Share

**Bab 11: Cahaya di Ujung Terowongan**

**Bab 11: Cahaya di Ujung Terowongan**

Pagi itu, Rina bangun dengan perasaan yang lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan-bayangan kejadian yang lalu, ada secercah harapan yang tumbuh di dalam hatinya. Ia merasa sedikit lebih kuat setelah perbincangan dengan Lani dan dukungan yang terus-menerus ia dapatkan dari Bu Hesti dan Pak Budi.

Ketika Rina tiba di sekolah, suasana tetap tegang. Namun, kali ini, ia merasa lebih siap untuk menghadapi hari. Langkah kakinya lebih mantap, dan ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan bisikan-bisikan yang mungkin akan ia dengar lagi. Saat memasuki kelas, Rina langsung mendapati tatapan Siska yang tampak semakin sinis. Meskipun begitu, Rina berusaha untuk tidak terintimidasi.

Pagi itu, sebelum pelajaran dimulai, Pak Budi masuk ke dalam kelas dan meminta perhatian semua siswa. Semua yang ada di kelas segera diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh kepala sekolah mereka.

"Anak-anak, saya ingin berbicara sedikit tentang pentingnya menghargai dan menghormati satu sama lain," kata Pak Budi dengan suara tegas namun lembut. "Belakangan ini, saya mendengar ada beberapa perbincangan yang tidak sehat dan tidak berdasar yang berkembang di antara kalian. Saya ingin mengingatkan kalian semua bahwa kita harus menjaga sikap saling mendukung dan tidak terburu-buru menilai sesuatu yang belum kita pahami sepenuhnya."

Kata-kata Pak Budi membuat suasana di kelas menjadi sedikit lebih tegang. Rina tahu bahwa ini mungkin adalah bentuk dukungan dari sekolah terhadapnya, meskipun secara tidak langsung. Namun, ia juga sadar bahwa ini mungkin akan menambah ketegangan antara dirinya dan siswa lain, terutama Siska dan Ardi.

Pak Budi melanjutkan, "Kami di sekolah ini berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua siswa. Jika ada masalah atau kekhawatiran, jangan ragu untuk datang ke saya atau guru-guru lainnya. Kita di sini untuk membantu, bukan untuk saling menjatuhkan."

Setelah memberikan pesan itu, Pak Budi meninggalkan kelas, dan pelajaran pun dimulai. Meskipun suasana di kelas tetap serius, Rina merasa sedikit lebih lega. Ia merasa bahwa sekolah benar-benar ada di pihaknya, dan itu memberinya sedikit keberanian untuk terus maju.

Selama jam istirahat, Rina dan Lani kembali ke tempat favorit mereka di taman belakang. Mereka duduk berdua dalam keheningan sejenak, menikmati ketenangan sebelum Lani membuka percakapan.

"Rin, aku rasa Pak Budi tadi ngomongin tentang situasimu, ya?" kata Lani sambil menatap sahabatnya dengan penuh perhatian.

Rina mengangguk. "Iya, Lan. Aku rasa itu bentuk dukungan dari sekolah. Tapi, jujur aja, aku masih merasa cemas. Aku takut kalau apa yang terjadi malah membuat semuanya makin rumit."

Lani tersenyum lembut. "Aku ngerti, Rin. Tapi ingat, kamu nggak sendirian. Kita semua di sini buat bantu kamu. Dan kamu tahu, kadang jalan menuju kebenaran memang penuh rintangan. Tapi aku yakin, pada akhirnya, semua ini akan membawa kebaikan."

Rina tersenyum, merasa sedikit lebih tenang dengan kata-kata Lani. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan sahabatnya itu benar. Meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, ia harus tetap berpegang pada keyakinannya bahwa kebenaran akan terungkap dan keadilan akan ditegakkan.

Ketika mereka berdua kembali ke kelas setelah istirahat, Rina merasa lebih siap untuk menghadapi sisa hari itu. Namun, saat mereka berjalan menuju kelas, mereka dihentikan oleh seorang siswa dari kelas lain, seorang gadis bernama Mira yang dikenal sebagai salah satu teman dekat Siska.

"Rina," kata Mira dengan nada yang tampak lebih serius daripada biasanya. "Aku mau ngomong sebentar."

Rina dan Lani saling berpandangan sebelum akhirnya Rina mengangguk. "Apa yang mau kamu bicarakan, Mira?"

Mira tampak ragu sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku tahu tentang apa yang kamu alami, dan aku mau bilang kalau… aku minta maaf atas sikap teman-temanku yang mungkin bikin kamu merasa nggak nyaman."

Rina terkejut mendengar itu. Mira, yang selama ini selalu berada di sisi Siska, tiba-tiba meminta maaf? Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Kamu minta maaf?" tanya Rina, masih mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Mira mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. "Iya, Rina. Aku tahu apa yang terjadi itu salah, dan aku nggak bisa diam aja. Siska mungkin temanku, tapi aku juga nggak bisa ngelihat kamu diperlakukan kayak gitu. Aku cuma mau bilang kalau aku di pihakmu."

Rina merasa dadanya menghangat dengan kata-kata Mira. Meskipun masih ada rasa ragu, Rina bisa merasakan ketulusan di balik ucapan Mira.

"Terima kasih, Mira," kata Rina pelan, merasa sedikit lega. "Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku benar-benar menghargai kamu mau ngomong kayak gini."

Mira tersenyum lemah. "Aku tahu ini nggak mudah buat kamu, Rina. Tapi aku percaya kalau kamu orang yang kuat. Kalau kamu butuh sesuatu, aku akan ada di sini."

Setelah Mira pergi, Rina dan Lani melanjutkan perjalanan mereka menuju kelas. Rina masih merasa terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Ini adalah pertama kalinya ada seseorang dari lingkaran pertemanan Siska yang mendekati dan menunjukkan dukungan secara langsung. Meskipun Rina tahu bahwa situasinya masih jauh dari selesai, ia merasa ada secercah harapan bahwa segala sesuatunya mungkin akan berubah menjadi lebih baik.

Hari itu, pelajaran berlalu tanpa banyak gangguan. Meskipun ada beberapa tatapan yang masih terasa mengganggu, Rina mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. Ia terus fokus pada pelajaran, dan setiap kali ia merasa cemas, ia mengingat kembali kata-kata Lani, Bu Hesti, dan bahkan Mira. Itu memberinya kekuatan untuk terus bertahan.

Setelah jam sekolah selesai, Rina merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa perjuangannya masih panjang, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Dukungan dari teman-teman dan guru-guru yang peduli padanya memberinya semangat untuk terus melangkah maju.

Malam itu, Rina menutup hari dengan menulis di jurnalnya. Kali ini, ia menulis tentang harapan-harapan barunya, tentang bagaimana ia mulai melihat cahaya di ujung terowongan yang gelap. Meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini masih jauh dari akhir, Rina merasa lebih yakin bahwa ia bisa melewati semuanya.

Dengan perasaan yang lebih tenang, Rina memejamkan matanya dan tertidur dengan senyum tipis di wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa sedikit lebih damai, mengetahui bahwa ia sedang berada di jalur yang benar.

---

Jika Anda ingin melanjutkan ke **Bab 12**, saya siap untuk melanjutkannya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status