Pria bengis itu menangkis tangan rekannya dengan kejam dan tatapan jijik. Tanpa memperdulikan tata krama, bahwa yang dia abaikan adalah orang yang jauh lebih tua.
Tanpa ragu dia melangkah untuk membuktikan apa yang dia dengar. Sadar dalam bahaya, saat ada sepasang kaki menghampiri tempat persembunyiannya. Candramaya menyadarkan dirinya agar tetap tenang dengan apa yang baru dia saksikan. Dia masih kecil. Mampukah dia bertahan? Kematian kedua orang tuanya adalah sebuah pukulan keras yang mengguncang psikisnya. Candramaya kecil menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Agar bisa mengingat jaba mantra yang selalu di ajarkan ibunya. Mulut gadis kecil itu komat-kamit, berusaha fokus di kala tubuhnya bergetar hebat. "Kanjeng Ibu, Putri Tanjung Kidul! Butakan mata yang bisa melihat! Tulikan telinga yang bisa mendengar. Tubuhku tak terlihat bagaikan asap. Siang dan malam menjadi satu yang ada hanya kehampaan." Keris kecil itu bergerak. Dari ujungnya keluar asap keemasan, lalu bergerak menyelimuti tubuh Candramaya kecil. Candramaya merasakan seperti ada yang memeluk dan mengelus pucuk kepalanya. Rasanya hangat dan nyaman. Apakah Candramaya berhasil? Ini kali pertama dia mencoba. Pria bengis itu berhenti di sisi ranjang lalu berjongkok, mengarahkan lampu minyak tepat di bawah ranjang. Di balik cadar, sudut bibir pria itu terangkat dengan senyum menyeringai, dia merasa sangat yakin dan dia tidak salah dengar. Saatnya dia mengejutkan dan menangkap tikus kecil itu. "Bummm!!" "Huaaaa!" Candramaya terlonjak kaget, dia reflek berteriak. Wajahnya memucat dengan nafas memburu dan jantung yang berdetak kencang. Saat sebuah wajah bercadar berada tepat di hadapannya. Mata mereka saling bertatapan. Ini akhir dari hidupnya. Tapi? Senyum menyeringai itu hilang berganti dengan raut wajah bingung. Mata elangnya menyisir kolong ranjang dengan liar. Namun hasilnya nihil, dia tidak menemukan apapun. Tampak sorot matanya berubah acuh, lalu memilih mengambil kepala Damarjati dan membungkusnya dengan kain. "Ayo kita pergi, Paman Patih! Aku salah dengar." Candramaya tak terlihat? Pria itu berjalan keluar sambil menenteng bungkusan berisi kepala Damarjati. Langkahnya ringan tanpa rasa bersalah di hatinya. Dia bahkan masih bisa bersiul. Candramaya kecil terpaku, dia benar-benar tidak menyangka. Jadi kisah dari sebuah keris yng selalu di ceritakan ibunya saat akan tidur itu benar, bukan dongeng semata. Dan mantra itu adalah mantra sakti, sekarang Candramaya tahu khasiat dari mantra yang selalu dia hafalkan. Pria pendek yang di panggil Paman Patih itu terkejut, pupilnya melebar. Jelas-jelas dia melihat seorang gadis kecil di bawah kolong ranjang, "Apa dia buta?" Batinnya. Pria itu buru-buru ke sisi ranjang untuk memeriksa. Saat pria bertubuh kecil itu berjongkok dan memeriksa Kolong di bawah ranjang, dahinya mengernyit. Penyusup yang masih punya hati nurani itu merasa lega, "Syukurlah ...mungkin gadis kecil itu sudah kabur dan aku tidak lihat," batinnya. "Cepat Paman Patih!" "Baiklah." "Paman Patih!" Batin Candramaya, tubuhnya seperti terbakar hebat, kedua tangannya mengepal dengan amarah dan dendam. Matanya memerah dan mengembun, saat melihat seorang pria yang di panggil Paman Patih ke luar kamar. Candramaya akan selalu mengingat malam ini, dia juga akan mengingat mata kedua penjahat itu. Dadanya terasa sesak seiring rasa kantuk yang datang tiba-tiba membuat pandangannya samar dan gelap. *** Keesokan paginya. Seorang pria berpakaian bangsawan bernama Wismaya sampai di ibu kota Harsa Loka. Dia berjalan sambil menuntun kudanya saat berada di pasar yang sangat rame pagi itu. Di sepanjang perjalanan banyak orang membicarakan bahwa kediaman Tumenggung Harya Murti terjadi perampokan. Seluruh keluarga bahkan para pelayan serta penjaga semua tewas. Dan lebih mengerikannya tubuh sang Temenggung terpenggal sedangkan kepalanya menghilang. Hampir setiap orang membicarakan hal yang sama. Wismaya merasa penasaran semenjak dia menginjakkan kaki di pasar ibukota, topik ini sangat begitu hangat. Wismaya mendekati penjual ayam yang sedang berbincang dengan beberapa pelanggannya. Dia berniat bertanya. "Kisanak ...maaf mengganggu. Bisa ceritakan kembali yang kalian bicarakan. Sepanjang jalan aku dengar banyak yang membicarakan hal yang sama?" Tanya Wismaya. Mengingat Tumenggung Harya Murti adalah teman masa kecil Damarjati jadi dia cukup prihatin. "Salah satu pelayan yang hendak bekerja yang melihat hal yang mengerikan. Para pelayan, penjaga dan seluruh keluarga Tumenggung Harya Murti semuanya tewas." "Yang lebih mengerikannya lagi tubuh keempat petinggi Harsa Loka itu, terpenggal dan kepalanya hilang." Wajah Wismaya terlihat tercengang, jantungnya mulai tidak tenang, saat mendengar ada empat korban. "Bukan cuma rumah Tumenggung Harya Murti saja, tapi keluarga Tuan Priyagada, Aji Susongko dan Senopatii Damarjati, Tuan" "Apah!" Wismaya memekik, seperti tersambar petir di siang bolong, lutut Wismaya terasa lemas, jantungnya bergemuruh, matanya berkaca-kaca. Wismaya tanpa mengucapkan sepatah kata langsung naik ke atas kuda dan menarik tali pengengkang. Agar kudanya melaju dengan cepat. Dia memacu kudanya bagaikan terbang. Pikirannya terasa kalut, Wismaya bahkan tidak peduli bahwa pasar yang dia lalui sangat padat. Suasana pasar mendadak kacau semua orang berhambur dan menyingkir. Setibanya di halaman rumah Damarjati, yang kini ramai dengan orang yang berkumpul, ada sekitar sepuluh jasad yang tertutup kain putih. Dengan langkah tergesa-gesa, Wismaya berjalan mendekati jasad yang berjejeran di lantai. Kain penutup yang berwarna putih kini di hiasi dengan bercak darah yang berasal dari para korban. Wismaya menyibak satu persatu kain yang menutupi jasad yang bergeletakan, membuat jantungnya semakin bergemuruh hebat. Dan saat tiba waktunya dia menemukan jasad adiknya, air matanya luruh saat adik satu-satunya telah terbujur kaku, hatinya seperti tercabik-cabik. Wismaya duduk di sisi jasad adiknya, pria itu menangisi adik kesayangannya yang mati dengan sangat tragis. Apa yang akan dia katakan kepada Romonya di kampung. Dan jasad adik iparnya yang tanpa kepala, sungguh mengenaskan. Wismaya merasa hancur dengan nasib keluarga adiknya. Di saat kesedihannya, dia mengingat sesuatu. Pria dengan tubuh tegap, tinggi dengan jamban tipis yang membuatnya terlihat tampan itu termenung. "Di mana Candramaya?""Di mana Candramaya?""Kami sudah mencarinya. Tapi Gusti Ayu hilang," ujar salah satu pelayan. Pria paruh baya yang selamat karna tidak menginap kini bersimpuh. Raut wajahnya terlihat cemas dan penuh penyesalan.Wismaya menunduk, perasaannya semakin kacau, Sorot matanya semakin meredup. Adik dan iparnya tewas. Dan sekarang keponakannya menghilang.Bagaimana ini?Tapi mana mungkin adiknya bisa terbunuh jika ada keris pelindung dari leluhurnya?"Yah!! Adikku sudah mewariskan keris itu pada putrinya," batin Wismaya. Wismaya langsung bangkit dari duduknya, saking lemasnya tubuh pria itu terhuyung. Dia tidak sabar, dia ingin memastikan sesuatu."Candramaya masih hidup!" Batin Wismaya mengusap bulir bening yang membasahi wajahnya. Dia langsung berlari ke dalam rumah adiknya.Wismaya menatap getir pintu yang rusak bekas dobrakan. Dan darah yang mengering di atas lantai serta bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman.Secara reflek Wismaya menutup hidungnya dengan punggung tangannya.
Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya. Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna.Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya.Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan. Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan. "Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya
"Tentu ada, Gusti"Adi Wijaya terbelaklak, wajahnya terlihat tegang dan pucat. Jawaban singkat itu tentu saja seperti anak panah yang melesat menghujam jantung Adi Wijaya. Adi Wijaya terpojok sekarang!Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat, tatapan gadis itu kosong. "Katakan, Nak? Katakan yang kamu ketahui?"Candramaya kecil menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman. Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu."Du-dua orang, Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar. Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat dengan cemas. Apalagi tatapan gadis itu kosong, dengan lembut Wismaya menepuk pundak lemah Candramaya untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan berkata, "Katakan yang kamu tahu, Nak?"Candramaya men
Klekkk!!Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat."Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung."Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malik Rupa.Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam.Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis."Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas."Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu duduk di atas karp
Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum. Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih."Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.
"Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber
Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr
Arya Balaaditya menoleh dan tubuhnya terasa membeku, tatapannya lurus menatap lengan istrinya yang di cengkeram oleh Ayah mertuanya. Otaknya seperti mati rasa, dia benar-benar tidak bisa berpikir.Kamaratih merasakan firasat buruk, " jangan-jangan?" Batinnya.Memang siapa yang lebih mengenal tua bangka itu jika bukan istrinya.Senyum licik menghiasi wajah Adi Wijaya. Dengan suara rendah, tua bangka itu berkata, "Putramu atau Putriku? Pilih salah satu!"Deg!Pilihan macam apa ini. Bukankah ini seperti buah si malakama.Seisi ruangan pun terdiam.Jantung Asri Kemuning berdebar kencang, matanya mengerjab-erjam saat melihat tangannya. Dengan ragu dia bertanya, "Romo ...jangan bercanda?"Dengan tawa meledek, Adi Wijaya menunjuk wajahnya seraya berkata, " Apa aku terlihat sedang bercanda? Hah! Kamu tidak tulikan, Nak?"Rupanya, Adi Wijaya butuh tameng agar di masa depan Arya Balaaditya tidak akan membalas dendam atas ketidakadilan yang menimpanya sekarang. Bukankah orang jahat terlahir dar