Share

4. Pesanan Adi Wijaya

"Di mana Candramaya?"

"Kami sudah mencarinya. Tapi Gusti Ayu hilang," ujar salah satu pelayan. Pria paruh baya yang selamat karna tidak menginap kini bersimpuh. Raut wajahnya terlihat cemas dan penuh penyesalan.

Wismaya menunduk, perasaannya semakin kacau, Sorot matanya semakin meredup. Adik dan iparnya tewas. Dan sekarang keponakannya menghilang.

Bagaimana ini?

Tapi mana mungkin adiknya bisa terbunuh jika ada keris pelindung dari leluhurnya?

"Yah!! Adikku sudah mewariskan keris itu pada putrinya," batin Wismaya. Wismaya langsung bangkit dari duduknya, saking lemasnya tubuh pria itu terhuyung. Dia tidak sabar, dia ingin memastikan sesuatu.

"Candramaya masih hidup!" Batin Wismaya mengusap bulir bening yang membasahi wajahnya. Dia langsung berlari ke dalam rumah adiknya.

Wismaya menatap getir pintu yang rusak bekas dobrakan. Dan darah yang mengering di atas lantai serta bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman.

Secara reflek Wismaya menutup hidungnya dengan punggung tangannya.

Tujuan utamanya adalah kamar adiknya.

Wismaya memasuki kamar yang porak-poranda.

Tak! Tak!

Candramaya melihat sepasang kaki melangkah memasuki kamar. Dia sudah sadar dan masih menggenggam keris pemberian Ibunya. Rasa takutnya kembali muncul, dia takut kedua orang jahat itu kembali.

"Maya ...kamu di mana, Nak? Paman datang," Wismaya memanggil-manggil keponakannya, sambil memindai kamar yang kini penuh dengan jejak kekerasan dan darah kering yang berceceran.

Wismaya duduk di sisi ranjang dengan perasaan suram. Dia tidak mencari Candramaya karna percuma. Selagi anak itu menggenggam keris itu dia tidak akan terlihat.

"Keluar dari persembunyianmu, Nak. Ini Paman."

Pergelangan Kaki Wismaya terasa dingin, seperti ada sesuatu menempel di kakinya. Dia cukup terperanjat.

Namun saat dia melihat ke arah kakinya tidak ada siapapun. Namun seulas senyum menghiasai bibirnya, "Ini kau, Nak? Paman tidak bisa melihatmu. Sekarang lepaskan keris itu agar Paman bisa melihatmu."

Candramaya melepaskan genggamannya lalu merangkak keluar, dia menatap sang Paman yang terlihat gelisah. Candramaya memilih duduk di sisi ranjang.

Sadar ada seseorang yang duduk di sisinya karna ranjang mengeluarkan suara denyitan. Wismaya menoleh, "Lepaskan keris itu, Nak."

Candramaya menurut, hingga tubuhnya muncul. Wajahnya terlihat lesu dan pucat, rambutnya berantakan serta tatapannya kosong.

Wismaya menatap nanar keponakannya yang terlihat menyedihkan.

Dulu dia sangat ceria, kini menjadi murung. Wismaya mengelus pucuk kepala Candramaya lalu memeluknya, rasa syukur dia panjatkan. Tubuh gadis ini sangat dingin, begitu juga dengan tatapannya.

"Aku akan menuntut balas! Mata di bayar dengan mata, nyawa di bayar dengan nyawa," batin Wismaya, api dendam membara di hatinya. Tekadnya kuat, tujuan hidupnya sekarang adalah menuntut balas.

Wismaya bertekad akan mengumpulkan para keluarga korban untuk meminta keadilan kepada raja Harsa Loka.

***

Di sisi lain.

Dua pria yang menjadi pembunuh dalam satu malam itu sampai di istana Harsa loka pagi hari. Dengan membawa pesanan Adi Wijaya sesuai apa yang ada di dalam isi surat.

Di dalam surat itu tertulis, bahwa kepala keempat pembrotak itu harus di masukan ke dalam guci yang terbuat dari tanah liat dan di simpan di dalam ruang harta milik Adi Wijaya.

Tentunya para eksekutor itu menemui tuannya dan melapor.

Sekarang mereka sedang duduk bersama Adi Wijaya di gazebo taman yang berada di halaman kediaman pribadi sang Raja.

"Apakah mereka menerima penawaranku?" Tanya Adi Wijaya, pria paruh baya itu sedang menikmati secangkir teh melati sambil di temani salah satu selirnya.

"Mereka menolak Gusti. Jadi sesuai perintah, kami membawa pesanan Gusti," kata seorang pria bertubuh kecil yang tidak lain adalah Patih kerajaan Harsa Loka yang bernama Bima Reksa.

"Hmm ...mereka keras kepala," Adi Wijaya menghela nafas. Dia cukup kecewa.

"Sangat di sayangkan, tapi merampas harta dan tanah mereka itu tidak lah buruk, mereka pasti akan memohon. Memangnya siapa yang tahan hidup miskin," batin Adi Wijaya, suasana hatinya sedang baik hari ini.

"Apakah Gusti ingin memeriksanya, sebelum kami menguburnya" tanya pria satunya yang bernama Danadyaksa, adik ipar sang Raja.

"Hmm ...kenapa di kubur, biarkan saja," jawab Adi Wijaya santai.

Danadyaksa dan Bima Reksa saling bertatapan. Mereka cukup kaget, bukankah kepala itu akan membusuk jika tidak segera di kuburkan.

Sedangkan Adi Wijaya berfikir yang dibawa bawahannya adalah harta benda dari ke empat orang itu.

"Tapi Gusti ...sebaiknya Gusti priksa saja dulu."

"Pergilah! Kalian merusak suasana hatiku saja," perintah Adi Wijaya, dia ingin bersantai sejenak. Tapi mereka datang membawa kabar yang tidak enak untuk di dengar.

"Bukan hanya keji dan gila kekuasaan, ternyata kakak iparku orang yang tidak waras. Menyimpan kepala manusia untuk apa? Pajangan? Dasar gila!" Batin Danadyaksa, kedua alisnya saling bertautan karna merasa heran.

Danadyaksa dan Bima Reksa mengundurkan diri, mereka sebenarnya tidak habis pikir dengan pemikiran Raja.

Tapi memilih untuk patuh dari pada berakhir dengan kehilangan kepala.

***

Istana Harsa Loka terletak di bawah Gunung berapi yang aktif, tanahnya subur dengan sumber air yang melimpah. Membuat kerajaan Harsa Loka menjadi salah satu kerajaan yang makmur dan subur.

Dua hari setelah malam berdarah di istana Harsa Loka.

Raja yang berkuasa bernama Adi Wijaya duduk dengan gagah di singgasana. Di temani kedua permaisurinya yaitu Dewi Kamaratih duduk di sisi kanan dan Dewi Puspita Sari duduk di sisi kiri.

Sedangkan Putra mahkota bernama Pangeran Dwi Narendra duduk di sisi ibundanya Dewi Puspita Sari.

Sedangkan Putri sulung yang bernama Putri Asri Kemuning sedang terbaring lemah karna sakit yang dia derita sejak kecil sedang kambuh.

Patih dan para punggawa juga duduk di tempat masing-masing.

Setiap pagi pasti semua berkumpul di balai pertemuan untuk berdiskusi tentang urusan kerajaan.

"Gusti Prabu ...Lurah dari desa A melapor bahwa banyak para gadis yang hilang secara misterius."

"Desa B dan C juga mengalami hal sama."

"Sampai saat ini Senopati Damarjati bahkan belum datang, padahal dia yang sedang menyelidiki perkara itu."

"Masalah ini sudah tidak terkendali, Gusti!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status