Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum.
Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad. Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih. "Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam. Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki. Dasar wanita dengki dan rakus. Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih. Langkah Puspita Sari tertahan, saat mendengar ledakan kemarahan serta suara lemparan benda berjatuhan. Puspita Sari menoleh ke segala arah, lorong yang dia lewati sangat sepi bahkan tampak seperti sengaja di kosongkan. Malam ini juga terasa dingin. Puspita Sari berjalan perlahan dan mengendap-endap menuju suara gaduh itu berasal. Dia bahkan sempat melepas gelang kaki agar tidak menimbulkan suara saat dia berjalan. Sekarang dia berada di depan pintu kamar pribadi Adi Wijaya, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. "Dana!" Batin Puspita Sari. Wanita itu tercengang, matanya seketika membulat lalu membekap mulutnya kuat-kuat. Saat melihat Adi Wijaya menghunuskan pedang ke leher Danadyaksa Adiknya sedang berlutut dan terlihat menahan nafas dengan raut wajah ketakutan. Di ruang itu bukan hanya Danadyaksa saja tapi ada Patih Bima Reksa. Kepalanya terus berpikir, bagimana menyelamatkan adiknya. Bagaimana dia bisa bertahan jika adiknya lenyap? "Kenapa kalian melanggar titahku?" Tanya Adi Wijaya. Suaranya menggelegar membuat siapapun yang mendengar pasti ketakutan. Danadyaksa tidak bisa berkutik, tubuhnya bergetar hebat. Apalagi ujung mata pedang sudah menggores lehernya karna tekanan kuat sang Raja. Jika dia salah bicara maka pembuluh darah di lehernya bisa putus dalam hitungan detik. Tapi Raja butuh jawaban! Bima Reksa memberanikan diri untuk membuka mulutnya, "Kami melakukan apa yang Gusti titahkan dalam surat yang Gusti berikan pada Tuan Arya Balaaditya." "Kau bercanda, hah!!!" Dengan nada tinggi Adi Wijaya mengeram kesal, matanya merah dan melotot, bahkan dia menendang wajah Patihnya hingga tersungkur. Bug!! Bima Reksa meringis tapi tanpa menimbulkan suara, dia menahan rasa sakit yang dia dera kuat-kuat. Agar tidak membuat amarah Adi Wijaya semakin besar. Danadyaksa tetap bergeming, keringat dingin bercucuran, lutut dan tangannya mulai lemas karna terlalu lama berlutut. "Ini Gusti" ujar Bima Reksa lirih, sambil menyodorkan surat yang dia simpan di balik bajunya. Adi Wijaya membuang pedangnya ke sembarang tempat, membuat Danadyaksa terduduk lemas. Pria bengis itu mengambil nafas panjang, bersyukur karena masih hidup. Walaupun ada sedikit darah yang mengalir dari kulit leher. Tapi untungnya dia tidak kehilangan kepalanya. Pria paruh baya itu duduk di sisi ranjang, lalu membuka surat dengan cukup kasar. Matanya membulat dengan rahang mengatup saat membaca isi surat. Dia bahkan hampir tersedak saat sebuah peritah keji dengan tulisan tangannya sendiri. Bahkan lengkap dengan stempel raja yang hanya dia yang pegang. Dia merasa di fitnah! "Kurang ajar! Ini memang tulisanku, tapi aku tidak pernah menulisnya. Siapa yang berani menukarnya. Bawa menantuku sekarang juga. Cepat!" Titah Adi Wijaya, suaranya memekik. Danadyaksa dan Bima Reksa merangkak, bahkan kepala mereka sudah menyentuh kaki Adi Wijaya, dalam ketakutan mereka saling bertatapan. "Beraninya dia menukar suratku!" Adi Wijaya menggeram lirih, lalu menatap dua orang yang sedang bersimpuh di kakinya dan berkata, "Bangkit atau kubunuh kalian!" Bima Reksa dan Danadyaksa langsung bangkit dan menjaga jarak. "Apapun yang terjadi aku tidak akan mati!" Batin Danadyaksa terduduk di lantai, tangannya mengepal kuat dengan kepala menunduk. Sedangkan Bima Reksa dia hanya pasrah. Sebelum dua pengawal itu keluar, Puspita Sari dengan lancang masuk ke dalam kamar Adi Wijaya. Tentu saja setelah mengatur suasana hatinya. Berjalan sambil berjinjit untuk menghindari pecahan guci keramik yang berserakan di lantai. Adi Wijaya yang masih kesal langsung menatap Puspita Sari dengan tajam dan suara lantang dia berkata, "Ada apa?" "Tidak Suamiku, aku kesini hanya khawatir dengan adikku. Maaf jika Puspa lancang!" Jawab Puspita Sari, dengan tersenyum tipis. Puspa adalah nama panggilan kesayangan Adi Wijaya kepada Puspita Sari. Adi Wijaya memutar matanya dengan jengah, istri keduanya pasti akan mengingatkannya akan janjinya dulu. Aku tidak akan membunuh adikmu. Tapi, aku akan memotong tangan dan kakinya, jika dia berkhianat kepadaku!" Ucap Adi Wijaya, menyelipkan ancaman di akhir kalimat. Puspita Sari tersenyum getir, hatinya cukup perih, "Jika dia bersalah penggal saja kepalanya, suamiku." Dahi Adi Wijaya mengernyit, benarkah dengan apa yang wanita ini katakan? Dia cukup ragu, mengingat betapa sayangnya istri mudanya terhadap adiknya. Danadyaksa menoleh dengan mulut menganga, mendengar kakaknya ingin menumbalkannya. Tapi saat menatap sang kakak dan melihat senyum culas Puspita Sari dia cukup lega, wanita itu pintar dan lihai. Beberapa saat kemudian dua pengawal telah membawa Arya Balaaditya, tangan dan kakinya di rantai, hiasan kepala sebagai tanda anggota kerajaan telah di lucuti. Begitu pula pakaian mewah yang biasa dia kenakan. Kini hanya menggunakan kain lusuh yang melilit pinggangnya dan selembar kain panjang untuk menutupi bahu bidang pria berusia 35 tahun itu. Arya Balaaditya bersimpuh dan memberi hormat, wajahnya cukup tenang mengingat besok dia akan di gantung di alau-alun. Dengan tatapan dingin Adi Wijaya bertanya, "Apa kamu yang menukar suratku?" "Surat? Bagaimana Ananda berani menukar surat itu Romo?" Jawab Arya Baladitya. Wajah tampannya terlihat bingung."Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber
Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr
Arya Balaaditya menoleh dan tubuhnya terasa membeku, tatapannya lurus menatap lengan istrinya yang di cengkeram oleh Ayah mertuanya. Otaknya seperti mati rasa, dia benar-benar tidak bisa berpikir.Kamaratih merasakan firasat buruk, " jangan-jangan?" Batinnya.Memang siapa yang lebih mengenal tua bangka itu jika bukan istrinya.Senyum licik menghiasi wajah Adi Wijaya. Dengan suara rendah, tua bangka itu berkata, "Putramu atau Putriku? Pilih salah satu!"Deg!Pilihan macam apa ini. Bukankah ini seperti buah si malakama.Seisi ruangan pun terdiam.Jantung Asri Kemuning berdebar kencang, matanya mengerjab-erjam saat melihat tangannya. Dengan ragu dia bertanya, "Romo ...jangan bercanda?"Dengan tawa meledek, Adi Wijaya menunjuk wajahnya seraya berkata, " Apa aku terlihat sedang bercanda? Hah! Kamu tidak tulikan, Nak?"Rupanya, Adi Wijaya butuh tameng agar di masa depan Arya Balaaditya tidak akan membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpanya sekarang. Bukankah orang jahat terlahir dar
Candramaya kecil menghentikan tangisannya, dia diam dan tidak bergerak. Seiring dengan suara auman yang semakin dekat serta suara rumput kering yang terinjak. Gadis itu mengingat sesuatu, dia meninggalkan kerisnya. Sekarang dia pasti akan menjadi makanan harimau itu. Tanpa pikir panjang dia berlari kembali, Karena rasa takut yang menyerang dia tersandung batu terjal, ibu jari kakinya berdarah. Tubuh kecilnya tersungkur mengenaskan di atas tanah yang dingin. "Tooloooongggg!" Gadis itu berteriak, suaranya menggema. Gadis itu meringis, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Mata harimau itu menyala bagaikan api di tengah malam, yang akan membakar apa saja yang dia pandang. Candramaya hanya menangis melihat harimau besar itu berjalan mendekatinya secara perlahan. Hingga samar-samar dari kejauhan ada suara kaki kuda yang mendekat. Gadis itu menoleh, tampak seorang pria dewasa menaiki kuda dengan gagah. Kudanya melaju tapi kedua tangannya memegang busur panah dan melepaskan anak pa
Adi Wijaya mengamati respon setiap orang. Dia yakin rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Selain keadilan, mereka juga suka dengan harta kekayaan. Itu yang terlintas dalam benak orang serakah itu. Dia pikir semua orang sama sepertinya.Penantian sepanjang malam ini sangat mengecewakan. Wajah Wismaya terlihat dingin kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, dia menyadari ada permainan besar di balik semua ini. Semua terlihat rapih dan terencana. Mungkin rakyat Harsa Loka akan melupakan tragedi ini hanya dalam beberapa hari. Tapi tidak dengannya, begitu juga Candramaya. Gadis itu, menarik tangan Pamannya.Wismaya melirik lalu berjongkok membelai surai keponakannya dengan lembut, "Ayo kita pulang, Nak?"Gadis itu menggeleng dan bertanya dengan dingin, "Apa mereka akan di hukum?"Dahi Wismaya berkerut, dia bingung bagaimana menjelaskan masalah ini kepada seorang anak kecil. Jadi dengan tersenyum tipis Wismaya menjawab, "Mereka akan di hukum, Dewata." Mata gadis itu sem
"Jangan ikuti aku!" Gadis itu berjalan tanpa menghiraukan sepupunya. Danumaya hanya terdiam, melihat Candramaya yang mulai menjauh dengan tatapan setajam pisau. "Jika sudah pergi jangan kembali lagi!" Dia berniat untuk menghiraukannya dan bersikap kejam. Tapi mau gimana lagi, bukankah dia sangat terobsesi dengan saudaranya sendiri. Bagaimana tidak? Candramaya adalah gadis yang sangat menawan. Dia seperti bunga cosmos di tengah sabana, cantik, anggun dan rapuh. Bibirnya merah bagai kelopak bunga mawar, kulitnya putih langsat. Kecantikan khas wanita jawa. Dan seperti namanya, dia bersinar bagai bulan purnama. Kecantikannya tersohor di Kadipaten Waringin sampai Harsa Loka dan sekitarnya. Bahkan Putra Mahkota Adhinata sering mengirim hadiah namun selalu di abaikan. Candramaya keluar dari gapura kadipaten Waringin. Tidak ada pengawal yang menghalangi, karna menggunakan kekuatan dari keris saktinya yang dia genggam, membuatnya tak terlihat. Ini seperti Ajian Halimun! K
Danumaya kaget dan sontak berdiri, dia mendengar teriakan Candramaya. Tadi dia berhenti saat melihat Candramaya sedang diam berdiri. Dia memilih duduk dan bersandar di pohon karena terlalu mabuk, dia ketiduran. Walaupun kepalanya sangat sakit, dia berlari dengan gontai. Dia takut terjadi sesuatu dengan gadis itu, "Tunggu, Kakang!" Saat melihat sosok itu lari ketakutan ke arahnya. Cukup membuat Danumaya merasa lega, gadis itu baik-baik saja. Mungkin dia melihat hantu. Jadi Danumaya berhenti berlari. Lagian dia sedang mabuk. Jadi apa bedanya berlari dan berjalan, sama-sama pelan. Sambil mengatur nafasnya yang terengah dia berjalan pelan dengan sempoyongan. Dengan percaya diri dan tersenyum lebar, dia merentangkan kedua tangannya. Di sudah siap memeluk gadis itu. Di sisi lain. Jleb!! "Akhhh!" Candramaya jatuh tersungkur ke tanah, saat keris itu berhasil menembus masuk lewat punggungnya. Badannya terasa panas dan dingin secara bersamaan, ini pertama kalinya keris itu masuk ke
Sebuah tamparan melayang ke wajah Danumaya yang tampan dan mendarat cukup keras! Bahkan utari memukul-mukul dada putranya yang bidang. "Pemuda gila! Anak kurang ajar! Jika kamu mengatakan ini di depan Romomu, kamu pasti sudah digantung di alun-alun.""Ini semua salah Romo, membawa gadis itu ke rumah ini. Kalian menjaganya dengan cinta dan kasih sayang, dan membuat Putra kalian menjadi gila!" Kata Danumaya, dengan wajah memerah mengeluarkan isi hatinya."Tarik kata-katamu!""Itulah kebenarannya, Ibu."Seketika Utari berhenti memukul putra, dia hanya bisa diam."Salahkan aku mencintainya, Ibu?" Tanya Danumaya, suaranya bergetar dan parau dan terduduk lemas di tepi ranjang. Kedua tangannya saling meremas! Matanya berair dan merah, bibirnya bergetar menahan tangis akibat rasa frustasi yang membuat hatinya sesak.Mata nyalang Utari meredup, berubah menjadi tatapan iba. "Kamu salah Nak, pandang dia sebagia Adikmu! Bukan sebagai seorang gadis. Kamu harus mencintainya sebagai seorang Kakak