Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.
“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Laki-laki itu bergerak kencang di atas perempuan yang terperangkap di bawah tubuhnya. Irama napasnya terdengar memburu bersama gairah yang membakarnya. Sedangkan perempuan di bawahnya tampak tertekan oleh gerakan beringas laki-laki itu.“Pi, bisa pelan sedikit?” pinta Audry—perempuan itu. Ia meringis menahan sakit. Cara Jeff—suaminya, mencumbui, membuatnya tidak nyaman.Alih-alih akan memenuhi permintaan istrinya, Jeff malah marah. Ia tidak suka diinterupsi, diprotes, disela, atau apa pun namanya. Itu hanya akan membuat suasana hatinya jadi memburuk.“Apa aku menyuruhmu bicara? Sudah berapa kali kukatakan kamu tidak berhak untuk membantah apa pun yang kulakukan. Kamu tinggal ikuti dan nikmati!” sergahnya keras sambil menjambak rambut Audry.“Pi, sakit … tolong awaskan tanganmu.” Audry meringis lagi. Jambakan keras Jeff di kepalanya membuatnya kesakitan. Ini bukanlah untuk yang pertama. Jeff tidak segan-segan mengasarinya setiap kali ada hal yang tidak berkenan di hatinya. Termasuk saa
Audry menggeliat pelan. Ia meringis ketika merasakan berat di kepalanya. Rasanya ingin tidur seharian. Namun ia tetap memaksa diri untuk membuka mata. Di sebelahnya, tangan Jeff melingkarinya dengan erat. Mengunci tubuhnya begitu rapat. Dengan gerakan seperlahan mungkin Audry beringsut turun dari ranjang agar tidak membangunkan suaminya. Kerutan timbul di dahinya ketika menyadari saat itu tubuhnya tidak ditutupi sepotong kain pun, kecuali selimut yang kini tersingkap.Audry mencoba keras mengingat apa yang telah terjadi semalam. Namun ia tidak mampu mengingat apa-apa. Detik berikutnya ia baru menyadari jika ruangan tempatnya berada sekarang bukanlah kamarnya. Tapi ….Audry menutup mulutnya dengan cepat, menahan diri agar tidak berteriak ketika menyadari bahwa pria yang sedang tidur di sebelahnya bukanlah suaminya, tapi … pria asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Ya, dia bukan Jeff. Suaminya tidak memiliki tato di pergelangan tangan seperti pria itu.Napasnya sesak seketika bersa
Sekian hari berlalu setelah kejadian tersebut. Audry mencoba menganggap malam itu tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi apa-apa antara dirinya dan Dypta. Namun memorinya menolak lupa. Audry selalu dikejar kekhawatiran. Setiap malam ia terbangun dengan keringat membasahi tubuh karena mimpi buruk. Lalu setelahnya ia akan terjaga sampai pagi. Mimpi itu dipicu oleh ketakutan serta perasaan bersalah pada suaminya. Sekejam-kejamnya Jeff, namun pria itu tetaplah suaminya. Pria yang selama ini menjadi tempatnya menggantungkan hidup.Audry juga merasa trauma setiap kali Jeff mengajaknya berhubungan. Ia takut akan kembali tidur dengan orang yang salah. Audry ingin menolak setiap kali Jeff menginginkannya. Akan tetapi ia tahu hal itu sangat mustahil terjadi. Yang ada, Jeff akan benar-benar menaruh curiga padanya.Siapa yang akan menyangka jika seminggu setelah kejadian itu mereka kembali bertemu. Dypta berjumpa dengan Jeff di luar, lalu pria itu mengajak ke rumahnya. Dypta sudah menolak, n
"Aku siap mendengarkan seluruh ceritamu. Jangan takut, ada aku di sini. Aku akan membantumu. Kalau pun aku nggak bisa membantu, tapi setidaknya kamu merasa lega karena sudah berbagi,” ucap laki-laki itu lembut.Audry yang sejak tadi terus menghindar tidak bisa lagi mengelak. Ia memberanikan diri menatap Dypta. Lalu menemukan kesejukan di sana, tepat di iris coklat laki-laki itu.Air mata Audry menetes tanpa bisa dibendung. Selama ini tidak ada yang tahu apa yang ia alami, alih-alih akan peduli.”Bicaralah, Audry. Kamu nggak usah takut.” Tidak hanya menggenggam tangan perempuan itu, Dypta juga menangkup pipinya yang tirus.Sikap Dypta yang lembut dan hangat membuat keberanian Audry muncul tiba-tiba. Ia menceritakan segalanya. Mulai dari awal dulu kenapa ia bisa menikah dengan Jeff, kehidupan pernikahannya yang bagai di neraka, hingga alasan-alasan yang membuatnya tetap bertahan dengan suami kejamnya.Semua membuat Dypta speechless. Terlepas dari apa yang sudah terjadi antara dirinya de
Mommy ke mana saja?” Tania merengek ketika melihat Audry turun dari mobil. Sedangkan Jeff menatapnya dengan tajam.”Mommy tadi ke dokter, Sayang, tangan Mommy luka kena pecahan kaca,” jelas Audry sambil mengambil alih anak itu dari gendongan Jeff. “Tata kenapa nangis, Nak?” ujarnya sambil mengusap air mata sang putri.“Tata tadi mimpi dikejar harimau, Mom. Tata takut ….” Tania memeluk Audry erat-erat dan merebahkan kepalanya di bahu perempuan itu.Audry lantas tersenyum. Diusapnya punggung sang putri dan menenangkan dengan suaranya yang lembut. “Harimaunya cuma ada di dalam mimpi dan sekarang dia sudah mati ditembak Papi,” bisiknya pelan.”Om, maaf, tadi aku ngajak Tante Audry ke dokter soalnya tangan Tante luka kena pecahan cangkir.” Dypta segera menjelaskan sebelum Jeff bertanya.”Cuma kena kaca dikit nggak perlu sampai ke dokterlah,” ucap Jeff ringan.“Tapi lukanya cukup dalam, Om. Untung segera diobati, kalau nggak bisa infeksi.”“Ya sudah,” ucap Jeff meski terkesan tidak suka.“
”Sudah berapa kali aku bilang, kamu harus bangun lebih pagi dariku. Apa kamu lupa tugasmu apa saja? Apa harus kuingatkan lagi apa saja tugas seorang istri padamu?”Audry tersentak ketika Jeff menghardiknya karena mereka terlambat bangun.“Maaf, Pi, aku lupa menyalakan alarm.” ”Itu bukan alasan, Audry. Apa kamu tahu, pagi ini aku harus bertemu klien penting. Apa kamu mau tanggung jawab kalau dia membatalkan kerjasama dan perusahaan kita akan menanggung kerugian ratusan juta?””Maaf, aku-””Diam! Tutup mulutmu! Perempuan bodoh sepertimu tidak akan mengerti apa-apa.” Jeff menepis tangan Audry yang sedang membantu memilih bajunya di lemari dengan kasar hingga tubuh perempuan itu terdorong ke samping.Audry memilih bungkam. Ini bukanlah pertama kalinya Jeff marah hanya karena hal-hal sepele. Sikap kasar laki-laki itu dan hinaannya sudah menjadi makanan Audry sehari-hari, namun tetap saja membuat Audry merasa sedih.Setelah berpakaian, Jeff bergegas pergi. Meninggalkan Audry sendiri dengan
“Hei …,” sapa Dypta setelah tertegun sekian detik.Audry tersenyum canggung. “Hei, boleh aku masuk?”Dypta menganggukkan kepala. “Silakan,” jawabnya. “Tunggu sebentar ya.” Lalu laki-laki itu meninggalkan Audry sendiri dan masuk ke kamarnya. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan berpakaian lengkap.“Tante kebetulan lewat sini atau memang sengaja ke sini?” tanyanya setelah duduk.“Jangan pangggil Tante, panggil Audry aja kayak kemarin, kecuali di depan ommu.””Oke, Audry.” Laki-laki itu tersenyum.“Aku ke sini cuma mau make sure apa handphoneku ketinggalan di sini? Soalnya kucari di rumah nggak ketemu.”“Itu dia yang mau kukasih tahu. Sebentar ya!”Dypta meninggalkan Audry sendiri dan tak lama kemudian pria kharismatik itu kembali membawa handphone milik sang tante.Audry tersenyum lega ketika Dypta memberikannya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Jeff yang tertera di layar.“Makasih ya, Dyp, kalau bukan karena Jeff yang telfon dan kasih tahu aku nggak menjawab panggilannya, aku