Share

**Bab 6: Langkah Pertama Menuju Keberanian**

**Bab 6: Langkah Pertama Menuju Keberanian**

Hari-hari terus berlalu dengan lambat dan penuh rasa bersalah bagi Rina. Setiap pagi ia terbangun dengan perasaan cemas yang terus menekan. Ia mencoba melanjutkan hidupnya seperti biasa, tetapi setiap kali ia menatap cermin, bayangan malam itu kembali menghantui. Sementara itu, Siska dan teman-temannya terus bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi, tetapi ancaman itu tetap menggantung di udara, menekan setiap langkah Rina.

Rina tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan ini. Rasa bersalah dan malu yang menggerogoti dirinya setiap hari membuatnya semakin terpuruk. Setiap kali ia melihat sahabatnya, Lani, ia merasa semakin tidak berdaya. Lani terus bertanya tentang keadaannya, tetapi Rina hanya bisa tersenyum dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, di dalam hatinya, Rina tahu bahwa ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Suatu pagi, ketika Rina sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, ia melihat bayangan ibunya yang tengah sibuk di dapur. Ia merasa bersalah setiap kali menatap wajah ibunya yang penuh kasih. Ibunya tidak tahu apa yang telah terjadi, dan Rina merasa semakin tertekan karena harus menyembunyikan semuanya. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Rina merasakan dorongan yang kuat untuk tidak lagi terus-terusan diam.

Ketika Rina akhirnya sampai di sekolah, ia menyadari bahwa ia tidak bisa lagi terus hidup dengan rasa takut yang mengendalikannya. Ia harus melakukan sesuatu, bahkan jika itu berarti menghadapi ketakutan terbesarnya. Dengan pikiran ini, Rina memutuskan untuk mencari bantuan—tetapi tidak dari seseorang yang ia kenal. Rina tahu bahwa jika ia berbicara dengan teman atau keluarganya, hal itu mungkin akan membuat semuanya semakin rumit. Ia butuh seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi dan bisa memberinya panduan tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Saat jam istirahat, Rina mengumpulkan keberaniannya dan pergi ke ruang konseling. Ia tidak pernah benar-benar berpikir untuk berbicara dengan konselor sekolah sebelumnya, tetapi kini ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara. Rina mengetuk pintu dengan ragu-ragu, dan setelah beberapa detik, pintu terbuka. Di balik pintu itu berdiri seorang wanita dengan senyum lembut yang langsung membuat Rina merasa sedikit lebih tenang.

"Silakan masuk," kata Bu Hesti, konselor sekolah, dengan nada yang ramah.

Rina mengangguk pelan dan melangkah masuk ke ruangan itu. Ruang konseling itu sederhana, dengan dinding yang penuh dengan poster motivasi dan rak buku yang penuh dengan berbagai bacaan. Ada sofa kecil di sudut ruangan, dan Rina duduk di sana, merasakan kegugupan merayap di tubuhnya.

Bu Hesti duduk di hadapan Rina, menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang bisa saya bantu, Rina?" tanyanya lembut.

Untuk sesaat, Rina hanya bisa menatap lantai. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Tenggorokannya terasa kering, dan ia merasa air mata mulai menggenang di matanya. Namun, akhirnya ia mengumpulkan keberaniannya dan mulai berbicara, suaranya gemetar saat kata-kata pertama keluar dari mulutnya.

"Bu... saya nggak tahu harus bilang apa, tapi saya... saya butuh bantuan," kata Rina dengan suara serak.

Bu Hesti menunggu dengan sabar, tidak memaksa Rina untuk berbicara lebih lanjut, tetapi memberikan ruang bagi Rina untuk melanjutkan ketika ia siap.

"Saya... saya mengalami sesuatu yang sangat buruk, Bu," lanjut Rina, suaranya mulai pecah. "Dan saya nggak tahu harus bagaimana. Saya takut, Bu, saya merasa bersalah, dan saya... saya nggak bisa menceritakan ini pada siapa pun."

Bu Hesti tetap tenang, memberikan waktu bagi Rina untuk mengatur emosinya. "Rina, kamu sudah sangat berani datang ke sini dan berbicara dengan saya. Apa pun yang terjadi, saya di sini untuk mendengarkan dan membantu sebisa saya. Kamu tidak perlu merasa takut atau malu. Ini adalah tempat yang aman."

Kata-kata itu memberikan sedikit ketenangan pada Rina, meskipun rasa takutnya masih sangat besar. Dengan pelan-pelan, Rina mulai menceritakan apa yang terjadi. Ia menceritakan tentang malam di rumah kosong, tentang perasaan terjebaknya, dan tentang ancaman yang membuatnya merasa tidak berdaya. Rina tidak memberikan setiap detail, tetapi cukup untuk menggambarkan betapa tertekannya ia selama ini.

Ketika Rina selesai, Bu Hesti menarik napas panjang, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Ia tahu bahwa ini adalah situasi yang sangat sensitif dan kompleks.

"Rina, apa yang kamu alami adalah sesuatu yang sangat serius," kata Bu Hesti dengan nada hati-hati. "Saya tahu bahwa kamu mungkin merasa takut dan bingung, tetapi yang paling penting adalah kamu tidak sendiri dalam menghadapi ini. Ada banyak orang yang bisa dan ingin membantumu, termasuk saya."

Rina merasa air mata mulai mengalir lagi, tetapi kali ini ia merasa sedikit lega. Ia merasa seperti beban berat yang selama ini menghancurkannya mulai sedikit terangkat. Meskipun ia masih sangat takut, ada perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar dari kegelapan ini.

"Rina, saya akan mendukung apa pun yang kamu putuskan. Tetapi, saya pikir penting untuk melibatkan orang dewasa lain yang kamu percaya dalam situasi ini. Ini mungkin sulit, tetapi langkah pertama sudah kamu ambil dengan berbicara kepada saya. Kita bisa mencari cara untuk melindungi kamu dan memastikan bahwa mereka yang terlibat bertanggung jawab atas tindakan mereka," lanjut Bu Hesti.

Rina mengangguk pelan. Ia masih merasa takut, tetapi untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasa ada harapan. Bu Hesti memberinya ruang untuk menenangkan diri sebelum mereka melanjutkan percakapan mereka.

Setelah beberapa saat, Rina merasa cukup tenang untuk melanjutkan. Bu Hesti membantu Rina membuat rencana untuk langkah selanjutnya. Mereka sepakat bahwa Rina akan mengambil waktu untuk berpikir tentang apa yang ingin ia lakukan, dan Bu Hesti akan mendampinginya dalam setiap langkah yang diambil. Rina tahu bahwa jalan ke depan tidak akan mudah, tetapi setidaknya kini ia tidak perlu menghadapinya sendirian.

Ketika Rina akhirnya meninggalkan ruang konseling, ia merasa seolah-olah beban besar telah sedikit terangkat dari pundaknya. Meskipun masalahnya belum selesai, setidaknya ia sudah memulai langkah pertama menuju penyelesaian. Ia tahu bahwa keberaniannya untuk mencari bantuan adalah langkah pertama yang paling sulit, tetapi kini ia merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang.

Dalam perjalanan pulang hari itu, Rina merasa sedikit lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa ada harapan. Ia tahu bahwa jalan ke depan masih panjang dan penuh dengan rintangan, tetapi setidaknya kini ia memiliki seseorang yang akan mendampinginya.

Di tengah kegelapan yang masih mengintai, ada secercah cahaya yang mulai muncul, dan Rina bertekad untuk mengikuti cahaya itu—apapun yang terjadi.

---

Jika Anda ingin melanjutkan ke **Bab 7**, saya siap untuk melanjutkannya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status