Takhta Agung Eldora telah berdiri selama ratusan tahun. Tapi bahkan gunung tertinggi pun bisa runtuh—dan retakan pertama baru saja muncul. Di ujung utara yang dingin dan terlupakan, seorang pemuda yang tak bisa menggunakan sihir berbicara dengan serigala putih. Di barat, seorang gadis menunggangi naga terakhir dan bersumpah menuntaskan dendam darah. Di selatan, seorang pembunuh bayangan menyimpan rahasia yang bisa membangkitkan iblis lama. Tujuh orang, tujuh jalan, satu takdir yang perlahan menarik mereka ke tengah badai. Mereka bukan teman. Mereka bahkan belum tahu satu sama lain. Tapi dunia tak akan bertahan jika mereka tetap berjalan sendiri. Kekuasaan akan diperebutkan. Iblis akan bangkit. Dan pemersatu... akan lahir dari kehancuran. Pertanyaannya satu: Siapa di antara mereka... yang akan hidup cukup lama untuk melihat akhirnya?
view moreAngin Frostwyn tak pernah ramah, bahkan pada darah dagingnya sendiri.
Salju turun seperti panah putih dari langit kelabu, menyapu jejak-jejak kaki yang baru saja kutinggalkan. Di tengah hutan beku itu, hanya satu suara yang menemaniku—derap langkah seekor serigala putih yang berjalan di sampingku, nyaris tanpa suara. Namanya Fang. Dia lebih dari sekadar hewan. Fang adalah satu-satunya makhluk yang tak memandangku sebagai beban. Tak seperti para tetua desa. Tak seperti ayahku. Dan tentu saja... tak seperti diriku sendiri. “Kita terlambat,” gumamku. Suaraku hampir tenggelam oleh desir salju dan suara pepohonan yang menderit diterpa angin. Fang hanya menoleh sebentar. Tatapannya seperti biasa—dingin, tenang, dan jujur. Kadang aku berpikir, dia lebih manusia daripada sebagian besar orang yang kutemui. Langkahku terhenti di sebuah batu besar yang setengah tertimbun es. Di sinilah aku biasanya berlatih, sendirian. Jauh dari tatapan mereka yang menganggapku sia-sia. Kau tak punya api, kata mereka. Tak ada cahaya di darahmu, ujar mereka. Mereka tidak tahu—atau tidak mau tahu—bahwa sihir bukan satu-satunya kekuatan yang penting di dunia ini. --- Aku mengangkat pedang kayu yang selalu kubawa. Sederhana, beratnya pas, dan sudah berkali-kali retak tapi terus kutambal. Dengan napas membeku, aku mulai menebas bayangan. Menyerang, bertahan, berputar. Bayanganku sendiri jadi lawan terbaikku. Setidaknya, dia tidak mencibir setiap gerakanku. Fang duduk di pinggir, mengawasi. Kadang aku merasa dia bisa menilai gaya bertarungku lebih baik daripada manusia mana pun. Kalau saja aku benar-benar bisa berbicara padanya... lebih dari sekadar firasat dan bisikan angin. “Tebasanmu terlalu tinggi,” bisik suara asing di kepalaku. Aku terhenti. Mata membelalak. "Apa... barusan kau yang bicara?" Fang berdiri. Bulu-bulunya menegang. Aku menatapnya. Dia menatap balik. Lalu terdengar lagi—bukan dari luar, tapi dari dalam kepalaku, seolah-olah suara itu muncul dari dasar pikiranku sendiri. "Aku bicara sejak lama, Kael. Kau baru mau mendengar sekarang." Lututku hampir goyah. Nafasku membeku, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam: ketakutan... atau keajaiban? Aku mendekat. Fang tidak mundur. "Aku bisa mengerti... kau?" bisikku. "Kau selalu bisa. Kau hanya menutup telinga selama ini." --- Kembali ke desa, kepalaku penuh tanya. Tapi aku tak punya waktu untuk merenung. Saat aku masuk ke gerbang kayu yang sederhana, aku tahu sesuatu sedang terjadi. Orang-orang berkumpul di tengah lapangan. Wajah-wajah penuh ketegangan. Dan di tengah mereka, berdiri tiga penunggang kuda berbaju baja—bukan orang Frostwyn. Bendera ungu tua berkibar dari tombak mereka, lambang Eldora. Kerajaan. Ayahku, seorang pemburu tua yang jarang bicara, berdiri di hadapan mereka. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar. “Apa yang terjadi?” tanyaku pada salah satu anak muda di kerumunan. “Utusan dari ibu kota,” jawabnya singkat. “Mereka mencari—” “Kael!” Suara keras itu datang dari salah satu prajurit. Lelaki tinggi dengan mata tajam menatap lurus ke arahku. “Kau Kael dari Frostwyn?” Aku mengangguk, meski jantungku berdetak liar. “Kami diperintahkan membawamu ke Eldora. Atas perintah langsung dari Tahta Agung.” Suara tawa dingin terdengar dari kerumunan. Beberapa orang mencibir. Seorang lelaki berseru, “Anak tak berbakat mau direkrut? Hah, dunia benar-benar gila!” Aku melangkah maju. “Kenapa aku?” Prajurit itu mengeluarkan gulungan kertas. “Karena namamu tertera dalam naskah ramalan kuno. Bersama enam nama lainnya. Kau—Kael, anak Frostwyn—adalah salah satu dari Tujuh yang Dipilih.” Dunia seakan berhenti berputar. Aku? Tujuh? Dipilih? Fang melangkah ke sisiku. Dalam benakku, aku mendengar suaranya lagi. "Perjalananmu dimulai, Kael. Tapi percayalah... ini bukan berkah. Ini kutukan yang dibungkus kemuliaan." Aku menggenggam erat pedang kayuku. Salju mulai turun lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara beku yang menyengat paru-paruku. Salju yang turun semakin tebal, menutup jejak-jejak yang baru saja kutinggalkan, seperti menyembunyikan masa lalu yang tak ingin dikenang. Para prajurit dari Eldora masih berdiri di lapangan desa, memandang dengan tatapan yang kosong, seakan tak sabar menunggu perintah. Wajah mereka dipenuhi kecurigaan, tapi juga ketegasan. Mereka tidak datang untuk bermain. “Kael!” Ayahku memanggil dengan suara bergetar. “Jangan ikut campur. Ini urusan kerajaan.” Aku menatapnya. Wajah keras dan tampak lebih tua dari yang kuingat. Biasanya, dia tak pernah menunjukkan kelemahan. Tapi kali ini, di hadapan utusan kerajaan, dia tampak seperti seorang anak yang terpojok. “Mereka datang untukku, bukan untukmu,” jawabku pelan. Fang mendekat dan mendekap tubuhku dengan tubuh besarnya yang hangat. Aku tahu dia mengerti. Dia selalu mengerti. Tetapi hatiku masih diliputi kekacauan. “Anakku,” kata ayahku, suaranya melemah, “kau tak tahu apa yang telah kau lakukan.” Aku menelan ludah, melangkah maju, dan berhenti tepat di depan prajurit Eldora. Mereka berbaris dengan penuh disiplin, senjata-senjata mereka terhunus, menatapku tanpa emosi. Lelaki tinggi yang tampaknya menjadi pemimpin mereka mengulurkan tangan dan menyerahkan gulungan kertas. Aku menerima gulungan itu dengan cemas, lalu membukanya. Tertulis di sana dengan tinta hitam yang mencolok: Kael dari Frostwyn, Tujuh yang Dipilih. "Tujuh yang Dipilih?" Aku mengulang, suara agak tercekat. "Apa maksudnya?" Lelaki itu menatapku dengan pandangan tajam. "Dunia kita sedang berada di ambang kehancuran. Iblis yang telah lama terkubur bangkit, dan hanya Tujuh yang dapat menghentikannya. Kami telah mencari kamu, Kael dari Frostwyn." Kata-kata itu seperti petir yang menyambar, menghancurkan dunia yang selama ini kutahu. Iblis? Apakah mereka bercanda? Dan Tujuh? Aku? Seorang pemuda tak berbakat dari utara? "Kenapa aku?" tanyaku, merasa semakin bingung. "Aku tak punya kekuatan seperti yang mereka punya... Aku tak—" “Tidak ada yang tahu siapa yang ‘dipilih’,” kata lelaki itu memotong, “tapi tugas kami adalah membawa mereka yang terpilih, tidak peduli kekuatan apa yang mereka miliki saat ini. Kekuatan itu akan terbangun.” Aku menatapnya, tak percaya. “Jadi aku harus ikut dengan kalian ke Eldora?” “Ya,” jawabnya tegas. “Mereka yang dipilih harus berkumpul. Tujuh orang yang akan membentuk kekuatan untuk melawan kegelapan yang datang.” Di sekitarku, orang-orang desa mulai berbisik. Beberapa terlihat terkejut, beberapa hanya mencibir. Aku tak peduli. Aku merasa seperti orang asing di tengah-tengah mereka. Aku tak pernah dianggap. Bahkan ayahku, meski telah membesarkanku, tampak lebih cemas daripada bangga. Fang mendekat, mendengus ringan di sampingku, seolah memberi semangat. Aku memutuskan untuk tidak ragu lagi. Jika ini adalah takdirku, aku tidak bisa menolaknya. Aku sudah cukup lama bersembunyi di balik bayang-bayang ketidakmampuanku. “Baiklah,” kataku akhirnya. “Aku akan ikut kalian.” Lelaki itu tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya. “Berangkatlah. Perjalanan kita tidak akan mudah.” Aku melangkah mengikuti mereka, dan rasa dingin dari Frostwyn terasa semakin menembus tulang. Namun, di dalam diriku, ada rasa hangat yang mulai tumbuh. Mungkin ini bukan tentang mencari kekuatan... tapi tentang menemukan siapa aku sebenarnya. Fang berjalan di sampingku, seakan ikut dalam perjalanan ini. Aku bisa merasakan kehadirannya lebih dari sekadar hewan peliharaan. Dia adalah teman sejati dalam perjalanan yang tak terduga ini. Ketika kami mulai berjalan menjauh dari desa, aku mendengar suara kecil di dalam kepalaku lagi, suara yang sama yang sempat menggangguku beberapa menit lalu. "Jangan takut, Kael. Ini baru permulaan. Tujuh itu bukan kebetulan." Aku hanya mengangguk pelan, meski dalam hatiku, rasa takut dan penasaran semakin membuncah. Ke mana takdir ini akan membawa kami? Dan apakah benar aku, Kael dari Frostwyn, adalah salah satu dari Tujuh yang Dipilih? Langit semakin gelap, dan salju turun semakin deras, menutupi jejak kami yang semakin jauh dari desa yang pernah kukenal. --- Perjalanan menuju Eldora penuh dengan ketegangan yang tak bisa kujelaskan. Kami berjalan tanpa banyak berbicara, dan aku merasa semakin jauh dari dunia yang sebelumnya kutahu. Dunia di luar sana adalah dunia yang penuh dengan rahasia, pertempuran, dan takdir yang mungkin lebih besar dari apa yang bisa kuimpikan. Di saat-saat itu, aku tidak hanya merasa seperti anak salju yang terlupakan, tapi juga seperti seseorang yang sedang menuju ke suatu tempat yang akan mengubah segalanya. Perjalanan kami baru saja dimulai.Benteng Eldoria bergetar di bawah gemuruh serangan pasukan Darkbane. Langit malam diselimuti asap tebal, sementara bau darah dan mesiu memenuhi udara. Suara dentingan pedang dan teriakan kematian menyatu dalam sebuah simfoni kehancuran. Raja Cedric, dengan tatapan penuh tekad, berdiri di atas tembok benteng. "Ini bukan akhir kita! Pertahankan Eldoria!" teriaknya, suaranya menggema di antara para prajurit.Di bawah, Kael, Elara, dan Alaric bertempur mati-matian. Kael merasakan energi kristalnya berdenyut di tangannya, memancarkan cahaya biru yang bersinar terang. Setiap ayunan pedangnya menebas musuh yang mendekat, namun jumlah mereka terlalu banyak. Elara di sampingnya, matanya bersinar dengan kekuatan sihir. Dia melontarkan bola api dan kilatan petir, mencoba menahan gelombang serangan. "Kael, kita tidak bisa membiarkan mereka menembus pertahanan ini!" teriak Elara."Elara, mereka terus datang. Kita butuh rencana baru!" seru Kael, suaranya parau oleh kelelahan dan ketegangan."Kita ha
Ketika prajurit terakhir berhasil masuk, Elara jatuh berlutut, kelelahan. Kael dan Alaric segera membantu Elara bangkit, menariknya ke tempat yang aman.Di dalam benteng, suasana mencekam. Prajurit yang terluka berbaring di lantai, sementara tabib dan perawat berusaha memberikan pertolongan pertama. Bau obat-obatan bercampur dengan bau darah memenuhi udara. Cahaya obor yang berkedip-kedip memberikan bayangan yang menari di dinding batu kastil.Raja Cedric berdiri di tengah ruangan, matanya memandang kosong ke arah peta yang tergantung di dinding. "Kita kalah telak," gumamnya, suaranya penuh penyesalan.Salah satu jenderal, Sir Eadric, mendekat dengan langkah cepat. "Yang Mulia, kita harus segera mencari jalan keluar. Musuh akan segera menyerang benteng ini."Cedric mengangguk pelan. "Aku tahu, Eadric. Tapi apa yang bisa kita lakukan sekarang? Mereka terlalu kuat."Tiba-tiba, pintu ruang strategi terbuka dengan keras, dan masuklah seorang pria tua berjubah hitam dengan tongkat sihir di
Kembali ke keadaan sekarang....Malam telah tiba, angin dingin bertiup perlahan membawa aroma tanah basah dan kayu terbakar dari perkemahan prajurit di bawah benteng. Di atas dinding kastil, Elara berdiri sambil memandang ke arah hutan yang gelap di kejauhan. Suara gemerisik daun yang ditiup angin dan desahan napas prajurit yang berjaga terdengar sayup-sayup di latar belakang.Alaric mendekat, jubahnya berkibar pelan. "Kau terlihat gelisah, Elara," katanya dengan suara dalam dan penuh kekhawatiran.Elara menoleh, tatapannya penuh pemikiran. "Aku melihat bayangan, Alaric. Sesuatu yang gelap dan mengancam. Kita perlu bersiap lebih baik."Alaric mengangguk, merasakan beban di pundaknya semakin berat. "Apa yang kau lihat dalam visimu, Elara?"Elara menutup mata sejenak, merasakan dinginnya batu di bawah telapak tangannya."Aku melihat pasukan besar, lebih besar dari apa yang kita hadapi hari ini. Mereka datang dari arah utara, dengan api dan kemarahan. Dan di tengah-tengah mereka, ada sos
Kilas balik Seorang pemuda bernama Kael...Di tepi barat Eldoria, terdapat sebuah desa nelayan yang tenang bernama Tiryas. Desa ini dihuni oleh para nelayan yang setiap hari berjuang melawan gelombang lautan untuk menghidupi keluarga mereka. Di desa inilah Kael menghabiskan masa kecilnya, jauh dari hiruk-pikuk kerajaan dan konflik antar klan.Kael lahir dari pasangan nelayan sederhana, Dorian dan Alys. Dorian adalah seorang pria dengan tangan kasar dan wajah yang selalu tersenyum, sementara Alys adalah wanita lembut dengan suara merdu yang selalu menyanyikan lagu-lagu rakyat untuk menghibur anak-anak desa. Mereka hidup sederhana, namun penuh dengan cinta dan kebahagiaan.Sejak usia muda, Kael menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada lautan. Setiap pagi, dia akan bangun lebih awal untuk membantu ayahnya menyiapkan perahu dan jaring. Dia menyukai rasa angin laut yang segar dan suara ombak yang menenangkan. Dorian dengan senang hati mengajarkan semua yang dia tahu tentang menjadi seor
Elara menghabiskan malam terakhir sebelum pertempuran besar di ruang pribadinya, merenungkan perjalanan yang telah membawanya ke titik ini. Sebagai keturunan klan Valen, dia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan dan kelangsungan kerajaan. Namun, beban sebagai seorang peramal dan penasihat utama juga memberikan tekanan yang luar biasa.Sejak kecil, Elara selalu merasakan keanehan dalam dirinya. Di saat anak-anak lain bermain, dia kerap kali tenggelam dalam visi dan mimpi yang terasa sangat nyata. Orang tuanya, anggota klan Valen yang setia, segera menyadari potensi istimewa putri mereka. Mereka mengirimnya untuk belajar di bawah bimbingan seorang penyihir bijak bernama Arion, yang tinggal di pegunungan utara Eldoria.Arion mengajarkan Elara cara mengendalikan visinya dan menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Dia belajar membaca tanda-tanda alam, memahami aliran energi, dan menguasai sihir pelindung. Namun, Arion selalu mengingatkannya bahwa kekuatan besar datang denga
Malam itu, di Kastil Drakenfeld, suasana perayaan kecil masih terasa meski bayang-bayang pertempuran berikutnya terus mengintai. Di sebuah ruang di dalam kastil, Alaric, Kael, dan Elara berkumpul bersama beberapa pemimpin klan sekutu untuk merencanakan langkah selanjutnya. Hadir di ruangan itu adalah Lord Garrick dari klan Ironwood, seorang ahli taktik yang dikenal dengan ketangguhan dan kecerdasannya, serta Lady Seraphina dari klan Stormrider, seorang penyihir angin yang memegang kekuatan besar dalam kendalinya. “Pertempuran tadi hanyalah permulaan,” kata Lord Garrick dengan suara berat. “Musuh akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Kita harus menyatukan semua klan di Eldoria untuk melawan mereka.” Lady Seraphina mengangguk. “Klan Stormrider akan mendukung kalian. Angin akan selalu berpihak pada kita.” Alaric menatap mereka dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih, Lord Garrick, Lady Seraphina. Kita membutuhkan setiap bantuan yang bisa kita dapatkan.” Di sudut lain Eldoria
Elara tidak diberi banyak waktu untuk beristirahat. Ketika malam tiba, pertemuan rahasia diadakan di ruang dewan tersembunyi di dalam Kastil Drakenfeld. Pangeran Alaric, Raja Cedric, dan beberapa penasihat kepercayaan berkumpul di sana. Dinding batu yang tebal dan lilin yang berkedip-kedip menciptakan suasana tegang. “Elara, ceritakan sekali lagi visimu,” pinta Raja Cedric. Suaranya lelah namun penuh perhatian. Elara mengangguk dan mulai menceritakan penglihatannya dengan lebih rinci. “Dalam visi itu, aku melihat pasukan Draugr menyerang dari utara dengan sihir mereka. Api berkobar di seluruh istana, dan dari selatan, pasukan Leoric datang dengan kekuatan militer mereka. Di tengah kekacauan itu, ada seorang sosok misterius yang muncul. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi dia tampak seperti pahlawan yang akan menentukan arah pertempuran.” “Bagaimana kita menemukan sosok ini?” tanya salah satu penasihat. Elara menatap mereka satu per satu. “Aku tidak tahu siapa di
Angin Frostwyn tak pernah ramah, bahkan pada darah dagingnya sendiri. Salju turun seperti panah putih dari langit kelabu, menyapu jejak-jejak kaki yang baru saja kutinggalkan. Di tengah hutan beku itu, hanya satu suara yang menemaniku—derap langkah seekor serigala putih yang berjalan di sampingku, nyaris tanpa suara. Namanya Fang. Dia lebih dari sekadar hewan. Fang adalah satu-satunya makhluk yang tak memandangku sebagai beban. Tak seperti para tetua desa. Tak seperti ayahku. Dan tentu saja... tak seperti diriku sendiri. “Kita terlambat,” gumamku. Suaraku hampir tenggelam oleh desir salju dan suara pepohonan yang menderit diterpa angin. Fang hanya menoleh sebentar. Tatapannya seperti biasa—dingin, tenang, dan jujur. Kadang aku berpikir, dia lebih manusia daripada sebagian besar orang yang kutemui. Langkahku terhenti di sebuah batu besar yang setengah tertimbun es. Di sinilah aku biasanya berlatih, sendirian. Jauh dari tatapan mereka yang menganggapku sia-sia. Kau tak punya api,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments