Share

**Bab 4: Kepanikan dan Kegelapan**

**Bab 4: Kepanikan dan Kegelapan**

Malam telah jatuh ketika Rina akhirnya tiba di rumah. Nafasnya terengah-engah, kakinya bergetar, dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin. Pikirannya kacau, dan hatinya hancur berkeping-keping. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu depan dan berjalan masuk, berharap tidak ada yang melihatnya dalam kondisi seperti ini.

Namun, langkahnya terhenti saat melihat ibunya sedang menunggu di ruang tamu. Wajah sang ibu tampak penuh kekhawatiran, dan begitu melihat Rina, ia segera bangkit dari kursinya.

"Rina, dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang?" tanya ibunya dengan nada cemas. Rina menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai mengalir lagi.

"Aku... Aku habis belajar kelompok, Bu. Maaf pulangnya telat," jawab Rina dengan suara serak, berusaha agar ibunya tidak curiga.

Ibunya memeriksa wajah Rina dengan tatapan penuh tanya. "Kamu baik-baik saja, kan? Wajahmu pucat sekali."

Rina hanya mengangguk pelan. "Aku cuma capek, Bu. Aku mau langsung ke kamar, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, Rina segera berlari menuju kamarnya, menutup pintu di belakangnya dengan cepat. Begitu pintu terkunci, ia tidak bisa menahan diri lagi. Tangisnya pecah, memenuhi ruangan dengan suara sesenggukan yang menyakitkan. Ia merasa begitu kotor, begitu tak berdaya, dan begitu sendirian.

Rina merosot di samping tempat tidurnya, memeluk lututnya erat-erat. Di dalam pikirannya, kenangan tentang apa yang terjadi di rumah kosong itu mulai kembali seperti kilatan petir yang menyambar. Ia tidak bisa mengingat semua detailnya, tetapi ia tahu bahwa sesuatu yang mengerikan telah terjadi padanya. Setiap kali ia mencoba mengingat, rasa takut dan jijik melandanya.

Dalam kepanikan, Rina segera mencari ponselnya. Ia ingin menghubungi seseorang—siapa saja yang bisa ia percayai—tapi tangannya begitu gemetar hingga ponsel itu jatuh dari genggamannya. Akhirnya, ia berhasil membuka layar dan menelusuri daftar kontaknya, tetapi ia tidak tahu siapa yang harus dihubungi. Semuanya terasa terlalu rumit, terlalu sulit untuk diungkapkan.

Rina berusaha keras mengendalikan diri, meskipun ketakutan itu terus mencengkeramnya. Ia mencoba memikirkan jalan keluar, tetapi setiap kali ia mengingat senyum palsu Siska dan tatapan Ardi yang mengancam, ia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Rina merasa begitu putus asa, hingga ia mulai menyalahkan dirinya sendiri. “Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku ikut dengan mereka?”

Ketika pagi datang, Rina merasa seolah-olah tidak tidur semalaman. Matanya bengkak, dan seluruh tubuhnya terasa lelah. Namun, ia tahu ia harus pergi ke sekolah. Bagaimanapun, ia tidak bisa menunjukkan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dengan langkah berat, ia bersiap-siap dan turun untuk sarapan, meskipun tidak ada selera makan sama sekali.

Ibunya menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi Rina tetap tersenyum dan mengatakan bahwa ia hanya kurang tidur. "Aku baik-baik saja, Bu. Mungkin nanti sepulang sekolah aku akan tidur siang."

Rina kemudian berangkat ke sekolah dengan hati yang berat. Di perjalanan, pikirannya terus dipenuhi dengan kecemasan. Bagaimana jika Siska dan yang lainnya membicarakan apa yang terjadi? Bagaimana jika semua orang tahu? Rina tidak bisa membayangkan betapa hancurnya dirinya jika itu terjadi.

Ketika ia sampai di sekolah, semuanya tampak berjalan normal. Siswa-siswa lain bercanda dan tertawa seperti biasa, tidak ada yang memperhatikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Rina. Namun, saat ia berjalan melewati lorong, pandangannya langsung bertemu dengan Siska yang berdiri bersama teman-temannya. Tatapan mereka bertemu sejenak, dan dalam sekejap itu, Rina melihat sesuatu yang membuatnya merinding—senyum Siska tidak lagi tampak ramah. Itu adalah senyum penuh kemenangan, seolah-olah dia tahu rahasia kelam yang sekarang membebani Rina.

Rina menunduk dan mempercepat langkahnya, mencoba menghindari mereka. Namun, ia tidak bisa menahan perasaan bahwa semua mata tertuju padanya, menilai dan mencemooh dalam diam. Ketika ia akhirnya sampai di kelas, ia merasa lega meskipun hanya sementara.

Selama pelajaran berlangsung, Rina merasa seperti berada di dunia lain. Kata-kata guru terdengar jauh dan tidak jelas, dan ia tidak bisa berkonsentrasi pada apa yang diajarkan. Pikirannya terus melayang-layang, kembali ke malam itu, dan setiap kali ia mencoba fokus, ingatan-ingatan itu menyerangnya lagi.

Ketika bel istirahat berbunyi, Rina merasa takut untuk keluar kelas. Ia duduk di mejanya, berpura-pura membaca buku, tetapi pikirannya berkecamuk. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu.

Pesan itu dari Siska.

"Jangan khawatir, Rina. Semua aman. Asal kamu tetap tutup mulut, kita bisa jadi teman baik."

Rina merasa mual membaca pesan itu. Ancaman halus itu jelas membuatnya merasa semakin terpojok. Ia tahu bahwa kehidupannya di sekolah kini berada di bawah bayang-bayang Siska dan gengnya. Mereka bukan hanya mengendalikan rahasianya, tetapi juga mengendalikan dirinya.

Rina mengunci ponselnya dan menatap ke luar jendela. Matahari bersinar cerah, tetapi hatinya dipenuhi dengan kegelapan yang tak tertembus. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu untuk keluar dari situasi ini, tetapi apa? Bagaimana caranya? Di dalam hati, Rina berharap ada seseorang yang akan datang dan menyelamatkannya dari neraka ini, tetapi ia tahu bahwa harapan itu mungkin hanya angan-angan belaka.

Dengan perasaan putus asa, Rina mencoba menarik napas dalam-dalam dan mencari ketenangan. Namun, ia sadar bahwa ini baru permulaan dari perjalanan yang penuh dengan penderitaan dan ujian. Sementara dunia di sekitarnya terus berputar, Rina terperangkap dalam lingkaran ketakutan dan rasa bersalah yang terus mencekik.

---

Jika Anda ingin melanjutkan ke **Bab 5**, saya siap untuk melanjutkannya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status