Share

Kita Nggak Mungkin Mengulangi Kesalahan Yang Sama, Kan?

"Aku siap mendengarkan seluruh ceritamu. Jangan takut, ada aku di sini. Aku akan membantumu. Kalau pun aku nggak bisa membantu, tapi setidaknya kamu merasa lega karena sudah berbagi,” ucap laki-laki itu lembut.

Audry yang sejak tadi terus menghindar tidak bisa lagi mengelak. Ia memberanikan diri menatap Dypta. Lalu menemukan kesejukan di sana, tepat di iris coklat laki-laki itu.

Air mata Audry menetes tanpa bisa dibendung. Selama ini tidak ada yang tahu apa yang ia alami, alih-alih akan peduli.

”Bicaralah, Audry. Kamu nggak usah takut.” Tidak hanya menggenggam tangan perempuan itu, Dypta juga menangkup pipinya yang tirus.

Sikap Dypta yang lembut dan hangat membuat keberanian Audry muncul tiba-tiba. Ia menceritakan segalanya. Mulai dari awal dulu kenapa ia bisa menikah dengan Jeff, kehidupan pernikahannya yang bagai di neraka, hingga alasan-alasan yang membuatnya tetap bertahan dengan suami kejamnya.

Semua membuat Dypta speechless. Terlepas dari apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Audry, naluri untuk melindungi perempuan itu muncul begitu saja. Ia ingin membantu Audry keluar dari kehidupannya yang suram. Akan tetapi posisinya sebagai keponakan Jeff menempatkannya pada keadaan yang sangat sulit.

Dypta merengkuh Audry dan mendekap di dadanya. Kemudian berbisik lembut di telinga perempuan itu. “Aku tahu semua ini berat buatmu. Tapi kamu nggak sendiri. Ada aku. Kamu bisa pinjam dadaku kapan pun kamu butuh.”

Audry benar-benar menangis menumpahkan perasaannya. Ia tidak peduli siapa Dypta. Yang ia tahu, saat ini semua bebannya luruh bersama air mata.

Pelukan erat laki-laki itu di tubuhnya membuat Audry tersadar. Perempuan itu mengangkat kepalanya. Ia tidak tahu seperti apa bentuk mukanya saat ini.

“Maaf.”

”Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah apa-apa.”

Perkataan itu mau tidak mau membuat Audry tanpa sengaja membandingkan Dypta dengan Jeff.

Di rumah, Jeff tidak pernah berhenti menempatkan Audry pada posisi yang membuatnya tersudut dan terus-terusan mengecilkannya. Audry selalu meminta maaf berulang-ulang atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.

“Sekarang aku antar kamu pulang ya?”

Audry mengangguk. Ia rasa sudah terlalu lama berada di luar. Entah apa yang ada di pikiran Jeff saat ini jika tahu dirinya tidak berada di rumah.

“Keberatan kalau mampir ke apartemenku dulu? Ada sesuatu yang harus kuambil,” ucap Dypta setelah memasang seat belt.

Audry menggigit bibir, ragu akan mengiakan atau menolak.

”Tenang aja, Om Jeff nggak akan marah. Nanti aku yang akan tanggung jawab, aku bakal jelasin semua,” ujar laki-laki itu lagi seakan tahu apa pikiran yang mengisi kepala Audry saat ini.

“Ya sudah, tapi apartemenmu nggak jauh kan?”

”Nggak terlalu, kira-kira sepuluh menit dari sini.”

Audry tidak berkata apa-apa lagi. Ia membuang pandangan ke luar sana melalu kaca mobil di sisi kirinya. Audry tahu niatnya untuk melupakan kejadian malam itu akan semakin sulit setelah Dypta kembali muncul di dalam hidupnya.

Unit apartemen Dypta berada di lantai delapan sebuah gedung puluhan lantai.

‘Paradise Apartment.’ Audry mengeja di dalam hati nama tempat tinggal lelaki itu.

Apa di sini benar-benar seperti surga?

Dypta membuka pintu dan menyilakan Audry masuk. Selagi pria itu ke kamarnya, Audry duduk sendiri di ruang tamu.

Dinding apartemen laki-laki itu bernuansa monokrom. Perpaduan abu-abu serta putih. Tidak ada lukisan atau foto yang menjadi penghias dinding. Minimnya ornamen di ruang tamu tersebut tidak memberi informasi apa-apa pada Audry mengenai jati diri Dypta. Ia hanya tahu bahwa pria yang seumuran dengannya itu adalah keponakan suaminya.

Dypta muncul tidak lama kemudian dengan membawa dua gelas tinggi berisi cairan bening. “Diminum dulu, Ry, adanya cuma ini.”

Audry menatap ragu pada dua gelas itu.

“Tenang aja, ini cuma air biasa, bukan alkohol. Kita nggak mungkin mengulang kesalahan yang sama kan?”

Hawa hangat menjalari pipi Audry. Ia tidak bisa mengingkari degup tidak terkendali di jantungnya ketika mendengar ucapan laki-laki itu. Ya, tentu saja mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Audry mengambil gelas di meja dan menyesapnya dengan perlahan. “Kamu sendirian di sini?” tanyanya setelah meletakkan kembali gelas itu.

“Iya. Kamu mau menemaniku tinggal di sini?” Laki-laki itu mengulum senyum.

Jawaban Dypta membuat Audry gugup. Mukanya merona lagi. Audry tidak ingat entah kapan terakhir ia merasa malu-malu begini.

“Nggak mau nanya-nanya lagi?” Dypta memancing ketika detik berikutnya Audry membisu tanpa suara.

”Ntar kalau aku nanya, yang ada kamu memintaku buat nemenin di sini.”

Keduanya tertawa berbarengan. Suasana yang tadi beku kini mencair. Audry tidak tahu entah sudah berapa lama dirinya tidak tertawa selepas ini. Bertahun-tahun menikah dengan Jeff hari-harinya hanya diwarnai oleh air mata.

“Aku di sini tinggal sendiri, nggak ada siapa-siapa.”

”Orang tuamu?”

“Mereka tinggal di luar negeri. Selama ini aku di Canada, makanya aku nggak tahu kamu istrinya Om Jeff. Aku kaget kok bisa Om Jeff dapat istri semuda dan secantik kamu. Bukan maksudku menyombong dan mengatakan Om Jeff udah tua, tapi aku yang masih muda ya gini-gini aja.”

“Mungkin kamu yang terlalu banyak memilih.”

“Bukankah untuk pasangan hidup kita harus benar-benar memilih? Karena sejatinya menurutku menikah hanya satu kali.”

”Jadi itu sebabnya kamu belum menikah?”

Laki-laki itu menjentikkan abu rokoknya di asbak sebelum menjawab pertanyaan istri pamannya, lantas tersenyum dengan hampa. “Aku nggak pernah percaya cinta. Love is bullshit. Jadi ketika aku nggak percaya pada cinta itu sendiri , gimana mungkin aku bisa menikah?”

Love is bullshit. Kata-kata itu terus terngiang di telinga Audry hingga Dypta mengantarnya pulang. Ya, cinta memang omong kosong. Persetan dengan cinta. Seharusnya butuh cinta untuk mempersatukan dua hati. Sayangnya dua orang yang tidak mencintai juga bisa menikah. Contohnya adalah dirinya dan Jeff.

Jeff sudah menanti di beranda sambil menggendong Tania ketika mereka tiba.

“Nggak usah takut, Om Jeff nggak akan marah,” kata Dypta menenangkan melihat raut tegang Audry.

Audry mengangguk pelan sembari mengatur napasnya. Lama hidup dengan Jeff yang temperamen membuatnya hampir mengidap anxiety disorder.

”Audry, ayo kita turun.”

“Kamu yakin ommu nggak akan marah?” Audry masih merasa ragu. Terlebih ketika melihat Jeff melempar pandangan tajam ke arah mobil sambil menggendong anak mereka yang sedang menangis.

”Trust me, everything gonna be okay.” Sekali lagi Dypta meyakinkan sambil menggenggam tangan Audry.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status