Share

**Bab 2: Tanda-Tanda Awal**

**Bab 2: Tanda-Tanda Awal**

Kafe yang dituju Siska dan teman-temannya adalah tempat nongkrong yang cukup terkenal di kalangan anak SMA. Terletak tidak jauh dari sekolah, kafe itu selalu ramai dengan siswa yang datang untuk sekadar mengobrol atau menikmati minuman dan camilan ringan setelah pulang sekolah. Sari merasa sedikit gugup saat melangkahkan kaki ke dalam kafe tersebut. Ia belum pernah ke tempat ini sebelumnya, tetapi ia berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.

Siska, dengan karismanya yang alami, segera mengambil alih suasana. Dia memimpin rombongan kecil mereka ke sebuah meja besar di sudut ruangan. Rina mengikuti di belakang, merasa seperti tamu yang diundang ke dalam sebuah kelompok eksklusif.

"Ayo duduk sini, Rina," ujar Siska dengan senyum manisnya. Teman-temannya juga tampak ramah, meskipun Rina merasa ada sesuatu yang aneh dalam cara mereka memperhatikannya. Namun, ia mencoba untuk mengabaikan perasaan itu dan duduk di samping Siska.

Percakapan di meja itu dimulai dengan santai. Mereka membicarakan hal-hal umum, seperti guru-guru yang baru mereka kenal, mata pelajaran yang sulit, dan acara-acara sekolah yang akan datang. Rina merasa sedikit lega karena mereka tampaknya tidak segan untuk menyertakannya dalam percakapan. Tetapi di balik tawa dan canda mereka, ada nada yang sulit ditangkap oleh Rina—seperti sebuah pertanyaan yang tidak terucapkan.

Setelah beberapa lama, Siska mulai bertanya lebih pribadi tentang kehidupan Rina. "Jadi, kamu anak tunggal, ya?" tanya Siska, mencoba terdengar ramah.

Rina menggeleng. "Nggak, aku punya adik laki-laki. Dia masih SMP sekarang."

"Oh, begitu. Kalian tinggal di mana?"

"Di daerah Cempaka Putih. Nggak terlalu jauh dari sini, kok," jawab Rina sambil tersenyum.

Percakapan berlanjut, tetapi semakin lama, pertanyaan-pertanyaan Siska dan teman-temannya mulai terasa lebih invasif. Mereka mulai menanyakan hal-hal yang lebih pribadi, seperti apakah Rina pernah punya pacar atau seberapa sering ia keluar rumah untuk bersenang-senang. Rina merasa sedikit tidak nyaman dengan arah pembicaraan, tetapi ia berusaha tetap tenang dan menjawab dengan sopan.

"Jadi, Rina," kata Siska sambil menyelipkan sehelai rambut di belakang telinganya, "kamu sudah pernah pacaran belum? Kamu kan manis, pasti banyak yang naksir, dong."

Rina tertawa gugup. "Belum pernah sih, hehehe. Aku lebih fokus sama sekolah."

"Oh, sayang sekali," ujar salah satu teman Siska, yang namanya adalah Nita, dengan nada mengejek. "Kamu nggak pengen nyobain, gitu? Seru lho."

Rina merasa wajahnya memanas. "Mungkin suatu saat nanti," jawabnya singkat, berharap mereka akan berganti topik.

Namun, percakapan itu terus bergulir ke arah yang lebih dalam dan membuat Rina semakin canggung. Siska dan teman-temannya mulai bercerita tentang pengalaman mereka dengan pacar-pacar mereka, yang sebagian besar terdengar seperti cerita yang dilebih-lebihkan. Rina hanya bisa tersenyum kaku, merasa semakin terasing di antara mereka.

Kemudian, di tengah percakapan, salah satu teman Siska yang bernama Ardi muncul di kafe. Ardi adalah salah satu siswa paling populer di sekolah, dengan penampilan menarik dan sikap yang percaya diri. Saat ia bergabung dengan meja mereka, Siska menyapanya dengan hangat, seolah-olah mereka sudah lama saling kenal.

"Hei, Ardi! Kenalin, ini Rina, anak baru di kelas kita," kata Siska sambil menunjuk ke arah Rina.

Ardi tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Hai, Rina. Senang bertemu kamu."

Rina menyambut tangannya dengan ragu-ragu. "Hai, Ardi," jawabnya pelan. Senyum Ardi terlihat ramah, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Rina merasa tidak nyaman.

Ardi segera duduk di dekat Siska dan mulai mengobrol dengan yang lain, tetapi sesekali matanya melirik ke arah Rina, seolah-olah menilai dirinya. Rina berusaha untuk tidak memperhatikan hal itu, tetapi perasaan aneh di dalam dirinya semakin kuat.

Percakapan terus berlanjut, tetapi Rina merasa semakin tidak nyaman. Suasana yang tadinya terasa hangat dan menyenangkan, kini mulai berubah menjadi tegang dan penuh dengan tekanan sosial yang tidak ia pahami. Siska dan teman-temannya tampak lebih tertarik pada reaksi Rina terhadap cerita-cerita mereka, dan Rina merasa seperti sedang diuji—seolah-olah mereka sedang menunggu sesuatu darinya.

Setelah beberapa saat, Rina akhirnya memberanikan diri untuk berpamitan. "Aku harus pulang sekarang, ada urusan keluarga," katanya dengan nada yang berusaha terdengar santai.

"Oh, tentu," jawab Siska dengan senyum yang tampak palsu. "Jangan terlalu lama di rumah, Rina. Besok kita nongkrong lagi, ya?"

Rina hanya tersenyum dan mengangguk sebelum bergegas keluar dari kafe. Begitu berada di luar, ia menghela napas panjang, merasa lega bisa keluar dari situasi yang menyesakkan itu. Namun, di dalam hatinya, ia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang mulai tumbuh—seperti awan gelap yang mengancam akan membawa badai.

---

Jika Anda ingin melanjutkan ke **Bab 3**, saya siap untuk melanjutkannya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status