Hampir dua bulan berlalu sejak kejadian itu. Hubungan Rogen dan Athaya saat ini semakin dekat. Athaya adalah tempat Rogen berkeluh kesah tentang apa pun terutama megenai Belva. Athaya dengan setia dan tidak pernah bosan mendengarkan apa pun yang Rogen katakan. Tentang perasaannya pada Belva, tentang rasa cintanya yang tidak berkurang pada perempuan itu meskipun Belva menolak untuk kembali bersamanya.“Gimana gue bisa lupa kalo hampir tiap hari ketemu,” keluh Rogen pada Athaya. Sejak Belva bernaung di bawah agensi yang sama dengannya maka otomatis intensitas pertemuan mereka juga meningkat. Athaya mengerti bagaimana tersiksanya Rogen. Tapi Rogen tidak akan pernah tahu bahwa Athaya jauh lebih menderita menyimpan perasaannya pada lelaki itu.“Lo kok diam aja? Lo nggak kasihan sama gue?” tegur Rogen melihat Athaya membisu setelah mendengar keluh kesahnya.“Jadi aku harus gimana? Apa yang harus aku lakuin?” tanya Athaya bingung. Ia sudah melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya, term
Rogen terkejut ketika tiba di restoran tempat Athaya berada dan mendapati perempuan itu dalam kondisi tidak sadarkan diri di mobilnya. Satu-satunya yang terlintas di pikiran Rogen saat itu adalah membawa Athaya ke rumah sakit setelah tidak berhasil membangunkannya.Rogen menanti dengan khawatir selagi dokter memeriksa Athaya. Rogen harap Athaya baik-baik saja. Walau bagaimanapun ia sangat membutuhkan Athaya untuk mendekatkannya dengan Belva.Sesaat kemudian dokter selesai memeriksa Athaya dan bermaksud mengajak Rogen berbicara. Namun Rogen lebih cepat mendahului sang dokter.“Dia kenapa, Dok? Kenapa bisa pingsan? Dia sakit apa?”Dokter tersenyum pada Rogen dan mengulurkan tangannya. “Selamat ya, Pak, saat ini istri Bapak sedang hamil.”Selama beberapa detik Rogen termangu tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Penuturan dokter membuat jantungnya hampir saja lepas dari rongganya. Tidak hanya karena informasi yang baru didengarnya, namun juga karena dianggap sebagai suami Athaya. A
Rogen mengantarkan Athaya ke rumahnya. Dan setibanya di sana entah mengapa ia tidak ingin langsung pulang. Athaya yang terlihat sangat lemah seakan tidak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya sendiri membuat Rogen jadi tidak tega. Rogen membantu Athaya turun dari mobil lalu mengantarnya tepat ke depan pintu rumah perempuan itu.“Makasih ya udah nganterin aku.” Athaya menyimpul senyum tipis sebagai ganjaran atas sikap baik Rogen hari itu.Rogen sama sekali tidak membalas senyum Athaya. Malah membalasnya dengan kata-kata ketusnya yang khas. “Sekarang lo bisa cengengesan, nanti baru deh nangis.”“Ih, masih galak aja. Kapan sih kamu berubahnya?”“Orang kayak lo memang harus digituin. Kalo dibaik-baikin bisa ngelunjak. Eh, ini obat lo.” Rogen memberikan kantong obat di tangannya pada Athaya. “Jangan lupa diminum. Inget, Ay, sekarang lo tuh nggak hanya ngebawa diri sendiri, lo udah berdua. Dan lo tau kan itu artinya apa? Lo harus ekstra perhatian dan lebih care pada diri sendiri.”Ah, manis
Nora membantu Athaya ke kamar mandi dan membersihkan diri di sana. Sambil berkaca di cermin Athaya melihat refleksi dirinya, termasuk Nora yang berdiri di belakangnya sedang mengawasi Athaya dengan tatapan penuh tanda tanya. Athaya sudah menduga pasti setelah ini Nora akan bertanya mengenai banyak hal padanya.“Aya kenapa muntah-muntah begini?” Nora memijit kecil pundak Athaya.Athaya menggelengkan kepalanya seakan memang tidak tahu apa-apa. Ia tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya terjadi pada Nora.“Tunggu sebentar ya Mami ambilin obat dulu, mungkin Aya masuk angin.”Athaya mengangguk pelan sambil tersenyum samar lalu kembali ke kamarnya. Athaya berbaring di sana sambil memijit kecil pelipisnya. Tidak hanya merasa mual, namun kepalanya seakan mau pecah. Apa semua wanita hamil mengalami semua yang dirasakannya saat ini?Beberapa saat kemudian Nora muncul di kamar Athaya membawa sebotol minyak kayu putih serta obat masuk angin dan segelas air putih.“Aya baring dulu di sini nanti
Lenguhan halus meluncur keluar dari bibir Belva ketika jari-jari Rogen menyentuh tepat di inti tubuhnya. Ia tidak akan mengingkari kalau rasanya begitu nikmat. Namun sebelum benar-benar terlena Belva segera menepis tangan Rogen dari pahanya lalu menggelengkan kepala, meminta agar Rogen berhenti melakukannya.“Tadi kamu janji nggak bakal ngapa-ngapain,” katanya mengingatkan.Rogen menekan keinginannya dan menyingkirkan tangannya dari Belva. Ia tidak mau ambil risiko dengan membuat Belva marah lalu perempuan itu benar-benar turun dari mobil. Meskipun saat ini rasa cinta dan hasratnya pada Belva begitu menggila. Setiap berdekatan dengan perempuan itu Rogen tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhnya.“Sorry,” ucap Rogen pelan lalu kembali meletakkan tangannya di setir dan tidak berkata apa-apa lagi.Selagi Rogen mengemudi Belva duduk di sebelahnya sambil melempar pandang ke arah jalan. Sentuhan Rogen tadi masih terasa membekas. Tidak hanya di kulit namun juga di hatinya. Kenangan ad
Beberapa waktu belakangan hubungan Athaya dan Rogen agak merenggang. Rogen memang beberapa kali meneleponnya tapi hanya untuk menceritakan mengenai Belva. Belva sudah mulai melunak dan perlahan menerima kehadiran Rogen. Lebih tepatnya sejak pertemuannya malam itu dan menginap di apartemen Rogen. Athaya yang tahu diri pun mundur pelan-pelan. Belva tidak langsung menerima permintaan Rogen untuk kembali padanya. Ia hanya mengatakan, “Kasih aku waktu, Gen, ini semua nggak mudah buat aku.”“Kamu butuh waktu berapa lama? Berapa hari, Bel?”“Aku nggak bisa nentuin berapa lamanya. Kalau aku udah ngerasa siap aku akan kasih tau.”“Tapi tolong jangan batasi aku untuk berhubungan sama kamu. Aku mau kita ketemu tiap hari. Kalau pun nggak bisa setidaknya saling kasih kabar.”Belva menyetujui syarat dari Rogen sehingga jadilah mereka kembali dekat meskipun berpisah tempat tinggal.Jika Rogen melalui hari-hari yang bahagia bersama Belva, berbeda d
Athaya mengetuk-ngetukkan buku jarinya ke atas meja sembari matanya berlarian gelisah memindai tempat itu.Saat ini Athaya sedang berada di sebuah café. Di sana ia berjanji akan bertemu dengan seseorang. Namanya Kenzi. Dia adalah anak teman Nora.Setelah pembicaraan serius di suatu pagi tepat tiga hari yang lalu, Athaya memutuskan untuk menikah dengan lelaki pilihan Nora. Nora sudah memberi fotonya pada Athaya. Lelaki itu gagah dan tampak matang sesuai dengan umurnya. Kenzi berusia lima belas tahun lebih tua dari Athaya. Saat ini dia sedang mencari perempuan yang mau menjalani hubungan serius dan bersedia dijadikan istri.Athaya yang pada awalnya menolak pada akhirnya terpaksa menerima tawaran Nora dengan berbagai pertimbangan. Athaya tahu tindakannya ini keterlaluan. Tidak akan adil untuk Kenzi jika harus bertanggung jawab atas perbuatan Rogen padanya. Tapi saat ini Athaya sedang berada di bawah tekanan.Athaya menunduk memeriksa ponsel di meja. Berdasarkan chat sekitar setengah jam
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama