“Hei …,” sapa Dypta setelah tertegun sekian detik.
Audry tersenyum canggung. “Hei, boleh aku masuk?” Dypta menganggukkan kepala. “Silakan,” jawabnya. “Tunggu sebentar ya.” Lalu laki-laki itu meninggalkan Audry sendiri dan masuk ke kamarnya. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan berpakaian lengkap. “Tante kebetulan lewat sini atau memang sengaja ke sini?” tanyanya setelah duduk. “Jangan pangggil Tante, panggil Audry aja kayak kemarin, kecuali di depan ommu.” ”Oke, Audry.” Laki-laki itu tersenyum. “Aku ke sini cuma mau make sure apa handphoneku ketinggalan di sini? Soalnya kucari di rumah nggak ketemu.” “Itu dia yang mau kukasih tahu. Sebentar ya!” Dypta meninggalkan Audry sendiri dan tak lama kemudian pria kharismatik itu kembali membawa handphone milik sang tante. Audry tersenyum lega ketika Dypta memberikannya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Jeff yang tertera di layar. “Makasih ya, Dyp, kalau bukan karena Jeff yang telfon dan kasih tahu aku nggak menjawab panggilannya, aku nggak akan tahu hp ini berada di mana.” ”Oh, Om Jeff nelfon ke nomor ini? Aku nggak dengar nada deringnya.” “Emang nggak ada nadanya sih, soalnya aku silent-kan.” Audry mengarahkan ponsel dari tempat duduknya ke arah Dypta. Dypta tersenyum. Namun dalam hitungan detik senyumnya memudar begitu mengingat bagaimana temperamennya seorang Jeff. ”Om Jeff marah karena kamu nggak nerima telfonnya?” tanyanya hati-hati. ”Nggak.” Audry menggelengkan kepala. “Kamu bohong kan?” ”Aku nggak bohong. Jeff nggak marah sama sekali. Lagian ini hanya masalah sepele. Hanya karena aku nggak nerima telfon bukan berarti Jeff langsung marah.” “Dan soal kopi yang tumpah juga masalah sepele, tapi Om Jeff bersikap seolah tanteku melakukan kesalahan yang sangat fatal.” Perkataan Dypta membuat Audry tidak lagi bisa mengelak. Karena nyatanya laki-laki itu pernah menyaksikan secara langsung bagaimana bengisnya seorang Jeff. “Udahlah, nggak usah dibahas, nggak penting juga.” Audry menyudahi obrolan mereka dan bersiap-siap untuk pergi. “Makasih banyak, Dyp. Aku pulang ya.” Dypta ingin menahan, namun belum menemukan alasan yang tepat sehingga ia hanya bisa membiarkan istri omnya itu pergi. Tepat sebelum Audry memasang sepatunya, sebuah pikiran melintas di kepala Dypta untuk memanggil perempuan itu. “Audry!” Audry menoleh, menunggu apa yang akan dikatakan Dypta. ”Nggak keberatan kalau kita tukaran nomor handphone?” “Kenapa harus keberatan?” Dypta tersenyum. Ia mengetik dan menyimpan di daftar kontak beberapa digit angka yang disebutkan Audry padanya. Begitu pun dengan Audry. Perempuan itu menyalin nomor seluler lelaki muda penuh pesona yang pelan-pelan mulai membuatnya merasa nyaman. Audry kemudian pergi meninggalkan unit apartemen Dypta yang terletak di lantai delapan. Baru saja Audry akan masuk ke mobilnya ia terkejut ketika mendapati ban depan yang bocor, tepat pada bagian kanan. “Hufft … gimana nih?” Perempuan itu terlihat kebingungan dan celingukan kanan kiri. Siapa tahu ada seseorang yang bisa menolongnya. Namun tidak ada siapa-siapa di sana. Alih-alih ada orang yang dikenalnya. Dypta. Iya. Hanya Dypta yang bisa menolongnya. Audry pun segera menghubungi laki-laki itu. “Halo …” “Dyp, ini aku Audry. Aku bisa minta bantuan kamu nggak ya?” “Tentu saja, ada apa, Ry?” “Ban mobilku bocor. Aku masih di bawah, di parkiran apartemen kamu.” “Oke, kamu tenang ya, jangan panik. Aku akan ke sana.” Audry mengembalikan gawainya ke dalam tas. Masih untung ban mobilnya bocor di sini, bukan saat ia sedang berada di jalan raya. Dypta datang tidak lama kemudian. Laki-laki itu berjalan tegap. Audry terpana. Tidak hanya gagah, namun tato berbentuk gelang yang melingkari tangan laki-laki itu membuatnya terkesan manly, menggoda dan … “Yang mana bannya yang bocor?” Audry mengerjap. Tahu-tahu Dypta sudah berada di hadapannya. Perempuan itu lalu menunjuk ban mobil bagian depan. “Kamu punya ban cadangan?” Audry menggeleng. “Gini deh, aku akan minta bantuan teman buat bawa mobil ini ke bengkel. Kamu nggak keberatan kan?” “Lama nggak ya?” “Tergantung sih. Kamu lagi buru-buru?” Dypta menyelidik wajah Audry ingin tahu. “Aku ada acara sama teman-teman, terus mau jemput Tania ke sekolah.” “Kebetulan aku lagi nggak sibuk, kalau kamu mau aku bisa antar,” kata Dypta menawarkan diri. Audry tidak seketika menjawab. Ia menggigit pipi bagian dalam. Hal yang kerap dilakukannya setiap kali merasa ragu. “Apa aku perlu minta izin Om Jeff dulu?” tanya Dypta seakan tahu apa yang saat ini sedang mengisi kepala Audry. Audry masih belum menjawab. Hari ini ia ada acara arisan di kafe dengan para istri teman-teman sekantor Jeff. “Om Jeff nggak akan marah. Aku telfon dia ya?” Audry menganggukkan kepala tanpa sadar, memberi izin laki-laki itu untuk menelepon suaminya. Dypta juga menyalakan loud speaker agar Audry bisa mendengar percakapannya dengan Jeff. Setelah panggilan tersambung terdengar suara berat Jeff menyapa. “Halo.” ”Om, Dypta nih. Kebetulan aku lagi di luar terus nggak sengaja ketemu Tante Audry. Ban mobilnya bocor. Jadi maksudku mobilnya mau dibawa ke bengkel. Tante Audry bilang lagi ada acara. Kalau aku yang antar ke acara itu boleh kan, Om?” ”Kenapa nggak boleh? Kamu antar aja tantemu. Om malah berterima kasih sama kamu.” Audry terheran-heran. Semudah itu Jeff mempercayakannya pada Dypta. Padahal selama ini Jeff selalu ketat mengawasinya. Ya, mungkin karena Dypta adalah keponakannya makanya dia percaya begitu saja. “Dengar sendiri kan? Om Jeff nggak marah,” ucap Dypta sambil mengembalikan ponsel ke sakunya. Audry mengangguk pelan. Ia tidak menolak ketika Dypta menggandengnya ke parkiran basement, tempat di mana mobil laki-laki itu berada. Pria itu membukakan pintu mobil untuknya dan menunggunya hingga masuk. Barulah menutupkannya kembali. “Kita ke mana sekarang?” tanya Dypta setelah mereka meninggalkan komplek Paradise Apartment. “Café D’Blue, acaranya di sana.” Dypta mengangguk. “Acara apa kalau aku boleh tahu?” “Biasa. Arisan ibu-ibu.” “Sosialita circle,” timpal Dypta sambil tersenyum. Audry ikut melengkungkan bibirnya. Sesungguhnya ia tidak suka acara arisan atau kumpul-kumpul ala sosialita. Semua itu hanyalah tuntutan sebagai istri Jeff. Bahkan di lingkungan teman-temannya itu Audry merasa asing. Pertemanan yang terjalin di antara mereka hanyalah pertemanan palsu. Semuanya fake. “Selain kumpul-kumpul, arisan, biasanya ngapain aja?” tanya Dypta lagi. ”Paling ngejemput Tania ke sekolah. Antar les, latihan balet. Pokoknya ya gitu. Sebenarnya aku bosan kegiatanku cuma itu-itu aja, tapi mau gimana lagi.” Entah mengapa semua meluncur dengan lancar dari mulut Audry. Selama ini ia hanya bisa memendamnya sendiri jauh di relung hati. “Kenapa nggak cari kegiatan lain? Kamu bisa isi waktu luang dengan ngelakuin hal-hal yang bermanfaat. Buka usaha sendiri misalnya. Nggak pernah kepikiran?” Dypta melirik Audry. Audry menggelengkan kepala. Ia tidak pernah berpikir hingga sejauh itu. Selama ini ia hanya menjalani garis hidup yang sudah ditentukan untuknya tanpa pernah berpikiran untuk menginginkan lebih. Menjadi istri Jeff membuat kebebasannya terkungkung. Termasuk untuk mengekspresikan diri. “Ry, seat belt-nya tolong dipasang.” “Oh iya.” Audry lupa belum mengenakannya. “Dyp, ini kok keras ya?” Dypta menoleh ke sebelah, tepat pada Audry yang tampak kesulitan mengaitkan sabuk pengaman. ”Itu memang agak macet.” Dypta menepikan mobil, lalu mencondongkan badannya ke arah Audry. Membantu perempuan itu mengaitkan sabuk. Berada dengan Dypta dalam jarak sedekat ini membuat Audry merasa kembali dibawa pada kejadian malam itu, tepat saat mereka tidur bersama. Tanpa sadar Audry memejamkan mata. Terlebih saat hidungnya tanpa sengaja menghirup bau tubuh laki-laki itu. Lebih tepatnya aroma chypre yang terdiri dari perpaduan oakmoss, musk, ambergris serta vanilla. Sama persis dengan aroma Dypta malam itu. “Ry, udah selesai.” Suara lembut Dypta serta terpaan napas laki-laki itu terasa hangat saat menyentuh pipi kanan Audry. Perempuan itu langsung membuka matanya. Detik itu juga ia menemukan tatapan dalam, intens dan lembut dari iris coklat milik Dypta. Audry ingin memalingkan muka, namun mata laki-laki itu seakan ingin memakunya. Membuatnya terkunci dan tidak mampu berpaling ke arah manapun. Kecuali pada laki-laki itu. Pada Dypta. ***“Kamu ngantuk?” Dypta tersenyum sambil menjauhkan muka dari Audry, kembali memperbaiki posisi duduknya.“Nggak.”“Terus tadi kenapa memejamkan mata?” Audry juga tidak tahu. Tadi ia melakukannya dengan impulsif, karena aroma parfum Dypta mengingatkannya pada kejadian malam itu. Andaipun ia lupa ingatan, namun aroma parfum itu begitu melekat di benaknya dan terhirup dalam oleh hidungnya.Dypta menoleh ke sebelah ketika Audry tidak memberi jawaban apa-apa. Mungkin Audry keberatan menjawabnya. Dan ia pun tidak mau memaksa. Namun, daripada membiarkan hening mengisi kekosongan mereka, laki-laki itu lebih memilih untuk melanjutkan pembahasan mereka yang tadi tertunda.“Ngomong-ngomong soal yang tadi, hobimu apa? Siapa tahu hobimu itu bisa dikembangkan buat ngisi waktu luang.”“Aku?” Audry menunjuk dadanya.“Iya, kamu. Memangnya kamu pikir aku lagi bicara sama siapa? Cuma ada kita berdua di mobil ini. Dan nggak mungkin kan aku bermonolog sendiri?”Audry tersenyum tipis. Iya, senyum. Selama m
“Jadi kita ke mana lagi, Ry?” tanya Dypta melirik Audry yang duduk di sebelahnya. Saat itu mereka sedang berada di traffic light.“Ke Smart Kindergarten.” Perempuan itu menjawab, menyebutkan nama sekolah anaknya.“Oke.” Dypta langsung berbelok ke arah kanan ketika kemudian lampu hijau menyala.Dalam perjalanan menuju sekolah Tania Dypta bersiul kecil. Sementara Audry membisu di sebelahnya. Setelah pembicaraan terakhir tadi, tidak ada lagi yang bisa dikatakannya. Tiba-tiba Audry ingat saat di kafe bersama teman-temannya. Ketika mereka bertanya Dypta kerja di mana ia tidak bisa menjawab karena minimnya info mengenai Dypta di benaknya.“Dyp, kamu CEO kayak Ommu?”Celetukan Audry sontak membuat laki-laki muda itu menghentikan siulannya. Ia lalu menoleh pada Audy. ”Memangnya kenapa?”“Tadi teman-temanku nanya dan aku cuma bilang nggak tahu.”Dypta tersenyum kecil. “Kalau aku bukan CEO apa akan mengubah pandangan teman-temanmu?””Aku nggak tahu.””Kalau kamu?”Kali ini perempuan itu menggel
Audry meneguk tetesan terakhir cola dalam gelas styrofoam. Sementara matanya tidak lepas memandang Dypta yang menemani Tania bermain di seluncuran.Tadi, akhirnya Tania setuju jika Dypta yang akan menggantikan Jeff di acara market day yang akan diadakan lusa di sekolahnya.Setelah itu Dypta mengajak Audry dan Tania makan siang di sebuah restoran franchise favorit anak-anak.Di tempat duduknya Audry termenung sendiri tanpa melepaskan mata dari Dypta dan Tania. Audry tidak tahu jika ternyata Dypta penyuka anak-anak. Sikap Dypta dan caranya memperlakukan Tania begitu tulus dan tidak dibuat-buat. Dan ajaibnya Tania begitu mudah lengket dengan laki-laki itu. Bersama Dypta Tania menemukan apa yang selama ini tidak diperolehnya dari Jeff.“Mommyyy!!!” Tania berseru sambil melambaikan tangan.Audry tersenyum. Namun cepat dipalingkannya muka ketika matanya beradu dengan Dypta. Sial, kenapa darahnya berdesir setiap kali bertukar pandang dengan laki-laki itu?“Jadi kita ke mana lagi, Ta?”“Masih
Dypta membawa Audry ke Paradiso. Beberapa orang teman lelaki itu menggodanya kala mereka berpapasan.“Cewek baru, Dyp?”“Anak mana lagi nih?””Ya ampun, Dyp, ganti-ganti mulu.”Dypta hanya tersenyum tanpa suara menanggapi dan menggandeng tangan Audry melintasi mereka semua.“Ry, nggak keberatan menunggu di sini sebentar?” ”Nggak. Kamu kalau mau kerja ya kerja aja. Jangan sampai kedatanganku ke sini bikin kamu jadi keganggu.””Nggak bakalan. Malah aku jadi semangat kerja kalau ada kamu.” Dypta mengulum senyum sebelum meninggalkan Audry.Duduk sendiri sepeninggal Dypta, Audry tidak bisa mencegah matanya untuk berlarian ke mana-mana. Sama seperti bar pada umumnya, suasana di sana penuh oleh kerlap cahaya namun temaram. Hanya saja Paradise lebih berkelas serta futuristik karena memang ditujukan untuk kalangan menengah ke atas.Botol-botol minuman tersusun dengan estetik di raknya masing-masing, yang tentu saja disesuaikan dengan peruntukannya minuman itu juga berjenis premium.Audry semp
Dan di sinilah mereka berada sekarang. Di apartemen Dypta.Dypta masuk ke kamarnya dan meninggalkan Audry sendiri.Audry memandang sekilas jam tangannya. Jam setengah dua belas malam dan selarut ini dirinya berada di apartemen laki-laki yang baru hitungan hari dikenalnya. Hal yang sepertinya adalah mustahil dilakukan selama menjadi istri Jeff, namun kenyataannya terjadi pada malam ini.Seperti yang dikatakan Dypta, apartemen laki-laki itu sepi. Namun bukan sepi yang menyiksa melainkan hening yang menenangkan. Saat Audry sedang larut dalam lamunan, Dypta muncul di hadapannya dengan membawa laptop.“Kamu pakai ini dulu buat nulis. Tulis apa pun yang kamu mau.”Meski ragu namun tak urung Audry menerimanya. “Pinjam bentar ya,” ucapnya.“Kalau di sini kurang nyaman, nulisnya di kamar aja.” Dypta menunjuk ruangan di sebelah kamarnya.Audry mengarahkan mata ke sana. Rasanya tidak sopan, lebih baik ia berada di sini saja. “Di sini aja deh.”“Oke, senyamanmu aja. Kalau aku tinggal nggak apa-a
Audry membisu dengan mulut terkatup rapat sedangkan matanya tidak beralih sedetik pun dari pintu kamar Dypta.“Di kamar ada TV, nggak hanya tidur, kamu juga bisa nonton kalau mau.”“Aku tidur di sini aja, Dyp.””Nope.” Dypta menggelengkan kepala, tidak memberikan Audry izin. “Nggak usah khawatir, aku fleksibel kok orangnya. Aku bisa jadi devil dan juga jadi guardian angel. Tapi malam ini aku nggak mau jadi devil. Trust me,” ucapnya meyakinkan.Ucapan penuh kesungguhan yang disampaikan laki-laki itu menepis segala keraguan Audry. Ia tidak menolak ketika Dypta menggamit tangannya dan membawa ke kamar.Kamar Dypta cukup luas. Selaras dengan tempat tidurnya yang besar. Bahkan terlalu besar untuk ditempati sendiri.Ragu-ragu Audry menaikinya. Dypta ikut naik ke ranjang yang sama dengannya. Lelaki itu menahan senyum melihat Audry meletakkan guling sebagai pembatas di antara mereka. ”Mau nonton biar tambah ngantuk?”Audry mengiakan. Lalu Dypta menyalakan televisi.Musik pembuka disertai lol
“Ap-ap-apa, Dyp?” ucap Audry gelagapan. Pipinya yang sudah hangat semakin panas oleh terpaan napas Dypta yang mengenai wajahnya.“Aku bisa jadi devil kalau kamu mau. I can treat you better than he can,” bisik lelaki itu lembut sekaligus terdengar menggoda.Audry memejamkan mata. Pesona Dypta terlalu kuat untuk dilawan. Satu sisi hatinya ingin menolak, namun di sisi yang lain menginginkan laki-laki itu untuk menjamahnya.Dengan matanya yang terpejam Audry merasakan bibir dingin Dypta menempel di permukaan bibirnya. Memberikan sensasi hangat dan juga menenangkan.Audry ingin melawan dan melepaskan diri, nyatanya ia malah membalas kecupan Dypta. Untuk pertama kalinya Audry dengan sukarela membalas kecupan laki-laki lain selain Jeff dalam keadaan sadar.Dalam hitungan detik kecupan singkat itu menjadi ciuman yang dalam dan menuntut. Tapi lagi-lagi Audry menikmatinya—karena hanya itu opsi yang dimilikinya. Semakin Audry melawan pesona laki-laki yang kini melingkupinya, semakin ia terjerat
Dypta tidak tahu kejadian apa yang telah menimpa Audry. Namun, melihat Audry datang dengan keadaan yang berada di luar dugaannya pastilah hal itu sesuatu yang buruk. Jujur saja, ia merasa khawatir melihat keadaan perempuan itu.“Ry, masuk dulu yuk.” Dypta menuntun Audry masuk ke dalam apartemen.Audry ternyata belum selesai dengan tangisnya dan kembali memeluk Dypta ketika mereka duduk di sofa. Dypta tidak berkata apa-apa dan membiarkan perempuan itu menumpahkan perasaannya. Yang dilakukannya hanya mengusap-usap punggung Audry.Audry mengangkat kepalanya dari pundak Dypta setelah isaknya reda. Dari balik matanya yang basah Audry menangkap tatapan khawatir yang ditujukan padanya.“Kalau nangisnya sudah selesai, aku siap mendengarkan cerita kamu sekarang,” ucap Dypta lembut sambil menyapukan jarinya mengeringkan air mata Audry. “Sebentar ya.”Laki-laki itu lalu pergi meninggalkan Audry sendiri dan tak lama kemudian kembali muncul dengan membawa segelas air putih.“Diminum dulu, Ry,” sur
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama