Belva termangu sambil memegang selembar kertas di tangannya. Belva tidak ingin memercayainya. Akan tetapi tulisan yang tertera di kertas itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya.Sedikit pun Belva tidak menyangka jika Athaya menaruh hati pada Rogen yang jelas-jelas adalah saudaranya sendiri. How could it be?Belva buru-buru meletakkan kotak itu kembali dan menutup tas Athaya sebelum muncul dari toilet. Lalu Belva duduk di tempatnya seakan tidak ada apa pun yang terjadi.Selang beberapa detik kemudian Athaya muncul. “Gue lama ya, Bel? Tadi antri di toilet,” katanya memberitahu. “Nggak juga,” jawab Belva sambil tersenyum menutupi kegugupannya. Bagaimanapun juga ungkapan hati Athaya di kertas tadi sangat mengguncangnya.Mereka kemudian meninggalkan area SPBU. Selagi Athaya menyetir Belva memerhatikannya dalam diam. Semua keakraban mereka kini seperti adegan yang diputar ulang di depan Belva.Belva mengerti kenapa selama ini Athaya memilih untuk sendiri tanpa memiliki kekasih. Bukann
Belva dan Rogen serentak memandang ke arah pintu. Jika Belva sudah tahu siapa tamu yang berkunjung, maka Rogen kemudian menatap Belva dengan sorot bertanya.“Bel, siapa yang datang?”“Coba kamu buka aja pintunya ya,” jawab Belva.Rogen keluar dari kamar dan melangkah kasual untuk membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka, ia dan sang tamu yang kini berdiri tegak di hadapannya sama-sama terkejut.Rogen tidak mengira jika Athayalah yang akan berkunjung. Begitu pun dengan Athaya. Tadinya ia pikir Belvalah yang akan membukakan pintu untuknya. Dugannya ternyata salah besar, bukan Belva yang kini berdiri di hadapannya, melainkan Rogen.“Elu, Ay, kirain siapa.” Itu kalimat pertama yang meluncur di bibir Rogen.Athaya tersenyum kikuk. Meskipun nada suara Rogen terdengar datar, akan tetapi Athaya bisa merasakan jika Rogen tidak menyukai kedatangannya. Apa sebaiknya ia pergi saja? Tapi sudah terlanjur. Jika memang ingin menolak seharusnya sudah sejak tadi mencari alasan, saat Belva mengajaknya.
Rogen menunggu Belva yang katanya akan mengganti bajunya dengan lingerie. Namun setelah bermenit-menit Belva tidak juga muncul.“Bel, kenapa lama? Udah pake lingerie-nya?” Rogen memanggil Belva dengan suara pelan.Dalam keadaan setengah sadar Rogen merasakan seseorang di sebelahnya ketika tangannya menyentuh permukaan kasur. Ternyata Belva sudah berbaring di sana. Tapi sejak kapan dia ada di sana? Rogen tidak tahu. Suasana kamar yang gelap membuatnya kesulitan. Satu-satunya penerangan di ruangan itu adalah cahaya bulan yang menyelinap melalui sela-sela tirai."Bel, tumben banget lampunya dimatiin? Lagian kenapa sih cuma ganti lingerie pake matiin lampu segala?" Rogen keheranan atas tingkah Belva yang berada di luar kebiasaan. Biasanya setiap kali mereka bercinta Rogen paling suka dengan cahaya menyala terang, sehingga ia dengan lebih leluasa menikmati indahnya tubuh perempuan yang dicintainya.Belva tidak menjawab yang membuat Rogen kembali bertanya.“Bel, kamu kenapa diam aja aku pan
Rogen terpaku bermenit-menit di depan lemari sambil memandang hampa pada rak-rak yang telah kosong. Tidak sehelai pun baju Belva tertinggal di sana.Satu-satunya yang ada di pikiran Rogen kemudian adalah Athaya. Belva pasti bersamanya, karena setahu Rogen Athayalah orang yang paling dekat dengan calon istrinya itu.Rogen mengambil ponsel yang tadi dilemparnya ke kasur. Dengan tidak sabar ia mencari nomor Athaya di daftar kontak. Ternyata Athaya tidak langsung menjawab panggilan darinya.“Angkat, dong, Ay! Ke mana sih lo?” Rogen bergumam kesal sambil mondar-mandir di dalam apartemennya.Setelah waktu koneksi habis, Rogen me-redial nomor Athaya. Namun entah kenapa Athaya yang biasanya selalu sigap menerima telepon darinya kali ini tidak merespon sehingga Rogen memaki-maki sendiri.***Athaya sedang berbaring di kamarnya ketika ponselnya berdering tanpa henti. Ketika tahu itu dari Rogen, jantungnya menghentak-hentak.Athaya terduduk. Meskipun matanya tertuju pada benda itu, akan tetapi A
Keluarga Belva terkejut ketika Rogen dan Athaya datang ke sana dan menanyakan keberadaan Belva. Mereka tidak tahu apa-apa karena setelah pergi waktu itu Belva tidak pernah pulang.“Bukannya Belva tinggal bersama kamu dan besok kalian akan menikah? Malah Om udah siap-siap buat berangkat nanti,” kata Hesti khawatir.“Kemarin Belva memang sama saya, Tante, tapi tiba-tiba dia pergi tanpa bilang apa-apa. Dia nggak pamit sama sekali sama saya.”“Apa Nak Rogen bertengkar dengan Belva sebelumnya?” tanya Baron menimpali.“Nggak, Om. Saya dan Belva baik-baik saja. Kami nggak pernah bertengkar.”“Tadi di mobil saya sudah hubungi semua teman-teman yang mengenal Belva, Om, tapi Belva nggak ada di sana,” kata Athaya menyela.“Kalau begitu gimana kalau kita lapor polisi?” Hesti memberi ide. Hesti khawatir jika pernikahan Belva dan Rogen batal. Itu artinya ia gagal berbesan dengan orang kaya. Mimpinya untuk hidup nyaman akan sirna sebelum terwujud.“Nggak bisa, Tante. Setahu saya kalau kejadiannya be
Rogen dan Athaya akhirnya tiba di rumah Audry. Sebelum turun Rogen memandang ke sebelahnya. Tepat pada Athaya yang juga sedang menatap padanya.“Jangan lupa yang gue bilang tadi, nanti kalo Mommy dan Papa nanya-nanya, lo ngejawabnya jangan keluar dari yang tadi gue kasih tau.”Athaya mengangguk pelan lalu turun dari mobil setelah Rogen lebih dulu keluar dari sana.“Dari tadi Mommy telfon tapi nggak dijawab-jawab,” kata Audry setelah melihat Rogen muncul.“Maaf, Mommy, tadi aku lagi di jalan,” jawab Rogen.“Belva mana?” Audry memiringkan kepalanya mencari sosok calon menantu, dan di saat itulah ia melihat Athaya. “Eh, ada Aya …”Athaya tersenyum singkat sambil menganggukkan kepalanya dengan sopan.Audry tidak tahu kenapa Athaya yang berada di hadapannya, bukan Belva. Tapi kemudian ia berpikir, sebagai sahabat Belva bisa saja Athaya ikut untuk menyaksikan pernikahannya.“Belvanya mana, Dek?” Audry bertanya sekali
Athaya mengembalikan ponsel ke tempatnya setelah selesai menelepon Rogen. Pandangannya lalu tertuju pada amplop di atas meja yang tadi diberikan kepala divisi HRD padanya. Amplop itu adalah titipan dari Belva untuk Rogen. Athaya tidak tahu apa isinya. Ia juga tidak berani membukanya. Tadi sebelumnya amplop itu berada di amplop coklat besar yang ditujukan untuk Athaya. Ketika dibuka ternyata ada amplop lain di sana dan kertas kecil dengan tulisan, "Ay, tolong kasih ini ke Rogen. Thanks. Belva."Sekitar satu jam kemudian Rogen datang. Tadi sebelum menutup telepon Athaya meminta Rogen datang untuk mengambil titipan dari Belva. “Belva ngasih ini.” Athaya memberikan amplop itu pada Rogen setelah lelaki itu tiba di kantornya.Dengan tidak sabar Rogen membuka amplop tersebut. Dan isinya adalah … kartu debit platinum yang pernah diberikannya pada Belva. Perempuan itu ternyata mengembalikannya. Apa itu artinya Belva ingin pergi selamanya dari hidup Rogen?“Lo ketemu sama dia?"Athaya menggel
Lelaki itu adalah Rogen. Dari tempatnya berdiri ia melihat dengan jelas ekspresi Belva yang berubah drastis ketika ia masuk ke ruangan itu. Belva begitu gugup. Meski berusaha menyembunyikannya tapi usahanya gagal.Rogen menunggu sampai sesi pemotretan tersebut selesai dilakukan. Satu per satu orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut keluar dari ruangan, meninggalkan Rogen berdua dengan Belva.Belva berdiri terpaku di tempatnya, tidak kuasa menggerakkan kaki. Sedangkan beberapa meter di hadapannya Rogen menanti dengan sorot mata, “Kenapa begini?”Selama beberapa detik mereka hanya mampu berpandangan dalam diam. Menyadari jika ia tidak bisa lagi mengelak, Belva melangkah pelan mendekati Rogen dan berdiri tepat di depan laki-laki itu.Tanpa berkata apa-apa Rogen merengkuh Belva dan memeluk seerat yang ia bisa. Seakan dengan merenggangkan sedikit saja maka ia akan kembali kehilangan perempuan itu.“Aku kangen, kamu ke mana aja? Kenapa pergi?” Rogen berbisik lembut di telinga Belva.
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama