Belva memandang ke sekitarnya. Suasana di tempat itu cukup sepi. Tidak seorang pun terlihat di sana. Sementara itu titik-titik air mulai turun dari langit.Belva menggigit pipi bagian dalam. Rasa ragu semakin menyelimutinya. Belva merasa berat kembali ke rumah, tapi ia juga tidak memiliki pilihan lain kecuali ikut dengan Rogen.“Kamu harus tinggalkan keluarga toxic itumu, Bel. Jangan pernah kembali lagi ke sana.” Rogen mengulangi lagi kata-katanya.Tanpa diduga Rogen menarik tangan Belva, membukakan pintu mobil untuknya lalu memintanya masuk.Belva tidak menolak. Semua yang dikatakan Rogen tidak salah. Dirinya sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidup sendiri.Rogen menerbitkan senyum dari bibirnya begitu melihat Belva duduk manis di sebelahnya. Ia segera menyalakan mesin mobil dan membelah jalan raya dengan kecepatan biasa.Selagi Rogen menyetir, Belva membisu di sebelahnya dengan pikiran tidak menentu. Sudah seminggu ini Belva pergi dari rumah, tapi tidak seorang pun dari kelua
Hujan masih turun saat keduanya sampai di apartemen Rogen.“Dingin, Bel?” Rogen tersenyum melihat Belva memeluk dirinya sendiri dengan melipat kedua tangannya.“Sedikit,” jawab Belva pelan, lalu melangkah masuk setelah Rogen membuka pintu.Seketika wanginya aromaterapi yang bersumber dari diffuser yang terdapat di ruangan itu terhirup oleh hidung Belva.“Duduk, Bel!” Tahu-tahu Rogen membawa mangkok setelah mengambilnya ke belakang.Rogen membuka bungkus bakso dan menuangkan ke dalam mangkok.“Gimana, enak?” “Banget,” jawab Belva sambil terus mengunyah.Rogen tersenyum. Setelah menghabiskan bagiannya terlebih dulu, ia kemudian memerhatikan gerak-gerik Belva dalam diam. Cara Belva menggerakkan tangan, caranya menyuap dan caranya mengunyah terlihat estetik di mata Rogen yang sedang jatuh cinta.Setelah makanan mereka tandas, Rogen menyuruh Belva istirahat. Belva pasti lelah.“Bed cover-nya udah aku ganti, jadi ini masih bersih.”“Makasih,” jawab Belva pelan sambil memandang ke hamparan
Belva sudah tertidur sejak setengah jam yang lalu, sedangkan Rogen masih memandangi perempuan itu dengan seribu pikiran berkecamuk di kepalanya. Rasa cinta, tidak percaya, serta perasaan bersalah berpadu menjadi satu.Tidak pernah ada dalam rencana hidupnya meniduri perempuan yang baru dikenalnya, meskipun ia sangat mencintai perempuan itu. Namun faktanya ia benar-benar melakukannya. Dan kejutannya adalah perempuan itu masih suci.Rogen bangkit dari ranjang setelah mengecup lembut kening Belva. Rogen keluar dari kamar dan berdiri di pinggir jendela sambil memandang tetesan air hujan yang turun semakin intens. Hujan memang momen yang paling tepat untuk mengukir kenangan. Dan ia telah melakukannya.Rogen tidak main-main dengan ucapannya tadi. Ia memang berniat akan menikahi Belva. Masalahnya adalah, apakah orang tuanya setuju dengan keinginannya itu? Lagi pula Rogen masih muda dan sedang berada di puncak karir.‘Pokoknya Papa sama Mommy harus mau kasih restu gimana pun caranya,’ bisik h
Athaya terdiam seribu bahasa. Tidak sepatah kata pun sanggup meluncur dari bibirnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?“Ay, lo nggak apa-apa?” tanya Belva menyaksikan Athaya diam membisu.Athaya terkesiap. Di sela-sela kebingungannya ia merasakan dadanya sesak. Athaya tidak ingin memercayainya, namun melihat senyum dan ekspresi Belva memberitahu Athaya bahwa semuanya nyata.“Bel, gue nggak ngerti.” Setelah terombang-ambing dalam kebingungan, sepotong kalimat tersebut akhirnya terucap dari mulut Athaya.“Gue juga bingung, Ay. Sampe sekarang gue masih ngerasa semua ini kayak mimpi.”“Gue juga ngerasa ini kayak mimpi. Tapi please, Bel, gue butuh penjelasan lo banget. Gue mau tau cerita lengkapnya.” Athaya mendesak dengan tidak sabar.“Naik dulu yuk, nanti gue ceritain di ruangan.” Belva menggandeng Athaya menuju lift yang akan membawa ke ruang kerja mereka.Athaya tidak menjawab, akan tetapi kakinya menyejajari langkah Belva yang berjalan di sebelahnya. Athaya sudah tidak sabar ingin m
Athaya berkaca di cermin wastafel sambil mengeringkan mukanya yang basah oleh air mata. Sudah sejak tadi Athaya berada di toilet dan menangis sendiri.Athaya tidak menyangka justru sahabatnya sendiri yang akan menghancurkan kebahagiaannya. Tahu begini lebih baik ia memberitahu orang-orang mengenai perasaannya jauh-jauh hari agar mereka tahu bahwa Rogen adalah milik Athaya.Athaya terpaksa keluar dari toilet ketika pintu diketuk. Ada karyawan lain yang juga ingin menggunakannya.Athaya tersenyum menutupi kesedihan lalu bergegas keluar dari toilet. Saat tiba di ruangannya ia langsung duduk. Ia tidak menoleh pada Belva yang berada di sebelahnya.Begitu pun dengan Belva yang tidak menghiraukan Athaya. Belva melanjutkan pekerjaannya. Belva masih tersinggung oleh tudingan Athaya tadi yang mengatakannya gampangan.Keduanya tidak saling sapa hingga jam istirahat siang. Namun ketika ponsel Belva berbunyi dan Belva menjawabnya, Athaya mau tidak mau ikut mendengar percakapannya.“Iya, Gen, lima
Hingga saat ini penawaran dari Athaya tadi masih menghuni kepala Belva dan mengganggu pikirannya. Saat Belva bertanya kenapa, maka jawaban yang diberikan Athaya padanya adalah,“Gue sayang sama lo, Bel. Gue mau yang terbaik buat lo. Bukannya apa-apa, Rogen nggak bakal bisa bikin lo bahagia. Dia memang saudara gue, tapi dalam hal ini gue nggak subjekif. Pake logika lo, Bel. Jangan sampe lo silau karena hartanya Rogen. Coba deh lo pikir baik-baik, mana ada orang yang baru kenal langsung ngajak nikah.”“Ada, Ay,” sanggah Belva. “Rogen buktinya.”Ataha mengusap mukanya. Ia mulai putus asa meyakinkan Belva bahwa Rogen tidaklah sebaik yang sahabatnya itu kira. Sebut saja Athaya jahat. Namun hanya itu satu-satunya cara untuk mencegah Rogen dan Belva melanjutkan hubungan mereka. “Gue udah nggak ngerti lagi sama lo, Bel,” ucap Athaya putus asa.“Kadang hidup memang membingungkan. Gue juga nggak ngerti,” jawab Belva memungkasi pembicaraan mereka.***Rogen menurunkan kantong-kantong belanjaan
Sama dengan Belva, Rogen juga tercengang mengetahui keberadaan Athaya di sana. “Itu beneran mobil dia?” tanya Rogen ingin lebih yakin. Di kota ini ada ratusan bahkan mungkin ribuan mobil sejenis.“Beneran, Gen, aku hafal banget nomer polisinya,” jawab Belva menegaskan. Rogen tidak langsung turun dari mobil. Otaknya tengah berpikir apa yang sedang dilakukan Athaya di rumah orang tuanya.“Dia tahu kalo kita mau ke sini?"Belva menggelengkan kepala. Untuk apa mengatakannya? Yang ada Athaya pasti semakin meradang dan menasihatinya panjang lebar.“Kalo memang begitu kenapa dia bisa ada di sini?”“Aku juga nggak tahu. Mungkin dia lagi ada urusan sama orang tua kamu."“Nggak mungkin,” bantah Rogen. Hubungan mereka tidak sedekat itu untuk Athaya berkunjung ke rumah orang tuanya.Rogen mengajak Belva turun dari mobil. Dirangkulnya perempuan itu masuk ke dalam rumah. Tepat di saat itu Audry sedang duduk di ruang tamu dengan Athaya. “Nah, ini mereka sudah datang. Katanya tadi sebentar lagi, k
Ini adalah hari pertama Rogen dan Belva berada di Singapura. Mereka tiba tadi pagi. Syukurlah Belva mendapat izin cuti sehingga bisa menemani Rogen.Saat ini Rogen sedang menjalani sesi pemotretan untuk sebuah produk kebugaran tubuh. Dari belakang sang fotografer Belva melihat Rogen begitu penuh konsentrasi sambil mengarah pada kamera. Polesan minyak zaitun yang menyelimuti bagian penting dari tubuhnya—yang menjadi objek pemotretan—memberi efek kilap yang terkesan estetik.Setelah berpose sendiri, Rogen menjalani pemotretan bersama seorang model wanita. Ada beberapa pose yang cukup mesra yang membuat Belva merasa tidak nyaman.“Pacarnya Rogen?” Belva menolehkan kepala ketika mendengar suara seseorang menyapanya. Irfan, lelaki yang Belva ketahui dari agensi Rogen sudah berdiri dan tersenyum padanya. Belva balas tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kerja di mana?” tanya lelaki itu lagi.“Saya kerja kantoran, Mas.”“Jangan panggil Mas, panggil Irfan saja.” Pria itu mengulurkan tangan