Beranda / Historical / Keris Darah Candramaya / 2. Lebih Baik Menjadi Bangkai

Share

2. Lebih Baik Menjadi Bangkai

Penulis: Songdeok eunjoo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-22 10:49:19

"Akhh!"

Damarjati meringis, dia menekan dadanya yang terasa remuk dan terbakar. Ajian pria itu tidak asing di mata Damarjati. Saat mengingatnya mata Damarjati membulat, dia bergumam, "Ajian Tapak Geni!"

Padmasari berlari untuk menghampiri suaminya yang duduk terkulai di lantai. Tubuhnya menunduk meraih tubuh suaminya yang terlihat lemah.

Wajah Padmasari pucat saat melihat bekas telapak tangan berwarna hitam pada kain yang Damarjati kenakan. Dan buru-buru menyibak kain yang menutup dada suaminya.

Mata Padmasari memerah dan berair, dia sangat sedih saat melihat dada suaminya yang terkena pukulan berwarna merah kehitaman seperti daging gosong. Dengan bibir yang bergetar dia berkata, "Ini Ajian Tapak Geni, kang mas!" Ucapnya.

"Hosh! Hosh!" Nafas Damarjati terdengar berat. "Kau benar!"

Padmasari sadar, pria ini bukan tandingannya ataupun suaminya.

Namun Padmasari ataupun Damarjati tidak akan pernah tunduk kepada calon raja yang gemar dengan selangkangan wanita.

Pria bengis itu terlihat puas, dengan seringainya yang licik dia berkata, "Menyerahlah, aku tidak memukulmu dengan keras, kamu masih bisa hidup. Dengan satu syarat! Menurut pada Sinuwun," ucapnya.

"Cih! Tidak akan pernah! Aku tidak sudi masuk dalam kubangan lumpur" Damarjati berdecis sinis, dengan sekuat tenaga berusaha bangkit.

Pria tinggi dan kekar itu mengeram, giginya berkertak lalu menyerang kembali Damarjati yang sudah berdiri. Dia sudah tidak bermain-main lagi dalam pertarungan ini!

"Mati kau!"

Damarjati mendorong istrinya saat pria gila itu tiba-tiba menyerang. Saat tubuhnya sehat saja dia kewalahan. Apalagi saat dia terluka parah.

Padmasari cukup terkejut, namun apa yang bisa dia lakukan. Padmasari dan Damarjati sudah tahu akhir apa untuk mereka.

Kematian!

Dan pada akhirnya.

Pedang pria bertubuh tinggi dan kekar itu berhasil menebas kepala Damarjati.

Zrak!

Kepala itu jatuh dan menggelinding ke sisi ranjang tepat di depan wajah Candramaya kecil, membuat matanya membelaklak dan membeku.

Candramaya tercengang menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Perlahan air matanya meleleh menyaksikan kepala Romonya yang terpenggal.

Bruk!

Tubuh Damarjati tersungkur ke lantai dan menyemburkan banyak darah.

Hujan begitu deras di sertai badai dan kilatan petir, meredam suara teriakan Padmasari yang melengking. Api di sumbu lampu minyak padam tertiup angin yang masuk mendobrak jendela dengan paksa.

Cahaya minim dan remang serta kilatan petir yang terus menyambar membuat suasana malam itu semakin mencengkam. Cairan merah kental berceceran membasahi lantai dan bau anyir menyeruak memenuhi ruangan.

"Tidaakkkkk!" Padmasari memekik, tubuhnya lemas dan berakhir jatuh terduduk ke lantai.

Sekujur tubuhnya bergetar, kedua tangannya mengepal kuat, yang dia bisa lakukan hanya menangis, meraung meratapi tubuh suaminya yang terpenggal.

"Hiks! Kangmas! Tidak!"

Hati Padmasari hancur, dia bahkan tidak bisa bernafas dengan benar. Kehidupannya yang bahagia benar-benar terkoyak dan tercabik-cabik.

Pria yang dari tadi hanya menonton menundukan kepala, dia sedih dan merasa bersalah. Ini keluarga ke empat yang dia hancurkan. Namun apa daya, ini perintah.

Berbeda dengan pria tinggi dan kekar itu. Sorot matanya telihat puas. Di balik kain yang menutupi wajahnya, dia tersenyum menyeringai.

Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan Padmasari yang terduduk di lantai. Mereka berdua saling berhadapan.

"Aku punya penawaran, memohon padaku dan kamu akan ku jadikan istri. Bagaimana?" Kata pria tinggi dan kekar. Pria itu membelai surai rambut Padmasari, tatapannya penuh dengan ketertarikan.

"Cih! Kamu kira aku sudi diperistri oleh manusia keji sepertimu!" sarkas padmasari, menatap iris mata pria itu dengan penuh kebencian.

Namun itu membuat pria itu semakin bergairah. Dia ingin wanita ini. Dia ingin menjinakkan wanita ini. "Ayolah, kamu belum melihat wajahku. Aku tampan dan sakti mandraguna!"

"Jangan bermimpi! Lebih baik menjadi bangkai dari pada hidup menanggung malu. Dasar Iblis!! Cuih!" Padmasari meludahi wajah pria kurang ajar itu tanpa ragu dan berhasil menyinggung harga dirinya.

Plak!!

Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Padmasari. "Wanita tidak tau diri!" sarkas pria tinggi besar itu, wajahnya memerah saat mengelap ludah yang ada di wajahnya. Sorot matanya semakin menggelap.

Untuk meluapkan emosinya, pria itu mencekik leher Padmasari dengan kedua tangannya tanpa segan. Matanya menggelap, terlihat aura kemarahan yang menyelimuti pria itu.

Padmasari hanya mengerang dan memukul-mukul tangan kekar pria yang sedang kesetanan. Matanya memerah dan berair. Wajahnya mulai pucat karena sulit bernafas.

"Hentikan kegilaanmu! Tujuan kita sudah terpenuhi. Sebelum fajar kita harus segera pergi!" Pria satunya memekik. Dia menegur karena sudah dia tahan dengan kebengisan rekannya.

Pria itu memejamkan matanya sejenak untuk mengendalikan emosinya. Lalu melepaskan cengkramannya. "Kamu beruntung wanita sialan!"

"Ohok! Ohok" Padmasari terbatuk dan buru-buru meraup oksigen. Matanya semakin merah dan menyala. Ini keterlaluan!

Tanpa pikir panjang Padmasari meraih pedang yang tergeletak dan bangkit menyerang pria gila itu.

Namun?

Dia bukan pria sembarangan, serangan Padmasari layaknya bumerang.

Jleb!!

"Akhh!" Pekik Padmasari, saat sebuah pedang yang dia ayunkan untuk membunuh pria bengis itu justru di tangkis dan berbalik menembus perutnya sampai ke belakang punggungnya.

Padmasari memuntahkan darah, tubuhnya ambruk di atas jasad suaminya.

Candramaya kecil memekik bersamaan dengan suara petir yang menyambar.

"Ibuuuuuu!!!!!"

Jgeeer!!!

"Paman ...dengar suara itu?" Tanya pria bertubuh tinggi kekar. Matanya menelisik kesegala arah, lalu mengambil lampu minyak yang masih menyala lalu berjalan menyusuri kamar. Dia Ingin membuktikan apa yang telinganya dengar. "Itu suara anak kecil?"

"Suara petir maksudmu?" Tanya pria satunya, dia juga dengar dia bahkan melihat seorang gadis kecil bertelungkup di bawah ranjang.

Namun, dia tetap diam dan berpura-pura tidak tahu. Dia tidak tega!

"Bukan! Sepertinya malam ini akan semakin seru," jawab pria bertubuh tinggi dan kekar, matanya menajam dengan sebelah sudut bibir terangkat dan mengarahkan jari telunjuknya ke kolong ranjang.

Pria yang satunya menelan saliva secara kasar, saat rekannya berjalan menuju sisi ranjang.

"Sudahlah tidak ada apapun di sana!" Kata pria satunya, mencengkal lengan kekar milik pria bertubuh tinggi dan kekar itu.

"Jangan halangi aku, Paman!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Keris Darah Candramaya   3. Jaba Mantra

    Pria bengis itu menangkis tangan rekannya dengan kejam dan tatapan jijik. Tanpa memperdulikan tata krama, bahwa yang dia abaikan adalah orang yang jauh lebih tua.Tanpa ragu dia melangkah untuk membuktikan apa yang dia dengar.Sadar dalam bahaya, saat ada sepasang kaki menghampiri tempat persembunyiannya. Candramaya menyadarkan dirinya agar tetap tenang dengan apa yang baru dia saksikan.Dia masih kecil. Mampukah dia bertahan?Kematian kedua orang tuanya adalah sebuah pukulan keras yang mengguncang psikisnya.Candramaya kecil menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Agar bisa mengingat jaba mantra yang selalu di ajarkan ibunya. Mulut gadis kecil itu komat-kamit, berusaha fokus di kala tubuhnya bergetar hebat."Kanjeng Ibu, Putri Tanjung Kidul! Butakan mata yang bisa melihat! Tulikan telinga yang bisa mendengar. Tubuhku tak terlihat bagaikan asap. Siang dan malam menjadi satu yang ada hanya kehampaan."Keris kecil itu bergerak. Dari ujungnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-27
  • Keris Darah Candramaya   4. Pesanan Adi Wijaya

    "Di mana Candramaya?""Kami sudah mencarinya. Tapi Gusti Ayu hilang," ujar salah satu pelayan. Pria paruh baya yang selamat karna tidak menginap kini bersimpuh. Raut wajahnya terlihat cemas dan penuh penyesalan.Wismaya menunduk, perasaannya semakin kacau, Sorot matanya semakin meredup. Adik dan iparnya tewas. Dan sekarang keponakannya menghilang.Bagaimana ini?Tapi mana mungkin adiknya bisa terbunuh jika ada keris pelindung dari leluhurnya?"Yah!! Adikku sudah mewariskan keris itu pada putrinya," batin Wismaya. Wismaya langsung bangkit dari duduknya, saking lemasnya tubuh pria itu terhuyung. Dia tidak sabar, dia ingin memastikan sesuatu."Candramaya masih hidup!" Batin Wismaya mengusap bulir bening yang membasahi wajahnya. Dia langsung berlari ke dalam rumah adiknya.Wismaya menatap getir pintu yang rusak bekas dobrakan. Dan darah yang mengering di atas lantai serta bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman.Secara reflek Wismaya menutup hidungnya dengan punggung tangannya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-01
  • Keris Darah Candramaya    5. Masalah baru

    Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya. Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna.Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya.Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan. Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan. "Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-03
  • Keris Darah Candramaya   6. Dua Orang Itu Adalah Orang Teladan

    "Tentu ada, Gusti"Adi Wijaya terbelaklak, wajahnya terlihat tegang dan pucat. Jawaban singkat itu tentu saja seperti anak panah yang melesat menghujam jantung Adi Wijaya. Adi Wijaya terpojok sekarang!Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat, tatapan gadis itu kosong. "Katakan, Nak? Katakan yang kamu ketahui?"Candramaya kecil menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman. Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu."Du-dua orang, Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar. Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat dengan cemas. Apalagi tatapan gadis itu kosong, dengan lembut Wismaya menepuk pundak lemah Candramaya untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan berkata, "Katakan yang kamu tahu, Nak?"Candramaya men

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-04
  • Keris Darah Candramaya   7. Ajian Malih Rupa

    Klekkk!! Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat. "Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung. "Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malih Rupa. Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam. Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis. "Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas. "Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu dud

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-17
  • Keris Darah Candramaya   8. Surat Yang Di Tukar

    Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum. Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih."Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-18
  • Keris Darah Candramaya   9. Kambing Hitam

    "Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-18
  • Keris Darah Candramaya   10. Kemarahan Kamaratih

    Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-18

Bab terbaru

  • Keris Darah Candramaya   153. Pembersihan

    "Di mana Danadyaksa?" tanya salah satu Punggawa.Mereka semua di aula melupakan sesuatu. Adi Wijaya duduk bersandar di singgasana dengan tenang. Dia menyeringai, lalu tertawa terbahak-bahak dan membuat semua mengalihkan pandangannya pada sosok yang sedang tergelak.Apa ada yang lucu?Hampir semua orang yang ada di dalam aula rapat saling menatap penuh keheranan.Tiba-tiba suara derap langkah kaki mulai terdengar. Semua orang menoleh dan bertanya-tanya, "Apa kiranya yang ada di balik tembok itu?"Sedangkan Indrayana, dia berdiri terpaku dengan tatapan tajam. Berkat batu mustika yang dia miliki. Indrayana mampu melihat rombongan orang yang datang mendekat dari balik tembok. Begitu pula dengan Candramaya yang mulai mengepalkan tangan, merasakan firasat buruk.Suara itu semakin mendekat, sangat ramai dan serempak. Lalu suara itu menghilang, semua orang seakan menahan nafas seiring suasana yang menjadi hening. Begitu juga dengan tawa Adi Wijaya yang meredup.Klekk!Pintu utama kembali ter

  • Keris Darah Candramaya   152. Menuntut keadilan

    Arya Balaaditya mengangkat suara, "Jika bukan dengan cara ini, bagaimana rakyat Harsa Loka akan tahu? Bukankah, dua surat itu adalah tulisan tangan, Romo? Dan cap stempel itu hanya Romo yang memegang. Aku hanya menyuruh orang untuk mengambilnya, jika tidak? Bagaimana aku membuktikan diri," ujar Arya Balaaditya menjelaskan. Adi Wijaya menggertakan giginya, rahangnya terlihat mengeras, dia berdecis, "Jadi sekarang kamu menuduhku? Di depan semua orang kamu berusaha melimpahkan kesalahan yang 15 tahun lalu kamu akui."Menuduh!Siapa di sini yang hobi menuduh?Arya Balaaditya hanya tertawa getir, tatapannya berubah sendu. Kenapa setelah sejauh ini Ayah Mertuanya tidak berubah juga. Arya Balaaditya benar-benar tak habis pikir. "Perihal Paman Bima Reksa, seandainya Pangeran Narendra tidak mengusik cucunya, dia juga pasti masih setia dan bersembunyi sesuai perintah Romo," ujar Arya Balaaditya. Pria itu berhenti sejenak, lalu mengatur nafasnya dan membasahi bibir bawahnya. Pria itu menatap w

  • Keris Darah Candramaya   151. Akhirnya Kamu Kembali

    Asri Kemuning berjalan dengan anggun dan berwibawa. Dia sambil menggandeng tangan suaminya dengan wajah penuh percaya diri. Tapi matanya terlihat penuh kemarahan dan tekad.Sekarang dia bukan wanita penyakitan dan lemah lagi karena setelah tidak tinggal di istana dia justru berangsur sembuh. Dan ramuan racikan suaminya membuat tubuhnya samakin segar.Semua punggawa tunduk pada ahli waris yang sah. Mereka tunduk pada keturunan asli pendiri Harsa Loka. Walaupun sebagian dari para punggawa juga condong ke pada Adi Wijaya.Itulah alasan Adi Wijaya takut dengan putrinya sendiri karena takut sang putri akan mengkudetanya di masa depan."Paman Patih adalah saksi. Dan suamiku mempunyai bukti. Maaf Romo Prabu, tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam lagi," ujar Asri Kemuning dengan lantang.Adi Wijaya mengerjabakan matanya, dia merasa rindu dengan putrinya. Namun dia juga merasa terancam sekarang. "Kamu membawa seorang pembunuh?" tanya Adi Wijaya sengaja memprovokasi. Dia tahu bahwa semua o

  • Keris Darah Candramaya   150. Cincin Tanda Pengenal

    Narendra yang dari tadi menunduk dan menyembunyikan wajah pucatnya, kini mendongak. Dia berdiri dan mulai mengelak dengan suara terbata-bata, "A-apa yang ka-kamu mau heh? Aku bahkan baru pertama kali bertemu denganmu. Jangan asal bicara!"Namun semua orang tahu bahwa Narendra sedang ketakutan, terlihat dari wajahnya yang pucat dan suaranya yang keras dan terbata-bata."Kalau aku punya bukti, apa Pangeran akan mengakuinya?" tanya Kumala. Gadis itu menatap sinis ke arah Narendra.Damayanti Citra tersenyum culas, "Bukti apa yang kamu punya, heh!"Kumala meraih selendangnya, di ujung seledang ada ikatan kecil. Gadis itu membuka ikatan itu dan mengangkat sebuah benda tinggi-tinggi agar semu orang melihat. Adi Wijaya yang dari tadi cemas seketika ingin pingsan dengan apa yang gadis itu pegang. Begitu juga Narendra, dia langsung memeriksa kelingkingnya yang kosong. Cincin itu memang hilang setelah kejadian malam itu. Dia tidak menyangka gadis itu mengambilnya. Wajah Narendra semakin pucat p

  • Keris Darah Candramaya   149. Kemarahan Kumala

    Adi Wijaya tertawa sinis, matanya memerah karena menahan marah. Bima Reksa dan Kumala kini menjadi pusat perhatian. Suasana yang membosankan telah berubah menjadi suasana yang penuh dengan ketegangan. Seisi ruangan menjadi semakin ramai, begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepala mereka masing-masing. Selain keberadaan Bima Reksa yang ternyata masih hidup. Padahal, Adi Wijaya sendiri telah mengumumkan bahwa Bima Reksa telah tiada 15 tahun yang lalu. Lalu kenapa sosok itu berdiri di hadapan mereka sekarang? Kini pertanyaan yang jauh lebih rumit yaitu perihal gadis yang bersamanya. Gadis yang datang dalam keadan luka-luka. Seperti korban penganiaan. Adi Wijaya berusaha untuk mengendalikan perasaannya, entah alasan apa yang akan dia berikan nanti. Sekarang, dia seperti berdiri di atas jurang. Ini adalah guncangan yang hampir membuat rohnya terlepas dari raganya. Karena salah satu kebohongannya telah terbongkar. Puspita Sari seketika menggigil ketakutan, "Apakah ini akhir dari

  • Keris Darah Candramaya   148. Wismaya vs Adi Wijaya

    Adi Wijaya mengangkat tangannya dan semua orang bangkit lalu berjalan dengan menunduk. Mereka kembali ke tempat masing-masing. Indrayana menatap wajah kakeknya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa rindu dan kecewa secara bersamaan. Narendra duduk dengan tenang. Walaupun dia tahu bahwa banyak petisi yang datang perihal rumor yang sudah tersebar di Harsa Loka. Hanya saja itu tidak berpengaruh untuknya. "Apa ada keluhan?" tanya Adi Wijaya. Sebagai seorang raja setiap ada pertemuan, para punggawa ataupun rakyat di persilahkan untuk mengajukan keluhan dan masalahnya. Wismaya bangun dari tempat duduknya dan berjalan menghadap Adi Wijaya. Adi Wijaya menatap datar pada orang yang jelas-jelas menentangnya. "Gusti, sesuai dengan surat titah Gusti Prabu bebeberapa pekan lalu. Hamba dan rekan hamba telah mencari pelaku itu. Tapi kami gagal," ujar Wismaya dengan tenang. Adi Wijaya tersenyum samar dan sudah menduga. Orang tua itu duduk dengan santai sambil menikmati tehnya, "Tentu sampai k

  • Keris Darah Candramaya   147. Bisa Diandalkan

    "Aku akan membawa Paman pulang, kamu menyusul dengan kuda. Itu kudanya," ujar Indrayana sambil menunjuk seekor kuda yang terikat di dahan pohon. Indrayana mencuri kuda dari kandang kuda istana."Candramaya setuju, "Baiklah!"Indrayana membawa Respati menggunakan Ilmu Meringankan Tubuh agar cepat sampai. Luka Respati harus segera di tangani, sedangkan Candramaya menyusul dari belakang. Gadis itu mengendarai kuda dengan cepat.Indrayana sampai lebih dulu di Tanah Para Dewa, di depan rumah dia berteriak, "Romo!"Arya Baladitya yang sedari tadi menunggu di depan rumah dengan cemas langsung berlari saat melihat putranya. Wajahnya menegang saat melihat kondisi Respati yang terkena Ajian Tapak Geni, "Bawa masuk!" titahnya.Respati terbaring lemah, nafasnya melambat. Arya Balaaditya duduk di sisi ranjang dan langsung menyinsingkan lengan bajunya. Dia menaruh telapak tangan kanannya untuk mengeluarkan Ajian Aksamala. Darma langsung pergi ke dapur untuk merebus tanaman obat. Tangan Darma berge

  • Keris Darah Candramaya   146. Cucu Kesayangan

    Sebuah keris kecil melesat, menyerang pedang Danadyaksa. Keris itu melaju dengan cepat dan kuat. Suara besi kembali beradu, pedang itu jatuh dari genggaman pemiliknya.Semua mata tertuju pada keris yang datang bersamaan dengan dua sekelebatan orang yang memakai cadar masuk ke area pertempuran. Satu laki-laki dan satu wanita. Kedua orang misterius itu menghampiri tubuh Respati yang terluka parah. "Paman ... " panggil Indrayana dengan suara bergetar. Matanya mengembun, dia merasa tidak tega dengan keadaan Pamannya yang terluka parah. Candramaya mengangkat tangannya dan keris itu dengan patuh kembali padanya. Saat gadis itu melihat kondisi Respati, kakinya mendadak lemas, luka pada Pamannya sama persis dengan luka mendiang ayahnya. Seketika itu juga Candramaya menoleh ke arah pria tua berperut buncit. Ingatannya kembali ke masa lalu seiring dengan darahnya yang mendidih.Danadyaksa tertegun dan sedikit linglung, dia cukup heran dengan keris kecil itu. "Bagaimana bisa benda kecil itu ma

  • Keris Darah Candramaya   145. Respati Tertangkap Basah

    Tanpa di duga di perjalanan Danadyaksa melihat ada sekelebatan burung merpati yang masuk ke dalam kediaman tabib istana. Matanya langsung bersinar dan moodnya membaik.Kali ini Danadyaksa tidak akan tertipu lagi, Danadyaksa meringankan setiap langkahnya dan berjalan dengan hati-hati. Di balik pintu dia mengintip dan akan menangkap basah tabib itu.Tampak, Respati sedang memegang burung dan mengambil sesuatu pada kaki burung itu. Namun saat hendak membaca, Danadyaksa tiba-tiba melompat dan menendang punggung Respati.Bug!Respati tersungkur di tanah, dia meringis kesakitan. Langkah seorang pria berjalan mendekatinya lalu berdiri di depan kepalanya.Respati mendongak dan seketika matanya terbelaklak. Tampak seorang pria tua berperut buncit menatapnya dengan remeh, "Aku tertangkap," batinnya.Danadyaksa menyeringai, matanya memerah dan berkata sinis, "Rupanya benar dugaanku! Kamu adalah mata-mata."Respati menjatuhkan pesan dari Arya Balaaditya. Dia mengabaikan Danadyaksa dan fokus untuk

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status