Share

Bab 6. Tembok Terakhir

Kembali ke keadaan sekarang....

Malam telah tiba, angin dingin bertiup perlahan membawa aroma tanah basah dan kayu terbakar dari perkemahan prajurit di bawah benteng. Di atas dinding kastil, Elara berdiri sambil memandang ke arah hutan yang gelap di kejauhan. Suara gemerisik daun yang ditiup angin dan desahan napas prajurit yang berjaga terdengar sayup-sayup di latar belakang.

Alaric mendekat, jubahnya berkibar pelan. "Kau terlihat gelisah, Elara," katanya dengan suara dalam dan penuh kekhawatiran.

Elara menoleh, tatapannya penuh pemikiran. "Aku melihat bayangan, Alaric. Sesuatu yang gelap dan mengancam. Kita perlu bersiap lebih baik."

Alaric mengangguk, merasakan beban di pundaknya semakin berat. "Apa yang kau lihat dalam visimu, Elara?"

Elara menutup mata sejenak, merasakan dinginnya batu di bawah telapak tangannya.

"Aku melihat pasukan besar, lebih besar dari apa yang kita hadapi hari ini. Mereka datang dari arah utara, dengan api dan kemarahan. Dan di tengah-tengah mereka, ada sosok misterius dengan kekuatan yang belum pernah kulihat sebelumnya."

Alaric merasakan darahnya mendidih. "Kita harus memperingatkan yang lain. Tidak ada waktu untuk disia-siakan."

Keesokan harinya di pelataran kastil, Kael berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Elara. Hingga Matahari yang sudah tenggelam memberikan sedikit cahaya bulan, menciptakan bayangan yang bergerak seiring gerakan Kael. Bau tanah lembap dan suara kicauan burung malam menambah suasana magis malam itu.

"Fokus, Kael," suara Elara lembut namun tegas. "Kau harus bisa mengendalikan kekuatan kristal ini dengan sempurna."

Kael mengangguk, keringat membasahi dahinya. Dengan tangan terulur, dia merasakan energi mengalir dari kristal di tangannya, mengalir melalui tubuhnya, menyatu dengan alam sekitar.

Elara memperhatikan dengan seksama. "Ingat, Kael, kekuatan ini bukan hanya untuk menghancurkan. Kau harus bisa menggunakannya untuk melindungi mereka yang kau cintai."

Kael menutup mata, membiarkan energi itu mengalir lebih bebas, merasakan koneksi antara dirinya dan dunia di sekitarnya. Dia bisa mendengar detak jantung bumi, bisikan angin, dan gemerisik daun. Semua terasa hidup dan terhubung.

Malam semakin larut, ketegangan di udara semakin terasa. Suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar di sepanjang koridor kastil. Prajurit membawa berita buruk, wajah mereka pucat diterpa cahaya obor.

"Raja Cedric, kami mendapat laporan dari pengintai," kata salah satu prajurit, napasnya terengah-engah. "Pasukan musuh sedang bergerak menuju sini. Mereka akan sampai sebelum fajar."

Raja Cedric berdiri dengan tegak, matanya penuh determinasi. "Siapkan semua prajurit. Ini akan menjadi pertempuran yang menentukan. Kita harus bertahan."

Di perkemahan, suara besi bertemu besi dan kayu berderak menggema di udara. Para prajurit sibuk mempersiapkan senjata, memperbaiki perisai, dan memastikan bahwa mereka siap menghadapi musuh. Bau besi dan keringat bercampur di udara malam.

Alaric berjalan di antara prajuritnya, memberikan kata-kata penyemangat. "Ingat, kita bertarung untuk rumah kita, untuk keluarga kita. Jangan biarkan ketakutan menguasai kalian. Kita kuat karena kita bersama."

Kael berdiri di samping Alaric, tangannya menggenggam erat kristal biru yang berkilauan di bawah cahaya obor. "Aku siap," katanya dengan suara mantap.

Elara bergabung dengan mereka, membawa beberapa prajurit yang dilatih khusus dalam penggunaan sihir. "Kita akan berada di garis depan bersama kalian," katanya tegas. "Kita harus memastikan bahwa musuh tidak dapat menembus pertahanan kita."

Fajar mulai menyingsing, memberikan semburat warna oranye dan merah di cakrawala. Suara genderang perang dan teriakan komando mulai terdengar. Prajurit Valen bersiap di garis depan, dengan perisai terangkat dan tombak siap meluncur.

Alaric berdiri di barisan depan, matanya menatap lurus ke depan. "Ini saatnya," gumamnya.

Tiba-tiba, suara terompet perang musuh menggema di udara, mengguncang tanah dan hati para prajurit. Dari balik kabut, muncul pasukan musuh dengan bendera hitam berkibar, dipimpin oleh sosok besar dengan helm bertanduk.

Alaric mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Untuk Kerajaan Eldoria!" teriaknya, diikuti oleh gemuruh suara prajuritnya.

Pertempuran pun dimulai, denting pedang dan raungan pertempuran mengisi udara. Kael, di tengah kekacauan, merasakan energi kristal mengalir lebih kuat dari sebelumnya. Dia menutup mata sejenak, merasakan kekuatan itu, dan dengan satu gerakan tangan, dia melepaskan ledakan energi yang menghantam barisan musuh, membuka jalan bagi prajurit Kerajaan Eldoria.

Di tengah pertempuran, Elara melihat sosok bertanduk yang berada di garis depan musuh. "Alaric, itu dia! Sosok dalam visiku!" teriaknya.

Alaric mengangguk, menyiapkan diri. "Kita harus menghentikannya. Kael, bersiaplah!"

Kael berlari mendekat, kristalnya berkilauan dengan intensitas yang semakin tinggi. "Aku siap. Mari kita selesaikan ini."

Sosok bertanduk itu mengayunkan pedang besar dengan mudah, menghantam prajurit Kerajaan Eldoria yang mencoba menghalangi jalannya. Alaric melompat maju, pedangnya berkilauan di bawah sinar matahari yang baru terbit. "Aku adalah Alaric dari Kerajaan Eldoria! Aku akan menghadapimu!"

Sosok bertanduk itu berhenti, menatap Alaric dengan mata merah menyala. "Kau tak lebih dari sekadar bayangan, Alaric. Aku akan menghancurkanmu dan semua yang kau cintai."

Dengan teriakan perang, Alaric dan sosok bertanduk itu saling menghantam. Suara dentingan pedang mereka terdengar keras, memecah kesunyian pagi. Kael, dari belakang, mengumpulkan kekuatan kristalnya, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.

Elara menggunakan sihirnya untuk melindungi Alaric, menciptakan perisai energi yang memantulkan serangan musuh. "Cepat, Kael! Kita tidak bisa bertahan lama!"

Kael mengangguk, berkonsentrasi dengan seluruh kekuatannya. Dengan teriakan, dia melepaskan ledakan energi yang menyilaukan, menghantam sosok bertanduk itu dengan kekuatan dahsyat. Suara ledakan menggema, membuat tanah bergetar.

Namun, ketika asap mulai mereda, sosok bertanduk itu masih berdiri, meski terlihat terluka. Dia tertawa pelan, suaranya serak dan menakutkan. "Kalian pikir bisa menghentikanku semudah itu?" Dengan satu gerakan cepat, dia mengayunkan pedangnya ke arah Alaric, yang berhasil menangkisnya dengan susah payah.

Di sisi lain medan pertempuran, pasukan Kerajaan Eldoria mulai kewalahan. Musuh semakin mendesak, dan prajurit Valen mulai terjatuh satu per satu. Kael, yang kelelahan, melihat sekelilingnya dengan putus asa. "Kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi," katanya pada dirinya sendiri.

Elara merasakan bahaya yang semakin dekat. Dia mendekati Alaric dan Kael. "Kita harus mundur dan mengatur ulang strategi. Ini bukan pertempuran yang bisa kita menangkan sekarang."

Alaric mengangguk, wajahnya penuh ketegangan. "Prajurit Eldoria, mundur! Kembali ke benteng!"

Dengan perintah Alaric, prajurit Kerajaan Eldoria mulai mundur perlahan, berusaha mempertahankan formasi sambil melawan tekanan musuh. Suara pertempuran semakin dekat, dan bau darah memenuhi udara. Alaric dan Kael berusaha melindungi rekan-rekannya yang mundur, tapi mereka tahu ini hanya masalah waktu sebelum musuh mencapai benteng.

Elara menggunakan sisa kekuatannya untuk menciptakan penghalang sihir, menahan musuh sejenak agar prajurit Kerajaan Eldoria bisa masuk ke dalam benteng. "Cepat, masuk ke dalam! Aku tidak bisa menahan mereka lebih lama!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status