Laki-laki itu bergerak kencang di atas perempuan yang terperangkap di bawah tubuhnya. Irama napasnya terdengar memburu bersama gairah yang membakarnya. Sedangkan perempuan di bawahnya tampak tertekan oleh gerakan beringas laki-laki itu.
“Pi, bisa pelan sedikit?” pinta Audry—perempuan itu. Ia meringis menahan sakit. Cara Jeff—suaminya, mencumbui, membuatnya tidak nyaman. Alih-alih akan memenuhi permintaan istrinya, Jeff malah marah. Ia tidak suka diinterupsi, diprotes, disela, atau apa pun namanya. Itu hanya akan membuat suasana hatinya jadi memburuk. “Apa aku menyuruhmu bicara? Sudah berapa kali kukatakan kamu tidak berhak untuk membantah apa pun yang kulakukan. Kamu tinggal ikuti dan nikmati!” sergahnya keras sambil menjambak rambut Audry. “Pi, sakit … tolong awaskan tanganmu.” Audry meringis lagi. Jambakan keras Jeff di kepalanya membuatnya kesakitan. Ini bukanlah untuk yang pertama. Jeff tidak segan-segan mengasarinya setiap kali ada hal yang tidak berkenan di hatinya. Termasuk saat mereka sedang bercinta. “Aku ingatkan sekali lagi, jangan pernah membantahku.” Jeff lantas melepaskan tangannya dari kepala Audry setelah perempuan itu memohon berkali-kali padanya. Pria itu kembali bergerak terburu-buru seperti tadi tanpa peduli pada perasaan wanitanya. Hingga kemudian tubuhnya menegang sempurna ketika mencapai pelepasannya. Detik berikutnya laki-laki itu menarik diri dan menggulingkan tubuhnya ke samping. Hanya sesaat, ia kemudian bangkit dan memberi perintah. “Sekarang bangun dan pakai pakaianmu. Kita harus segera ke ballroom.” Meski badan dan kepalanya terasa sakit, Audry mematuhi semua yang dikatakan Jeff. Ia cepat berpakaian sebelum Jeff memarahinya. Jeff menggandeng Audry dengan mesra memasuki ballroom tempat pesta diadakan. Malam itu mereka menghadiri sebuah pesta kaum old money yang diadakan di ballroom sebuah hotel ternama. Pria itu menebar senyum pada siapa saja yang ditemuinya dan merangkul Audry lebih erat. Ia ingin menunjukkan bahwa kehidupan pernikahannya begitu harmonis. Tidak ada yang tahu jika Audry tidak pernah bahagia menikah dengan laki-laki yang berumur tujuh belas tahun lebih tua darinya itu. Saat itu Audry masih berumur dua puluh dua tahun. Ia terpaksa menikah dengan Jeff lantaran orang tuanya tidak sanggup membayar hutang yang banyak pada keluarga Clayton, nama keluarga Jeff. Keluarga Clayton akan mengambil rumah orang tua Audry yang nilainya tidak seberapa dengan hutang tersebut. Mereka pun terancam akan kehilangan tempat tinggal. Keluarga Clayton yang kaya-raya akhirnya bersedia menganggap hutang tersebut lunas dengan syarat Audry harus menikah dengan Jeff, satu-satunya anak laki-laki di keluarga tersebut. Namun sesungguhnya, orang tua Jeff dan para saudaranya tidak pernah suka pada Audry. Mereka juga kerap bersikap kasar dan memperlakukan perempuan itu dengan buruk. Peggi—mertua perempuan Audry, menatapnya dengan sinis saat melihat Audry muncul. “Selamat malam, Ma, maaf aku agak terlambat.” Audry menyapa mertuanya dengan ramah. Bukannya mendapat sambutan hangat ia justru dikasari. “Jadi kamu juga di sini? Siapa yang menyuruhmu datang?” “Jeff yang mengajakku, Ma. Aku tidak mungkin tidak ikut.” ”Apa menurutmu pantas hadir di sini?” Peggi memindai Audry dari atas kepala hingga ujung kaki dengan tatapan penuh penghinaan. “Yang datang ke pesta ini hanya para bangsawan, bukan orang kampung sepertimu.” Estelle—kakak iparnya, ikut-ikutan menghina Audry. “Lihat saja pakaianmu, gaun itu pasti malu melekat di tubuhmu.” ”Tapi gaun ini pilihan Jeff, Kak. Lagi pula ini bukan gaun murah.” ”Aku tahu gaun itu mahal, tapi kamu yang murah. Kamu tidak pantas memakainya. Mau pakai baju semahal apa pun tapi asalmu tetap dari kampung!” Estelle mencebik merendahkan Audry. Lalu perempuan itu dan ibunya pergi setelah meninggalkan tatapan sinis. Audry terdiam di tempatnya berdiri. Sementara Estelle dan Peggi berlalu pergi dari hadapannya, bergabung dengan tamu lainnya yang merayakan pesta. Audry gagal menahan air mata. Penghinaan mertua dan kakak iparnya membuat perempuan itu sedih dan merasa terhina. Bukan hanya hari ini, tapi hampir di setiap kesempatan ia mendapat hinaan dari keluarga suaminya. Di saat orang-orang tengah berpesta, Audry duduk sendiri. Ia menenggak bergelas-gelas minuman. Perempuan itu melampiaskan segalanya karena hanya itu yang bisa dilakukannya. Ia tidak punya tempat untuk mengadu. Dalam keadaan setengah sadar ia mendapat pesan dari suaminya melalui ponsel untuk mengambil dompet di kamar. Audry melangkah dengan sempoyongan. Kepalanya terasa pengar. Pandangannya pun mulai nanar. Audry terus memegang kepalanya. Ia merasa tidak kuat lagi. Tapi perempuan itu bertekad harus berhasil sampai di kamar atau Jeff akan marah dan mengasarinya lagi. Pintu kamar terbuka. Audry yang mabuk berat tidak tahu kalau ia memasuki kamar yang salah. Ada seorang pria di sana. Pria itu juga sedang mabuk. Ia tersenyum saat melihat Audry datang. Ia pikir Audry adalah partner one night stand-nya. Untuk sesaat, Dypta—nama pria itu, terkesima. Semua jauh di atas ekspektasinya. Audry sangat cantik dan seksi dengan gaun malam berbelahan dada rendah. Sementara rambutnya yang panjang ditata dengan gaya messy bun, yang membuat leher jenjang perempuan itu terekspos dengan jelas. ‘Kenapa Jeff ada di sini? Bukankah tadi dia menyuruhku ke kamar untuk mengambil dompet?’ Audry bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Ia pikir Dypta adalah Jeff. ”Kamu kenapa di sini?” Audry menyuarakan keheranan di hatinya. “Karena aku sedang menunggumu.” Pria itu tersenyum seduktif padanya. “Tapi tadi kamu kan-” “Ssst, jangan banyak bicara.” Dypta menempelkan telunjuk ke bibir Audry, memintanya untuk diam. Laki-laki itu kemudian menatapnya dengan mesra, sedangkan bibirnya menyunggingkan senyum lembut. Audry terpana. Ia tidak pernah melihat Jeff menatapnya semesra ini. Suaminya sangat keras dan bukanlah tipe pria yang romantis. Laki-laki itu lalu mengecupnya. Kecupan yang lembut, hangat dan berirama. Kecupan singkat yang kemudian menjelma menjadi kecupan yang dalam dan bergelora. Audry masih menganggap laki-laki itu sebagai suaminya. Meskipun terheran-heran atas cara Jeff yang berubah drastis men-treatment-nya. Laki-laki itu menuntun Audry ke ranjang. Membaringkannya dengan lembut dan perlahan, seakan Audry adalah barang berharga yang akan rusak jika diperlakukan dengan keras sedikit saja. Laki-laki itu mulai menjamahnya … Tidak ada gerakan kasar dan cercaan yang keluar dari mulutnya. Dia melakukannya dengan lembut. Matanya yang teduh tiada henti menatap Audry dengan mesra. Sesekali dia berhenti hanya untuk mengecup kening Audry dan menanyakan apa dia menyakiti perempuan itu. Audry menggelengkan kepalanya. Tidak. Pria itu tidak menyakitinya. Ia merasa bahagia malam ini. Selama bertahun-tahun menikah dengan Jeff, baru kali ini Audry bisa menikmati saat laki-laki itu mencumbuinya. Desahan halus mencuri keluar dari mulut Audry ketika laki-laki itu meledak di dalamnya, lalu merebahkan kepala di dada perempuan itu. Tidak ada sentakan kasar saat dia menarik diri. Laki-laki itu melakukannya dengan perlahan. “Terima kasih untuk malam yang indah ini,” bisiknya. Lalu mengakhiri romansa mereka dengan mengecup lembut kening Audry. Audry tersenyum bahagia untuk pertama kalinya. Kemudian mengunci dirinya dalam pelukan hangat laki-laki itu. ***Audry menggeliat pelan. Ia meringis ketika merasakan berat di kepalanya. Rasanya ingin tidur seharian. Namun ia tetap memaksa diri untuk membuka mata. Di sebelahnya, tangan Jeff melingkarinya dengan erat. Mengunci tubuhnya begitu rapat. Dengan gerakan seperlahan mungkin Audry beringsut turun dari ranjang agar tidak membangunkan suaminya. Kerutan timbul di dahinya ketika menyadari saat itu tubuhnya tidak ditutupi sepotong kain pun, kecuali selimut yang kini tersingkap.Audry mencoba keras mengingat apa yang telah terjadi semalam. Namun ia tidak mampu mengingat apa-apa. Detik berikutnya ia baru menyadari jika ruangan tempatnya berada sekarang bukanlah kamarnya. Tapi ….Audry menutup mulutnya dengan cepat, menahan diri agar tidak berteriak ketika menyadari bahwa pria yang sedang tidur di sebelahnya bukanlah suaminya, tapi … pria asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Ya, dia bukan Jeff. Suaminya tidak memiliki tato di pergelangan tangan seperti pria itu.Napasnya sesak seketika bersa
Sekian hari berlalu setelah kejadian tersebut. Audry mencoba menganggap malam itu tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi apa-apa antara dirinya dan Dypta. Namun memorinya menolak lupa. Audry selalu dikejar kekhawatiran. Setiap malam ia terbangun dengan keringat membasahi tubuh karena mimpi buruk. Lalu setelahnya ia akan terjaga sampai pagi. Mimpi itu dipicu oleh ketakutan serta perasaan bersalah pada suaminya. Sekejam-kejamnya Jeff, namun pria itu tetaplah suaminya. Pria yang selama ini menjadi tempatnya menggantungkan hidup.Audry juga merasa trauma setiap kali Jeff mengajaknya berhubungan. Ia takut akan kembali tidur dengan orang yang salah. Audry ingin menolak setiap kali Jeff menginginkannya. Akan tetapi ia tahu hal itu sangat mustahil terjadi. Yang ada, Jeff akan benar-benar menaruh curiga padanya.Siapa yang akan menyangka jika seminggu setelah kejadian itu mereka kembali bertemu. Dypta berjumpa dengan Jeff di luar, lalu pria itu mengajak ke rumahnya. Dypta sudah menolak, n
"Aku siap mendengarkan seluruh ceritamu. Jangan takut, ada aku di sini. Aku akan membantumu. Kalau pun aku nggak bisa membantu, tapi setidaknya kamu merasa lega karena sudah berbagi,” ucap laki-laki itu lembut.Audry yang sejak tadi terus menghindar tidak bisa lagi mengelak. Ia memberanikan diri menatap Dypta. Lalu menemukan kesejukan di sana, tepat di iris coklat laki-laki itu.Air mata Audry menetes tanpa bisa dibendung. Selama ini tidak ada yang tahu apa yang ia alami, alih-alih akan peduli.”Bicaralah, Audry. Kamu nggak usah takut.” Tidak hanya menggenggam tangan perempuan itu, Dypta juga menangkup pipinya yang tirus.Sikap Dypta yang lembut dan hangat membuat keberanian Audry muncul tiba-tiba. Ia menceritakan segalanya. Mulai dari awal dulu kenapa ia bisa menikah dengan Jeff, kehidupan pernikahannya yang bagai di neraka, hingga alasan-alasan yang membuatnya tetap bertahan dengan suami kejamnya.Semua membuat Dypta speechless. Terlepas dari apa yang sudah terjadi antara dirinya de
Mommy ke mana saja?” Tania merengek ketika melihat Audry turun dari mobil. Sedangkan Jeff menatapnya dengan tajam.”Mommy tadi ke dokter, Sayang, tangan Mommy luka kena pecahan kaca,” jelas Audry sambil mengambil alih anak itu dari gendongan Jeff. “Tata kenapa nangis, Nak?” ujarnya sambil mengusap air mata sang putri.“Tata tadi mimpi dikejar harimau, Mom. Tata takut ….” Tania memeluk Audry erat-erat dan merebahkan kepalanya di bahu perempuan itu.Audry lantas tersenyum. Diusapnya punggung sang putri dan menenangkan dengan suaranya yang lembut. “Harimaunya cuma ada di dalam mimpi dan sekarang dia sudah mati ditembak Papi,” bisiknya pelan.”Om, maaf, tadi aku ngajak Tante Audry ke dokter soalnya tangan Tante luka kena pecahan cangkir.” Dypta segera menjelaskan sebelum Jeff bertanya.”Cuma kena kaca dikit nggak perlu sampai ke dokterlah,” ucap Jeff ringan.“Tapi lukanya cukup dalam, Om. Untung segera diobati, kalau nggak bisa infeksi.”“Ya sudah,” ucap Jeff meski terkesan tidak suka.“
”Sudah berapa kali aku bilang, kamu harus bangun lebih pagi dariku. Apa kamu lupa tugasmu apa saja? Apa harus kuingatkan lagi apa saja tugas seorang istri padamu?”Audry tersentak ketika Jeff menghardiknya karena mereka terlambat bangun.“Maaf, Pi, aku lupa menyalakan alarm.” ”Itu bukan alasan, Audry. Apa kamu tahu, pagi ini aku harus bertemu klien penting. Apa kamu mau tanggung jawab kalau dia membatalkan kerjasama dan perusahaan kita akan menanggung kerugian ratusan juta?””Maaf, aku-””Diam! Tutup mulutmu! Perempuan bodoh sepertimu tidak akan mengerti apa-apa.” Jeff menepis tangan Audry yang sedang membantu memilih bajunya di lemari dengan kasar hingga tubuh perempuan itu terdorong ke samping.Audry memilih bungkam. Ini bukanlah pertama kalinya Jeff marah hanya karena hal-hal sepele. Sikap kasar laki-laki itu dan hinaannya sudah menjadi makanan Audry sehari-hari, namun tetap saja membuat Audry merasa sedih.Setelah berpakaian, Jeff bergegas pergi. Meninggalkan Audry sendiri dengan
“Hei …,” sapa Dypta setelah tertegun sekian detik.Audry tersenyum canggung. “Hei, boleh aku masuk?”Dypta menganggukkan kepala. “Silakan,” jawabnya. “Tunggu sebentar ya.” Lalu laki-laki itu meninggalkan Audry sendiri dan masuk ke kamarnya. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan berpakaian lengkap.“Tante kebetulan lewat sini atau memang sengaja ke sini?” tanyanya setelah duduk.“Jangan pangggil Tante, panggil Audry aja kayak kemarin, kecuali di depan ommu.””Oke, Audry.” Laki-laki itu tersenyum.“Aku ke sini cuma mau make sure apa handphoneku ketinggalan di sini? Soalnya kucari di rumah nggak ketemu.”“Itu dia yang mau kukasih tahu. Sebentar ya!”Dypta meninggalkan Audry sendiri dan tak lama kemudian pria kharismatik itu kembali membawa handphone milik sang tante.Audry tersenyum lega ketika Dypta memberikannya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Jeff yang tertera di layar.“Makasih ya, Dyp, kalau bukan karena Jeff yang telfon dan kasih tahu aku nggak menjawab panggilannya, aku
“Kamu ngantuk?” Dypta tersenyum sambil menjauhkan muka dari Audry, kembali memperbaiki posisi duduknya.“Nggak.”“Terus tadi kenapa memejamkan mata?” Audry juga tidak tahu. Tadi ia melakukannya dengan impulsif, karena aroma parfum Dypta mengingatkannya pada kejadian malam itu. Andaipun ia lupa ingatan, namun aroma parfum itu begitu melekat di benaknya dan terhirup dalam oleh hidungnya.Dypta menoleh ke sebelah ketika Audry tidak memberi jawaban apa-apa. Mungkin Audry keberatan menjawabnya. Dan ia pun tidak mau memaksa. Namun, daripada membiarkan hening mengisi kekosongan mereka, laki-laki itu lebih memilih untuk melanjutkan pembahasan mereka yang tadi tertunda.“Ngomong-ngomong soal yang tadi, hobimu apa? Siapa tahu hobimu itu bisa dikembangkan buat ngisi waktu luang.”“Aku?” Audry menunjuk dadanya.“Iya, kamu. Memangnya kamu pikir aku lagi bicara sama siapa? Cuma ada kita berdua di mobil ini. Dan nggak mungkin kan aku bermonolog sendiri?”Audry tersenyum tipis. Iya, senyum. Selama m
“Jadi kita ke mana lagi, Ry?” tanya Dypta melirik Audry yang duduk di sebelahnya. Saat itu mereka sedang berada di traffic light.“Ke Smart Kindergarten.” Perempuan itu menjawab, menyebutkan nama sekolah anaknya.“Oke.” Dypta langsung berbelok ke arah kanan ketika kemudian lampu hijau menyala.Dalam perjalanan menuju sekolah Tania Dypta bersiul kecil. Sementara Audry membisu di sebelahnya. Setelah pembicaraan terakhir tadi, tidak ada lagi yang bisa dikatakannya. Tiba-tiba Audry ingat saat di kafe bersama teman-temannya. Ketika mereka bertanya Dypta kerja di mana ia tidak bisa menjawab karena minimnya info mengenai Dypta di benaknya.“Dyp, kamu CEO kayak Ommu?”Celetukan Audry sontak membuat laki-laki muda itu menghentikan siulannya. Ia lalu menoleh pada Audy. ”Memangnya kenapa?”“Tadi teman-temanku nanya dan aku cuma bilang nggak tahu.”Dypta tersenyum kecil. “Kalau aku bukan CEO apa akan mengubah pandangan teman-temanmu?””Aku nggak tahu.””Kalau kamu?”Kali ini perempuan itu menggel
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama