Share

Kejam Di Luar Lemah Di Ranjang

Mommy ke mana saja?” Tania merengek ketika melihat Audry turun dari mobil. Sedangkan Jeff menatapnya dengan tajam.

”Mommy tadi ke dokter, Sayang, tangan Mommy luka kena pecahan kaca,” jelas Audry sambil mengambil alih anak itu dari gendongan Jeff. “Tata kenapa nangis, Nak?” ujarnya sambil mengusap air mata sang putri.

“Tata tadi mimpi dikejar harimau, Mom. Tata takut ….” Tania memeluk Audry erat-erat dan merebahkan kepalanya di bahu perempuan itu.

Audry lantas tersenyum. Diusapnya punggung sang putri dan menenangkan dengan suaranya yang lembut. “Harimaunya cuma ada di dalam mimpi dan sekarang dia sudah mati ditembak Papi,” bisiknya pelan.

”Om, maaf, tadi aku ngajak Tante Audry ke dokter soalnya tangan Tante luka kena pecahan cangkir.” Dypta segera menjelaskan sebelum Jeff bertanya.

”Cuma kena kaca dikit nggak perlu sampai ke dokterlah,” ucap Jeff ringan.

“Tapi lukanya cukup dalam, Om. Untung segera diobati, kalau nggak bisa infeksi.”

“Ya sudah,” ucap Jeff meski terkesan tidak suka.

“Aku pamit dulu ya, Om.”

Jeff mengangguk pelan.

“Tante, permisi, aku pulang dulu.” Dypta tersenyum pada Audry yang masih berdiri di sana sambil menggendong Tania.

“Terima kasih ya.” Perempuan itu juga tersenyum.

“Lain kali hati-hati ya, Tante.”

Lengkungan bibir Audry melebar.

”Hei, anak manis, namanya siapa, Sayang?” Dypta menyapa Tania yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Tania, Om.”

”Tania suka coklat?”

”Suka sekali, Om.”

“Sebentar ya, Om punya coklat, Om ambilin dulu di mobil.” Dypta mengambil makanan yang dimaksud di mobilnya dan tak lama kembali, memberikannya pada Tania.

”Terima kasih, Om.” Sama seperti anak-anak seumurannya, Tania merespon dengan riang.

Dypta membelai kepala anak itu sebelum berlalu.

Mereka masih berada di sana hingga mobil Dypta menghilang meninggalkan halaman rumah.

”Kenapa masih berdiri di sini? Apa lagi yang ditunggu?”

Suara keras Jeff membuat Audry melangkahkan kakinya ke dalam, masuk ke rumah mereka.

Seperti biasa rutinitas Audry setiap malam adalah menidurkan Tania sebelum mengistirahatkan dirinya sendiri. Di usia empat tahunan Tania sudah berani tidur di kamarnya sendiri. Hanya saja kamar itu berupa extended room yang langsung memiliki akses ke kamar Audry dan Jeff.

“Om tadi baik ya, Mom,” puji Tania setelah Audry selesai membacakan dongeng untuknya.

“Om yang mana, Sayang?”

”Om yang tadi kasih Tata coklat.”

”Oh, Om Dypta, dia memang baik,” jawab Audry sambil tersenyum. Audry tidak tahu, setelah interaksinya dengan Dypta tadi, pandangannya pada pria itu tiba-tiba berubah.

“Coba kalau Papi juga baik seperti Om Dypta.”

Celetukan putrinya mengejutkan Audry. Selama ini Jeff membangun image sebagai ayah yang dingin, sibuk dan nyaris tidak punya waktu untuk anaknya, serta membuat Tania cenderung ketakutan padanya.

“Papi juga baik kok, Sayang. Papi juga sering beliin coklat, es krim dan makanan yang enak-enak buat Tata. Papi juga beliin mainan dan boneka yang banyak.”

Tania diam saja. Semua yang dikatakan mommynya tidak salah. Papinya selalu memberi apa pun bahkan tanpa diminta. Hanya saja Tania sulit mengungkapkan bahwa ia juga ingin diperlakukan seperti yang diperbuat Dypta tadi. Ia ingin Jeff membelai lembut kepalanya dan mengecup pipinya. Hal yang jarang-jarang dilakukan oleh Jeff. Malahan Jeff baru akan menggendongnya kalau sudah darurat.

“Udah yuk, sekarang kita tidur, biar besok pagi nggak terlambat ke sekolah.” Audry mengusap-usap kepala Tania dan memintanya untuk memejamkan mata.

Tak lama kemudian perempuan itu kembali ke kamarnya setelah yakin putrinya benar-benar tidur dengan pulas. Tak lupa diperiksanya jendela telah benar-benar terkunci dan gorden sudah tertutup dengan rapat.

Jeff ternyata belum tidur ketika Audry masuk ke kamar.

“Kenapa sampai selama itu?” tegurnya dengan nada keras seperti biasa.

”Aku tadi menidurkan Tania dulu dan membacakan dongeng untuknya.”

“Tapi biasanya nggak sampai berjam-jam.”

”Ya ampun, Pi, berjam-jam gimana?” Audry sontak melirik pada jam dinding.

“Sudah, Audry, aku tidak suka dibantah.” Seperti biasa Jeff menunjukkan otoritanya. Laki-laki itu menarik tubuh Audry mendekat padanya. “Mana tanganmu yang sakit?”

Audry menunjukkan jarinya yang kena pecahan kaca pada suaminya.

Jeff mengamati sekilas sebelum menyergahnya. “Lebay! Baru kena pecahan sedikit tapi sikapmu seolah kena penyakit mematikan.”

”Tadi aku juga mikirnya gitu. Tapi ternyata dokter bilang lukaku cukup dalam dan kalau dibiarkan akan menimbulkan infeksi.”

”Jangan mengulang-ulang mengatakan hal yang sudah kutahu. Aku sudah mendengarnya dari Dypta.”

“Aku hanya-”

Sebelum Audry sempat melanjutkan kata-katanya, Jeff sudah lebih dulu membekap mulutnya dengan kecupan. Pria itu melumatnya dengan rakus dan kasar.

Audry diam saja. Ia tidak merespon apa-apa sehingga membuat laki-laki itu marah. Dilepaskannya pagutan bibir dari Audry hanya untuk mengomeli perempuan itu.

“Kenapa tidak membalasku?”

“Aku lelah, Pi,” jawab Audry lesu.

”Lelah?” ulang pria itu dengan berkacak pinggang. “Memang apa saja kerjamu seharian?”

”Aku-”

Lagi-lagi Jeff tidak memberikannya kesempatan untuk bicara. “Tidak ada kan? Kerjamu hanya duduk-duduk, tidur-tiduran dan nonton TV. Semua sudah tersedia di rumah ini.”

Jeff kembali merengkuh Audry dan melumat bibir perempuan itu dengan beringas. Kali ini Audry terpaksa membalas daripada pria itu kembali meradang. Dengan satu kali sentakan laki-laki itu menarik zipper gaun Audry hingga terlepas dan menumpuk di kakinya.

Jeff menghempaskan Audry ke ranjang. Pria itu melucuti pakaiannya sendiri untuk kemudian mencumbui wanita tidak berdaya yang sedang telentang di peraduan.

Audry mengerang panjang. Bukan erangan penuh kenikmatan, melainkan erangan kesakitan dan ketidakberdayaan begitu Jeff menjamahnya dengan gayanya yang khas. Kasar, keras dan terburu-buru. Meski demikian sesungguhnya Jeff adalah pria yang lemah di ranjang. Durasi percintaan mereka tergolong singkat namun menyakitkan bagi Audry.

Setelah mendapatkan pelepasannya, Jeff lalu memunggungi begitu saja istrinya yang sejak tadi ia cumbui, seakan perempuan itu hanyalah budak nafsunya.

Audry hanya bisa menatap kosong pada dinding kamar sambil memeluk guling ketika sesaat kemudian mendengar dengkuran halus dari pria di sebelahnya. Jeff sudah tidur hanya dalam hitungan menit.

Selalu begitu. Jeff akan meninggalkannya tidur begitu mereka selesai bercinta. Tidak pernah ada kecupan lembut di dahi atau pelukan hangat yang menenangkan. Jeff tidak pernah bertanya apa yang Audry rasakan. Laki-laki itu terlalu egois. Ia hanya peduli pada kebahagiaannya sendiri.

Audry bangkit dari ranjang. Ia harus membersihkan diri. Sesaat dipandanginya suaminya yang telah pulas sebelum bergerak ke kamar mandi.

Jeff adalah laki-laki yang gagah. Tubuhnya tegap. Otot-ototnya terbentuk dengan bagus. Wibawanya juga kuat. Sayangnya dia kasar, tak berperasaan dan juga … tidak sekharismatik Dypta.

‘Astaga … ngapain juga aku mikirin Dypta.’

Berkaca di cermin kamar mandi, Audry memindai wajahnya. Bibirnya terlihat bengkak akibat lumatan Jeff yang ganas. Laki-laki itu entah kapan tidak akan menyakitinya.

Tanpa ia inginkan, Audry mulai membandingkan Jeff dengan Dypta. Meskipun awalnya ia tidak tahu dengan siapa bercinta malam itu, namun memorinya menolak lupa akan segala kelembutan laki-laki itu saat mereka berbagi kehangatan.

Andai saja Jeff adalah Dypta …

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status