"Akhh!"
Damarjati meringis, dia menekan dadanya yang terasa remuk dan terbakar. Ajian pria itu tidak asing di mata Damarjati. Saat mengingatnya mata Damarjati membulat, dia bergumam, "Ajian Tapak Geni!" Padmasari berlari untuk menghampiri suaminya yang duduk terkulai di lantai. Tubuhnya menunduk meraih tubuh suaminya yang terlihat lemah. Wajah Padmasari pucat saat melihat bekas telapak tangan berwarna hitam pada kain yang Damarjati kenakan. Dan buru-buru menyibak kain yang menutup dada suaminya. Mata Padmasari memerah dan berair, dia sangat sedih saat melihat dada suaminya yang terkena pukulan berwarna merah kehitaman seperti daging gosong. Dengan bibir yang bergetar dia berkata, "Ini Ajian Tapak Geni, kang mas!" Ucapnya. "Hosh! Hosh!" Nafas Damarjati terdengar berat. "Kau benar!" Padmasari sadar, pria ini bukan tandingannya ataupun suaminya. Namun Padmasari ataupun Damarjati tidak akan pernah tunduk kepada calon raja yang gemar dengan selangkangan wanita. Pria bengis itu terlihat puas, dengan seringainya yang licik dia berkata, "Menyerahlah, aku tidak memukulmu dengan keras, kamu masih bisa hidup. Dengan satu syarat! Menurut pada Sinuwun," ucapnya. "Cih! Tidak akan pernah! Aku tidak sudi masuk dalam kubangan lumpur" Damarjati berdecis sinis, dengan sekuat tenaga berusaha bangkit. Pria tinggi dan kekar itu mengeram, giginya berkertak lalu menyerang kembali Damarjati yang sudah berdiri. Dia sudah tidak bermain-main lagi dalam pertarungan ini! "Mati kau!" Damarjati mendorong istrinya saat pria gila itu tiba-tiba menyerang. Saat tubuhnya sehat saja dia kewalahan. Apalagi saat dia terluka parah. Padmasari cukup terkejut, namun apa yang bisa dia lakukan. Padmasari dan Damarjati sudah tahu akhir apa untuk mereka. Kematian! Dan pada akhirnya. Pedang pria bertubuh tinggi dan kekar itu berhasil menebas kepala Damarjati. Zrak! Kepala itu jatuh dan menggelinding ke sisi ranjang tepat di depan wajah Candramaya kecil, membuat matanya membelaklak dan membeku. Candramaya tercengang menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Perlahan air matanya meleleh menyaksikan kepala Romonya yang terpenggal. Bruk! Tubuh Damarjati tersungkur ke lantai dan menyemburkan banyak darah. Hujan begitu deras di sertai badai dan kilatan petir, meredam suara teriakan Padmasari yang melengking. Api di sumbu lampu minyak padam tertiup angin yang masuk mendobrak jendela dengan paksa. Cahaya minim dan remang serta kilatan petir yang terus menyambar membuat suasana malam itu semakin mencengkam. Cairan merah kental berceceran membasahi lantai dan bau anyir menyeruak memenuhi ruangan. "Tidaakkkkk!" Padmasari memekik, tubuhnya lemas dan berakhir jatuh terduduk ke lantai. Sekujur tubuhnya bergetar, kedua tangannya mengepal kuat, yang dia bisa lakukan hanya menangis, meraung meratapi tubuh suaminya yang terpenggal. "Hiks! Kangmas! Tidak!" Hati Padmasari hancur, dia bahkan tidak bisa bernafas dengan benar. Kehidupannya yang bahagia benar-benar terkoyak dan tercabik-cabik. Pria yang dari tadi hanya menonton menundukan kepala, dia sedih dan merasa bersalah. Ini keluarga ke empat yang dia hancurkan. Namun apa daya, ini perintah. Berbeda dengan pria tinggi dan kekar itu. Sorot matanya telihat puas. Di balik kain yang menutupi wajahnya, dia tersenyum menyeringai. Pria itu berjalan mendekat lalu berjongkok di depan Padmasari yang terduduk di lantai. Mereka berdua saling berhadapan. "Aku punya penawaran, memohon padaku dan kamu akan ku jadikan istri. Bagaimana?" Kata pria tinggi dan kekar. Pria itu membelai surai rambut Padmasari, tatapannya penuh dengan ketertarikan. "Cih! Kamu kira aku sudi diperistri oleh manusia keji sepertimu!" sarkas padmasari, menatap iris mata pria itu dengan penuh kebencian. Namun itu membuat pria itu semakin bergairah. Dia ingin wanita ini. Dia ingin menjinakkan wanita ini. "Ayolah, kamu belum melihat wajahku. Aku tampan dan sakti mandraguna!" "Jangan bermimpi! Lebih baik menjadi bangkai dari pada hidup menanggung malu. Dasar Iblis!! Cuih!" Padmasari meludahi wajah pria kurang ajar itu tanpa ragu dan berhasil menyinggung harga dirinya. Plak!! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Padmasari. "Wanita tidak tau diri!" sarkas pria tinggi besar itu, wajahnya memerah saat mengelap ludah yang ada di wajahnya. Sorot matanya semakin menggelap. Untuk meluapkan emosinya, pria itu mencekik leher Padmasari dengan kedua tangannya tanpa segan. Matanya menggelap, terlihat aura kemarahan yang menyelimuti pria itu. Padmasari hanya mengerang dan memukul-mukul tangan kekar pria yang sedang kesetanan. Matanya memerah dan berair. Wajahnya mulai pucat karena sulit bernafas. "Hentikan kegilaanmu! Tujuan kita sudah terpenuhi. Sebelum fajar kita harus segera pergi!" Pria satunya memekik. Dia menegur karena sudah dia tahan dengan kebengisan rekannya. Pria itu memejamkan matanya sejenak untuk mengendalikan emosinya. Lalu melepaskan cengkramannya. "Kamu beruntung wanita sialan!" "Ohok! Ohok" Padmasari terbatuk dan buru-buru meraup oksigen. Matanya semakin merah dan menyala. Ini keterlaluan! Tanpa pikir panjang Padmasari meraih pedang yang tergeletak dan bangkit menyerang pria gila itu. Namun? Dia bukan pria sembarangan, serangan Padmasari layaknya bumerang. Jleb!! "Akhh!" Pekik Padmasari, saat sebuah pedang yang dia ayunkan untuk membunuh pria bengis itu justru di tangkis dan berbalik menembus perutnya sampai ke belakang punggungnya. Padmasari memuntahkan darah, tubuhnya ambruk di atas jasad suaminya. Candramaya kecil memekik bersamaan dengan suara petir yang menyambar. "Ibuuuuuu!!!!!" Jgeeer!!! "Paman ...dengar suara itu?" Tanya pria bertubuh tinggi kekar. Matanya menelisik kesegala arah, lalu mengambil lampu minyak yang masih menyala lalu berjalan menyusuri kamar. Dia Ingin membuktikan apa yang telinganya dengar. "Itu suara anak kecil?" "Suara petir maksudmu?" Tanya pria satunya, dia juga dengar dia bahkan melihat seorang gadis kecil bertelungkup di bawah ranjang. Namun, dia tetap diam dan berpura-pura tidak tahu. Dia tidak tega! "Bukan! Sepertinya malam ini akan semakin seru," jawab pria bertubuh tinggi dan kekar, matanya menajam dengan sebelah sudut bibir terangkat dan mengarahkan jari telunjuknya ke kolong ranjang. Pria yang satunya menelan saliva secara kasar, saat rekannya berjalan menuju sisi ranjang. "Sudahlah tidak ada apapun di sana!" Kata pria satunya, mencengkal lengan kekar milik pria bertubuh tinggi dan kekar itu. "Jangan halangi aku, Paman!"Pria bengis itu menangkis tangan rekannya dengan kejam dan tatapan jijik. Tanpa memperdulikan tata krama, bahwa yang dia abaikan adalah orang yang jauh lebih tua.Tanpa ragu dia melangkah untuk membuktikan apa yang dia dengar.Sadar dalam bahaya, saat ada sepasang kaki menghampiri tempat persembunyiannya. Candramaya menyadarkan dirinya agar tetap tenang dengan apa yang baru dia saksikan.Dia masih kecil. Mampukah dia bertahan?Kematian kedua orang tuanya adalah sebuah pukulan keras yang mengguncang psikisnya.Candramaya kecil menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Agar bisa mengingat jaba mantra yang selalu di ajarkan ibunya. Mulut gadis kecil itu komat-kamit, berusaha fokus di kala tubuhnya bergetar hebat."Kanjeng Ibu, Putri Tanjung Kidul! Butakan mata yang bisa melihat! Tulikan telinga yang bisa mendengar. Tubuhku tak terlihat bagaikan asap. Siang dan malam menjadi satu yang ada hanya kehampaan."Keris kecil itu bergerak. Dari ujungnya
"Di mana Candramaya?""Kami sudah mencarinya. Tapi Gusti Ayu hilang," ujar salah satu pelayan. Pria paruh baya yang selamat karna tidak menginap kini bersimpuh. Raut wajahnya terlihat cemas dan penuh penyesalan.Wismaya menunduk, perasaannya semakin kacau, Sorot matanya semakin meredup. Adik dan iparnya tewas. Dan sekarang keponakannya menghilang.Bagaimana ini?Tapi mana mungkin adiknya bisa terbunuh jika ada keris pelindung dari leluhurnya?"Yah!! Adikku sudah mewariskan keris itu pada putrinya," batin Wismaya. Wismaya langsung bangkit dari duduknya, saking lemasnya tubuh pria itu terhuyung. Dia tidak sabar, dia ingin memastikan sesuatu."Candramaya masih hidup!" Batin Wismaya mengusap bulir bening yang membasahi wajahnya. Dia langsung berlari ke dalam rumah adiknya.Wismaya menatap getir pintu yang rusak bekas dobrakan. Dan darah yang mengering di atas lantai serta bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman.Secara reflek Wismaya menutup hidungnya dengan punggung tangannya.
Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya. Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna.Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya.Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan. Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan. "Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya
"Tentu ada, Gusti"Adi Wijaya terbelaklak, wajahnya terlihat tegang dan pucat. Jawaban singkat itu tentu saja seperti anak panah yang melesat menghujam jantung Adi Wijaya. Adi Wijaya terpojok sekarang!Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat, tatapan gadis itu kosong. "Katakan, Nak? Katakan yang kamu ketahui?"Candramaya kecil menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman. Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu."Du-dua orang, Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar. Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat dengan cemas. Apalagi tatapan gadis itu kosong, dengan lembut Wismaya menepuk pundak lemah Candramaya untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan berkata, "Katakan yang kamu tahu, Nak?"Candramaya men
Klekkk!!Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat."Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung."Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malik Rupa.Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam.Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis."Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas."Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu duduk di atas karp
Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum. Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya. Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih."Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.
"Jadi kamu menuduhku berbohong! Bukankah kamu juga membacanya sebelum keluar dari kamar ini, karna aku meminta kamu memberi saran pada tulisanku!""Bukan itu maksud Ananda. Tapi, saat Ananda akan memberikan surat itu. Ananda mendengar Kanjeng Ibu berteriak dari kamar Kemuning, Romo," ujar Arya Baladitya. Pemuda itu berusaha keras menjelaskan.Di mata pemuda itu hanya ada kejujuran. Adi Wijaya tidak buta. Dia melihatnya.Menantunya selalu jujur dan tidak pernah mengecewakannya. Dan ini untuk pertama kalinya."Jadi surat itu Ananda letakan di atas nakas dan bergegas membantu Asri kemuning yang sedang pingsan. Di ruang itu ada Ibu Kamaratih, Dewi Damayanti Citra dan dua dayang, Romo.""Kamu teledor bodoh! Bawa mereka berempat kemari!" Titah Adi wijaya dengan rahang yang mengatup, terduduk di sisi ranjang sambil memijit pelipisnya dengan kasar.Beberapa saat kemudian.Dua Prajurit kembali ke kamar Adi wijaya, dengan nafas yang tersengal lalu bersimpuh. "Gusti, kedua dayang istana yang ber
Air mata Asri Kemuning tumpah, menangis pilu di pelukan sang suami, "Takdir macam apa ini!" Batinnya. Hati Kamaratih terasa tercabik-cabik dan sesak. Setelah kekacauan di rapat pagi itu. Dia selalu menemani putrinya. Dia juga menceritakan segalanya mengenai apa yang sedang terjadi. Asri Kemuning tidak terima, hingga akhirnya memutuskan untuk tetap membela suaminya. Walaupun dia harus menjadi anak pembangkang. Tubuh lemahnya keluar dari pelukan sang suami. Dia berjalan menghampiri Ayahnya. "Romo ...tidak adil!" Suara lirih dan lemah Asri Kemuning terdengar. Tatapan Adi Wijaya begitu dingin, telinganya terasa sakit. Sejak kapan putrinya berani melawannya. Apa karena seorang pria? "Kamu bilang apa!" Adi Wijaya membentak putri kandungnya untuk pertama kali. Hampir membuat nyali Asri Kemuning menciut. Namun dengan sorot mata yang penuh tekad dan keberanian dari seorang putri Harsa Loka. Dia berkata dengan lantang, "Romo tidak adil kepadaku. Teganya Romo menghancurkan kebahagiaan putr