Audry membisu dengan mulut terkatup rapat sedangkan matanya tidak beralih sedetik pun dari pintu kamar Dypta.“Di kamar ada TV, nggak hanya tidur, kamu juga bisa nonton kalau mau.”“Aku tidur di sini aja, Dyp.””Nope.” Dypta menggelengkan kepala, tidak memberikan Audry izin. “Nggak usah khawatir, aku fleksibel kok orangnya. Aku bisa jadi devil dan juga jadi guardian angel. Tapi malam ini aku nggak mau jadi devil. Trust me,” ucapnya meyakinkan.Ucapan penuh kesungguhan yang disampaikan laki-laki itu menepis segala keraguan Audry. Ia tidak menolak ketika Dypta menggamit tangannya dan membawa ke kamar.Kamar Dypta cukup luas. Selaras dengan tempat tidurnya yang besar. Bahkan terlalu besar untuk ditempati sendiri.Ragu-ragu Audry menaikinya. Dypta ikut naik ke ranjang yang sama dengannya. Lelaki itu menahan senyum melihat Audry meletakkan guling sebagai pembatas di antara mereka. ”Mau nonton biar tambah ngantuk?”Audry mengiakan. Lalu Dypta menyalakan televisi.Musik pembuka disertai lol
“Ap-ap-apa, Dyp?” ucap Audry gelagapan. Pipinya yang sudah hangat semakin panas oleh terpaan napas Dypta yang mengenai wajahnya.“Aku bisa jadi devil kalau kamu mau. I can treat you better than he can,” bisik lelaki itu lembut sekaligus terdengar menggoda.Audry memejamkan mata. Pesona Dypta terlalu kuat untuk dilawan. Satu sisi hatinya ingin menolak, namun di sisi yang lain menginginkan laki-laki itu untuk menjamahnya.Dengan matanya yang terpejam Audry merasakan bibir dingin Dypta menempel di permukaan bibirnya. Memberikan sensasi hangat dan juga menenangkan.Audry ingin melawan dan melepaskan diri, nyatanya ia malah membalas kecupan Dypta. Untuk pertama kalinya Audry dengan sukarela membalas kecupan laki-laki lain selain Jeff dalam keadaan sadar.Dalam hitungan detik kecupan singkat itu menjadi ciuman yang dalam dan menuntut. Tapi lagi-lagi Audry menikmatinya—karena hanya itu opsi yang dimilikinya. Semakin Audry melawan pesona laki-laki yang kini melingkupinya, semakin ia terjerat
Dypta tidak tahu kejadian apa yang telah menimpa Audry. Namun, melihat Audry datang dengan keadaan yang berada di luar dugaannya pastilah hal itu sesuatu yang buruk. Jujur saja, ia merasa khawatir melihat keadaan perempuan itu.“Ry, masuk dulu yuk.” Dypta menuntun Audry masuk ke dalam apartemen.Audry ternyata belum selesai dengan tangisnya dan kembali memeluk Dypta ketika mereka duduk di sofa. Dypta tidak berkata apa-apa dan membiarkan perempuan itu menumpahkan perasaannya. Yang dilakukannya hanya mengusap-usap punggung Audry.Audry mengangkat kepalanya dari pundak Dypta setelah isaknya reda. Dari balik matanya yang basah Audry menangkap tatapan khawatir yang ditujukan padanya.“Kalau nangisnya sudah selesai, aku siap mendengarkan cerita kamu sekarang,” ucap Dypta lembut sambil menyapukan jarinya mengeringkan air mata Audry. “Sebentar ya.”Laki-laki itu lalu pergi meninggalkan Audry sendiri dan tak lama kemudian kembali muncul dengan membawa segelas air putih.“Diminum dulu, Ry,” sur
Lelaki dua puluh tujuh tahun itu turun dari ranjang pelan-pelan. Sebisa mungkin ia menjaga gerakannya agar tidak membangunkan perempuan tidak berdaya yang saat ini tertidur dengan lelap. Perempuan itu adalah Audry.Namun suara dering telepon yang terdengar nyaring di dalam keheningan membuat Audry terjaga. ”Maaf, suara hpku bikin kamu kebangun.”Audry melengkungkan bibir dan menatap Dypta dengan tatapan sendu. “Nggak apa-apa, udah saatnya aku bangun.”Ketika ia ingat sesuatu dengan gerakan cepat perempuan itu bangkit dari tidurnya.“Kenapa, Ry?” tanya Dypta melihat kerut di kening perempuan itu.“Dyp, aku harus jemput Tania ke sekolah. Ini sudah waktunya dia pulang.””Kamu tunggu aja di sini ya, biar aku yang jemput Tania.”“Tapi, Dyp-”Dypta menghampiri Audry dan ikut duduk di tepi ranjang. “Percayakan semua padaku. Kamu nggak usah mikir apa-apa. Sekarang kamu istirahat dan lanjutin tidurnya.”Audry memejamkan mata saat Dypta mengecup lembut puncak kepalanya. Begitu membukanya kemba
Dypta membuka pintu ruangan Jeff lalu masuk ke dalamnya. Pria itu menyunggingkan senyum lebar melihat keponakannya datang.“Duduk, Dyp.”Dypta menjatuhkan tubuhnya di kursi di hadapan Jeff. Suasana hati Jeff hari ini tampaknya sedang baik. Itu terlihat dari wajahnya yang cerah.“Aku nggak mengganggu kan, Om?” Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Dypta setelah memindai setiap sudut ruangan tempatnya berada sekarang.“Sejak kapan kedatanganmu jadi mengganggu? Om malah senang. Tapi Om akan lebih senang lagi kalau kamu bekerja di sini.””Bisa, Om. Aku akan kerja dengan Om tapi bukan di sini.”Keheranan yang menyapanya membut Jeff membetulkan posisi duduknya. “Maksudmu apa?””Kalau Om izinkan aku ingin kerja jadi supir pribadi Tante Audry.”Jeff terheran-heran mendengar perkataan ponakannya. Kenapa harus jadi supir di saat dia bisa mendapat penawaran yang jauh lebih baik?“Aku cuma kasihan sama Tante Audry ke mana-mana sendiri. Apa Om nggak khawatir? Apalagi sekarang tingkat kriminal
Dalam hitungan menit Dypta tertidur di pangkuan Audry. Tampaknya pria itu benar-benar mengantuk. Bagaimana tidak. Dypta hanya tidur beberapa jam setelah pulang kerja pukul tiga malam. Lalu paginya harus bangun lagi.Audry memejamkan mata ketika tiba-tiba bayangan Jeff berkelabat yang membuatnya bergidik. Apa jadinya kalau Jeff tahu semua pengkhianatannya dengan Dypta?Audry menggelengkan kepala kuat-kuat. Menolak pemikirannya sendiri. Ini bukan pengkhianatan. Ia sama sekali tidak berkhianat dengan Dypta. Yang mereka lakukan adalah …Huffftt … Perempuan itu mengembuskan napas. Bahkan ia tidak tahu menamakan apa hubungannya dengan laki-laki itu.Ini bukan pengkhianatan atau perselingkuhan. Audry hanya sedang menikmati kebahagiaan yang tidak ia dapatkan dari suaminya. Kebahagiaan yang hanya ditemukannya pada diri Dypta.Tanpa terasa sudah hampir dua jam berlalu. Melihat muka Dypta yang tampak pulas dalam tidurnya membuat Audry tidak tega untuk membangunkan. Namun ia harus melakukannya.
Sudah sejak tadi Inggrid berada di toilet dan terpaku menyaksikan pemandangan di hadapannya. Ia sangat terkejut dan tidak mengira akan menyaksikan dengan matanya sendiri pemandangan yang sama sekali tidak pernah melintas dalam pikirannya.Tadi, Inggrid sengaja mendatangi toilet untuk mengantar ponsel Audry yang berbunyi. Jeff menelepon dan tampaknya tidak akan berhenti sebelum seseorang menjawab panggilan darinya.”Sorry, Ry, gue nggak sengaja. Tadi handphone lo bunyi, dari Jeff.” Inggrid memberikan ponsel Audry.Perempuan itu menerimanya dengan tangan kaku. “Thanks, Rid.”Inggrid tersenyum kecut dan segera keluar dari toilet meninggalkan keduanya.Tanpa berkata apa-apa pada Dypta, Audry juga keluar dari toilet dan bergegas menyusul Inggrid setelah menerima telepon dari Jeff. Inggrid sudah duduk di tempatnya tadi ketika Audry bertemu dengannya. Perempuan itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak membahasnya dan hanya tersenyum sekilas saat melihat Audry muncul.“Rid,” pang
Perempuan itu masih memeluk Dypta, bahkan dekapannya terasa semakin erat. Sedangkan Dypta masih berdiri membelakangi perempuan itu.“Dypta …,” panggil perempuan itu dengan suara yang terdengar bagai desahan.Pelan-pelan Dypta memutar tubuhnya sambil menepis tangan perempuan itu. Benar dugaannya. Ternyata dia yang datang. Inggrid.“Ngapain kamu, Rid?” Nada tidak suka tertangkap dengan jelas dalam suara Dypta.”Kamu kok ngomongnya gitu sama aku?” Inggrid memberengut.“Aku tanya, kamu sedang apa di sini?” ulang Dypta dengan lebih formal.“Aku lagi kangen kamu aja, makanya datang ke sini.” Inggrid mencoba memeluk Dypta sekali lagi. Namun sebelum itu terjadi Dypta dengan cepat menahan tangan perempuan itu hingga menggantung di udara.“Pulang, Rid, aku lagi sibuk,” usir laki-laki itu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya.Inggrid menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan sedih. Namun sepertinya laki-laki itu tidak menangkap kesedihan di wajahnya karena memalingkan muka ke arah l
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama