“Kamu ngantuk?” Dypta tersenyum sambil menjauhkan muka dari Audry, kembali memperbaiki posisi duduknya.
“Nggak.” “Terus tadi kenapa memejamkan mata?” Audry juga tidak tahu. Tadi ia melakukannya dengan impulsif, karena aroma parfum Dypta mengingatkannya pada kejadian malam itu. Andaipun ia lupa ingatan, namun aroma parfum itu begitu melekat di benaknya dan terhirup dalam oleh hidungnya. Dypta menoleh ke sebelah ketika Audry tidak memberi jawaban apa-apa. Mungkin Audry keberatan menjawabnya. Dan ia pun tidak mau memaksa. Namun, daripada membiarkan hening mengisi kekosongan mereka, laki-laki itu lebih memilih untuk melanjutkan pembahasan mereka yang tadi tertunda. “Ngomong-ngomong soal yang tadi, hobimu apa? Siapa tahu hobimu itu bisa dikembangkan buat ngisi waktu luang.” “Aku?” Audry menunjuk dadanya. “Iya, kamu. Memangnya kamu pikir aku lagi bicara sama siapa? Cuma ada kita berdua di mobil ini. Dan nggak mungkin kan aku bermonolog sendiri?” Audry tersenyum tipis. Iya, senyum. Selama menikah dengan Jeff bisa dihitung dengan jari hanya beberapa kali ia melengkungkan bibirnya. “Hobiku menggambar sama menulis.” “Menulis? Menulis apa?” Dypta bertanya antusias. “Cerita.” “Wow? Serius?” “Serius. Kenapa? Apa wajahku kurang meyakinkan?” ”Bukan soal wajah. Aku punya teman penulis, imajinasinya luas. Aku hanya bicara satu kalimat tapi dia menganalisis hingga jadi satu paragraf. Kamu gitu juga nggak sih?” Audry tersenyum. Di sela-sela hidupnya yang membosankan ia menuangkan ke layar digital putih, dan tentu saja tanpa sepengetahuan Jeff. Laki-laki itu tidak akan senang Audry memiliki kegiatan tanpa sepengetahuannya. Dia tidak akan mengizinkan Audry berekspresi dan mengembangkan diri. ”Aku cuma nulis biasa dan itu pun kalau lagi sepi. Aku nggak bisa kalau nggak konsentrasi.” Dypta manggut-manggut. “Biasanya kalau kamu nulis sukanya di mana?” “Pokoknya di tempat yang sepi dan jauh dari keramaian.” “Apartemenku sepi. Kalau kamu mau kamu bisa gunain selama yang kamu bisa. Siapa tahu di apartemenku kamu bisa dapat banyak inspirasi.” “Kamu serius nawarin apartemenmu?” “Kurang serius apa lagi? Kamu kan tahu hanya ada aku sendiri di sana.” Dypta masih ingin bertanya banyak. Akan tetapi obrolan mereka terputus ketika mereka tiba di tempat yang dituju. Café D’Blue. ”Aku boleh nunggu kamu di sini? Atau mungkin kalau kamu nggak keberatan aku bisa masuk ke dalam,” ucap Dypta sebelum Audry turun dari mobil. “Kamu mau masuk ke dalam? Tapi di sana semuanya perempuan lho, Dyp,” kata Audry memberitahu. “Tapi bukan perempuan jadi-jadian kan? Aku sih nggak masalah asal yang di dalam sana bukan ladyboy.” Tawa Audry pecah mendengarnya. Ia kemudian terdiam menyadari betapa lepas ia tertawa di depan keponakan suaminya. ‘Kapan sih aku terakhir ketawa selepas ini?’ tanyanya di dalam hati. “Jadi boleh aku masuk?” tanya Dypta meminta kepastian. ”Boleh kalau kamu mau, tapi temanku pada ganjen semua, harap maklum ya.” “Asal jangan kamunya yang ganjen.” Sebuah cubitan sontak bersarang di lengan Dypta yang membuat laki-laki itu tertawa dan pura-pura kesakitan. ‘Astaga, Audry, ngapain sih kamu pake cubit-cubit kayak gitu? Dasar kecentilan.’ Audry merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Seperti dugaan Audry, teman-temannya pada heboh melihatnya datang bersama Dypta. “Ry, lo sama siapa?” bisik Risa, salah satu temannya yang paling menonjol di antara mereka sambil meletakkan tangannya di samping mulut agar Dypta tidak mendengar. ”Ini Dypta, keponakan Jeff.” Audry mengenalkan laki-laki itu pada kelima temannya. ”Jeff kok nggak bilang punya ponakan secakep ini,” celetuk Sekar. ”Jangankan kalian, gue aja baru kenal sama Dypta,” jawab Audry. ”Lho, kok bisa?” ”Selama ini Dypta tinggal di luar negeri makanya gue baru tahu.” Dypta berkenalan dengan para teman-teman Audry yang semuanya adalah perempuan. Setelahnya laki-laki itu meminta izin untuk duduk menepi agar mereka bisa bebas. Dari tempat duduknya Dypta bisa mendengar bisik-bisik para ibu-ibu itu. Tampaknya Audry adalah yang paling segar di antara mereka. Wajar sih. Jeff kan menikahi perempuan yang jauh lebih muda. “Ry, dia CEO?” ”Udah married?” Pertanyaan-pertanyaan itu masih sempat didengar Dypta. Dan laki-laki itu hanya tersenyum sekaligus membuatnya berpikir di dalam waktu yang sama. Apa semua laki-laki yang berprofesi sebagai CEO adalah tipe ideal para wanita di muka bumi ini? Apa sebegitu prestisenya profesi CEO itu? Mencoba untuk mengabaikan tawa para perempuan di seberang mejanya, Dypta mengaduk-aduk caramel macchiato-nya. Namun Dypta tidak bisa melawan keinginan matanya untuk tetap memandang ke arah sana. Di antara keenam perempuan itu hanya Audry yang terlihat kalem, adem dan nggak neko-neko. Sayangnya Audry harus menikah dengan Jeff. Dan sayangnya lagi Jeff adalah saudaranya. Andai zaman sekarang masih ada jual beli perbudakan, maka pasti sudah dibelinya perempuan itu. Bukan untuk menjadikan miliknya dan mengabdi padanya, namun agar Audry terlepas dari Jeff dan segala siksaannya. Acara tersebut akhirnya selesai. Mereka meninggalkan Café D’Blue. “Heboh banget tadi, seru ya kalau cewek-cewek lagi ngumpul.” Itu komentar pertama Dypta setelah mereka berada di mobil. ”Ya begitulah,” jawab Audry. Senyum merekah di bibirnya membayangkan betapa antusias para temannya atas kehadiran Dypta. ”Tapi di antara mereka semua kamu paling beda sendiri.” ”Beda gimana? Aku aneh ya? Aku memang nggak semodis mereka sih, aku nggak suka tampil heboh kayak mereka.” Dypta yang sedang menyetir, memandang ke sebelahnya. Bibirnya menyunggingkan senyum. “Justru itu yang bikin kamu berbeda. Kamu manis dan kelihatan elegan dengan gayamu sendiri. Aku nggak mau bilang kamu cantik sih, karena cantik itu udah biasa dan bikin bosan. Tapi kamu manis. Siapa pun nggak akan pernah bosan ngeliat kamu.” Entahlah, Audry tidak tahu apa ini efek karena Jeff tidak pernah memujinya sehingga saat mendengar sanjungan Dypta membuat pipinya bersemu. “Aku perempuan ke berapa sih yang kamu gombalin kayak gini?” Salah jika Dypta akan mengelak dan mengatakan, “Aku nggak gombal kok, aku serius.” Yang keluar dari mulutnya adalah, “Hm, ke berapa ya?” dengan ekspresi sedang berpikir. Jawaban laki-laki itu membuat Audry berasumsi kalau keponakan suaminya itu memiliki banyak perempuan di dalam hidupnya. Walau begitu, Audry menyukai laki-laki itu menggombalinya. Dypta membuatnya merasa muda dan kembali belia. Dan semua ini adalah efek dari menikah dengan Jeff yang kaku dan nggak ada romantis-romantisnya. ***“Jadi kita ke mana lagi, Ry?” tanya Dypta melirik Audry yang duduk di sebelahnya. Saat itu mereka sedang berada di traffic light.“Ke Smart Kindergarten.” Perempuan itu menjawab, menyebutkan nama sekolah anaknya.“Oke.” Dypta langsung berbelok ke arah kanan ketika kemudian lampu hijau menyala.Dalam perjalanan menuju sekolah Tania Dypta bersiul kecil. Sementara Audry membisu di sebelahnya. Setelah pembicaraan terakhir tadi, tidak ada lagi yang bisa dikatakannya. Tiba-tiba Audry ingat saat di kafe bersama teman-temannya. Ketika mereka bertanya Dypta kerja di mana ia tidak bisa menjawab karena minimnya info mengenai Dypta di benaknya.“Dyp, kamu CEO kayak Ommu?”Celetukan Audry sontak membuat laki-laki muda itu menghentikan siulannya. Ia lalu menoleh pada Audy. ”Memangnya kenapa?”“Tadi teman-temanku nanya dan aku cuma bilang nggak tahu.”Dypta tersenyum kecil. “Kalau aku bukan CEO apa akan mengubah pandangan teman-temanmu?””Aku nggak tahu.””Kalau kamu?”Kali ini perempuan itu menggel
Audry meneguk tetesan terakhir cola dalam gelas styrofoam. Sementara matanya tidak lepas memandang Dypta yang menemani Tania bermain di seluncuran.Tadi, akhirnya Tania setuju jika Dypta yang akan menggantikan Jeff di acara market day yang akan diadakan lusa di sekolahnya.Setelah itu Dypta mengajak Audry dan Tania makan siang di sebuah restoran franchise favorit anak-anak.Di tempat duduknya Audry termenung sendiri tanpa melepaskan mata dari Dypta dan Tania. Audry tidak tahu jika ternyata Dypta penyuka anak-anak. Sikap Dypta dan caranya memperlakukan Tania begitu tulus dan tidak dibuat-buat. Dan ajaibnya Tania begitu mudah lengket dengan laki-laki itu. Bersama Dypta Tania menemukan apa yang selama ini tidak diperolehnya dari Jeff.“Mommyyy!!!” Tania berseru sambil melambaikan tangan.Audry tersenyum. Namun cepat dipalingkannya muka ketika matanya beradu dengan Dypta. Sial, kenapa darahnya berdesir setiap kali bertukar pandang dengan laki-laki itu?“Jadi kita ke mana lagi, Ta?”“Masih
Dypta membawa Audry ke Paradiso. Beberapa orang teman lelaki itu menggodanya kala mereka berpapasan.“Cewek baru, Dyp?”“Anak mana lagi nih?””Ya ampun, Dyp, ganti-ganti mulu.”Dypta hanya tersenyum tanpa suara menanggapi dan menggandeng tangan Audry melintasi mereka semua.“Ry, nggak keberatan menunggu di sini sebentar?” ”Nggak. Kamu kalau mau kerja ya kerja aja. Jangan sampai kedatanganku ke sini bikin kamu jadi keganggu.””Nggak bakalan. Malah aku jadi semangat kerja kalau ada kamu.” Dypta mengulum senyum sebelum meninggalkan Audry.Duduk sendiri sepeninggal Dypta, Audry tidak bisa mencegah matanya untuk berlarian ke mana-mana. Sama seperti bar pada umumnya, suasana di sana penuh oleh kerlap cahaya namun temaram. Hanya saja Paradise lebih berkelas serta futuristik karena memang ditujukan untuk kalangan menengah ke atas.Botol-botol minuman tersusun dengan estetik di raknya masing-masing, yang tentu saja disesuaikan dengan peruntukannya minuman itu juga berjenis premium.Audry semp
Dan di sinilah mereka berada sekarang. Di apartemen Dypta.Dypta masuk ke kamarnya dan meninggalkan Audry sendiri.Audry memandang sekilas jam tangannya. Jam setengah dua belas malam dan selarut ini dirinya berada di apartemen laki-laki yang baru hitungan hari dikenalnya. Hal yang sepertinya adalah mustahil dilakukan selama menjadi istri Jeff, namun kenyataannya terjadi pada malam ini.Seperti yang dikatakan Dypta, apartemen laki-laki itu sepi. Namun bukan sepi yang menyiksa melainkan hening yang menenangkan. Saat Audry sedang larut dalam lamunan, Dypta muncul di hadapannya dengan membawa laptop.“Kamu pakai ini dulu buat nulis. Tulis apa pun yang kamu mau.”Meski ragu namun tak urung Audry menerimanya. “Pinjam bentar ya,” ucapnya.“Kalau di sini kurang nyaman, nulisnya di kamar aja.” Dypta menunjuk ruangan di sebelah kamarnya.Audry mengarahkan mata ke sana. Rasanya tidak sopan, lebih baik ia berada di sini saja. “Di sini aja deh.”“Oke, senyamanmu aja. Kalau aku tinggal nggak apa-a
Audry membisu dengan mulut terkatup rapat sedangkan matanya tidak beralih sedetik pun dari pintu kamar Dypta.“Di kamar ada TV, nggak hanya tidur, kamu juga bisa nonton kalau mau.”“Aku tidur di sini aja, Dyp.””Nope.” Dypta menggelengkan kepala, tidak memberikan Audry izin. “Nggak usah khawatir, aku fleksibel kok orangnya. Aku bisa jadi devil dan juga jadi guardian angel. Tapi malam ini aku nggak mau jadi devil. Trust me,” ucapnya meyakinkan.Ucapan penuh kesungguhan yang disampaikan laki-laki itu menepis segala keraguan Audry. Ia tidak menolak ketika Dypta menggamit tangannya dan membawa ke kamar.Kamar Dypta cukup luas. Selaras dengan tempat tidurnya yang besar. Bahkan terlalu besar untuk ditempati sendiri.Ragu-ragu Audry menaikinya. Dypta ikut naik ke ranjang yang sama dengannya. Lelaki itu menahan senyum melihat Audry meletakkan guling sebagai pembatas di antara mereka. ”Mau nonton biar tambah ngantuk?”Audry mengiakan. Lalu Dypta menyalakan televisi.Musik pembuka disertai lol
“Ap-ap-apa, Dyp?” ucap Audry gelagapan. Pipinya yang sudah hangat semakin panas oleh terpaan napas Dypta yang mengenai wajahnya.“Aku bisa jadi devil kalau kamu mau. I can treat you better than he can,” bisik lelaki itu lembut sekaligus terdengar menggoda.Audry memejamkan mata. Pesona Dypta terlalu kuat untuk dilawan. Satu sisi hatinya ingin menolak, namun di sisi yang lain menginginkan laki-laki itu untuk menjamahnya.Dengan matanya yang terpejam Audry merasakan bibir dingin Dypta menempel di permukaan bibirnya. Memberikan sensasi hangat dan juga menenangkan.Audry ingin melawan dan melepaskan diri, nyatanya ia malah membalas kecupan Dypta. Untuk pertama kalinya Audry dengan sukarela membalas kecupan laki-laki lain selain Jeff dalam keadaan sadar.Dalam hitungan detik kecupan singkat itu menjadi ciuman yang dalam dan menuntut. Tapi lagi-lagi Audry menikmatinya—karena hanya itu opsi yang dimilikinya. Semakin Audry melawan pesona laki-laki yang kini melingkupinya, semakin ia terjerat
Dypta tidak tahu kejadian apa yang telah menimpa Audry. Namun, melihat Audry datang dengan keadaan yang berada di luar dugaannya pastilah hal itu sesuatu yang buruk. Jujur saja, ia merasa khawatir melihat keadaan perempuan itu.“Ry, masuk dulu yuk.” Dypta menuntun Audry masuk ke dalam apartemen.Audry ternyata belum selesai dengan tangisnya dan kembali memeluk Dypta ketika mereka duduk di sofa. Dypta tidak berkata apa-apa dan membiarkan perempuan itu menumpahkan perasaannya. Yang dilakukannya hanya mengusap-usap punggung Audry.Audry mengangkat kepalanya dari pundak Dypta setelah isaknya reda. Dari balik matanya yang basah Audry menangkap tatapan khawatir yang ditujukan padanya.“Kalau nangisnya sudah selesai, aku siap mendengarkan cerita kamu sekarang,” ucap Dypta lembut sambil menyapukan jarinya mengeringkan air mata Audry. “Sebentar ya.”Laki-laki itu lalu pergi meninggalkan Audry sendiri dan tak lama kemudian kembali muncul dengan membawa segelas air putih.“Diminum dulu, Ry,” sur
Lelaki dua puluh tujuh tahun itu turun dari ranjang pelan-pelan. Sebisa mungkin ia menjaga gerakannya agar tidak membangunkan perempuan tidak berdaya yang saat ini tertidur dengan lelap. Perempuan itu adalah Audry.Namun suara dering telepon yang terdengar nyaring di dalam keheningan membuat Audry terjaga. ”Maaf, suara hpku bikin kamu kebangun.”Audry melengkungkan bibir dan menatap Dypta dengan tatapan sendu. “Nggak apa-apa, udah saatnya aku bangun.”Ketika ia ingat sesuatu dengan gerakan cepat perempuan itu bangkit dari tidurnya.“Kenapa, Ry?” tanya Dypta melihat kerut di kening perempuan itu.“Dyp, aku harus jemput Tania ke sekolah. Ini sudah waktunya dia pulang.””Kamu tunggu aja di sini ya, biar aku yang jemput Tania.”“Tapi, Dyp-”Dypta menghampiri Audry dan ikut duduk di tepi ranjang. “Percayakan semua padaku. Kamu nggak usah mikir apa-apa. Sekarang kamu istirahat dan lanjutin tidurnya.”Audry memejamkan mata saat Dypta mengecup lembut puncak kepalanya. Begitu membukanya kemba