Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum.
Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad. Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih. "Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam. Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki. Dasar wanita dengki dan rakus. Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih. Langkah Puspita Sari tertahan, saat mendengar ledakan kemarahan serta suara lemparan benda berjatuhan. Puspita Sari menoleh ke segala arah, lorong yang dia lewati sangat sepi bahkan tampak seperti sengaja di kosongkan. Malam ini juga terasa dingin. Puspita Sari berjalan perlahan dan mengendap-endap menuju suara gaduh itu berasal. Dia bahkan sempat melepas gelang kaki agar tidak menimbulkan suara saat dia berjalan. Sekarang dia berada di depan pintu kamar pribadi Adi Wijaya, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. "Dana!" Batin Puspita Sari. Wanita itu tercengang, matanya seketika membulat lalu membekap mulutnya kuat-kuat. Saat melihat Adi Wijaya menghunuskan pedang ke leher Danadyaksa Adiknya sedang berlutut dan terlihat menahan nafas dengan raut wajah ketakutan. Di ruang itu bukan hanya Danadyaksa saja tapi ada Patih Bima Reksa. Kepalanya terus berpikir, bagimana menyelamatkan adiknya. Bagaimana dia bisa bertahan jika adiknya lenyap? "Kenapa kalian melanggar titahku?" Tanya Adi Wijaya. Suaranya menggelegar membuat siapapun yang mendengar pasti ketakutan. Danadyaksa tidak bisa berkutik, tubuhnya bergetar hebat. Apalagi ujung mata pedang sudah menggores lehernya karna tekanan kuat sang Raja. Jika dia salah bicara maka pembuluh darah di lehernya bisa putus dalam hitungan detik. Tapi Raja butuh jawaban! Bima Reksa memberanikan diri untuk membuka mulutnya, "Kami melakukan apa yang Gusti titahkan dalam surat yang Gusti berikan pada Tuan Arya Balaaditya." "Kau bercanda, hah!!!" Dengan nada tinggi Adi Wijaya mengeram kesal, matanya merah dan melotot, bahkan dia menendang wajah Patihnya hingga tersungkur. Bug!! Bima Reksa meringis tapi tanpa menimbulkan suara, dia menahan rasa sakit yang dia dera kuat-kuat. Agar tidak membuat amarah Adi Wijaya semakin besar. Danadyaksa tetap bergeming, keringat dingin bercucuran, lutut dan tangannya mulai lemas karna terlalu lama berlutut. "Ini Gusti" ujar Bima Reksa lirih, sambil menyodorkan surat yang dia simpan di balik bajunya. Adi Wijaya membuang pedangnya ke sembarang tempat, membuat Danadyaksa terduduk lemas. Pria bengis itu mengambil nafas panjang, bersyukur karena masih hidup. Walaupun ada sedikit darah yang mengalir dari kulit leher. Tapi untungnya dia tidak kehilangan kepalanya. Pria paruh baya itu duduk di sisi ranjang, lalu membuka surat dengan cukup kasar. Matanya membulat dengan rahang mengatup saat membaca isi surat. Dia bahkan hampir tersedak saat sebuah peritah keji dengan tulisan tangannya sendiri. Bahkan lengkap dengan stempel raja yang hanya dia yang pegang. Dia merasa di fitnah! "Kurang ajar! Ini memang tulisanku, tapi aku tidak pernah menulisnya. Siapa yang berani menukarnya. Bawa menantuku sekarang juga. Cepat!" Titah Adi Wijaya, suaranya memekik. Danadyaksa dan Bima Reksa merangkak, bahkan kepala mereka sudah menyentuh kaki Adi Wijaya, dalam ketakutan mereka saling bertatapan. "Beraninya dia menukar suratku!" Adi Wijaya menggeram lirih, lalu menatap dua orang yang sedang bersimpuh di kakinya dan berkata, "Bangkit atau kubunuh kalian!" Bima Reksa dan Danadyaksa langsung bangkit dan menjaga jarak. "Apapun yang terjadi aku tidak akan mati!" Batin Danadyaksa terduduk di lantai, tangannya mengepal kuat dengan kepala menunduk. Sedangkan Bima Reksa dia hanya pasrah. Sebelum dua pengawal itu keluar, Puspita Sari dengan lancang masuk ke dalam kamar Adi Wijaya. Tentu saja setelah mengatur suasana hatinya. Berjalan sambil berjinjit untuk menghindari pecahan guci keramik yang berserakan di lantai. Adi Wijaya yang masih kesal langsung menatap Puspita Sari dengan tajam dan suara lantang dia berkata, "Ada apa?" "Tidak Suamiku, aku kesini hanya khawatir dengan adikku. Maaf jika Puspa lancang!" Jawab Puspita Sari, dengan tersenyum tipis. Puspa adalah nama panggilan kesayangan Adi Wijaya kepada Puspita Sari. Adi Wijaya memutar matanya dengan jengah, istri keduanya pasti akan mengingatkannya akan janjinya dulu. Aku tidak akan membunuh adikmu. Tapi, aku akan memotong tangan dan kakinya, jika dia berkhianat kepadaku!" Ucap Adi Wijaya, menyelipkan ancaman di akhir kalimat. Puspita Sari tersenyum getir, hatinya cukup perih, "Jika dia bersalah penggal saja kepalanya, suamiku." Dahi Adi Wijaya mengernyit, benarkah dengan apa yang wanita ini katakan? Dia cukup ragu, mengingat betapa sayangnya istri mudanya terhadap adiknya. Danadyaksa menoleh dengan mulut menganga, mendengar kakaknya ingin menumbalkannya. Tapi saat menatap sang kakak dan melihat senyum culas Puspita Sari dia cukup lega, wanita itu pintar dan lihai. Beberapa saat kemudian dua pengawal telah membawa Arya Balaaditya, tangan dan kakinya di rantai, hiasan kepala sebagai tanda anggota kerajaan telah di lucuti. Begitu pula pakaian mewah yang biasa dia kenakan. Kini hanya menggunakan kain lusuh yang melilit pinggangnya dan selembar kain panjang untuk menutupi bahu bidang pria berusia 35 tahun itu. Arya Balaaditya bersimpuh dan memberi hormat, wajahnya cukup tenang mengingat besok dia akan di gantung di alau-alun. Dengan tatapan dingin Adi Wijaya bertanya, "Apa kamu yang menukar suratku?" "Surat? Bagaimana Ananda berani menukar surat itu Romo?" Jawab Arya Baladitya. Wajah tampannya terlihat bingung."Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber
Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr
Arya Balaaditya menoleh dan tubuhnya terasa membeku, tatapannya lurus menatap lengan istrinya yang di cengkeram oleh Ayah mertuanya. Otaknya seperti mati rasa, dia benar-benar tidak bisa berpikir.Kamaratih merasakan firasat buruk, " jangan-jangan?" Batinnya.Memang siapa yang lebih mengenal tua bangka itu jika bukan istrinya.Senyum licik menghiasi wajah Adi Wijaya. Dengan suara rendah, tua bangka itu berkata, "Putramu atau Putriku? Pilih salah satu!"Deg!Pilihan macam apa ini. Bukankah ini seperti buah si malakama.Seisi ruangan pun terdiam.Jantung Asri Kemuning berdebar kencang, matanya mengerjab-erjam saat melihat tangannya. Dengan ragu dia bertanya, "Romo ...jangan bercanda?"Dengan tawa meledek, Adi Wijaya menunjuk wajahnya seraya berkata, " Apa aku terlihat sedang bercanda? Hah! Kamu tidak tulikan, Nak?"Rupanya, Adi Wijaya butuh tameng agar di masa depan Arya Balaaditya tidak akan membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpanya sekarang. Bukankah orang jahat terlahir dar
Candramaya kecil menghentikan tangisannya, dia diam dan tidak bergerak. Seiring dengan suara auman yang semakin dekat serta suara rumput kering yang terinjak. Gadis itu mengingat sesuatu, dia meninggalkan kerisnya. Sekarang dia pasti akan menjadi makanan harimau itu. Tanpa pikir panjang dia berlari kembali, Karena rasa takut yang menyerang dia tersandung batu terjal, ibu jari kakinya berdarah. Tubuh kecilnya tersungkur mengenaskan di atas tanah yang dingin. "Tooloooongggg!" Gadis itu berteriak, suaranya menggema. Gadis itu meringis, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Mata harimau itu menyala bagaikan api di tengah malam, yang akan membakar apa saja yang dia pandang. Candramaya hanya menangis melihat harimau besar itu berjalan mendekatinya secara perlahan. Hingga samar-samar dari kejauhan ada suara kaki kuda yang mendekat. Gadis itu menoleh, tampak seorang pria dewasa menaiki kuda dengan gagah. Kudanya melaju tapi kedua tangannya memegang busur panah dan melepaskan anak pa
Adi Wijaya mengamati respon setiap orang. Dia yakin rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Selain keadilan, mereka juga suka dengan harta kekayaan. Itu yang terlintas dalam benak orang serakah itu. Dia pikir semua orang sama sepertinya.Penantian sepanjang malam ini sangat mengecewakan. Wajah Wismaya terlihat dingin kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, dia menyadari ada permainan besar di balik semua ini. Semua terlihat rapih dan terencana. Mungkin rakyat Harsa Loka akan melupakan tragedi ini hanya dalam beberapa hari. Tapi tidak dengannya, begitu juga Candramaya. Gadis itu, menarik tangan Pamannya.Wismaya melirik lalu berjongkok membelai surai keponakannya dengan lembut, "Ayo kita pulang, Nak?"Gadis itu menggeleng dan bertanya dengan dingin, "Apa mereka akan di hukum?"Dahi Wismaya berkerut, dia bingung bagaimana menjelaskan masalah ini kepada seorang anak kecil. Jadi dengan tersenyum tipis Wismaya menjawab, "Mereka akan di hukum, Dewata." Mata gadis itu sem
"Jangan ikuti aku!" Gadis itu berjalan tanpa menghiraukan sepupunya. Danumaya hanya terdiam, melihat Candramaya yang mulai menjauh dengan tatapan setajam pisau. "Jika sudah pergi jangan kembali lagi!" Dia berniat untuk menghiraukannya dan bersikap kejam. Tapi mau gimana lagi, bukankah dia sangat terobsesi dengan saudaranya sendiri. Bagaimana tidak? Candramaya adalah gadis yang sangat menawan. Dia seperti bunga cosmos di tengah sabana, cantik, anggun dan rapuh. Bibirnya merah bagai kelopak bunga mawar, kulitnya putih langsat. Kecantikan khas wanita jawa. Dan seperti namanya, dia bersinar bagai bulan purnama. Kecantikannya tersohor di Kadipaten Waringin sampai Harsa Loka dan sekitarnya. Bahkan Putra Mahkota Adhinata sering mengirim hadiah namun selalu di abaikan. Candramaya keluar dari gapura kadipaten Waringin. Tidak ada pengawal yang menghalangi, karna menggunakan kekuatan dari keris saktinya yang dia genggam, membuatnya tak terlihat. Ini seperti Ajian Halimun! K
Danumaya kaget dan sontak berdiri, dia mendengar teriakan Candramaya. Tadi dia berhenti saat melihat Candramaya sedang diam berdiri. Dia memilih duduk dan bersandar di pohon karena terlalu mabuk, dia ketiduran. Walaupun kepalanya sangat sakit, dia berlari dengan gontai. Dia takut terjadi sesuatu dengan gadis itu, "Tunggu, Kakang!" Saat melihat sosok itu lari ketakutan ke arahnya. Cukup membuat Danumaya merasa lega, gadis itu baik-baik saja. Mungkin dia melihat hantu. Jadi Danumaya berhenti berlari. Lagian dia sedang mabuk. Jadi apa bedanya berlari dan berjalan, sama-sama pelan. Sambil mengatur nafasnya yang terengah dia berjalan pelan dengan sempoyongan. Dengan percaya diri dan tersenyum lebar, dia merentangkan kedua tangannya. Di sudah siap memeluk gadis itu. Di sisi lain. Jleb!! "Akhhh!" Candramaya jatuh tersungkur ke tanah, saat keris itu berhasil menembus masuk lewat punggungnya. Badannya terasa panas dan dingin secara bersamaan, ini pertama kalinya keris itu masuk ke
Sebuah tamparan melayang ke wajah Danumaya yang tampan dan mendarat cukup keras! Bahkan utari memukul-mukul dada putranya yang bidang. "Pemuda gila! Anak kurang ajar! Jika kamu mengatakan ini di depan Romomu, kamu pasti sudah digantung di alun-alun.""Ini semua salah Romo, membawa gadis itu ke rumah ini. Kalian menjaganya dengan cinta dan kasih sayang, dan membuat Putra kalian menjadi gila!" Kata Danumaya, dengan wajah memerah mengeluarkan isi hatinya."Tarik kata-katamu!""Itulah kebenarannya, Ibu."Seketika Utari berhenti memukul putra, dia hanya bisa diam."Salahkan aku mencintainya, Ibu?" Tanya Danumaya, suaranya bergetar dan parau dan terduduk lemas di tepi ranjang. Kedua tangannya saling meremas! Matanya berair dan merah, bibirnya bergetar menahan tangis akibat rasa frustasi yang membuat hatinya sesak.Mata nyalang Utari meredup, berubah menjadi tatapan iba. "Kamu salah Nak, pandang dia sebagia Adikmu! Bukan sebagai seorang gadis. Kamu harus mencintainya sebagai seorang Kakak
Adi Wijaya mengangkat tangannya dan semua orang bangkit lalu berjalan dengan menunduk. Mereka kembali ke tempat masing-masing. Indrayana menatap wajah kakeknya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa rindu dan kecewa secara bersamaan. Narendra duduk dengan tenang. Walaupun dia tahu bahwa banyak petisi yang datang perihal rumor yang sudah tersebar di Harsa Loka. Hanya saja itu tidak berpengaruh untuknya. "Apa ada keluhan?" tanya Adi Wijaya. Sebagai seorang raja setiap ada pertemuan, para punggawa ataupun rakyat di persilahkan untuk mengajukan keluhan dan masalahnya. Wismaya bangun dari tempat duduknya dan berjalan menghadap Adi Wijaya. Adi Wijaya menatap datar pada orang yang jelas-jelas menentangnya. "Gusti, sesuai dengan surat titah Gusti Prabu bebeberapa pekan lalu. Hamba dan rekan hamba telah mencari pelaku itu. Tapi kami gagal," ujar Wismaya dengan tenang. Adi Wijaya tersenyum samar dan sudah menduga. Orang tua itu duduk dengan santai sambil menikmati tehnya, "Tentu sampai k
"Aku akan membawa Paman pulang, kamu menyusul dengan kuda. Itu kudanya," ujar Indrayana sambil menunjuk seekor kuda yang terikat di dahan pohon. Indrayana mencuri kuda dari kandang kuda istana."Candramaya setuju, "Baiklah!"Indrayana membawa Respati menggunakan Ilmu Meringankan Tubuh agar cepat sampai. Luka Respati harus segera di tangani, sedangkan Candramaya menyusul dari belakang. Gadis itu mengendarai kuda dengan cepat.Indrayana sampai lebih dulu di Tanah Para Dewa, di depan rumah dia berteriak, "Romo!"Arya Baladitya yang sedari tadi menunggu di depan rumah dengan cemas langsung berlari saat melihat putranya. Wajahnya menegang saat melihat kondisi Respati yang terkena Ajian Tapak Geni, "Bawa masuk!" titahnya.Respati terbaring lemah, nafasnya melambat. Arya Balaaditya duduk di sisi ranjang dan langsung menyinsingkan lengan bajunya. Dia menaruh telapak tangan kanannya untuk mengeluarkan Ajian Aksamala. Darma langsung pergi ke dapur untuk merebus tanaman obat. Tangan Darma berge
Sebuah keris kecil melesat, menyerang pedang Danadyaksa. Keris itu melaju dengan cepat dan kuat. Suara besi kembali beradu, pedang itu jatuh dari genggaman pemiliknya.Semua mata tertuju pada keris yang datang bersamaan dengan dua sekelebatan orang yang memakai cadar masuk ke area pertempuran. Satu laki-laki dan satu wanita. Kedua orang misterius itu menghampiri tubuh Respati yang terluka parah. "Paman ... " panggil Indrayana dengan suara bergetar. Matanya mengembun, dia merasa tidak tega dengan keadaan Pamannya yang terluka parah. Candramaya mengangkat tangannya dan keris itu dengan patuh kembali padanya. Saat gadis itu melihat kondisi Respati, kakinya mendadak lemas, luka pada Pamannya sama persis dengan luka mendiang ayahnya. Seketika itu juga Candramaya menoleh ke arah pria tua berperut buncit. Ingatannya kembali ke masa lalu seiring dengan darahnya yang mendidih.Danadyaksa tertegun dan sedikit linglung, dia cukup heran dengan keris kecil itu. "Bagaimana bisa benda kecil itu ma
Tanpa di duga di perjalanan Danadyaksa melihat ada sekelebatan burung merpati yang masuk ke dalam kediaman tabib istana. Matanya langsung bersinar dan moodnya membaik.Kali ini Danadyaksa tidak akan tertipu lagi, Danadyaksa meringankan setiap langkahnya dan berjalan dengan hati-hati. Di balik pintu dia mengintip dan akan menangkap basah tabib itu.Tampak, Respati sedang memegang burung dan mengambil sesuatu pada kaki burung itu. Namun saat hendak membaca, Danadyaksa tiba-tiba melompat dan menendang punggung Respati.Bug!Respati tersungkur di tanah, dia meringis kesakitan. Langkah seorang pria berjalan mendekatinya lalu berdiri di depan kepalanya.Respati mendongak dan seketika matanya terbelaklak. Tampak seorang pria tua berperut buncit menatapnya dengan remeh, "Aku tertangkap," batinnya.Danadyaksa menyeringai, matanya memerah dan berkata sinis, "Rupanya benar dugaanku! Kamu adalah mata-mata."Respati menjatuhkan pesan dari Arya Balaaditya. Dia mengabaikan Danadyaksa dan fokus untuk
"Hais!!" Candramaya mengeram dengan kedua tangan terkepal."Bara yang para Pamanmu lempar sudah mulai membakar rumput Harsa Loka, sebentar lagi bara itu akan membakar seluruh penghuni istana Harsa Laka. Setelah itu, tugas kita adalah memadamkan bara itu. Kamu pahamkan?"Candramaya mengangguk, "Baiklah."Kumala mengambil kesempatan, dia bertanya dengan mata berbinar, "Candramaya! Kamu benar-benar ingin membantuku?""Tentu," jawab Candramaya dengan tulus."Kamu bisa membantuku sekarang," ujar Kumala."Katakan ... " Candramaya mengangguk.Kumala tersenyum lalu berkata tanpa dosa, "Biarkan aku menikah dengan Indrayana.""Kamu gila!" Candramaya memekik. "Gadis ini benar-benar," batin Indrayana sambil memutar bola matanya. Dia sudah menduganya.Kumala langsung berkata dengan nada sedih, "Aku mohon ... Sekarang tidak akan ada yang mau menikahi aku yang kotor ini."Candramaya memejamkan matanya sambil menggertakan giginya, "Aku kasihan padamu Kumala dan aku benar-benar kasihan. Tapi kenapa d
Gadis itu tidak lain adalah Kumala. Dia yang tidak sabar menunggu hari esok dan bersikeras untuk segera menemui Arya Balaaditya. Sebelumnya, Bima Reksa dan cucunya berada di depan dinding berwujud semak belukar yang tinggi cukup lama karena tidak bisa masuk. Hanya saja tiba-ada sebuah celah terbuka. Semak belukar itu terbuka dan seekor burung merpati keluar. Bima Reksa dan Kumala memanfaatkannya untuk masuk sebelum celah itu tertutup kembali. Setelah sampai di depan rumah besar satu-satunya di tempat itu. Bima Reksa mengetuk pintu rumah Arya Balaaditya dengan kepala tertunduk dan Kumala berdiri di belakangnya. Mereka datang membawa keluhan dan rasa malu. Saat pintu terbuka, Darma terkejut dengan tamu yang datang. Dan dia juga heran karena dua orang ini bisa masuk. Dan yang membuatnya tercengang dan merinding adalah seorang gadis yang familiar berdiri dengan kepala tertunduk dalam keadaan, wajah dan tubuh penuh lebam. Pakaian yang dia kenakan juga sangat sederhana. "Dewata!" g
"Ada hal penting, Kang Mas?" tanya Asri Kemuning. Wanita itu merasa khawatir setelah melihat perubahan wajah suaminya. Merasa tidak puas dengan jawaban Ayahnya, Indrayana menggunakan kekuatan Batu Merah Delima yang ada di keningnya. Pesan itu berisi 'Pangeran Narendra telah menganiaya seorang gadis bernama Kumala. Gadis itu sudah berhasil selamat.' Setelah membaca pesan itu, Indrayana cukup kaget. Apa Kumala yang ada di surat itu adalah Kumala yang dia kenal atau orang lain. Entahlah! Tapi yang pasti adalah tugas dari Respati adalah menjadi mata-mata. Indrayana melirik Candramaya, dia membelai wajah dingin istrinya lalu bertanya, "Kamu bosan ya?" Candramaya hanya mengangguk lalu berbisik, "Bawa aku dari sini." Indrayana menyeringai lalu berkata, "Romo ... Ibu ... Aku akan membawa istriku jalan-jalan." "Baiklah ... " ujar Asri Kemuning. "Candramaya izin keluar dulu," ujarnya dengan canggung. Asri Kemuning dan Arya Balaaditya mengangguk. Setelah memastikan putra dan menantunya
"Oh maaf ... Kisanak! Silahkan lanjutkan," ujar pria yang menyela dengan canggung. Kebo Ireng melanjutkan ceritanya dengan wajah yang tegang dan serius, "Untungnya tidak ada korban, kebetulan bukit itu tidak pernah di jamah oleh orang. Jika saja tidak terjadi longsor, pasti jasad-jasad itu tidak akan pernah ditemukan." Seno Aji ikut menimpali, "Jasad-jasad itu dikumpulkan dan kebetulan ada jasad yang masih baru. Jasad gadis itu dalam keadaan tanpa busana, tubuh dan wajahnya penuh memar. Bahkan di area kemaluannya penuh darah. Sepertinya selain dianiaya, gadis itu juga di lecehkan. Karena penasaran kami datang dan melihat proses pemakaman masal itu. Dan mulai detik itu, aku selalu mual saat makan. Benar-benar mengenaskan, aromanya sangat busuk dan menusuk hidung. Hoek!" Seseorang di belakang tubuh Seno Aji memijit lehernya. Seno Aji kali ini benar-benar muntah, semua isi perutnya keluar. Pria itu tampak lemas dan pucat. Pemilik warung dengan sigap menyodorkan minuman, "Ini minum lag
Bima Reksa menaruh kapaknya, dia berjalan mendekati cucunya yang dalam keadaan menyedihkan. "Kumala ... katakan! Apa yang terjadi?" tanyanya dengan perasaan hancur. Pria tua itu membelai kepala cucunya dengan kasih sayang.Bima Reksa dipenuhi dengan banyak pertanyaan atas hal buruk yang telah di alami cucunya.Lidah Kumala terasa keluh, dia hanya bisa berhambur memeluk tubuh kakeknya dan menangis. Bima Reksa merangkul cucunya untuk masuk ke dalam rumah, "Bibi ... " panggil Bima Reksa.Pelayan rumah itu datang, namun langkahnya terhenti dan tenggorokannya tercekat, "Hah! Raden Kumala?"Kumala terus saja menangis, "Hiks! Aki ... to-long! Pangeran Narendra!"Deg!Jantung Bima Reksa rasanya mau copot, dia menggelengkan kepalanya dan menampik pikiran buruknya. "Nak! Pangeran Narendra tidak memaksamu kan?"Kumala kembali menangis, dia mengangguk. Sorot mata gadis itu terlihat sedih dan putus asa, "Pria itu telah menganiayaku, Aki!" ujar Kumala lirih. Tangisnya pecah dan semakin pilu.Pria