Share

3. Jaba Mantra

Pria bengis itu menangkis tangan rekannya dengan kejam dan tatapan jijik. Tanpa memperdulikan tata krama, bahwa yang dia abaikan adalah orang yang jauh lebih tua.

Tanpa ragu dia melangkah untuk membuktikan apa yang dia dengar.

Sadar dalam bahaya, saat ada sepasang kaki menghampiri tempat persembunyiannya. Candramaya menyadarkan dirinya agar tetap tenang dengan apa yang baru dia saksikan.

Dia masih kecil. Mampukah dia bertahan?

Kematian kedua orang tuanya adalah sebuah pukulan keras yang mengguncang psikisnya.

Candramaya kecil menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Agar bisa mengingat jaba mantra yang selalu di ajarkan ibunya.

Mulut gadis kecil itu komat-kamit, berusaha fokus di kala tubuhnya bergetar hebat.

"Kanjeng Ibu, Putri Tanjung Kidul! Butakan mata yang bisa melihat! Tulikan telinga yang bisa mendengar. Tubuhku tak terlihat bagaikan asap. Siang dan malam menjadi satu yang ada hanya kehampaan."

Keris kecil itu bergerak.

Dari ujungnya keluar asap keemasan, lalu bergerak menyelimuti tubuh Candramaya kecil. Candramaya merasakan seperti ada yang memeluk dan mengelus pucuk kepalanya.

Rasanya hangat dan nyaman.

Apakah Candramaya berhasil?

Ini kali pertama dia mencoba.

Pria bengis itu berhenti di sisi ranjang lalu berjongkok, mengarahkan lampu minyak tepat di bawah ranjang.

Di balik cadar, sudut bibir pria itu terangkat dengan senyum menyeringai, dia merasa sangat yakin dan dia tidak salah dengar.

Saatnya dia mengejutkan dan menangkap tikus kecil itu.

"Bummm!!"

"Huaaaa!" Candramaya terlonjak kaget, dia reflek berteriak. Wajahnya memucat dengan nafas memburu dan jantung yang berdetak kencang.

Saat sebuah wajah bercadar berada tepat di hadapannya. Mata mereka saling bertatapan. Ini akhir dari hidupnya.

Tapi?

Senyum menyeringai itu hilang berganti dengan raut wajah bingung. Mata elangnya menyisir kolong ranjang dengan liar.

Namun hasilnya nihil, dia tidak menemukan apapun. Tampak sorot matanya berubah acuh, lalu memilih mengambil kepala Damarjati dan membungkusnya dengan kain. "Ayo kita pergi, Paman Patih! Aku salah dengar."

Candramaya tak terlihat?

Pria itu berjalan keluar sambil menenteng bungkusan berisi kepala Damarjati. Langkahnya ringan tanpa rasa bersalah di hatinya. Dia bahkan masih bisa bersiul.

Candramaya kecil terpaku, dia benar-benar tidak menyangka. Jadi kisah dari sebuah keris yng selalu di ceritakan ibunya saat akan tidur itu benar, bukan dongeng semata.

Dan mantra itu adalah mantra sakti, sekarang Candramaya tahu khasiat dari mantra yang selalu dia hafalkan.

Pria pendek yang di panggil Paman Patih itu terkejut, pupilnya melebar. Jelas-jelas dia melihat seorang gadis kecil di bawah kolong ranjang, "Apa dia buta?" Batinnya. Pria itu buru-buru ke sisi ranjang untuk memeriksa.

Saat pria bertubuh kecil itu berjongkok dan memeriksa Kolong di bawah ranjang, dahinya mengernyit. Penyusup yang masih punya hati nurani itu merasa lega, "Syukurlah ...mungkin gadis kecil itu sudah kabur dan aku tidak lihat," batinnya.

"Cepat Paman Patih!"

"Baiklah."

"Paman Patih!" Batin Candramaya, tubuhnya seperti terbakar hebat, kedua tangannya mengepal dengan amarah dan dendam.

Matanya memerah dan mengembun, saat melihat seorang pria yang di panggil Paman Patih ke luar kamar.

Candramaya akan selalu mengingat malam ini, dia juga akan mengingat mata kedua penjahat itu.

Dadanya terasa sesak seiring rasa kantuk yang datang tiba-tiba membuat pandangannya samar dan gelap.

***

Keesokan paginya.

Seorang pria berpakaian bangsawan bernama Wismaya sampai di ibu kota Harsa Loka. Dia berjalan sambil menuntun kudanya saat berada di pasar yang sangat rame pagi itu.

Di sepanjang perjalanan banyak orang membicarakan bahwa kediaman Tumenggung Harya Murti terjadi perampokan.

Seluruh keluarga bahkan para pelayan serta penjaga semua tewas. Dan lebih mengerikannya tubuh sang Temenggung terpenggal sedangkan kepalanya menghilang.

Hampir setiap orang membicarakan hal yang sama.

Wismaya merasa penasaran semenjak dia menginjakkan kaki di pasar ibukota, topik ini sangat begitu hangat.

Wismaya mendekati penjual ayam yang sedang berbincang dengan beberapa pelanggannya. Dia berniat bertanya.

"Kisanak ...maaf mengganggu. Bisa ceritakan kembali yang kalian bicarakan. Sepanjang jalan aku dengar banyak yang membicarakan hal yang sama?" Tanya Wismaya.

Mengingat Tumenggung Harya Murti adalah teman masa kecil Damarjati jadi dia cukup prihatin.

"Salah satu pelayan yang hendak bekerja yang melihat hal yang mengerikan. Para pelayan, penjaga dan seluruh keluarga Tumenggung Harya Murti semuanya tewas."

"Yang lebih mengerikannya lagi tubuh keempat petinggi Harsa Loka itu, terpenggal dan kepalanya hilang."

Wajah Wismaya terlihat tercengang, jantungnya mulai tidak tenang, saat mendengar ada empat korban.

"Bukan cuma rumah Tumenggung Harya Murti saja, tapi keluarga Tuan Priyagada, Aji Susongko dan Senopatii Damarjati, Tuan"

"Apah!" Wismaya memekik, seperti tersambar petir di siang bolong, lutut Wismaya terasa lemas, jantungnya bergemuruh, matanya berkaca-kaca.

Wismaya tanpa mengucapkan sepatah kata langsung naik ke atas kuda dan menarik tali pengengkang. Agar kudanya melaju dengan cepat. Dia memacu kudanya bagaikan terbang.

Pikirannya terasa kalut, Wismaya bahkan tidak peduli bahwa pasar yang dia lalui sangat padat.

Suasana pasar mendadak kacau semua orang berhambur dan menyingkir.

Setibanya di halaman rumah Damarjati, yang kini ramai dengan orang yang berkumpul, ada sekitar sepuluh jasad yang tertutup kain putih.

Dengan langkah tergesa-gesa, Wismaya berjalan mendekati jasad yang berjejeran di lantai. Kain penutup yang berwarna putih kini di hiasi dengan bercak darah yang berasal dari para korban.

Wismaya menyibak satu persatu kain yang menutupi jasad yang bergeletakan, membuat jantungnya semakin bergemuruh hebat.

Dan saat tiba waktunya dia menemukan jasad adiknya, air matanya luruh saat adik satu-satunya telah terbujur kaku, hatinya seperti tercabik-cabik.

Wismaya duduk di sisi jasad adiknya, pria itu menangisi adik kesayangannya yang mati dengan sangat tragis.

Apa yang akan dia katakan kepada Romonya di kampung. Dan jasad adik iparnya yang tanpa kepala, sungguh mengenaskan.

Wismaya merasa hancur dengan nasib keluarga adiknya. Di saat kesedihannya, dia mengingat sesuatu. Pria dengan tubuh tegap, tinggi dengan jamban tipis yang membuatnya terlihat tampan itu termenung.

"Di mana Candramaya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status