Klekkk!!
Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat. "Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung. "Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malik Rupa. Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam. Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis. "Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas. "Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu duduk di atas karpet bulu sambil memeluk kaki Adi Wijaya yang duduk di sisi ranjang. "Kang mas ...kasihan putri dan cucu kita?" Wajah wanita itu mendongak, menatap Adi Wijaya yang terlihat gusar. Sorot mata Adi Wijaya terlihat menyesal. Dia baru ingat putrinya sakit dan cucunya masih kecil. Tapi dia juga takut kehilangan tahtanya. "Aku ini seorang raja, sabdaku adalah perintah!" "Selain seorang Raja, kamu juga seorang Ayah!" Kamaratih menyela. "Sudahlah! Aku tidak mungkin menjilat ludahku sendiri. Lagian anak itu mengakuinya," ujar Adi Wijaya, berdalih. Karena tidak tahan mendengar tangisan Kamaratih, dia memilih keluar kamar dan mengabaikan istri pertamanya yang terus menangis seperti orang gila. Tidak lama kemudian, Dewi Puspita Sari yang dari tadi di balik pintu kamar dan bersembunyi berjalan mendekat, langkahnya begitu anggun dengan wajah berseri dan senyum menghiasi bibirnya. Matanya berbinar, saat melihat Kamaratih yang terduduk di lantai sedang menangis pilu, terlihat kacau dan menyedihkan. Kamaratih palsu mendongak, "Ibu mertua!" Batinnya. "Aku akan membantu membujuk Kanda Prabu, Yunda. Tapi?" Kata Puspita Sari, sudah berdiri angkuh di depan Kamaratih. "Tapi apa, Sari?" Tanya Kamaratih palsu, suaranya parau dan serak. "Yunda ...harus angkat kaki dari istana ini!" Jawab Puspita Sari, duduk di sisi ranjang matanya memandang kamar utama yang begitu besar dan megah. Tangannya mengelus permukaan ranjang. Dia menginginkan kamar megah itu. Sang Prabu sangat suka berada di kamar ini, dia ingin apapun milik Kamaratih. Dia ingin segalanya. Senyumnya mengembang, dia sangat bahagia. Alis Kamaratih palsu terangkat sebelah, "Jadi ini tujuan Ibu mertuaku yang licik ini." "Kenapa?" Tanya Kamaratih palsu. "Karna aku membencimu Yunda! Pergilah ke gunung atau kemanapun jauh dari semua milikku! Bila perlu bertapa sampai mati!" Sarkas Puspita Sari. Lalu dengan sikap tidak tau diri dia berkata, "Dan aku pastikan menantumu akan tetap hidup!" Hari ini tidak akan terulang lagi, Wanita serakah itu pasti manfaatkannya sebaik mungkin. "Baiklah ...tepati janjimu dan aku akan menepati janjiku!" Kata Kamaratih, mengigit bibirnya yang bergetar, air matanya luruh membasahi pipinya yang keriput. Wanita muda itu bukan cuma pandai mengubah wujudnya dengan sempurna, dia juga mampu berakting layaknya Kamaratih. Puspita Sari tertipu. Wanita yang bernama Damayanti Citra berpikir akan lebih menyenangkan jika dia memberi mertuanya pelajaran. Sekaligus memperburuk hubungan dua istri Adi Wijaya. Ini pasti seru! "Dasar lemah!" Ejek Puspita Sari, telunjuknya mendorong pundak Kamaratih lalu bangkit. Saat akan melangkahkan kakinya untuk pergi, Puspita Sari mendengar hal yang membuat hatinya terasa terbakar. Wanita tidak tau diri! Menjijikan! Dasar lintah!" Ujar Kamaratih lirih. Wanita berusia 50 tahun itu menoleh. Jelas saja dia mendengar ejekan dan hinaan Kamaratih. "Yunda bilang apa?" Tanya Puspita Sari. "Kamu ...wanita tidak tau diri! Menjijikan! Dasar lintah!" Ujar Kamaratih palsu, sedikit memekik dengan nada mencibir. Kamaratih palsu mendongak, sorot matanya tampak berbeda dengan sudut bibir terangkat. "Dulu kamu berpura-pura lugu dan sekarang kamu berpura-pura tuli, hah?" "Kamu masih bisa angkuh, Kamaratih" Puspita Sari menggeram lirih, tatapannya tajam. Puspita Sari berdiri angkuh dengan kedua tangan di lipat di dada. Dia benar-benar tidak menyangka wanita selembut Kamaratih bisa berkata sekasar itu. Tatapan Kamaratih sangat berbeda, sorot matanya tajam dan mengintimidasi. Tidak seperti biasanya, lembut dan hangat. Kamaratih palsu bangkit dan wajahnya terlihat dingin. Dengan nada memprovokasi dia berkata, "Kamu hanya gadis miskin yang aku pungut dari jalanan. Dan sekarang kau berlagak jadi ratu negeri ini. Apa Kau sedang bermimpii?" Kamaratih berjalan mendekati Puspita Sari yang memucat dan tanpa sadar lipatan tangannya terlepas. Dia meremas pundak Puspita Sari cukup keras. Rasanya seperti remuk. ''Kau kira aku tidak tau dengan tingkah binalmu dalam merayu Adi Wijaya. Kau seperti lintah yang suka menghisap darah. Dasar jalang!" Kamaratih berkata sarkas, bahkan dia tidak segan-segan mengungkit dari mana Puspita Sari berasal. Hal yang paling dia benci adalah asal-usulnya. Walaupun itu sudah menjadi rahasia umum di Harsa Loka. Puspita Sari menggigit bibir bawahnya, tenggorokannya terasa tercekik. Nafasnya tak beraturan menahan amarah, terlihat dari matanya yang membulat sempurna dengan bola mata memerah dan berair. "Aku tidak perduli Kamaratih! Tapi yang jelas aku pasti akan mengusirmu dari negeri ini!" Kata Puspita Sari. Tekadnya bulat. Puspita Sari benar-benar telah membuka topengnya selama ini. dengan sikapnya yang tidak tau diri. Dia menghempas tangan kamaratih yang mencengkram bahunya, lalu memilih pergi dengan dada yang terasa sesak dan panas. Jika ada kesempatan Puspita Sari ingin sekali menguliti wanita paruh baya itu. "Cih!" Kamaratih palsu berdecih menatap Puspita Sari yang pergi. Dia berhasil melukai wanita tidak tau diri itu dengan cakar tajam yang dia sembunyikan selama ini. Kamaratih palsu menatap cermin lalu menghapus air matanya, wujudnya kembali seperti sedia kala. Wanita itu mengeluarkan stempel kerajaan yang dia curi. "Humm ...ada yang harus aku lakukan. Yah! Kedua dayang itu," ucapnya lirih, dengan senyum menyeringai.Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum. Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih."Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.
"Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber
Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr
Arya Balaaditya menoleh dan tubuhnya terasa membeku, tatapannya lurus menatap lengan istrinya yang di cengkeram oleh Ayah mertuanya. Otaknya seperti mati rasa, dia benar-benar tidak bisa berpikir.Kamaratih merasakan firasat buruk, " jangan-jangan?" Batinnya.Memang siapa yang lebih mengenal tua bangka itu jika bukan istrinya.Senyum licik menghiasi wajah Adi Wijaya. Dengan suara rendah, tua bangka itu berkata, "Putramu atau Putriku? Pilih salah satu!"Deg!Pilihan macam apa ini. Bukankah ini seperti buah si malakama.Seisi ruangan pun terdiam.Jantung Asri Kemuning berdebar kencang, matanya mengerjab-erjam saat melihat tangannya. Dengan ragu dia bertanya, "Romo ...jangan bercanda?"Dengan tawa meledek, Adi Wijaya menunjuk wajahnya seraya berkata, " Apa aku terlihat sedang bercanda? Hah! Kamu tidak tulikan, Nak?"Rupanya, Adi Wijaya butuh tameng agar di masa depan Arya Balaaditya tidak akan membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpanya sekarang. Bukankah orang jahat terlahir dar
Candramaya kecil menghentikan tangisannya, dia diam dan tidak bergerak. Seiring dengan suara auman yang semakin dekat serta suara rumput kering yang terinjak. Gadis itu mengingat sesuatu, dia meninggalkan kerisnya. Sekarang dia pasti akan menjadi makanan harimau itu. Tanpa pikir panjang dia berlari kembali, Karena rasa takut yang menyerang dia tersandung batu terjal, ibu jari kakinya berdarah. Tubuh kecilnya tersungkur mengenaskan di atas tanah yang dingin. "Tooloooongggg!" Gadis itu berteriak, suaranya menggema. Gadis itu meringis, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Mata harimau itu menyala bagaikan api di tengah malam, yang akan membakar apa saja yang dia pandang. Candramaya hanya menangis melihat harimau besar itu berjalan mendekatinya secara perlahan. Hingga samar-samar dari kejauhan ada suara kaki kuda yang mendekat. Gadis itu menoleh, tampak seorang pria dewasa menaiki kuda dengan gagah. Kudanya melaju tapi kedua tangannya memegang busur panah dan melepaskan anak pa
Adi Wijaya mengamati respon setiap orang. Dia yakin rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Selain keadilan, mereka juga suka dengan harta kekayaan. Itu yang terlintas dalam benak orang serakah itu. Dia pikir semua orang sama sepertinya.Penantian sepanjang malam ini sangat mengecewakan. Wajah Wismaya terlihat dingin kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, dia menyadari ada permainan besar di balik semua ini. Semua terlihat rapih dan terencana. Mungkin rakyat Harsa Loka akan melupakan tragedi ini hanya dalam beberapa hari. Tapi tidak dengannya, begitu juga Candramaya. Gadis itu, menarik tangan Pamannya.Wismaya melirik lalu berjongkok membelai surai keponakannya dengan lembut, "Ayo kita pulang, Nak?"Gadis itu menggeleng dan bertanya dengan dingin, "Apa mereka akan di hukum?"Dahi Wismaya berkerut, dia bingung bagaimana menjelaskan masalah ini kepada seorang anak kecil. Jadi dengan tersenyum tipis Wismaya menjawab, "Mereka akan di hukum, Dewata." Mata gadis itu sem
"Jangan ikuti aku!" Gadis itu berjalan tanpa menghiraukan sepupunya. Danumaya hanya terdiam, melihat Candramaya yang mulai menjauh dengan tatapan setajam pisau. "Jika sudah pergi jangan kembali lagi!" Dia berniat untuk menghiraukannya dan bersikap kejam. Tapi mau gimana lagi, bukankah dia sangat terobsesi dengan saudaranya sendiri. Bagaimana tidak? Candramaya adalah gadis yang sangat menawan. Dia seperti bunga cosmos di tengah sabana, cantik, anggun dan rapuh. Bibirnya merah bagai kelopak bunga mawar, kulitnya putih langsat. Kecantikan khas wanita jawa. Dan seperti namanya, dia bersinar bagai bulan purnama. Kecantikannya tersohor di Kadipaten Waringin sampai Harsa Loka dan sekitarnya. Bahkan Putra Mahkota Adhinata sering mengirim hadiah namun selalu di abaikan. Candramaya keluar dari gapura kadipaten Waringin. Tidak ada pengawal yang menghalangi, karna menggunakan kekuatan dari keris saktinya yang dia genggam, membuatnya tak terlihat. Ini seperti Ajian Halimun! K
Danumaya kaget dan sontak berdiri, dia mendengar teriakan Candramaya. Tadi dia berhenti saat melihat Candramaya sedang diam berdiri. Dia memilih duduk dan bersandar di pohon karena terlalu mabuk, dia ketiduran. Walaupun kepalanya sangat sakit, dia berlari dengan gontai. Dia takut terjadi sesuatu dengan gadis itu, "Tunggu, Kakang!" Saat melihat sosok itu lari ketakutan ke arahnya. Cukup membuat Danumaya merasa lega, gadis itu baik-baik saja. Mungkin dia melihat hantu. Jadi Danumaya berhenti berlari. Lagian dia sedang mabuk. Jadi apa bedanya berlari dan berjalan, sama-sama pelan. Sambil mengatur nafasnya yang terengah dia berjalan pelan dengan sempoyongan. Dengan percaya diri dan tersenyum lebar, dia merentangkan kedua tangannya. Di sudah siap memeluk gadis itu. Di sisi lain. Jleb!! "Akhhh!" Candramaya jatuh tersungkur ke tanah, saat keris itu berhasil menembus masuk lewat punggungnya. Badannya terasa panas dan dingin secara bersamaan, ini pertama kalinya keris itu masuk ke