Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.
Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya. Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna. Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya. Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan. Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan. "Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya sendiri. Para punggawa saling bertatapan, salah satu dari mereka memberanikan diri untuk menjawab, "Belum Gusti." "Syukurlah!" Batin Adi Wijaya, hatinya merasa lega. Adi Wijaya bisa bernafas kali ini. Dan berpikir semua masih dalam kendalinya. "Tapi, saat hamba bertemu dengan Senopati Damarjati dan ketiga rekannya keluar dari istana. Dia mengatakan bahwa sudah mengetahui semua kebenarannya. Dan akan membongkar segalanya saat rapat di istana, Gusti." Wajah Adi Wijaya memucat begitu juga dengan Narendra. Tangan Narendra bahkan bergetar dan untuk menutupinya, dia meremas kuat tangannya sendiri. Adi Wijaya mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengatur emosinya. Jangan sampai para punggawa melihat kegelisahannya. Mereka bisa curiga. Sejenak suasana hening. Hingga tiba-tiba seorang pengawal masuk dengan tergesa-gesa, lalu bersimpuh di depan Raja. Wajah Adi Wijaya semakin menegang saat melihat salah satu pengawal masuk dengan tergesa-gesa namun dengan cepat menyembunyikan rasa takutnya. Dengan Wibawa dia berkata, "Ada yang mau di laporkan?" "Ada segrombolan orang di luar ingin menghadap, Gusti Prabu." "Persilahkan." "Sendiko dawuh, Gusti." Selang beberapa menit setelah prajurit itu keluar. Segerombolan orang berpakaian berkabung beriringan masuk. Wajah mereka terlihat muram dengan mata sembab. Dahi Adi Wijaya mengernyit dan merasakan firasat buruk. "Ada apa lagi ini?" Batinnya. Salah satunya adalah Adipati Wismaya yang datang dengan wajah lesu, namun dari pancaran matanya terlihat dendam dan kesedihan. Dia menggendong seorang gadis kecil yang tidak lain adalah keponakannya. Mereka duduk di atas lantai, menghadap sang Prabu dengan hormat. "Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Hamba Adipati Wismaya dari Waringin. Kami datang kesini meminta keadilan untuk keluarga kami," kata Wismaya, suaranya serak dan bergetar. "Keadilan apa?" Tanya Adi Wijaya, jantungnya semakin berdebar. Apa mereka keluarga dari para gadis yang hilang. Dia melirik putranya yang keblingsatan. "Kerabat kami dibantai, Gusti Prabu!" "Putri kami menjadi janda, Gusti Prabu!" "Lihat lah anak kecil ini menjadi yatim piatu hanya dalam satu malam, Gusti Prabu." Tubuh Adi Wijaya basah dengan keringat dingin, perasaannya kembali kacau, saat mendengar berbagai macam keluhan. Dengan susah payah Adi Wijaya membuka mulutnya "Apa ini perampokan?" Dengan hati-hati Wismaya menyatukan tangan memberi hormat lalu berkata, "Ini pembantaian, Senopati Damarjati, Tumenggung Harya Murti, Aji Susongko dan Priyagada. Mereka tewas tadi malam di rumah mereka sendiri. Jika salah satu keluarga mereka ada yang masih hidup. Itu kemurahan hati para Dewata, Gusti." "Bahkan setelah mereka semua di bantai, kepala mereka menghilang, Gusti! Hiks ...hiks," kata seorang wanita tua, tangisnya pecah dan terdengar sangat pilu. "Apah! Mereka semua tewas!" Adi Wijaya memekik, dia sungguh terkejut dan langsung bangun dari kursinya. Saking terkejutnya membuat tubuh gagahnya bergetar lalu perlahan duduk kembali di atas kursi singgasananya karna kakinya terasa lemas. Seisi ruangan terkejut. Mata Adi Wijaya terbelaklak dan mulutnya menganga, dia teringat sesuatu. "Jangan-jangan yang kedua orang bodoh itu bawa bukan emas atau permata melainkan kepala manusia?" Batinnya. Perut Adi Wijaya seperti di aduk-aduk, seiring wajahnya yang memucat, saat menyadari ada bangkai di gudang hartanya. Ini sudah dua hari pasti sudah membusuk. Adi Wijaya mengangkat kepala, terlihat wajahnya memerah dengan rahang yang mengatup. "Siapa yang melakukannya!" Suara Adi Wijaya menggelegar bagaikan petir yang mampu membelah langit. Tersirat kemarahan yang sangat besar. Hingga membuat siapapun yang mendengarnya merasa ketakutan. Adi Wijaya melirik tajam Patih Bima Reksa dan Danadyaksa yang terlihat gelisah dan keblingsatan. Dia memerintahkan Patih Bima Reksa dan Danadyksa, untuk menyakinkan dan mengiming-imingi Senopati dan ketiga rekannya dengan harta dan jabatan, bukan membunuh mereka. Mereka orang-orang berbakat, Adi Wijaya butuh mereka untuk tetap berada di sisi putranya kelak. Adi Wijaya merasa sangat geram! Ini di luar kendali dan mereka telah melanggar perintah. Mereka menciptakan masalah baru. Sial!!! Patih Bima Reksa dan Danadyaksa saling bertatapan, mereka menyadari sesuatu yang salah telah terjadi. Terlihat dari wajah Adi Wijaya terlihat penuh amarah. Suasana menjadi rame, orang yang sedang di tunggu ternyata telah tiada. Intinya, keempat orang itu adalah utusan Adi Wijaya untuk menyelidiki misteri hilangnya para gadis di wilayah Harsa Loka. Namun di luar dugaan Adi Wijaya sendiri yang memergoki Narendra sedang memperkosa gadis asing di dalam kamarnya. Bahkan Narendra tidak segan-segan menganiaya korbannya. Nasi telah menjadi bubur! Andaikan Adi Wijaya tahu lebih awal, pasti tidak separah ini. Banyak yang berpikir, dalang dari hilangnya para gadis itu bukanlah orang sembarangan. Dan mungkin orang yang berkuasa. Di tambah lagi dengan kematian para penyelidik. Ini seperti berkaitan. "Diam!" Suara Adi wijaya mengalun, seketika semua diam dan hening. Adi Wijaya berharap tidak ada saksi jika ada, dia yang akan disalahkan. Dia mengirim titah lewat surat yang telah diberi stempel kerajaan. Dan stempel itu milik Raja yang berkuasa. Miliknya! Dengan perasaan yang berkecambuk, Adi Wijaya berusaha mengontrol emosinya. Dia sesekali menyeka keringat dingin yang muncul di keningnya. Dengan suara lirih Adi Wijaya bertanya, "Apa ada saksi?" "Tentu ada Gusti!""Tentu ada, Gusti"Adi Wijaya terbelaklak, wajahnya terlihat tegang dan pucat. Jawaban singkat itu tentu saja seperti anak panah yang melesat menghujam jantung Adi Wijaya. Adi Wijaya terpojok sekarang!Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat, tatapan gadis itu kosong. "Katakan, Nak? Katakan yang kamu ketahui?"Candramaya kecil menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman. Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu."Du-dua orang, Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar. Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat dengan cemas. Apalagi tatapan gadis itu kosong, dengan lembut Wismaya menepuk pundak lemah Candramaya untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan berkata, "Katakan yang kamu tahu, Nak?"Candramaya men
Klekkk!!Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat."Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung."Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malik Rupa.Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam.Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis."Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas."Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu duduk di atas karp
Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum. Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih."Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.
"Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber
Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr
Arya Balaaditya menoleh dan tubuhnya terasa membeku, tatapannya lurus menatap lengan istrinya yang di cengkeram oleh Ayah mertuanya. Otaknya seperti mati rasa, dia benar-benar tidak bisa berpikir.Kamaratih merasakan firasat buruk, " jangan-jangan?" Batinnya.Memang siapa yang lebih mengenal tua bangka itu jika bukan istrinya.Senyum licik menghiasi wajah Adi Wijaya. Dengan suara rendah, tua bangka itu berkata, "Putramu atau Putriku? Pilih salah satu!"Deg!Pilihan macam apa ini. Bukankah ini seperti buah si malakama.Seisi ruangan pun terdiam.Jantung Asri Kemuning berdebar kencang, matanya mengerjab-erjam saat melihat tangannya. Dengan ragu dia bertanya, "Romo ...jangan bercanda?"Dengan tawa meledek, Adi Wijaya menunjuk wajahnya seraya berkata, " Apa aku terlihat sedang bercanda? Hah! Kamu tidak tulikan, Nak?"Rupanya, Adi Wijaya butuh tameng agar di masa depan Arya Balaaditya tidak akan membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpanya sekarang. Bukankah orang jahat terlahir dar
Candramaya kecil menghentikan tangisannya, dia diam dan tidak bergerak. Seiring dengan suara auman yang semakin dekat serta suara rumput kering yang terinjak. Gadis itu mengingat sesuatu, dia meninggalkan kerisnya. Sekarang dia pasti akan menjadi makanan harimau itu. Tanpa pikir panjang dia berlari kembali, Karena rasa takut yang menyerang dia tersandung batu terjal, ibu jari kakinya berdarah. Tubuh kecilnya tersungkur mengenaskan di atas tanah yang dingin. "Tooloooongggg!" Gadis itu berteriak, suaranya menggema. Gadis itu meringis, tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Mata harimau itu menyala bagaikan api di tengah malam, yang akan membakar apa saja yang dia pandang. Candramaya hanya menangis melihat harimau besar itu berjalan mendekatinya secara perlahan. Hingga samar-samar dari kejauhan ada suara kaki kuda yang mendekat. Gadis itu menoleh, tampak seorang pria dewasa menaiki kuda dengan gagah. Kudanya melaju tapi kedua tangannya memegang busur panah dan melepaskan anak pa
Adi Wijaya mengamati respon setiap orang. Dia yakin rencananya kali ini akan berjalan dengan lancar.Selain keadilan, mereka juga suka dengan harta kekayaan. Itu yang terlintas dalam benak orang serakah itu. Dia pikir semua orang sama sepertinya.Penantian sepanjang malam ini sangat mengecewakan. Wajah Wismaya terlihat dingin kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, dia menyadari ada permainan besar di balik semua ini. Semua terlihat rapih dan terencana. Mungkin rakyat Harsa Loka akan melupakan tragedi ini hanya dalam beberapa hari. Tapi tidak dengannya, begitu juga Candramaya. Gadis itu, menarik tangan Pamannya.Wismaya melirik lalu berjongkok membelai surai keponakannya dengan lembut, "Ayo kita pulang, Nak?"Gadis itu menggeleng dan bertanya dengan dingin, "Apa mereka akan di hukum?"Dahi Wismaya berkerut, dia bingung bagaimana menjelaskan masalah ini kepada seorang anak kecil. Jadi dengan tersenyum tipis Wismaya menjawab, "Mereka akan di hukum, Dewata." Mata gadis itu sem