Share

**Bab 5: Rasa Bersalah yang Tak Tertanggungkan**

**Bab 5: Rasa Bersalah yang Tak Tertanggungkan**

Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat dan penuh dengan tekanan bagi Rina. Setiap pagi ketika ia bangun, rasa cemas dan takut langsung menyelimuti hatinya. Ia merasa seperti bayangan hitam terus mengikuti kemanapun ia pergi, membayangi setiap langkah dan pikirannya. Di sekolah, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ada sesuatu yang salah. Ia tersenyum pada teman-temannya, mengikuti pelajaran, dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, di dalam dirinya, Rina tahu bahwa ia sedang terpecah belah.

Siska dan teman-temannya terus mendekati Rina setiap hari, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Mereka tetap mengajaknya nongkrong setelah sekolah, mengajaknya bercanda dan tertawa, tetapi semua itu terasa palsu di mata Rina. Ia tidak bisa melihat mereka tanpa merasakan perutnya mual. Namun, ia tidak berani menolak atau melawan. Ancaman halus yang terkandung dalam pesan Siska terus menghantuinya.

Rina merasa semakin terisolasi dari semua orang. Ia tidak berani menceritakan apa yang telah terjadi pada siapa pun, bahkan kepada sahabat terdekatnya, Lani. Lani adalah teman yang selalu setia dan perhatian, tetapi Rina merasa terlalu malu dan takut untuk mengakui apa yang telah terjadi. Ia tidak ingin dianggap lemah atau ceroboh. Setiap kali Lani bertanya tentang keadaannya, Rina hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja, meskipun di dalam hatinya ia berteriak meminta tolong.

Sementara itu, bayangan Ardi terus menghantui pikirannya. Rina tidak bisa melupakan tatapan dingin dan senyum manipulatifnya yang terasa penuh dengan kemenangan. Setiap kali ia melihat Ardi di sekolah, perasaan takut dan jijik langsung menyergapnya. Ia berusaha menghindari bertemu dengan Ardi, tetapi di sekolah yang sama, hal itu hampir mustahil. Setiap kali mereka berpapasan di koridor, Rina merasa seolah-olah jantungnya berhenti berdetak. Ardi tidak pernah mengatakan apa-apa secara langsung, tetapi tatapan matanya sudah cukup untuk membuat Rina merasa terancam.

Suatu hari, saat jam istirahat, Lani mendekati Rina di kantin. Lani bisa merasakan ada yang aneh dengan sahabatnya, meskipun Rina berusaha keras untuk menyembunyikannya.

"Rina, kamu akhir-akhir ini kayaknya beda, deh," kata Lani dengan nada cemas. "Kamu kelihatan capek dan kayak... nggak semangat. Ada apa, sih?"

Rina menunduk, tidak berani menatap mata Lani. Ia tahu bahwa Lani hanya peduli padanya, tetapi ia tidak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku baik-baik saja, Lan," jawab Rina pelan. "Cuma lagi banyak pikiran aja. Mungkin karena pelajaran makin sulit."

Lani memandang Rina dengan skeptis. "Rina, kita sahabat kan? Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku. Jangan dipendam sendiri."

Rina terdiam sejenak, hampir saja ia melepaskan semua beban yang selama ini ia tahan. Tetapi bayangan Siska dan ancamannya langsung muncul di benaknya. Jika Lani tahu, dan kemudian cerita ini tersebar, apa yang akan terjadi padanya? Rina merasa ketakutan lagi, dan akhirnya ia hanya bisa menggeleng pelan.

"Serius, Lan. Aku baik-baik aja. Cuma perlu waktu buat menyesuaikan diri, mungkin," kata Rina, mencoba meyakinkan sahabatnya.

Lani terlihat ragu, tetapi ia tidak ingin memaksa Rina untuk berbicara. "Oke, tapi kalau kamu butuh teman buat curhat, kamu tahu kan aku selalu ada buat kamu."

Rina tersenyum lemah. "Iya, aku tahu. Terima kasih, Lan."

Percakapan itu membuat Rina merasa semakin tertekan. Ia tahu bahwa Lani hanya ingin membantunya, tetapi ia tidak bisa membiarkan siapa pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rina merasa sendirian dalam perjuangannya, terjebak dalam rasa bersalah dan ketakutan yang terus menerus menghantui.

Malam itu, ketika Rina berbaring di tempat tidurnya, pikirannya kembali melayang ke malam di rumah kosong itu. Setiap kali ia mencoba melupakan, kenangan itu muncul kembali dengan lebih kuat, seperti luka yang tidak bisa sembuh. Ia teringat bagaimana ia merasa kehilangan kontrol atas dirinya, bagaimana dunia seakan runtuh di sekitarnya. Perasaan bersalah terus menyerangnya, meskipun ia tahu dalam hatinya bahwa ia bukanlah orang yang harus disalahkan.

Rina merasa hancur. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak bisa menghilangkan rasa jijik terhadap dirinya sendiri, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana menghadapinya. Setiap hari yang berlalu hanya membuatnya semakin terpuruk dalam rasa putus asa. Rina tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini, tetapi ia tidak melihat jalan keluar dari kegelapan yang menyelimutinya.

Di tengah malam, Rina terbangun dari mimpi buruknya. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan hatinya berdegup kencang. Dalam kegelapan kamarnya, Rina merasa begitu kecil dan tak berdaya. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan dirinya, tetapi ketakutan dan kesedihan itu terlalu kuat untuk diatasi sendirian.

Rina menyadari bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan ini. Ia harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Dalam kebingungannya, ia tahu bahwa ia harus mencari bantuan. Tetapi dari siapa? Siapa yang akan percaya padanya? Siapa yang bisa ia percaya?

Di saat-saat tergelapnya, Rina hanya bisa berharap bahwa ada cahaya di ujung lorong ini, meskipun cahaya itu tampak begitu jauh dan samar. Namun, harapan itulah yang membuatnya tetap bertahan, meskipun hanya seutas benang yang hampir putus. Rina tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia harus menemukan cara untuk bangkit kembali.

---

Jika Anda ingin melanjutkan ke **Bab 6**, saya siap untuk melanjutkannya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status