. Mencoba memberi usul.Mata Barja berkedut, "Kamu bisa berenang?""Tidak," pria itu menyengir lebar."Jadi tutup mulutmu!" Barja sangat kesal dan meninju perut anak buahnya.Bug!Pria konyol itu meringis kesakitan. Semua perampok terdiam melihat ketua mereka berjalan pergi dengan jalannya yang tertatih. Kepala Candramaya berhasil naik kepermukaaan air, dia buru-buru menghirup oksige
Indrayana menelan salivanya, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pemuda konyol itu menunjuk paha Candramaya yang terbuka. Wajahnya merah, dia tersipu malu, "Itu," ujarnya.Mata Candramaya terbelaklak, dia pun akhirnya buru-buru menutup pahanya dengan canggung. Kepala gadis itu tertunduk malu."Indrayana ... " panggil Darma dari kejauhan.Indrayana kelabakan saat mendengar Pamannya terus memanggil, apalagi suara itu semakin mendekat. "Bagaimana ini?" Dia sontak berdiri dan meloncat-loncat seperti anak kecil, wajahnya terlihat sangat panik. Pemuda itu seperti kebakaran jenggot.Candramaya keheranan melihat tingkah pemuda itu. Jadi dia bertanya, "Kenapa?"Indrayana berjongkok di depan Candramaya. Dia berbisik, "Aku harus menyembunyikanmu. Paman-pamanku dan Romoku tidak boleh melihatmu atau aku akan kena masalah," ujarnya. Mulut pemuda itu menganga dan kedua tangannya menangkup wajahnya. Dia terlihat bodoh dan konyol. Pemuda itu hanya menggunakan kain yang di lilit dengan sebuah