Share

2. Lebih Baik Menjadi Bangkai

"Akhh!"

Damarjati meringis, dia menekan dadanya yang terasa remuk dan terbakar. Ajian pria itu tidak asing di mata Damarjati. Saat mengingatnya mata Damarjati membulat, dia bergumam, "Ajian Tapak Geni!"

Padmasari berlari untuk menghampiri suaminya yang duduk terkulai di lantai. Tubuhnya menunduk meraih tubuh suaminya yang terlihat lemah.

Wajah Padmasari pucat saat melihat bekas telapak tangan berwarna hitam pada kain yang Damarjati kenakan. Dan buru-buru menyibak kain yang menutup dada suaminya.

Mata Padmasari memerah dan berair, dia sangat sedih saat melihat dada suaminya yang terkena pukulan berwarna merah kehitaman seperti daging gosong. Dengan bibir yang bergetar dia berkata, "Ini Ajian Tapak Geni, kang mas!" Ucapnya.

"Hosh! Hosh!" Nafas Damarjati terdengar berat. "Kau benar!"

Padmasari sadar, pria ini bukan tandingannya ataupun suaminya.

Namun Padmasari ataupun Damarjati tidak akan pernah tunduk kepada calon raja yang gemar dengan selangkangan wanita.

Pria bengis itu terlihat puas, dengan seringainya yang licik dia berkata, "Menyerahlah, aku tidak memukulmu dengan keras, kamu masih bisa hidup. Dengan satu syarat! Menurut pada Sinuwun," ucapnya.

"Cih! Tidak akan pernah! Aku tidak sudi masuk dalam kubangan lumpur" Damarjati berdecis sinis, dengan sekuat tenaga berusaha bangkit.

Pria tinggi dan kekar itu mengeram, giginya berkertak lalu menyerang kembali Damarjati yang sudah berdiri. Dia sudah tidak bermain-main lagi dalam pertarungan ini!

"Mati kau!"

Damarjati mendorong istrinya saat pria gila itu tiba-tiba menyerang. Saat tubuhnya sehat saja dia kewalahan. Apalagi saat dia terluka parah.

Padmasari cukup terkejut, namun apa yang bisa dia lakukan. Padmasari dan Damarjati sudah tahu akhir apa untuk mereka.

Kematian!

Dan pada akhirnya.

Pedang pria bertubuh tinggi dan kekar itu berhasil menebas kepala Damarjati.

Zrak!

Kepala itu jatuh dan menggelinding ke sisi ranjang tepat di depan wajah Candramaya kecil, membuat matanya membelaklak dan membeku.

Candramaya tercengang menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Perlahan air matanya meleleh menyaksikan kepala Romonya yang terpenggal.

Bruk!

Tubuh Damarjati tersungkur ke lantai dan menyemburkan banyak darah.

Hujan begitu deras di sertai badai dan kilatan petir, meredam suara teriakan Padmasari yang melengking. Api di sumbu lampu minyak padam tertiup angin yang masuk mendobrak jendela dengan paksa.

Cahaya minim dan remang serta kilatan petir yang terus menyambar membuat suasana malam itu semakin mencengkam. Cairan merah kental berceceran membasahi lantai dan bau anyir menyeruak memenuhi ruangan.

"Tidaakkkkk!" Padmasari memekik, tubuhnya lemas dan berakhir jatuh terduduk ke lantai.

Sekujur tubuhnya bergetar, kedua tangannya mengepal kuat, yang dia bisa lakukan hanya menangis, meraung meratapi tubuh suaminya yang terpenggal.

"Hiks! Kangmas! Tidak!"

Hati Padmasari hancur, dia bahkan tidak bisa bernafas dengan benar. Kehidupannya yang bahagia benar-benar terkoyak dan tercabik-cabik.

Pria yang dari tadi hanya menonton menundukan kepala, dia sedih dan merasa bersalah. Ini keluarga ke empat yang dia hancurkan. Namun apa daya, ini perintah.

Berbeda dengan pria tinggi dan kekar itu. Sorot matanya telihat puas. Di balik kain yang menutupi wajahnya, dia tersenyum menyeringai.

Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan Padmasari yang terduduk di lantai. Mereka berdua saling berhadapan.

"Aku punya penawaran, memohon padaku dan kamu akan ku jadikan istri. Bagaimana?" Kata pria tinggi dan kekar. Pria itu membelai surai rambut Padmasari, tatapannya penuh dengan ketertarikan.

"Cih! Kamu kira aku sudi diperistri oleh manusia keji sepertimu!" sarkas padmasari, menatap iris mata pria itu dengan penuh kebencian.

Namun itu membuat pria itu semakin bergairah. Dia ingin wanita ini. Dia ingin menjinakkan wanita ini. "Ayolah, kamu belum melihat wajahku. Aku tampan dan sakti mandraguna!"

"Jangan bermimpi! Lebih baik menjadi bangkai dari pada hidup menanggung malu. Dasar Iblis!! Cuih!" Padmasari meludahi wajah pria kurang ajar itu tanpa ragu dan berhasil menyinggung harga dirinya.

Plak!!

Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Padmasari. "Wanita tidak tau diri!" sarkas pria tinggi besar itu, wajahnya memerah saat mengelap ludah yang ada di wajahnya. Sorot matanya semakin menggelap.

Untuk meluapkan emosinya, pria itu mencekik leher Padmasari dengan kedua tangannya tanpa segan. Matanya menggelap, terlihat aura kemarahan yang menyelimuti pria itu.

Padmasari hanya mengerang dan memukul-mukul tangan kekar pria yang sedang kesetanan. Matanya memerah dan berair. Wajahnya mulai pucat karena sulit bernafas.

"Hentikan kegilaanmu! Tujuan kita sudah terpenuhi. Sebelum fajar kita harus segera pergi!" Pria satunya memekik. Dia menegur karena sudah dia tahan dengan kebengisan rekannya.

Pria itu memejamkan matanya sejenak untuk mengendalikan emosinya. Lalu melepaskan cengkramannya. "Kamu beruntung wanita sialan!"

"Ohok! Ohok" Padmasari terbatuk dan buru-buru meraup oksigen. Matanya semakin merah dan menyala. Ini keterlaluan!

Tanpa pikir panjang Padmasari meraih pedang yang tergeletak dan bangkit menyerang pria gila itu.

Namun?

Dia bukan pria sembarangan, serangan Padmasari layaknya bumerang.

Jleb!!

"Akhh!" Pekik Padmasari, saat sebuah pedang yang dia ayunkan untuk membunuh pria bengis itu justru di tangkis dan berbalik menembus perutnya sampai ke belakang punggungnya.

Padmasari memuntahkan darah, tubuhnya ambruk di atas jasad suaminya.

Candramaya kecil memekik bersamaan dengan suara petir yang menyambar.

"Ibuuuuuu!!!!!"

Jgeeer!!!

"Paman ...dengar suara itu?" Tanya pria bertubuh tinggi kekar. Matanya menelisik kesegala arah, lalu mengambil lampu minyak yang masih menyala lalu berjalan menyusuri kamar. Dia Ingin membuktikan apa yang telinganya dengar. "Itu suara anak kecil?"

"Suara petir maksudmu?" Tanya pria satunya, dia juga dengar dia bahkan melihat seorang gadis kecil bertelungkup di bawah ranjang.

Namun, dia tetap diam dan berpura-pura tidak tahu. Dia tidak tega!

"Bukan! Sepertinya malam ini akan semakin seru," jawab pria bertubuh tinggi dan kekar, matanya menajam dengan sebelah sudut bibir terangkat dan mengarahkan jari telunjuknya ke kolong ranjang.

Pria yang satunya menelan saliva secara kasar, saat rekannya berjalan menuju sisi ranjang.

"Sudahlah tidak ada apapun di sana!" Kata pria satunya, mencengkal lengan kekar milik pria bertubuh tinggi dan kekar itu.

"Jangan halangi aku, Paman!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status