Share

8. Surat Yang Di Tukar

Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum.

Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya.

Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.

Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih.

"Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.

Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.

Dasar wanita dengki dan rakus.

Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih.

Langkah Puspita Sari tertahan, saat mendengar ledakan kemarahan serta suara lemparan benda berjatuhan.

Puspita Sari menoleh ke segala arah, lorong yang dia lewati sangat sepi bahkan tampak seperti sengaja di kosongkan.

Malam ini juga terasa dingin.

Puspita Sari berjalan perlahan dan mengendap-endap menuju suara gaduh itu berasal.

Dia bahkan sempat melepas gelang kaki agar tidak menimbulkan suara saat dia berjalan. Sekarang dia berada di depan pintu kamar pribadi Adi Wijaya, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.

"Dana!" Batin Puspita Sari. Wanita itu tercengang, matanya seketika membulat lalu membekap mulutnya kuat-kuat. Saat melihat Adi Wijaya menghunuskan pedang ke leher Danadyaksa

Adiknya sedang berlutut dan terlihat menahan nafas dengan raut wajah ketakutan.

Di ruang itu bukan hanya Danadyaksa saja tapi ada Patih Bima Reksa.

Kepalanya terus berpikir, bagimana menyelamatkan adiknya.

Bagaimana dia bisa bertahan jika adiknya lenyap?

"Kenapa kalian melanggar titahku?" Tanya Adi Wijaya. Suaranya menggelegar membuat siapapun yang mendengar pasti ketakutan.

Danadyaksa tidak bisa berkutik, tubuhnya bergetar hebat. Apalagi ujung mata pedang sudah menggores lehernya karna tekanan kuat sang Raja. Jika dia salah bicara maka pembuluh darah di lehernya bisa putus dalam hitungan detik.

Tapi Raja butuh jawaban!

Bima Reksa memberanikan diri untuk membuka mulutnya, "Kami melakukan apa yang Gusti titahkan dalam surat yang Gusti berikan pada Tuan Arya Balaaditya."

"Kau bercanda, hah!!!" Dengan nada tinggi Adi Wijaya mengeram kesal, matanya merah dan melotot, bahkan dia menendang wajah Patihnya hingga tersungkur.

Bug!!

Bima Reksa meringis tapi tanpa menimbulkan suara, dia menahan rasa sakit yang dia dera kuat-kuat. Agar tidak membuat amarah Adi Wijaya semakin besar.

Danadyaksa tetap bergeming, keringat dingin bercucuran, lutut dan tangannya mulai lemas karna terlalu lama berlutut.

"Ini Gusti" ujar Bima Reksa lirih, sambil menyodorkan surat yang dia simpan di balik bajunya.

Adi Wijaya membuang pedangnya ke sembarang tempat, membuat Danadyaksa terduduk lemas.

Pria bengis itu mengambil nafas panjang, bersyukur karena masih hidup. Walaupun ada sedikit darah yang mengalir dari kulit leher. Tapi untungnya dia tidak kehilangan kepalanya.

Pria paruh baya itu duduk di sisi ranjang, lalu membuka surat dengan cukup kasar.

Matanya membulat dengan rahang mengatup saat membaca isi surat. Dia bahkan hampir tersedak saat sebuah peritah keji dengan tulisan tangannya sendiri.

Bahkan lengkap dengan stempel raja yang hanya dia yang pegang.

Dia merasa di fitnah!

"Kurang ajar! Ini memang tulisanku, tapi aku tidak pernah menulisnya. Siapa yang berani menukarnya. Bawa menantuku sekarang juga. Cepat!" Titah Adi Wijaya, suaranya memekik.

Danadyaksa dan Bima Reksa merangkak, bahkan kepala mereka sudah menyentuh kaki Adi Wijaya, dalam ketakutan mereka saling bertatapan.

"Beraninya dia menukar suratku!" Adi Wijaya menggeram lirih, lalu menatap dua orang yang sedang bersimpuh di kakinya dan berkata, "Bangkit atau kubunuh kalian!"

Bima Reksa dan Danadyaksa langsung bangkit dan menjaga jarak.

"Apapun yang terjadi aku tidak akan mati!" Batin Danadyaksa terduduk di lantai, tangannya mengepal kuat dengan kepala menunduk.

Sedangkan Bima Reksa dia hanya pasrah.

Sebelum dua pengawal itu keluar, Puspita Sari dengan lancang masuk ke dalam kamar Adi Wijaya. Tentu saja setelah mengatur suasana hatinya. Berjalan sambil berjinjit untuk menghindari pecahan guci keramik yang berserakan di lantai.

Adi Wijaya yang masih kesal langsung menatap Puspita Sari dengan tajam dan suara lantang dia berkata, "Ada apa?"

"Tidak Suamiku, aku kesini hanya khawatir dengan adikku. Maaf jika Puspa lancang!" Jawab Puspita Sari, dengan tersenyum tipis.

Puspa adalah nama panggilan kesayangan Adi Wijaya kepada Puspita Sari.

Adi Wijaya memutar matanya dengan jengah, istri keduanya pasti akan mengingatkannya akan janjinya dulu.

Aku tidak akan membunuh adikmu. Tapi, aku akan memotong tangan dan kakinya, jika dia berkhianat kepadaku!" Ucap Adi Wijaya, menyelipkan ancaman di akhir kalimat.

Puspita Sari tersenyum getir, hatinya cukup perih, "Jika dia bersalah penggal saja kepalanya, suamiku."

Dahi Adi Wijaya mengernyit, benarkah dengan apa yang wanita ini katakan? Dia cukup ragu, mengingat betapa sayangnya istri mudanya terhadap adiknya.

Danadyaksa menoleh dengan mulut menganga, mendengar kakaknya ingin menumbalkannya.

Tapi saat menatap sang kakak dan melihat senyum culas Puspita Sari dia cukup lega, wanita itu pintar dan lihai.

Beberapa saat kemudian dua pengawal telah membawa Arya Balaaditya, tangan dan kakinya di rantai, hiasan kepala sebagai tanda anggota kerajaan telah di lucuti. Begitu pula pakaian mewah yang biasa dia kenakan.

Kini hanya menggunakan kain lusuh yang melilit pinggangnya dan selembar kain panjang untuk menutupi bahu bidang pria berusia 35 tahun itu.

Arya Balaaditya bersimpuh dan memberi hormat, wajahnya cukup tenang mengingat besok dia akan di gantung di alau-alun.

Dengan tatapan dingin Adi Wijaya bertanya, "Apa kamu yang menukar suratku?"

"Surat? Bagaimana Ananda berani menukar surat itu Romo?" Jawab Arya Baladitya. Wajah tampannya terlihat bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status