Athaya terdiam seribu bahasa. Tidak sepatah kata pun sanggup meluncur dari bibirnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?“Ay, lo nggak apa-apa?” tanya Belva menyaksikan Athaya diam membisu.Athaya terkesiap. Di sela-sela kebingungannya ia merasakan dadanya sesak. Athaya tidak ingin memercayainya, namun melihat senyum dan ekspresi Belva memberitahu Athaya bahwa semuanya nyata.“Bel, gue nggak ngerti.” Setelah terombang-ambing dalam kebingungan, sepotong kalimat tersebut akhirnya terucap dari mulut Athaya.“Gue juga bingung, Ay. Sampe sekarang gue masih ngerasa semua ini kayak mimpi.”“Gue juga ngerasa ini kayak mimpi. Tapi please, Bel, gue butuh penjelasan lo banget. Gue mau tau cerita lengkapnya.” Athaya mendesak dengan tidak sabar.“Naik dulu yuk, nanti gue ceritain di ruangan.” Belva menggandeng Athaya menuju lift yang akan membawa ke ruang kerja mereka.Athaya tidak menjawab, akan tetapi kakinya menyejajari langkah Belva yang berjalan di sebelahnya. Athaya sudah tidak sabar ingin m
Athaya berkaca di cermin wastafel sambil mengeringkan mukanya yang basah oleh air mata. Sudah sejak tadi Athaya berada di toilet dan menangis sendiri.Athaya tidak menyangka justru sahabatnya sendiri yang akan menghancurkan kebahagiaannya. Tahu begini lebih baik ia memberitahu orang-orang mengenai perasaannya jauh-jauh hari agar mereka tahu bahwa Rogen adalah milik Athaya.Athaya terpaksa keluar dari toilet ketika pintu diketuk. Ada karyawan lain yang juga ingin menggunakannya.Athaya tersenyum menutupi kesedihan lalu bergegas keluar dari toilet. Saat tiba di ruangannya ia langsung duduk. Ia tidak menoleh pada Belva yang berada di sebelahnya.Begitu pun dengan Belva yang tidak menghiraukan Athaya. Belva melanjutkan pekerjaannya. Belva masih tersinggung oleh tudingan Athaya tadi yang mengatakannya gampangan.Keduanya tidak saling sapa hingga jam istirahat siang. Namun ketika ponsel Belva berbunyi dan Belva menjawabnya, Athaya mau tidak mau ikut mendengar percakapannya.“Iya, Gen, lima
Hingga saat ini penawaran dari Athaya tadi masih menghuni kepala Belva dan mengganggu pikirannya. Saat Belva bertanya kenapa, maka jawaban yang diberikan Athaya padanya adalah,“Gue sayang sama lo, Bel. Gue mau yang terbaik buat lo. Bukannya apa-apa, Rogen nggak bakal bisa bikin lo bahagia. Dia memang saudara gue, tapi dalam hal ini gue nggak subjekif. Pake logika lo, Bel. Jangan sampe lo silau karena hartanya Rogen. Coba deh lo pikir baik-baik, mana ada orang yang baru kenal langsung ngajak nikah.”“Ada, Ay,” sanggah Belva. “Rogen buktinya.”Ataha mengusap mukanya. Ia mulai putus asa meyakinkan Belva bahwa Rogen tidaklah sebaik yang sahabatnya itu kira. Sebut saja Athaya jahat. Namun hanya itu satu-satunya cara untuk mencegah Rogen dan Belva melanjutkan hubungan mereka. “Gue udah nggak ngerti lagi sama lo, Bel,” ucap Athaya putus asa.“Kadang hidup memang membingungkan. Gue juga nggak ngerti,” jawab Belva memungkasi pembicaraan mereka.***Rogen menurunkan kantong-kantong belanjaan
Sama dengan Belva, Rogen juga tercengang mengetahui keberadaan Athaya di sana. “Itu beneran mobil dia?” tanya Rogen ingin lebih yakin. Di kota ini ada ratusan bahkan mungkin ribuan mobil sejenis.“Beneran, Gen, aku hafal banget nomer polisinya,” jawab Belva menegaskan. Rogen tidak langsung turun dari mobil. Otaknya tengah berpikir apa yang sedang dilakukan Athaya di rumah orang tuanya.“Dia tahu kalo kita mau ke sini?"Belva menggelengkan kepala. Untuk apa mengatakannya? Yang ada Athaya pasti semakin meradang dan menasihatinya panjang lebar.“Kalo memang begitu kenapa dia bisa ada di sini?”“Aku juga nggak tahu. Mungkin dia lagi ada urusan sama orang tua kamu."“Nggak mungkin,” bantah Rogen. Hubungan mereka tidak sedekat itu untuk Athaya berkunjung ke rumah orang tuanya.Rogen mengajak Belva turun dari mobil. Dirangkulnya perempuan itu masuk ke dalam rumah. Tepat di saat itu Audry sedang duduk di ruang tamu dengan Athaya. “Nah, ini mereka sudah datang. Katanya tadi sebentar lagi, k
Ini adalah hari pertama Rogen dan Belva berada di Singapura. Mereka tiba tadi pagi. Syukurlah Belva mendapat izin cuti sehingga bisa menemani Rogen.Saat ini Rogen sedang menjalani sesi pemotretan untuk sebuah produk kebugaran tubuh. Dari belakang sang fotografer Belva melihat Rogen begitu penuh konsentrasi sambil mengarah pada kamera. Polesan minyak zaitun yang menyelimuti bagian penting dari tubuhnya—yang menjadi objek pemotretan—memberi efek kilap yang terkesan estetik.Setelah berpose sendiri, Rogen menjalani pemotretan bersama seorang model wanita. Ada beberapa pose yang cukup mesra yang membuat Belva merasa tidak nyaman.“Pacarnya Rogen?” Belva menolehkan kepala ketika mendengar suara seseorang menyapanya. Irfan, lelaki yang Belva ketahui dari agensi Rogen sudah berdiri dan tersenyum padanya. Belva balas tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kerja di mana?” tanya lelaki itu lagi.“Saya kerja kantoran, Mas.”“Jangan panggil Mas, panggil Irfan saja.” Pria itu mengulurkan tangan
“Gen, kayaknya tadi Aya ikut komen deh,” kata Belva sebelum Rogen menyimpan ponselnya.“Biarin aja,” jawab Rogen tak peduli.Tapi sikap ringan Rogen sangat bertolak belakang dengan Belva. Jika tadi Athaya berkomentar, itu artinnya dia mengikuti siaran langsung mereka. Dengan kata lain Athaya mengetahui kebohongan Belva.“Jangan-jangan dia marah karena tahu aku bohongin dia.”“Ya udahlah, nggak usah terlalu dipikirin. Memangnya kalo dia marah bakal ngaruh sama pekerjaan kamu? Nggak sampe bikin kamu dipecat kan?”Belva diam saja. Memang tidak akan membuatnya diberhentikan dari pekerjaan, tapi akan menjadikan hubungannya dan Athaya semakin renggang.Rogen tersenyum, kemudian merebahkan kepala Belva ke pundaknya. Selama beberapa saat keduanya hanya diam tanpa kata. Suasana semakin senyap karena Marina barrage malam itu cukup sepi. Sesekali semilir angin menerpa permukaan kulit keduanya.“Aku jadi ingat, dulu sama Aya juga pernah ke sini, Gen,” celetuk Belva tiba-tiba.Pernyataan Belva mem
Rogen sedang meneguk air mineral di botol tanpa sedotan ketika ia melihat seseorang yang sedang berdiri di hadapannya. Rogen segera menurunkan botol tersebut dan menatap lurus lelaki yang berdiri tepat di depannya, yang Rogen tidak tahu dari mana lelaki itu datang.“Rogen?” sapa lelaki tersebut dengan nada bertanya.Rogen mengiyakan sambil tersenyum.Pria yang Rogen kira lebih tua dari Dypta itu mengulurkan tangannya sembari mengenalkan diri. “Saya Baron, papanya Belva."Rogen terkejut mengetahui bahwa lelaki itu adalah calon mertuanya. Dengan sopan Rogen menjawab. “Saya Rogen, Om, saya—““Pacarnya Belva.” Baron mendahului Rogen.Rogen tersenyum sambil berpikir di dalam hati apa tujuan Baron menemuinya.“Mari duduk dulu, Om.” Rogen menunjuk bangku kosong tepat di bawah pohon rindang yang berada di sekitar lokasi tempatnya berada sekarang. Saat itu Rogen baru saja menjalani sebuah sesi pemotretan.“Apa kedatangan Om mengganggu?” Baron membuka obrolan setelan mereka duduk bersama.“Ngga
Belva termangu sambil memegang selembar kertas di tangannya. Belva tidak ingin memercayainya. Akan tetapi tulisan yang tertera di kertas itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya.Sedikit pun Belva tidak menyangka jika Athaya menaruh hati pada Rogen yang jelas-jelas adalah saudaranya sendiri. How could it be?Belva buru-buru meletakkan kotak itu kembali dan menutup tas Athaya sebelum muncul dari toilet. Lalu Belva duduk di tempatnya seakan tidak ada apa pun yang terjadi.Selang beberapa detik kemudian Athaya muncul. “Gue lama ya, Bel? Tadi antri di toilet,” katanya memberitahu. “Nggak juga,” jawab Belva sambil tersenyum menutupi kegugupannya. Bagaimanapun juga ungkapan hati Athaya di kertas tadi sangat mengguncangnya.Mereka kemudian meninggalkan area SPBU. Selagi Athaya menyetir Belva memerhatikannya dalam diam. Semua keakraban mereka kini seperti adegan yang diputar ulang di depan Belva.Belva mengerti kenapa selama ini Athaya memilih untuk sendiri tanpa memiliki kekasih. Bukann