Share

**Bab 8: Menghadapi Hari-Hari Berat**

**Bab 8: Menghadapi Hari-Hari Berat**

Keesokan harinya, Rina tiba di sekolah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya terasa lebih ringan, tetapi di balik itu, ada ketegangan yang terus menghantuinya. Ia tahu bahwa hari ini akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya. Dengan tekad yang sudah dipupuk bersama Lani dan Bu Hesti, Rina memutuskan untuk melanjutkan apa yang sudah dimulainya.

Ketika bel pertama berbunyi, Rina menuju ruang kepala sekolah bersama Lani. Meskipun jantungnya berdebar kencang, ia berusaha tetap tenang. Rina tahu bahwa ia tidak boleh mundur sekarang. Bersama Lani di sisinya, ia merasa lebih kuat dan lebih siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Di ruang kepala sekolah, mereka disambut oleh Bu Hesti yang sudah menunggu. Kepala sekolah, Pak Budi, seorang pria paruh baya yang dikenal tegas tetapi bijaksana, menyambut mereka dengan serius. Pak Budi menatap mereka berdua dengan penuh perhatian, tampak memahami betapa pentingnya pertemuan ini.

"Selamat pagi, Rina, Lani. Silakan duduk," kata Pak Budi sambil mengisyaratkan ke arah kursi di hadapan mejanya. "Bu Hesti sudah memberi saya sedikit gambaran tentang situasi ini. Saya ingin mendengar dari kalian langsung, terutama dari Rina."

Rina duduk dengan gugup, merasakan jantungnya berdetak cepat. Namun, ia mengingat semua dukungan yang telah diberikan oleh Lani dan Bu Hesti. Dengan tarikan napas dalam-dalam, Rina mulai menceritakan kisahnya—dari awal hingga akhir, tanpa menyisakan satu pun detail penting.

Pak Budi mendengarkan dengan seksama, wajahnya tetap tenang dan penuh perhatian. Sesekali, ia menuliskan sesuatu di buku catatannya. Ketika Rina selesai, ruang itu terasa sunyi sejenak, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar.

"Rina," kata Pak Budi dengan nada serius namun lembut, "apa yang kamu alami adalah sesuatu yang sangat serius. Saya sangat menyesalkan hal ini terjadi padamu, dan saya berterima kasih atas keberanianmu untuk berbicara. Sekarang, langkah pertama yang harus kita ambil adalah memastikan bahwa kamu mendapat dukungan yang kamu butuhkan dan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas kejadian ini diadili."

Rina mengangguk pelan, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Pak Budi. Namun, ia tahu bahwa ini baru permulaan. Akan ada lebih banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama ketika menyangkut Siska dan Ardi. Bagaimana jika mereka menolak tuduhan itu? Bagaimana jika mereka berbalik menyerang? Pikiran-pikiran ini berputar di kepala Rina, membuatnya merasa cemas lagi.

Pak Budi tampaknya bisa membaca kekhawatiran Rina. "Rina, saya tahu ini mungkin menakutkan, tapi ingatlah bahwa kamu tidak sendirian. Sekolah akan melakukan segala yang bisa untuk melindungimu. Kami akan menyelidiki masalah ini dengan serius dan mengambil tindakan yang diperlukan."

Mereka kemudian membahas langkah-langkah selanjutnya. Pak Budi menjelaskan bahwa sekolah akan memulai penyelidikan internal dan memanggil Siska dan Ardi untuk dimintai keterangan. Selain itu, jika diperlukan, mereka akan melibatkan pihak berwenang. Rina merasa lega mengetahui bahwa sekolah mendukungnya, tetapi ia masih merasa ada beban besar yang menghantui.

Setelah pertemuan selesai, Rina dan Lani keluar dari ruang kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, mereka merasa lega karena sudah memulai langkah ini, tetapi di sisi lain, mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan.

Hari itu berlalu dengan lambat. Rina berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke pertemuan pagi tadi. Setiap kali ia melihat Siska atau Ardi, perasaan takut kembali menghantui. Namun, setiap kali itu terjadi, ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia sudah memulai proses ini, dan ia tidak akan mundur.

Ketika jam sekolah hampir selesai, Bu Hesti memanggil Rina ke ruang konseling lagi. Kali ini, suasananya lebih santai. Bu Hesti menyarankan agar Rina mengambil waktu untuk dirinya sendiri, untuk merenung dan menenangkan pikiran.

"Rina, ini adalah proses yang berat, dan saya tahu kamu telah melalui banyak hal," kata Bu Hesti dengan nada lembut. "Penting bagi kamu untuk menjaga dirimu sendiri, baik secara fisik maupun emosional. Jika kamu merasa perlu istirahat, tidak apa-apa untuk memintanya."

Rina mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dengan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ia merasa lebih siap. Ketika ia meninggalkan ruang konseling, ia merasa ada sedikit harapan yang tumbuh di dalam dirinya—harapan bahwa, meskipun masa depannya masih penuh ketidakpastian, ia tidak lagi sepenuhnya sendirian dalam menghadapi semuanya.

Malam itu, setelah pulang sekolah, Rina menghabiskan waktu di kamarnya, merenung tentang semua yang telah terjadi. Ia tahu bahwa hidupnya mungkin tidak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi ia bertekad untuk melanjutkan perjuangannya. Ia tidak akan membiarkan kejadian itu mendefinisikan siapa dirinya.

Dengan pikiran itu, Rina memutuskan untuk menulis di jurnalnya, mencurahkan semua perasaan yang ia pendam. Menulis memberinya cara untuk melepaskan emosi yang telah lama terpendam, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Rina merasa sedikit lebih tenang.

Ketika Rina akhirnya memejamkan mata malam itu, ia tahu bahwa hari esok akan membawa tantangan baru. Namun, dengan dukungan dari Lani, Bu Hesti, dan Pak Budi, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Dan meskipun perjalanan ini masih panjang, Rina berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus maju—untuk dirinya sendiri, dan untuk mereka yang percaya padanya.

---

Jika Anda ingin melanjutkan ke **Bab 9**, saya siap untuk melanjutkannya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status