Share

5. Masalah baru

Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.

Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya.

Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna.

Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya.

Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan.

Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan.

"Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya sendiri.

Para punggawa saling bertatapan, salah satu dari mereka memberanikan diri untuk menjawab, "Belum Gusti."

"Syukurlah!" Batin Adi Wijaya, hatinya merasa lega. Adi Wijaya bisa bernafas kali ini. Dan berpikir semua masih dalam kendalinya.

"Tapi, saat hamba bertemu dengan Senopati Damarjati dan ketiga rekannya keluar dari istana. Dia mengatakan bahwa sudah mengetahui semua kebenarannya. Dan akan membongkar segalanya saat rapat di istana, Gusti."

Wajah Adi Wijaya memucat begitu juga dengan Narendra. Tangan Narendra bahkan bergetar dan untuk menutupinya, dia meremas kuat tangannya sendiri.

Adi Wijaya mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengatur emosinya. Jangan sampai para punggawa melihat kegelisahannya. Mereka bisa curiga.

Sejenak suasana hening. Hingga tiba-tiba seorang pengawal masuk dengan tergesa-gesa, lalu bersimpuh di depan Raja.

Wajah Adi Wijaya semakin menegang saat melihat salah satu pengawal masuk dengan tergesa-gesa namun dengan cepat menyembunyikan rasa takutnya.

Dengan Wibawa dia berkata, "Ada yang mau di laporkan?"

"Ada segrombolan orang di luar ingin menghadap, Gusti Prabu."

"Persilahkan."

"Sendiko dawuh, Gusti."

Selang beberapa menit setelah prajurit itu keluar. Segerombolan orang berpakaian berkabung beriringan masuk. Wajah mereka terlihat muram dengan mata sembab.

Dahi Adi Wijaya mengernyit dan merasakan firasat buruk. "Ada apa lagi ini?" Batinnya.

Salah satunya adalah Adipati Wismaya yang datang dengan wajah lesu, namun dari pancaran matanya terlihat dendam dan kesedihan.

Dia menggendong seorang gadis kecil yang tidak lain adalah keponakannya. Mereka duduk di atas lantai, menghadap sang Prabu dengan hormat.

"Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Hamba Adipati Wismaya dari Waringin. Kami datang kesini meminta keadilan untuk keluarga kami," kata Wismaya, suaranya serak dan bergetar.

"Keadilan apa?" Tanya Adi Wijaya, jantungnya semakin berdebar. Apa mereka keluarga dari para gadis yang hilang. Dia melirik putranya yang keblingsatan.

"Kerabat kami dibantai, Gusti Prabu!"

"Putri kami menjadi janda, Gusti Prabu!"

"Lihat lah anak kecil ini menjadi yatim piatu hanya dalam satu malam, Gusti Prabu."

Tubuh Adi Wijaya basah dengan keringat dingin, perasaannya kembali kacau, saat mendengar berbagai macam keluhan.

Dengan susah payah Adi Wijaya membuka mulutnya "Apa ini perampokan?"

Dengan hati-hati Wismaya menyatukan tangan memberi hormat lalu berkata, "Ini pembantaian, Senopati Damarjati, Tumenggung Harya Murti, Aji Susongko dan Priyagada. Mereka tewas tadi malam di rumah mereka sendiri. Jika salah satu keluarga mereka ada yang masih hidup. Itu kemurahan hati para Dewata, Gusti."

"Bahkan setelah mereka semua di bantai, kepala mereka menghilang, Gusti! Hiks ...hiks," kata seorang wanita tua, tangisnya pecah dan terdengar sangat pilu.

"Apah! Mereka semua tewas!" Adi Wijaya memekik, dia sungguh terkejut dan langsung bangun dari kursinya.

Saking terkejutnya membuat tubuh gagahnya bergetar lalu perlahan duduk kembali di atas kursi singgasananya karna kakinya terasa lemas.

Seisi ruangan terkejut.

Mata Adi Wijaya terbelaklak dan mulutnya menganga, dia teringat sesuatu.

"Jangan-jangan yang kedua orang bodoh itu bawa bukan emas atau permata melainkan kepala manusia?" Batinnya.

Perut Adi Wijaya seperti di aduk-aduk, seiring wajahnya yang memucat, saat menyadari ada bangkai di gudang hartanya. Ini sudah dua hari pasti sudah membusuk.

Adi Wijaya mengangkat kepala, terlihat wajahnya memerah dengan rahang yang mengatup. "Siapa yang melakukannya!"

Suara Adi Wijaya menggelegar bagaikan petir yang mampu membelah langit. Tersirat kemarahan yang sangat besar. Hingga membuat siapapun yang mendengarnya merasa ketakutan.

Adi Wijaya melirik tajam Patih Bima Reksa dan Danadyaksa yang terlihat gelisah dan keblingsatan.

Dia memerintahkan Patih Bima Reksa dan Danadyksa, untuk menyakinkan dan mengiming-imingi Senopati dan ketiga rekannya dengan harta dan jabatan, bukan membunuh mereka.

Mereka orang-orang berbakat, Adi Wijaya butuh mereka untuk tetap berada di sisi putranya kelak.

Adi Wijaya merasa sangat geram! Ini di luar kendali dan mereka telah melanggar perintah. Mereka menciptakan masalah baru. Sial!!!

Patih Bima Reksa dan Danadyaksa saling bertatapan, mereka menyadari sesuatu yang salah telah terjadi. Terlihat dari wajah Adi Wijaya terlihat penuh amarah.

Suasana menjadi rame, orang yang sedang di tunggu ternyata telah tiada.

Intinya, keempat orang itu adalah utusan Adi Wijaya untuk menyelidiki misteri hilangnya para gadis di wilayah Harsa Loka.

Namun di luar dugaan Adi Wijaya sendiri yang memergoki Narendra sedang memperkosa gadis asing di dalam kamarnya.

Bahkan Narendra tidak segan-segan menganiaya korbannya.

Nasi telah menjadi bubur!

Andaikan Adi Wijaya tahu lebih awal, pasti tidak separah ini.

Banyak yang berpikir, dalang dari hilangnya para gadis itu bukanlah orang sembarangan. Dan mungkin orang yang berkuasa. Di tambah lagi dengan kematian para penyelidik.

Ini seperti berkaitan.

"Diam!" Suara Adi wijaya mengalun, seketika semua diam dan hening.

Adi Wijaya berharap tidak ada saksi jika ada, dia yang akan disalahkan. Dia mengirim titah lewat surat yang telah diberi stempel kerajaan. Dan stempel itu milik Raja yang berkuasa. Miliknya!

Dengan perasaan yang berkecambuk, Adi Wijaya berusaha mengontrol emosinya. Dia sesekali menyeka keringat dingin yang muncul di keningnya. Dengan suara lirih Adi Wijaya bertanya, "Apa ada saksi?"

"Tentu ada Gusti!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status