Adi Wijaya mengamati respon setiap orang. Dia yakin rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Selain keadilan, mereka juga suka dengan harta kekayaan. Itu yang terlintas dalam benak orang serakah itu. Dia pikir semua orang sama sepertinya.Penantian sepanjang malam ini sangat mengecewakan. Wajah Wismaya terlihat dingin kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, dia menyadari ada permainan besar di balik semua ini. Semua terlihat rapih dan terencana. Mungkin rakyat Harsa Loka akan melupakan tragedi ini hanya dalam beberapa hari. Tapi tidak dengannya, begitu juga Candramaya. Gadis itu, menarik tangan Pamannya.Wismaya melirik lalu berjongkok membelai surai keponakannya dengan lembut, "Ayo kita pulang, Nak?"Gadis itu menggeleng dan bertanya dengan dingin, "Apa mereka akan di hukum?"Dahi Wismaya berkerut, dia bingung bagaimana menjelaskan masalah ini kepada seorang anak kecil. Jadi dengan tersenyum tipis Wismaya menjawab, "Mereka akan di hukum, Dewata." Mata gadis itu sem
"Jangan ikuti aku!" Gadis itu berjalan tanpa menghiraukan sepupunya. Danumaya hanya terdiam, melihat Candramaya yang mulai menjauh dengan tatapan setajam pisau. "Jika sudah pergi jangan kembali lagi!" Dia berniat untuk menghiraukannya dan bersikap kejam. Tapi mau gimana lagi, bukankah dia sangat terobsesi dengan saudaranya sendiri. Bagaimana tidak? Candramaya adalah gadis yang sangat menawan. Dia seperti bunga cosmos di tengah sabana, cantik, anggun dan rapuh. Bibirnya merah bagai kelopak bunga mawar, kulitnya putih langsat. Kecantikan khas wanita jawa. Dan seperti namanya, dia bersinar bagai bulan purnama. Kecantikannya tersohor di Kadipaten Waringin sampai Harsa Loka dan sekitarnya. Bahkan Putra Mahkota Adhinata sering mengirim hadiah namun selalu di abaikan. Candramaya keluar dari gapura kadipaten Waringin. Tidak ada pengawal yang menghalangi, karna menggunakan kekuatan dari keris saktinya yang dia genggam, membuatnya tak terlihat. Ini seperti Ajian Halimun! K
Danumaya kaget dan sontak berdiri, dia mendengar teriakan Candramaya. Tadi dia berhenti saat melihat Candramaya sedang diam berdiri. Dia memilih duduk dan bersandar di pohon karena terlalu mabuk, dia ketiduran. Walaupun kepalanya sangat sakit, dia berlari dengan gontai. Dia takut terjadi sesuatu dengan gadis itu, "Tunggu, Kakang!" Saat melihat sosok itu lari ketakutan ke arahnya. Cukup membuat Danumaya merasa lega, gadis itu baik-baik saja. Mungkin dia melihat hantu. Jadi Danumaya berhenti berlari. Lagian dia sedang mabuk. Jadi apa bedanya berlari dan berjalan, sama-sama pelan. Sambil mengatur nafasnya yang terengah dia berjalan pelan dengan sempoyongan. Dengan percaya diri dan tersenyum lebar, dia merentangkan kedua tangannya. Di sudah siap memeluk gadis itu. Di sisi lain. Jleb!! "Akhhh!" Candramaya jatuh tersungkur ke tanah, saat keris itu berhasil menembus masuk lewat punggungnya. Badannya terasa panas dan dingin secara bersamaan, ini pertama kalinya keris itu masuk ke
Sebuah tamparan melayang ke wajah Danumaya yang tampan dan mendarat cukup keras! Bahkan utari memukul-mukul dada putranya yang bidang. "Pemuda gila! Anak kurang ajar! Jika kamu mengatakan ini di depan Romomu, kamu pasti sudah digantung di alun-alun.""Ini semua salah Romo, membawa gadis itu ke rumah ini. Kalian menjaganya dengan cinta dan kasih sayang, dan membuat Putra kalian menjadi gila!" Kata Danumaya, dengan wajah memerah mengeluarkan isi hatinya."Tarik kata-katamu!""Itulah kebenarannya, Ibu."Seketika Utari berhenti memukul putra, dia hanya bisa diam."Salahkan aku mencintainya, Ibu?" Tanya Danumaya, suaranya bergetar dan parau dan terduduk lemas di tepi ranjang. Kedua tangannya saling meremas! Matanya berair dan merah, bibirnya bergetar menahan tangis akibat rasa frustasi yang membuat hatinya sesak.Mata nyalang Utari meredup, berubah menjadi tatapan iba. "Kamu salah Nak, pandang dia sebagia Adikmu! Bukan sebagai seorang gadis. Kamu harus mencintainya sebagai seorang Kakak
Danumaya menahan nafas, punggungnya menegang dan terasa panas. Dia menelan salivanya secara kasar, tertohok saat sang Putri mengatakan kalau cintanya ternoda. Dan itu benar adanya. "Bisakah Putri membangunkan Raden Ayu Candramaya? Semua orang di sini sangat khawatir," dengan suara lembut dan hati-hati Ki Joko Tejo memohon kepada sang Putri. Putri Tanjung Kidul mengangkat sebelas alisnya, kelakarnya menggema dan nyaring, ekornya mengibas-ngibas. Suasana menjadi mencengkam dan suhu ruangan menjadi dingin. Tubuh Danumaya bergetar, keringat dingin keluar dari pori-pori keningnya dan wajahnya semakin memucat. Ingin rasanya pinsan di tempat, dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang terjadi sekarang. Berbeda dengan Ki Joko Tejo yang berusaha tenang, ini bukan hal baru. Sebagai mantan pendekar yang sudah melalang buana dalam jagat persilatan. Tawa sang Putri akhirnya meredam, seiring dengan wujudnya yang berubah menjadi wanita yang cantik jelita. "Bukan aku yang yang membuatnya
Danadyaksa mengangguk pelan, suara Adi Wijaya berhasil membuatnya bergidig ngeri. Tentu saja, pria tua itu semakin tua semakin mengerikan. Bukannya bertobat, dia justru semakin keji dan bengis! Tidak heran jika Adi Wijaya tega mengasingkan istri pertamanya dan putri kandungnya sendiri. Apalagi seseorang yang tidak ada hubungan dengannya. Danadyaksa mengambil beberapa tangkai bunga mawar berwarna hitam dan meletakannya di depan sang Raja yang sedang duduk bersila. "Kamu sedang menguji kesabaranku!" Tanya Adi Wijaya, raut wajahnya berubah datar dengan tatapan elang yang menusuk dan mengintimidasi. Danadyaksa menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menundukan kepala dengan tangan menyatu memohon ampun, "Hamba tidak berani, Gusti Prabu." "Lalu apa ini, Patih!" Adi Wijaya mengeram kesal sambil meremas Mawar Hitam itu. Danadyaksa menghirup nafas dalam-dalam, menetralkan rasa takut yang menguasai jiwanya lalu berkata, "Itu racun, Gusti." Adi Wijaya buru-buru melempar bunga yang d
Semua orang saling bertatapan, mereka menyadari sebuah bahaya. Jadi mereka berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Naladhipa mengacak rambut dan pakaiannya lalu menguap. Dia berbicara seolah-seolah jauh dari pintu dan baru bangun tidur, "Tamu mana yang tidak tahu diri datang tengah malam? Tunggu sebentar." Di balik pintu Danadyaksa memasang muka masam. Mantan gurunya sedang mencibirnya. Sepertinya dia akan sangat lebih kesal setelah ini. Terlihat saat dia menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Naladhipa menunjuk kolong ranjang. Semua orang mengerti dan berjalan dengan pelan. Mereka mengangkat ranjang dan menyibak kain yang menutupinya. Terlihat sebuah pintu rahasia, mereka membuka dan masuk kedalam. Setelah semua masuk Naladhipa membereskannya seperti sedia kala. Dia membuka pintu dengan bibir cemberut dan mencibir tamunya, "Rupanya ada Mahapatih Harsa Loka bertamu ke gubuk reotku ini. Apa besok kamu akan mati, sehingga datang di tengah malam begini!" Danadyaks
"Dalam ilmu kedijayaan, memang benar! Tapi dalam cinta? Cih! Kamu lupa? Kamu itu kakaknya, jadi itu bukan penghalang bagiku. Bukan hanya keluarga tapi dewata dan seluruh alam semesta menentangnya!" Remeh Pangeran Adhinatha menepuk pelan pundak Danumaya yang membeku dengan wajah merah padam. "Takdirku sangat sial!" Batin Danumaya, tangannya mengepal dengan sorot mata yang menggelap. Amarahnya pemuda itu tersulut, tidak perlu dijelaskan, Danumaya juga mengerti dan itu menyebalkan! "Mau berlatih bersama?" Tanya Danumaya beranjak dari duduknya. "Kamu yakin? Di tempat ini?" Ujar Pangeran Adhinatha, dengan sebelah alis yang terangkat. Matanya menyisir halaman yang terdapat berbagai tanaman dan bunga serta kolam ikan di mana Danumaya berdiri. "Tentu! Kamu takut?" Remeh Danumaya, giginya berkertak dan rahangnya mengatup. Dengan dalih berlatih, Danumaya bisa dengan puas memukul Pangeran songong ini! "Kapan lagi bisa mukulin Pangeran Mahkota? Ini kesempatan yang langka," batin Danumaya
Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa mende
Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t
Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu
Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci
"Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja
Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat
Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu
Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.
Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga