Share

**Bab 3: Jebakan yang Halus**

**Bab 3: Jebakan yang Halus**

Malam itu, Rina tidak bisa tidur dengan tenang. Pikiran tentang pertemuannya dengan Siska dan teman-temannya terus berputar di kepalanya. Meskipun mereka semua tampak ramah, ada sesuatu yang mengganggu Rina—sebuah perasaan tidak nyaman yang tidak bisa ia singkirkan. Senyum dan tawa mereka tampak tulus, tetapi di balik semua itu, Rina merasakan adanya maksud tersembunyi.

Pagi berikutnya, ketika Rina memasuki sekolah, ia berusaha menyingkirkan semua pikiran buruknya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia hanya terlalu paranoid. Lagipula, mungkin Siska dan teman-temannya hanya ingin berteman dengannya, meskipun caranya agak berbeda dari yang biasa Rina alami.

Di kelas, Siska dan teman-temannya menyapa Rina dengan riang. Mereka bertanya tentang apa yang ia lakukan semalam dan mengajaknya untuk nongkrong lagi setelah sekolah. Rina, yang masih merasa canggung dengan situasi kemarin, berusaha mencari alasan untuk menolak, tetapi mereka terus mendesaknya dengan cara yang terlihat bersahabat.

"Rina, kamu harus ikut hari ini," kata Siska dengan nada memohon yang terkesan manja. "Ada hal seru yang kita rencanakan, dan kamu nggak boleh ketinggalan!"

"Ayo, Rin, kita seru-seruan lagi kayak kemarin," timpal Nita sambil tersenyum. "Nggak asyik kalau kamu nggak ikut."

Rina merasa terpojok. Dia tidak ingin tampak sombong atau tidak sopan dengan menolak, tetapi di sisi lain, ia juga tidak nyaman dengan situasi ini. Akhirnya, ia setuju untuk ikut lagi, meskipun ada perasaan was-was yang masih tertinggal di hatinya.

Sepanjang hari, Rina mencoba untuk fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus melayang ke rencana setelah sekolah. Ketika bel terakhir berbunyi, Rina berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Di sana, Siska dan teman-temannya sudah menunggunya.

"Kita pergi sekarang?" tanya Rina dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

"Ya, kita udah siap," jawab Siska dengan senyum lebar. "Tapi kali ini kita nggak ke kafe. Ada tempat lain yang lebih seru."

Rina mengerutkan kening. "Ke mana?"

"Nanti juga tahu," jawab Ardi, yang tiba-tiba muncul di samping Siska. "Percaya sama kita, kamu bakal suka."

Rina merasa ada yang aneh, tetapi sebelum ia bisa menolak, Siska sudah menarik lengannya dan mengajaknya pergi. Mereka berjalan menuju sebuah gang kecil di dekat sekolah, tempat mereka parkir motor. Rina, yang tidak memiliki kendaraan sendiri, naik ke motor Nita. Mereka berboncengan menuju tempat yang Rina tidak ketahui.

Setelah beberapa menit berkendara, mereka tiba di sebuah rumah kosong di pinggiran kota. Rumah itu terlihat seperti telah lama ditinggalkan, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang kotor. Di depan rumah, beberapa motor lain sudah terparkir, menunjukkan bahwa tempat itu tidak sepenuhnya sepi.

Rina merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Kita ngapain di sini?" tanyanya, mencoba terdengar tenang.

"Ini tempat nongkrong rahasia kita," jawab Siska dengan nada penuh misteri. "Kamu harus jaga rahasia ini, ya."

Rina tidak merasa nyaman dengan situasi ini, tetapi ia tidak ingin menimbulkan masalah. Mereka semua masuk ke dalam rumah itu, yang ternyata lebih luas daripada yang terlihat dari luar. Di dalam, ada beberapa orang lain yang sudah menunggu, termasuk beberapa siswa dari sekolah yang Rina kenal hanya dari wajah.

Rina merasa semakin canggung ketika mereka semua mulai duduk di lantai yang beralaskan karpet lusuh. Siska mengambil beberapa minuman yang telah mereka bawa dan mulai membagikannya. "Minum, Rina," kata Siska sambil menyerahkan kaleng soda padanya. "Nggak usah khawatir, ini cuma untuk bersenang-senang."

Rina menerima minuman itu dengan ragu-ragu. Ia tidak ingin menolak dan terlihat tidak sopan, tetapi perasaannya mengatakan bahwa ia tidak seharusnya berada di sini. Siska dan teman-temannya mulai bercanda dan tertawa, membuat suasana menjadi lebih santai. Namun, di tengah tawa itu, ada tatapan aneh dari Ardi yang terus-menerus mengawasi Rina.

"Rina, kamu nggak minum?" tanya Ardi tiba-tiba, memecah kebisuannya.

Rina tersenyum canggung. "Iya, aku minum," jawabnya sebelum membuka kaleng soda itu. Saat ia mencicipi minuman itu, ia merasa ada rasa yang aneh, tetapi ia tidak ingin membuat masalah.

Percakapan berlanjut, tetapi semakin lama, Rina merasa semakin pusing. Kepalanya terasa berat dan pandangannya mulai kabur. Ia berusaha tetap sadar, tetapi tubuhnya tidak mau menurut. Suara-suara di sekelilingnya terdengar semakin jauh, hingga akhirnya semua menjadi gelap.

Ketika Rina terbangun, suasana sudah berubah. Ia mendapati dirinya terbaring di lantai, dan teman-temannya tidak lagi terlihat di sekitar. Rina merasa tubuhnya lemas dan kepalanya sakit. Ia tidak ingat bagaimana bisa sampai di sini, tetapi ada perasaan panik yang langsung menyerang.

Rina segera bangkit dan merapikan dirinya sebaik mungkin. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa saat menyadari bahwa ada yang tidak beres. Tanpa berpikir panjang, Rina berlari keluar dari rumah itu, meninggalkan semua barang-barangnya. Ia hanya ingin keluar dari tempat itu secepat mungkin.

Saat Rina berlari di jalanan yang sepi, air mata mulai mengalir di pipinya. Ketakutan dan kebingungan memenuhi pikirannya, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi ini. Hatinya berteriak dalam kesakitan, tetapi ia tidak tahu kepada siapa harus mengadu. Kehormatannya, yang selama ini ia jaga dengan baik, kini terasa terguncang. Dalam kepanikan itu, Rina menyadari bahwa kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.

---

Jika Anda ingin melanjutkan ke **Bab 4**, saya siap untuk melanjutkannya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status