Klekkk!!
Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat. "Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung. "Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malih Rupa. Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam. Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis. "Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas. "Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu duduk di atas karpet bulu sambil memeluk kaki Adi Wijaya yang duduk di sisi ranjang. "Kang mas ...kasihan putri dan cucu kita?" Wajah wanita itu mendongak, menatap Adi Wijaya yang terlihat gusar. Sorot mata Adi Wijaya terlihat menyesal. Dia baru ingat putrinya sakit dan cucunya masih kecil. Tapi dia juga takut kehilangan tahtanya. "Aku ini seorang raja, sabdaku adalah perintah!" "Selain seorang Raja, kamu juga seorang Ayah!" Kamaratih menyela. "Sudahlah! Aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri. Lagian anak itu mengakuinya," ujar Adi Wijaya, berdalih. Karena tidak tahan mendengar tangisan Kamaratih, dia memilih keluar kamar dan mengabaikan istri pertamanya yang terus menangis seperti orang gila. Tidak lama kemudian, Dewi Puspita Sari yang dari tadi di balik pintu kamar dan bersembunyi berjalan mendekat, langkahnya begitu anggun dengan wajah berseri dan senyum menghiasi bibirnya. Matanya berbinar, saat melihat Kamaratih yang terduduk di lantai sedang menangis pilu, terlihat kacau dan menyedihkan. Kamaratih palsu mendongak, "Ibu mertua!" Batinnya. "Aku akan membantu membujuk Kanda Prabu, Yunda. Tapi?" Kata Puspita Sari, sudah berdiri angkuh di depan Kamaratih. "Tapi apa, Sari?" Tanya Kamaratih palsu, suaranya parau dan serak. "Yunda ...harus angkat kaki dari istana ini!" Jawab Puspita Sari, duduk di sisi ranjang matanya memandang kamar utama yang begitu besar dan megah. Tangannya mengelus permukaan ranjang. Dia menginginkan kamar megah itu. Sang Prabu sangat suka berada di kamar ini, dia ingin apapun milik Kamaratih. Dia ingin segalanya. Senyumnya mengembang, dia sangat bahagia. Alis Kamaratih palsu terangkat sebelah, "Jadi ini tujuan Ibu mertuaku yang licik ini." "Kenapa?" Tanya Kamaratih palsu. "Karna aku membencimu Yunda! Pergilah ke gunung atau kemanapun jauh dari semua milikku! Bila perlu bertapa sampai mati!" Sarkas Puspita Sari. Lalu dengan sikap tidak tau diri dia berkata, "Dan aku pastikan menantumu akan tetap hidup!" Hari ini tidak akan terulang lagi, Wanita serakah itu pasti manfaatkannya sebaik mungkin. "Baiklah ...tepati janjimu dan aku akan menepati janjiku!" Kata Kamaratih, mengigit bibirnya yang bergetar, air matanya luruh membasahi pipinya yang keriput. Wanita muda itu bukan cuma pandai mengubah wujudnya dengan sempurna, dia juga mampu berakting layaknya Kamaratih. Puspita Sari tertipu. Wanita yang bernama Damayanti Citra berpikir akan lebih menyenangkan jika dia memberi mertuanya pelajaran. Sekaligus memperburuk hubungan dua istri Adi Wijaya. Ini pasti seru! "Dasar lemah!" Ejek Puspita Sari, telunjuknya mendorong pundak Kamaratih lalu bangkit. Saat akan melangkahkan kakinya untuk pergi, Puspita Sari mendengar hal yang membuat hatinya terasa terbakar. "Wanita tidak tau diri! Menjijikan! Dasar lintah!" Ujar Kamaratih lirih. Wanita berusia 50 tahun itu menoleh. Jelas saja dia mendengar ejekan dan hinaan Kamaratih. "Yunda bilang apa?" Tanya Puspita Sari. "Kamu ...wanita tidak tau diri! Menjijikan! Dasar lintah!" Ujar Kamaratih palsu, sedikit memekik dengan nada mencibir. Kamaratih palsu mendongak, sorot matanya tampak berbeda dengan sudut bibir terangkat. "Dulu kamu berpura-pura lugu dan sekarang kamu berpura-pura tuli, hah?" "Kamu masih bisa angkuh, Kamaratih" Puspita Sari menggeram lirih, tatapannya tajam. Puspita Sari berdiri angkuh dengan kedua tangan di lipat di dada. Dia benar-benar tidak menyangka wanita selembut Kamaratih bisa berkata sekasar itu. Tatapan Kamaratih sangat berbeda, sorot matanya tajam dan mengintimidasi. Tidak seperti biasanya, lembut dan hangat. Kamaratih palsu bangkit dan wajahnya terlihat dingin. Dengan nada memprovokasi dia berkata, "Kamu hanya gadis miskin yang aku pungut dari jalanan. Dan sekarang kau berlagak jadi ratu negeri ini. Apa Kau sedang bermimpii?" Kamaratih berjalan mendekati Puspita Sari yang memucat dan tanpa sadar lipatan tangannya terlepas. Dia meremas pundak Puspita Sari cukup keras. Rasanya seperti remuk. ''Kau kira aku tidak tau dengan tingkah binalmu dalam merayu Adi Wijaya. Kau seperti lintah yang suka menghisap darah. Dasar jalang!" Kamaratih berkata sarkas, bahkan dia tidak segan-segan mengungkit dari mana Puspita Sari berasal. Hal yang paling dia benci adalah asal-usulnya. Walaupun itu sudah menjadi rahasia umum di Harsa Loka. Puspita Sari menggigit bibir bawahnya, tenggorokannya terasa tercekik. Nafasnya tak beraturan menahan amarah, terlihat dari matanya yang membulat sempurna dengan bola mata memerah dan berair. "Aku tidak perduli Kamaratih! Tapi yang jelas aku pasti akan mengusirmu dari negeri ini!" Kata Puspita Sari. Tekadnya bulat. Puspita Sari benar-benar telah membuka topengnya selama ini. dengan sikapnya yang tidak tau diri. Dia menghempas tangan kamaratih yang mencengkram bahunya, lalu memilih pergi dengan dada yang terasa sesak dan panas. Jika ada kesempatan Puspita Sari ingin sekali menguliti wanita paruh baya itu. "Cih!" Kamaratih palsu berdecih menatap Puspita Sari yang pergi. Dia berhasil melukai wanita tidak tau diri itu dengan cakar tajam yang dia sembunyikan selama ini. Kamaratih palsu menatap cermin lalu menghapus air matanya, wujudnya kembali seperti sedia kala. Wanita itu mengeluarkan stempel kerajaan yang dia curi. "Humm ...ada yang harus aku lakukan. Yah! Kedua dayang itu," ucapnya lirih, dengan senyum menyeringai.Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum. Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih."Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.
"Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber
Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr
Arya Balaaditya menoleh dan tubuhnya terasa membeku, tatapannya lurus menatap lengan istrinya yang di cengkeram oleh Ayah mertuanya. Otaknya seperti mati rasa, dia benar-benar tidak bisa berpikir.Kamaratih merasakan firasat buruk, " jangan-jangan?" Batinnya.Memang siapa yang lebih mengenal tua bangka itu jika bukan istrinya.Senyum licik menghiasi wajah Adi Wijaya. Dengan suara rendah, tua bangka itu berkata, "Putramu atau Putriku? Pilih salah satu!"Deg!Pilihan macam apa ini. Bukankah ini seperti buah si malakama.Seisi ruangan pun terdiam.Jantung Asri Kemuning berdebar kencang, matanya mengerjab-erjam saat melihat tangannya. Dengan ragu dia bertanya, "Romo ...jangan bercanda?"Dengan tawa meledek, Adi Wijaya menunjuk wajahnya seraya berkata, " Apa aku terlihat sedang bercanda? Hah! Kamu tidak tulikan, Nak?"Rupanya, Adi Wijaya butuh tameng agar di masa depan Arya Balaaditya tidak akan membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpanya sekarang. Bukankah orang jahat terlahir dar
Candramaya kecil menghentikan tangisannya, dia diam dan tidak bergerak. Seiring dengan suara auman yang semakin dekat serta suara rumput kering yang terinjak. Gadis itu mengingat sesuatu, dia meninggalkan kerisnya. Sekarang dia pasti akan menjadi makanan harimau itu. Tanpa pikir panjang dia berlari kembali, Karena rasa takut yang menyerang dia tersandung batu terjal, ibu jari kakinya berdarah. Tubuh kecilnya tersungkur mengenaskan di atas tanah yang dingin. "Tooloooongggg!" Gadis itu berteriak, suaranya menggema. Gadis itu meringis, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Mata harimau itu menyala bagaikan api di tengah malam, yang akan membakar apa saja yang dia pandang. Candramaya hanya menangis melihat harimau besar itu berjalan mendekatinya secara perlahan. Hingga samar-samar dari kejauhan ada suara kaki kuda yang mendekat. Gadis itu menoleh, tampak seorang pria dewasa menaiki kuda dengan gagah. Kudanya melaju tapi kedua tangannya memegang busur panah dan melepaskan anak pa
Adi Wijaya mengamati respon setiap orang. Dia yakin rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Selain keadilan, mereka juga suka dengan harta kekayaan. Itu yang terlintas dalam benak orang serakah itu. Dia pikir semua orang sama sepertinya.Penantian sepanjang malam ini sangat mengecewakan. Wajah Wismaya terlihat dingin kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, dia menyadari ada permainan besar di balik semua ini. Semua terlihat rapih dan terencana. Mungkin rakyat Harsa Loka akan melupakan tragedi ini hanya dalam beberapa hari. Tapi tidak dengannya, begitu juga Candramaya. Gadis itu, menarik tangan Pamannya.Wismaya melirik lalu berjongkok membelai surai keponakannya dengan lembut, "Ayo kita pulang, Nak?"Gadis itu menggeleng dan bertanya dengan dingin, "Apa mereka akan di hukum?"Dahi Wismaya berkerut, dia bingung bagaimana menjelaskan masalah ini kepada seorang anak kecil. Jadi dengan tersenyum tipis Wismaya menjawab, "Mereka akan di hukum, Dewata." Mata gadis itu sem
"Jangan ikuti aku!" Gadis itu berjalan tanpa menghiraukan sepupunya. Danumaya hanya terdiam, melihat Candramaya yang mulai menjauh dengan tatapan setajam pisau. "Jika sudah pergi jangan kembali lagi!" Dia berniat untuk menghiraukannya dan bersikap kejam. Tapi mau gimana lagi, bukankah dia sangat terobsesi dengan saudaranya sendiri. Bagaimana tidak? Candramaya adalah gadis yang sangat menawan. Dia seperti bunga cosmos di tengah sabana, cantik, anggun dan rapuh. Bibirnya merah bagai kelopak bunga mawar, kulitnya putih langsat. Kecantikan khas wanita jawa. Dan seperti namanya, dia bersinar bagai bulan purnama. Kecantikannya tersohor di Kadipaten Waringin sampai Harsa Loka dan sekitarnya. Bahkan Putra Mahkota Adhinata sering mengirim hadiah namun selalu di abaikan. Candramaya keluar dari gapura kadipaten Waringin. Tidak ada pengawal yang menghalangi, karna menggunakan kekuatan dari keris saktinya yang dia genggam, membuatnya tak terlihat. Ini seperti Ajian Halimun! K
Danumaya kaget dan sontak berdiri, dia mendengar teriakan Candramaya. Tadi dia berhenti saat melihat Candramaya sedang diam berdiri. Dia memilih duduk dan bersandar di pohon karena terlalu mabuk, dia ketiduran. Walaupun kepalanya sangat sakit, dia berlari dengan gontai. Dia takut terjadi sesuatu dengan gadis itu, "Tunggu, Kakang!" Saat melihat sosok itu lari ketakutan ke arahnya. Cukup membuat Danumaya merasa lega, gadis itu baik-baik saja. Mungkin dia melihat hantu. Jadi Danumaya berhenti berlari. Lagian dia sedang mabuk. Jadi apa bedanya berlari dan berjalan, sama-sama pelan. Sambil mengatur nafasnya yang terengah dia berjalan pelan dengan sempoyongan. Dengan percaya diri dan tersenyum lebar, dia merentangkan kedua tangannya. Di sudah siap memeluk gadis itu. Di sisi lain. Jleb!! "Akhhh!" Candramaya jatuh tersungkur ke tanah, saat keris itu berhasil menembus masuk lewat punggungnya. Badannya terasa panas dan dingin secara bersamaan, ini pertama kalinya keris itu masuk ke
Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden
Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t
Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu
Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci
"Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja
Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat
Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu
Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.
Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga