Athaya menjauhkan ponsel dari telinganya ketika Rogen memutus sambungan dari seberang sana. Awalnya Athaya tidak menyadari jika sambungan sudah terputus saking terpana mendengar suara Rogen. Setelahnya, Athaya kembali duduk di sebelah Belva dan menatap sahabatnya itu dengan sorot meminta penjelasan.
“Rogen nelfon gue, katanya lo nyoba bunuh diri, itu bener, Bel?”Belva tidak mengiyakan, namun juga tidak menidakkan.“Bel, lo kenapa sih? Lo ada masalah apa sebenarnya? Cerita sama gue, Bel! Lagian sejak kapan lo jadi pake rahasia-rahasia gini?”Didesak seperti itu, Belva tidak lagi punya alasan untuk berkilah. Jalan satu-satunya adalah memberitahunya pada Athaya. “Tadi tuh gue udah desperate banget, Ay.”Athaya menegakkan duduk, lebih serius mendengarkan Belva.Belva mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Papa mengambil paksa uang yang seharusnya buat bayar semesterannya Amel. Gue bingung harus gimana lagi, soalnya gue be“Dia baik-baik aja, Dek.” Athaya menjawab rentetan pertanyaan Rogen.“Hufft … syukurlah ….” Rogen terlihat lega. “Terus sekarang dia masih di rumah lo?” tanyanya lagi.Athaya menggeleng pelan. “Tadi aku udah ngelarang dia biar nggak ngantor dulu, tapi dia nggak mau, katanya udah baikan.”“Jadi sekarang Belva ada di sini?” kejar Rogen secepat kilat.Athaya mengiyakan dengan menganggukan kepala.Rogen kemudian melempar pandangan ke luar kantin. Bola matanya berlarian gelisah seakan sedang mencari-cari sosok seseorang.“Terus lo kenapa nggak ngajak Belva ke sini sekalian?” tuntutnya pada Athaya.“Kan kita mau ngomongin dia, nggak mungkin juga kan aku ajak dia ke sini?”Rogen mengangguk pelan. Ia menyesap minumannya sesaat sebelum Melanjutkan perbincangan.“Dia udah cerita sama lo ada masalah apa?”Athaya tidak seketika menjawab. Ia berpikir sebelumnya. Apa nanti jika ia membicarakan masalah Belva pada Rogen tidak akan membuat sahabatnya itu malu?“Ay, kok malah bengong? Lo denger gue ng
Belva memandang ke sekitarnya. Suasana di tempat itu cukup sepi. Tidak seorang pun terlihat di sana. Sementara itu titik-titik air mulai turun dari langit.Belva menggigit pipi bagian dalam. Rasa ragu semakin menyelimutinya. Belva merasa berat kembali ke rumah, tapi ia juga tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut dengan Rogen.“Kamu harus tinggalkan keluarga toxic itumu, Bel. Jangan pernah kembali lagi ke sana.” Rogen mengulangi lagi kata-katanya.Tanpa diduga Rogen menarik tangan Belva, membukakan pintu mobil untuknya lalu memintanya masuk.Belva tidak menolak. Semua yang dikatakan Rogen tidak salah. Dirinya sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidup sendiri.Rogen menerbitkan senyum dari bibirnya begitu melihat Belva duduk manis di sebelahnya. Ia segera menyalakan mesin mobil dan membelah jalan raya dengan kecepatan biasa.Selagi Rogen menyetir, Belva membisu di sebelahnya dengan pikiran tidak menentu. Sudah seminggu ini Belva pergi dari rumah, tapi tidak seorang pun dari kelua
Hujan masih turun saat keduanya sampai di apartemen Rogen.“Dingin, Bel?” Rogen tersenyum melihat Belva memeluk dirinya sendiri dengan melipat kedua tangannya.“Sedikit,” jawab Belva pelan, lalu melangkah masuk setelah Rogen membuka pintu.Seketika wanginya aromaterapi yang bersumber dari diffuser yang terdapat di ruangan itu terhirup oleh hidung Belva.“Duduk, Bel!” Tahu-tahu Rogen membawa mangkok setelah mengambilnya ke belakang.Rogen membuka bungkus bakso dan menuangkan ke dalam mangkok.“Gimana, enak?” “Banget,” jawab Belva sambil terus mengunyah.Rogen tersenyum. Setelah menghabiskan bagiannya terlebih dulu, ia kemudian memerhatikan gerak-gerik Belva dalam diam. Cara Belva menggerakkan tangan, caranya menyuap dan caranya mengunyah terlihat estetik di mata Rogen yang sedang jatuh cinta.Setelah makanan mereka tandas, Rogen menyuruh Belva istirahat. Belva pasti lelah.“Bed cover-nya udah aku ganti, jadi ini masih bersih.”“Makasih,” jawab Belva pelan sambil memandang ke hamparan
Belva sudah tertidur sejak setengah jam yang lalu, sedangkan Rogen masih memandangi perempuan itu dengan seribu pikiran berkecamuk di kepalanya. Rasa cinta, tidak percaya, serta perasaan bersalah berpadu menjadi satu.Tidak pernah ada dalam rencana hidupnya meniduri perempuan yang baru dikenalnya, meskipun ia sangat mencintai perempuan itu. Namun faktanya ia benar-benar melakukannya. Dan kejutannya adalah perempuan itu masih suci.Rogen bangkit dari ranjang setelah mengecup lembut kening Belva. Rogen keluar dari kamar dan berdiri di pinggir jendela sambil memandang tetesan air hujan yang turun semakin intens. Hujan memang momen yang paling tepat untuk mengukir kenangan. Dan ia telah melakukannya.Rogen tidak main-main dengan ucapannya tadi. Ia memang berniat akan menikahi Belva. Masalahnya adalah, apakah orang tuanya setuju dengan keinginannya itu? Lagi pula Rogen masih muda dan sedang berada di puncak karir.‘Pokoknya Papa sama Mommy harus mau kasih restu gimana pun caranya,’ bisik h
Athaya terdiam seribu bahasa. Tidak sepatah kata pun sanggup meluncur dari bibirnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?“Ay, lo nggak apa-apa?” tanya Belva menyaksikan Athaya diam membisu.Athaya terkesiap. Di sela-sela kebingungannya ia merasakan dadanya sesak. Athaya tidak ingin memercayainya, namun melihat senyum dan ekspresi Belva memberitahu Athaya bahwa semuanya nyata.“Bel, gue nggak ngerti.” Setelah terombang-ambing dalam kebingungan, sepotong kalimat tersebut akhirnya terucap dari mulut Athaya.“Gue juga bingung, Ay. Sampe sekarang gue masih ngerasa semua ini kayak mimpi.”“Gue juga ngerasa ini kayak mimpi. Tapi please, Bel, gue butuh penjelasan lo banget. Gue mau tau cerita lengkapnya.” Athaya mendesak dengan tidak sabar.“Naik dulu yuk, nanti gue ceritain di ruangan.” Belva menggandeng Athaya menuju lift yang akan membawa ke ruang kerja mereka.Athaya tidak menjawab, akan tetapi kakinya menyejajari langkah Belva yang berjalan di sebelahnya. Athaya sudah tidak sabar ingin m
Athaya berkaca di cermin wastafel sambil mengeringkan mukanya yang basah oleh air mata. Sudah sejak tadi Athaya berada di toilet dan menangis sendiri.Athaya tidak menyangka justru sahabatnya sendiri yang akan menghancurkan kebahagiaannya. Tahu begini lebih baik ia memberitahu orang-orang mengenai perasaannya jauh-jauh hari agar mereka tahu bahwa Rogen adalah milik Athaya.Athaya terpaksa keluar dari toilet ketika pintu diketuk. Ada karyawan lain yang juga ingin menggunakannya.Athaya tersenyum menutupi kesedihan lalu bergegas keluar dari toilet. Saat tiba di ruangannya ia langsung duduk. Ia tidak menoleh pada Belva yang berada di sebelahnya.Begitu pun dengan Belva yang tidak menghiraukan Athaya. Belva melanjutkan pekerjaannya. Belva masih tersinggung oleh tudingan Athaya tadi yang mengatakannya gampangan.Keduanya tidak saling sapa hingga jam istirahat siang. Namun ketika ponsel Belva berbunyi dan Belva menjawabnya, Athaya mau tidak mau ikut mendengar percakapannya.“Iya, Gen, lima
Hingga saat ini penawaran dari Athaya tadi masih menghuni kepala Belva dan mengganggu pikirannya. Saat Belva bertanya kenapa, maka jawaban yang diberikan Athaya padanya adalah,“Gue sayang sama lo, Bel. Gue mau yang terbaik buat lo. Bukannya apa-apa, Rogen nggak bakal bisa bikin lo bahagia. Dia memang saudara gue, tapi dalam hal ini gue nggak subjekif. Pake logika lo, Bel. Jangan sampe lo silau karena hartanya Rogen. Coba deh lo pikir baik-baik, mana ada orang yang baru kenal langsung ngajak nikah.”“Ada, Ay,” sanggah Belva. “Rogen buktinya.”Ataha mengusap mukanya. Ia mulai putus asa meyakinkan Belva bahwa Rogen tidaklah sebaik yang sahabatnya itu kira. Sebut saja Athaya jahat. Namun hanya itu satu-satunya cara untuk mencegah Rogen dan Belva melanjutkan hubungan mereka. “Gue udah nggak ngerti lagi sama lo, Bel,” ucap Athaya putus asa.“Kadang hidup memang membingungkan. Gue juga nggak ngerti,” jawab Belva memungkasi pembicaraan mereka.***Rogen menurunkan kantong-kantong belanjaan
Sama dengan Belva, Rogen juga tercengang mengetahui keberadaan Athaya di sana. “Itu beneran mobil dia?” tanya Rogen ingin lebih yakin. Di kota ini ada ratusan bahkan mungkin ribuan mobil sejenis.“Beneran, Gen, aku hafal banget nomer polisinya,” jawab Belva menegaskan. Rogen tidak langsung turun dari mobil. Otaknya tengah berpikir apa yang sedang dilakukan Athaya di rumah orang tuanya.“Dia tahu kalo kita mau ke sini?"Belva menggelengkan kepala. Untuk apa mengatakannya? Yang ada Athaya pasti semakin meradang dan menasihatinya panjang lebar.“Kalo memang begitu kenapa dia bisa ada di sini?”“Aku juga nggak tahu. Mungkin dia lagi ada urusan sama orang tua kamu."“Nggak mungkin,” bantah Rogen. Hubungan mereka tidak sedekat itu untuk Athaya berkunjung ke rumah orang tuanya.Rogen mengajak Belva turun dari mobil. Dirangkulnya perempuan itu masuk ke dalam rumah. Tepat di saat itu Audry sedang duduk di ruang tamu dengan Athaya. “Nah, ini mereka sudah datang. Katanya tadi sebentar lagi, k
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama