Ini adalah hari pertama Rogen dan Belva berada di Singapura. Mereka tiba tadi pagi. Syukurlah Belva mendapat izin cuti sehingga bisa menemani Rogen.Saat ini Rogen sedang menjalani sesi pemotretan untuk sebuah produk kebugaran tubuh. Dari belakang sang fotografer Belva melihat Rogen begitu penuh konsentrasi sambil mengarah pada kamera. Polesan minyak zaitun yang menyelimuti bagian penting dari tubuhnya—yang menjadi objek pemotretan—memberi efek kilap yang terkesan estetik.Setelah berpose sendiri, Rogen menjalani pemotretan bersama seorang model wanita. Ada beberapa pose yang cukup mesra yang membuat Belva merasa tidak nyaman.“Pacarnya Rogen?” Belva menolehkan kepala ketika mendengar suara seseorang menyapanya. Irfan, lelaki yang Belva ketahui dari agensi Rogen sudah berdiri dan tersenyum padanya. Belva balas tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kerja di mana?” tanya lelaki itu lagi.“Saya kerja kantoran, Mas.”“Jangan panggil Mas, panggil Irfan saja.” Pria itu mengulurkan tangan
“Gen, kayaknya tadi Aya ikut komen deh,” kata Belva sebelum Rogen menyimpan ponselnya.“Biarin aja,” jawab Rogen tak peduli.Tapi sikap ringan Rogen sangat bertolak belakang dengan Belva. Jika tadi Athaya berkomentar, itu artinnya dia mengikuti siaran langsung mereka. Dengan kata lain Athaya mengetahui kebohongan Belva.“Jangan-jangan dia marah karena tahu aku bohongin dia.”“Ya udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Memangnya kalo dia marah bakal ngaruh sama pekerjaan kamu? Nggak sampe bikin kamu dipecat kan?”Belva diam saja. Memang tidak akan membuatnya diberhentikan dari pekerjaan, tapi akan menjadikan hubungannya dan Athaya semakin renggang.Rogen tersenyum, kemudian merebahkan kepala Belva ke pundaknya. Selama beberapa saat keduanya hanya diam tanpa kata. Suasana semakin senyap karena Marina barrage malam itu cukup sepi. Sesekali semilir angin menerpa permukaan kulit keduanya.“Aku jadi ingat, dulu sama Aya juga pernah ke sini, Gen,” celetuk Belva tiba-tiba.Pernyataan Belva mem
Rogen sedang meneguk air mineral di botol tanpa sedotan ketika ia melihat seseorang yang sedang berdiri di hadapannya. Rogen segera menurunkan botol tersebut dan menatap lurus lelaki yang berdiri tepat di depannya, yang Rogen tidak tahu dari mana lelaki itu datang.“Rogen?” sapa lelaki tersebut dengan nada bertanya.Rogen mengiyakan sambil tersenyum.Pria yang Rogen kira lebih tua dari Dypta itu mengulurkan tangannya sembari mengenalkan diri. “Saya Baron, papanya Belva."Rogen terkejut mengetahui bahwa lelaki itu adalah calon mertuanya. Dengan sopan Rogen menjawab. “Saya Rogen, Om, saya—““Pacarnya Belva.” Baron mendahului Rogen.Rogen tersenyum sambil berpikir di dalam hati apa tujuan Baron menemuinya.“Mari duduk dulu, Om.” Rogen menunjuk bangku kosong tepat di bawah pohon rindang yang berada di sekitar lokasi tempatnya berada sekarang. Saat itu Rogen baru saja menjalani sebuah sesi pemotretan.“Apa kedatangan Om mengganggu?” Baron membuka obrolan setelan mereka duduk bersama.“Ngga
Belva termangu sambil memegang selembar kertas di tangannya. Belva tidak ingin memercayainya. Akan tetapi tulisan yang tertera di kertas itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya.Sedikit pun Belva tidak menyangka jika Athaya menaruh hati pada Rogen yang jelas-jelas adalah saudaranya sendiri. How could it be?Belva buru-buru meletakkan kotak itu kembali dan menutup tas Athaya sebelum muncul dari toilet. Lalu Belva duduk di tempatnya seakan tidak ada apa pun yang terjadi.Selang beberapa detik kemudian Athaya muncul. “Gue lama ya, Bel? Tadi antri di toilet,” katanya memberitahu. “Nggak juga,” jawab Belva sambil tersenyum menutupi kegugupannya. Bagaimanapun juga ungkapan hati Athaya di kertas tadi sangat mengguncangnya.Mereka kemudian meninggalkan area SPBU. Selagi Athaya menyetir Belva memerhatikannya dalam diam. Semua keakraban mereka kini seperti adegan yang diputar ulang di depan Belva.Belva mengerti kenapa selama ini Athaya memilih untuk sendiri tanpa memiliki kekasih. Bukann
Belva dan Rogen serentak memandang ke arah pintu. Jika Belva sudah tahu siapa tamu yang berkunjung, maka Rogen kemudian menatap Belva dengan sorot bertanya.“Bel, siapa yang datang?”“Coba kamu buka aja pintunya ya,” jawab Belva.Rogen keluar dari kamar dan melangkah kasual untuk membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka, ia dan sang tamu yang kini berdiri tegak di hadapannya sama-sama terkejut.Rogen tidak mengira jika Athayalah yang akan berkunjung. Begitu pun dengan Athaya. Tadinya ia pikir Belvalah yang akan membukakan pintu untuknya. Dugannya ternyata salah besar, bukan Belva yang kini berdiri di hadapannya, melainkan Rogen.“Elu, Ay, kirain siapa.” Itu kalimat pertama yang meluncur di bibir Rogen.Athaya tersenyum kikuk. Meskipun nada suara Rogen terdengar datar, akan tetapi Athaya bisa merasakan jika Rogen tidak menyukai kedatangannya. Apa sebaiknya ia pergi saja? Tapi sudah terlanjur. Jika memang ingin menolak seharusnya sudah sejak tadi mencari alasan, saat Belva mengajaknya.
Rogen menunggu Belva yang katanya akan mengganti bajunya dengan lingerie. Namun setelah bermenit-menit Belva tidak juga muncul.“Bel, kenapa lama? Udah pake lingerie-nya?” Rogen memanggil Belva dengan suara pelan.Dalam keadaan setengah sadar Rogen merasakan seseorang di sebelahnya ketika tangannya menyentuh permukaan kasur. Ternyata Belva sudah berbaring di sana. Tapi sejak kapan dia ada di sana? Rogen tidak tahu. Suasana kamar yang gelap membuatnya kesulitan. Satu-satunya penerangan di ruangan itu adalah cahaya bulan yang menyelinap melalui sela-sela tirai."Bel, tumben banget lampunya dimatiin? Lagian kenapa sih cuma ganti lingerie pake matiin lampu segala?" Rogen keheranan atas tingkah Belva yang berada di luar kebiasaan. Biasanya setiap kali mereka bercinta Rogen paling suka dengan cahaya menyala terang, sehingga ia dengan lebih leluasa menikmati indahnya tubuh perempuan yang dicintainya.Belva tidak menjawab yang membuat Rogen kembali bertanya.“Bel, kamu kenapa diam aja aku pan
Rogen terpaku bermenit-menit di depan lemari sambil memandang hampa pada rak-rak yang telah kosong. Tidak sehelai pun baju Belva tertinggal di sana.Satu-satunya yang ada di pikiran Rogen kemudian adalah Athaya. Belva pasti bersamanya, karena setahu Rogen Athayalah orang yang paling dekat dengan calon istrinya itu.Rogen mengambil ponsel yang tadi dilemparnya ke kasur. Dengan tidak sabar ia mencari nomor Athaya di daftar kontak. Ternyata Athaya tidak langsung menjawab panggilan darinya.“Angkat, dong, Ay! Ke mana sih lo?” Rogen bergumam kesal sambil mondar-mandir di dalam apartemennya.Setelah waktu koneksi habis, Rogen me-redial nomor Athaya. Namun entah kenapa Athaya yang biasanya selalu sigap menerima telepon darinya kali ini tidak merespon sehingga Rogen memaki-maki sendiri.***Athaya sedang berbaring di kamarnya ketika ponselnya berdering tanpa henti. Ketika tahu itu dari Rogen, jantungnya menghentak-hentak.Athaya terduduk. Meskipun matanya tertuju pada benda itu, akan tetapi A
Keluarga Belva terkejut ketika Rogen dan Athaya datang ke sana dan menanyakan keberadaan Belva. Mereka tidak tahu apa-apa karena setelah pergi waktu itu Belva tidak pernah pulang.“Bukannya Belva tinggal bersama kamu dan besok kalian akan menikah? Malah Om udah siap-siap buat berangkat nanti,” kata Hesti khawatir.“Kemarin Belva memang sama saya, Tante, tapi tiba-tiba dia pergi tanpa bilang apa-apa. Dia nggak pamit sama sekali sama saya.”“Apa Nak Rogen bertengkar dengan Belva sebelumnya?” tanya Baron menimpali.“Nggak, Om. Saya dan Belva baik-baik saja. Kami nggak pernah bertengkar.”“Tadi di mobil saya sudah hubungi semua teman-teman yang mengenal Belva, Om, tapi Belva nggak ada di sana,” kata Athaya menyela.“Kalau begitu gimana kalau kita lapor polisi?” Hesti memberi ide. Hesti khawatir jika pernikahan Belva dan Rogen batal. Itu artinya ia gagal berbesan dengan orang kaya. Mimpinya untuk hidup nyaman akan sirna sebelum terwujud.“Nggak bisa, Tante. Setahu saya kalau kejadiannya be