Rogen terpaku bermenit-menit di depan lemari sambil memandang hampa pada rak-rak yang telah kosong. Tidak sehelai pun baju Belva tertinggal di sana.Satu-satunya yang ada di pikiran Rogen kemudian adalah Athaya. Belva pasti bersamanya, karena setahu Rogen Athayalah orang yang paling dekat dengan calon istrinya itu.Rogen mengambil ponsel yang tadi dilemparnya ke kasur. Dengan tidak sabar ia mencari nomor Athaya di daftar kontak. Ternyata Athaya tidak langsung menjawab panggilan darinya.“Angkat, dong, Ay! Ke mana sih lo?” Rogen bergumam kesal sambil mondar-mandir di dalam apartemennya.Setelah waktu koneksi habis, Rogen me-redial nomor Athaya. Namun entah kenapa Athaya yang biasanya selalu sigap menerima telepon darinya kali ini tidak merespon sehingga Rogen memaki-maki sendiri.***Athaya sedang berbaring di kamarnya ketika ponselnya berdering tanpa henti. Ketika tahu itu dari Rogen, jantungnya menghentak-hentak.Athaya terduduk. Meskipun matanya tertuju pada benda itu, akan tetapi A
Keluarga Belva terkejut ketika Rogen dan Athaya datang ke sana dan menanyakan keberadaan Belva. Mereka tidak tahu apa-apa karena setelah pergi waktu itu Belva tidak pernah pulang.“Bukannya Belva tinggal bersama kamu dan besok kalian akan menikah? Malah Om udah siap-siap buat berangkat nanti,” kata Hesti khawatir.“Kemarin Belva memang sama saya, Tante, tapi tiba-tiba dia pergi tanpa bilang apa-apa. Dia nggak pamit sama sekali sama saya.”“Apa Nak Rogen bertengkar dengan Belva sebelumnya?” tanya Baron menimpali.“Nggak, Om. Saya dan Belva baik-baik saja. Kami nggak pernah bertengkar.”“Tadi di mobil saya sudah hubungi semua teman-teman yang mengenal Belva, Om, tapi Belva nggak ada di sana,” kata Athaya menyela.“Kalau begitu gimana kalau kita lapor polisi?” Hesti memberi ide. Hesti khawatir jika pernikahan Belva dan Rogen batal. Itu artinya ia gagal berbesan dengan orang kaya. Mimpinya untuk hidup nyaman akan sirna sebelum terwujud.“Nggak bisa, Tante. Setahu saya kalau kejadiannya be
Rogen dan Athaya akhirnya tiba di rumah Audry. Sebelum turun Rogen memandang ke sebelahnya. Tepat pada Athaya yang juga sedang menatap padanya.“Jangan lupa yang gue bilang tadi, nanti kalo Mommy dan Papa nanya-nanya, lo ngejawabnya jangan keluar dari yang tadi gue kasih tau.”Athaya mengangguk pelan lalu turun dari mobil setelah Rogen lebih dulu keluar dari sana.“Dari tadi Mommy telfon tapi nggak dijawab-jawab,” kata Audry setelah melihat Rogen muncul.“Maaf, Mommy, tadi aku lagi di jalan,” jawab Rogen.“Belva mana?” Audry memiringkan kepalanya mencari sosok calon menantu, dan di saat itulah ia melihat Athaya. “Eh, ada Aya …”Athaya tersenyum singkat sambil menganggukkan kepalanya dengan sopan.Audry tidak tahu kenapa Athaya yang berada di hadapannya, bukan Belva. Tapi kemudian ia berpikir, sebagai sahabat Belva bisa saja Athaya ikut untuk menyaksikan pernikahannya.“Belvanya mana, Dek?” Audry bertanya sekali
Athaya mengembalikan ponsel ke tempatnya setelah selesai menelepon Rogen. Pandangannya lalu tertuju pada amplop di atas meja yang tadi diberikan kepala divisi HRD padanya. Amplop itu adalah titipan dari Belva untuk Rogen. Athaya tidak tahu apa isinya. Ia juga tidak berani membukanya. Tadi sebelumnya amplop itu berada di amplop coklat besar yang ditujukan untuk Athaya. Ketika dibuka ternyata ada amplop lain di sana dan kertas kecil dengan tulisan, "Ay, tolong kasih ini ke Rogen. Thanks. Belva."Sekitar satu jam kemudian Rogen datang. Tadi sebelum menutup telepon Athaya meminta Rogen datang untuk mengambil titipan dari Belva. “Belva ngasih ini.” Athaya memberikan amplop itu pada Rogen setelah lelaki itu tiba di kantornya.Dengan tidak sabar Rogen membuka amplop tersebut. Dan isinya adalah … kartu debit platinum yang pernah diberikannya pada Belva. Perempuan itu ternyata mengembalikannya. Apa itu artinya Belva ingin pergi selamanya dari hidup Rogen?“Lo ketemu sama dia?"Athaya menggel
Lelaki itu adalah Rogen. Dari tempatnya berdiri ia melihat dengan jelas ekspresi Belva yang berubah drastis ketika ia masuk ke ruangan itu. Belva begitu gugup. Meski berusaha menyembunyikannya tapi usahanya gagal.Rogen menunggu sampai sesi pemotretan tersebut selesai dilakukan. Satu per satu orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut keluar dari ruangan, meninggalkan Rogen berdua dengan Belva.Belva berdiri terpaku di tempatnya, tidak kuasa menggerakkan kaki. Sedangkan beberapa meter di hadapannya Rogen menanti dengan sorot mata, “Kenapa begini?”Selama beberapa detik mereka hanya mampu berpandangan dalam diam. Menyadari jika ia tidak bisa lagi mengelak, Belva melangkah pelan mendekati Rogen dan berdiri tepat di depan laki-laki itu.Tanpa berkata apa-apa Rogen merengkuh Belva dan memeluk seerat yang ia bisa. Seakan dengan merenggangkan sedikit saja maka ia akan kembali kehilangan perempuan itu.“Aku kangen, kamu ke mana aja? Kenapa pergi?” Rogen berbisik lembut di telinga Belva.
Hampir dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Hubungan Rogen dan Athaya saat ini semakin dekat. Athaya adalah tempat Rogen berkeluh kesah tentang apa pun terutama megenai Belva. Athaya dengan setia dan tidak pernah bosan mendengarkan apa pun yang Rogen katakan. Tentang perasaannya pada Belva, tentang rasa cintanya yang tidak berkurang pada perempuan itu meskipun Belva menolak untuk kembali bersamanya.“Gimana gue bisa lupa kalo hampir tiap hari ketemu,” keluh Rogen pada Athaya. Sejak Belva bernaung di bawah agensi yang sama dengannya maka otomatis intensitas pertemuan mereka juga meningkat. Athaya mengerti bagaimana tersiksanya Rogen. Tapi Rogen tidak akan pernah tahu bahwa Athaya jauh lebih menderita menyimpan perasaannya pada lelaki itu.“Lo kok diam aja? Lo nggak kasihan sama gue?” tegur Rogen melihat Athaya membisu setelah mendengar keluh kesahnya.“Jadi aku harus gimana? Apa yang harus aku lakuin?” tanya Athaya bingung. Ia sudah melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya, term
Rogen terkejut ketika tiba di restoran tempat Athaya berada dan mendapati perempuan itu dalam kondisi tidak sadarkan diri di mobilnya. Satu-satunya yang terlintas di pikiran Rogen saat itu adalah membawa Athaya ke rumah sakit setelah tidak berhasil membangunkannya.Rogen menanti dengan khawatir selagi dokter memeriksa Athaya. Rogen harap Athaya baik-baik saja. Walau bagaimanapun ia sangat membutuhkan Athaya untuk mendekatkannya dengan Belva.Sesaat kemudian dokter selesai memeriksa Athaya dan bermaksud mengajak Rogen berbicara. Namun Rogen lebih cepat mendahului sang dokter.“Dia kenapa, Dok? Kenapa bisa pingsan? Dia sakit apa?”Dokter tersenyum pada Rogen dan mengulurkan tangannya. “Selamat ya, Pak, saat ini istri Bapak sedang hamil.”Selama beberapa detik Rogen termangu tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Penuturan dokter membuat jantungnya hampir saja lepas dari rongganya. Tidak hanya karena informasi yang baru didengarnya, namun juga karena dianggap sebagai suami Athaya. A
Rogen mengantarkan Athaya ke rumahnya. Dan setibanya di sana entah mengapa ia tidak ingin langsung pulang. Athaya yang terlihat sangat lemah seakan tidak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya sendiri membuat Rogen jadi tidak tega. Rogen membantu Athaya turun dari mobil lalu mengantarnya tepat ke depan pintu rumah perempuan itu.“Makasih ya udah nganterin aku.” Athaya menyimpul senyum tipis sebagai ganjaran atas sikap baik Rogen hari itu.Rogen sama sekali tidak membalas senyum Athaya. Malah membalasnya dengan kata-kata ketusnya yang khas. “Sekarang lo bisa cengengesan, nanti baru deh nangis.”“Ih, masih galak aja. Kapan sih kamu berubahnya?”“Orang kayak lo memang harus digituin. Kalo dibaik-baikin bisa ngelunjak. Eh, ini obat lo.” Rogen memberikan kantong obat di tangannya pada Athaya. “Jangan lupa diminum. Inget, Ay, sekarang lo tuh nggak hanya ngebawa diri sendiri, lo udah berdua. Dan lo tau kan itu artinya apa? Lo harus ekstra perhatian dan lebih care pada diri sendiri.”Ah, manis