Di kamar utama, Nala yang sedang dipijit oleh Bi Darmi meringis menahan kesakitan, kaki kanannya sudah terlihat agak sedikit bengkak.
“Non, tahan ya, Bibi sih mau panggil tukang urut aja, biar diurut kakinya nanti Non nggak bisa jalan gimana.”
“Nggak papa Bi, nanti kalau uda Bi Darmi urut pasti enakan. Auh!”
“Tuh kan sakit.”
“Iya, nggak papa aku tahan, uda biasa kan nahan sakit.”
Mendengar itu Bi Darmi hanya bisa tersenyum.
Dia sangat menyukai Nala, sejak wanita ini memasuki rumah keluarga Wistara, Bi Darmi merasa dia senang sekali, karena Nala sangat baik pada dirinya dan selalu mengalah dan diam diperlakukan apa pun oleh Calya.
Bi Darmi sangat mengenal Calya, sejak kecil Bi Darmi yang merawat dan mengurus Calya dan juga Gala.
“Non, kamu nggak papa?” tanya Bi Darmi masih mengurut kaki Nala.
Perempuan paruh baya itu memperhatikan Nala yang termenung, terlihat lusuh dan sedikit kurus.
“Kenapa Bi?”
“Kamu kelihatan capek, apa ada yang dipikirin? Kalau masalah Mbak Calya, Non mah uda biasa ini pasti ada masalah lain.”
Nala menarik napas panjang, dia berpaling ke arah lain.
Otomatis Bi Darmi mengikuti arah pandangan Nala, tertuju pada sebuah almari di sudut ruangan.
“Kenapa Non?” tanya Bi Darmi.
“Bi …” Nala menoleh menatap Bi Darmi, kali ini tatapannya serius.
Nala berpikir mungkin dia harus bercerita pada Bi Darmi, bagaimana pun Nala sudah menganggap Bi Darmi seperti ibunya sendiri, semenjak Nala menjadi yatim piatu.
“Ada apa?” suara lembut Bi Darmi membuat Nala semakin yakin dia harus bercerita pada Bi Darmi.
“Hm … tolong ambilin sesuatu di lemari bagian bawah, ada bungkusan putih.” Nala menunjuk ke sebuah almari di sudut.
“Bentar …” Bi Darmi menyudahi pijitannya lalu bangun dan berjalan ke arah almari.
Membuka pintu almari, tatapan Bi Darmi langsung tertuju pada bagian bawahnya, ada bungkusan kain putih di sana, Bi Darmi langsung melotot.
Bergegas dia mengambil, menutup almari dan membawanya ke Nala.
Nala yang duduk di sofa tersenyum pada Bi Darmi saat menerima bungkusan kain putih itu dari Bi Darmi.
“Ini apa Non?” tanya Bi Darmi.
“Sini Bi, duduk di sini.”
Nala menggeser posisi duduknya memberi ruang duduk pada perempuan paruh bayah itu.
Awalnya Bi Darmi enggan, tapi Nala menarik tangannya.
“Aku sudah menganggap Bi Darmi seperti ibuku sendiri, jadi aku ingin berbagi cerita sama bi Darmi.”
“Maksudnya gimana? Ini apaan? Kok kek ngeri apa jangan-jangan …”
Mereka berdua saling menatap.
Nala mengangguk lalu dia berkata lagi, “Aku nemu ini di bawah tempat tidur dua hari yang lalu Bi.”
“Astagfirulohadzim … siapa yang berani melakukan ini Non?”
“Bibi buka deh.”
“Sini …”
Bi Darmi menerima bungkusan kain putih itu dari Nala lagi, perlahan dia membukanya.
“Ya Allah, Ya Gusti Pangeran … ini …”
Kedua tangan Bi Darmi gemetar seketika.
Di dalam bungkusan kain putih itu ada jarum, kembang dan juga sebuah batu hitam, entah itu apa.
“Non … ini …”
“Bibi sama kan kek aku mikirnya.”
Bi Darmi mengangguk tegas.
“Non, ngeri … gimana? Siapa yang jahatin Non?”
“Aku nggak tahu Bi, tapi yang pasti ini udah yang kesekian kalinya.”
“Ini bisa jadi santet Non.”
“Hm … bener kata Bibi.”
“Non buang aja bakar ya.”
“Iya, nanti kita bakar. Dari kemarin aku mau cerita sama Bibi, tapi belum ada kesempatan karena dua hari ini kan liburan semua kumpul di rumah.”
“Non, siapa yang berani masuk ke kamar Non?”
“Nggak tahu Bi, kan di sini nggak ada CCTV.”
“Ngeri Non, semoga kita semua baik-baik aja ya. Tapi … apa Non ada masalah sama orang, teman atau …”
“Bi, mana ada, aku mana ada teman? Semenjak menikah sama Mas Gala, aku nggak pernah keluar rumah dan bahkan nggak pernah berinteraksi sama teman-temanku, Bibi tahu sendiri kan, aku … kalau mau izin keluar kek gimana …”
“Iya, Mbak Calya terutama, dia … sing sabar ya Non.” Bi Darmi mengelus pundak Nala.
“Hm … mau gimana lagi Bi, mereka keluargaku.”
“Non, jangan-jangan kejadian barusan ada sangkut pautnya sama benda ini …” ucap Bi Darmi dengan mimik wajah serius.
“Maksud Bibi …”
“Ada orang yang pengen Non celaka, kan kalau Bibi dengar cerita barang-barang begini dikirim buat jahatin orang …”
“Bibi … jangan suudzon, jangan buruk sangka.”
“Siapa yang buruk sangka, Bibi suka nonton acara rukyah, itu di televisi kan kebanyakan suka pada diguna-guna Non.”
“Ih Bibi nakutin. Merinding nih aku …”
Nala langsung memegang tangan Bi Darmi, seketika keduanya saling bertatapan dan mengarahkan pandangan mereka ke segala arah.
“Bibi … jangan mikir macam-macam ah … aku jadi takut.”
“Bibi juga takut Non.”
“Tapi beneran, barang beginian memang suka begitu.”
“Ya udah Bi, ayo cepet kita bakar jangan sampai Mas Gala atau siapa pun tahu.”
“Ayo Non.”
Keduanya berdiri, Nala masih merasakan kakinya sedikit nyeri tapi dia menahannya dan berusaha berjalan.
“Non, bisa jalan?” tanya Bi Darmi melihat Nala berdiri belum sempurna.
“Bisa Bi, agak sakit sih tapi nggak papa, ayo …”
Bi Darmi memegang tangan sebelah kiri Nala, mereka keluar kamar lalu menuruni anak tangga.
Bi Darmi yang turun matanya terus tertuju ke segala arah.
Bungkusan kain putih itu dipegang oleh Nala.
Nala juga yang awalnya biasa saja setelah mendengar cerita Bi Darmi, Nala jadi ketakutan.
Dia juga pernah menonton acara orang-orang yang dirukyah, itu mengerikan.
Seketika bulu kuduknya merinding.
Rumah besar Keluarga Wistara tiba-tiba terasa menyeramkan bagi kedua orang yang sedang menuruni anak tangga yang tinggi itu.
Keduanya terlihat serius dan diam.
….
Di dalam mobil, setelah Calya mengajak Ayunda dan Gala sarapan bubur di tempat langganan mereka, Calya mengantar Ayunda lalu Gala, tempat mereka satu arah.
Setelah keduanya turun, Calya menepikan kendaraannya.
Dia mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi seseorang.
“Hallo … eh bener katamu, itu sakti banget. Tadi pagi, adik ipar gue yang nyebelin itu langsung kena tuh, tapi sayang dia nggak jatuh dari tangga. Orang pintar atau apalah namanya itu, lo nemu di mana? Uang yang gue transfer kurang nggak?”
“Kan, gue bilang juga apa. Gue kalau masalah gituan jangan diragukan lagi. Terus gimana adik ipar lo itu, parah nggak?”
Jawab seseorang dari sambungan telepon.
“Hm … nggak, kurang tragis, gue malah berharap dia mati jatuh dari tangga.”
“Dasar brengsek lo, masak adik ipar sendiri didoain begitu.”
“Emang, gue berharap dia mati segera, puas lo. Gimana uangnya cukup nggak? Bilangin ke orang pintarnya, kurang hukumannya buat Nala, bikin dia makin mampus!”
“Calya, segitunya lo benci sama adik ipar lo itu, bahkan udah berapa tahun Calya. Kenapa sih lo masih dendam sama dia.” Suara dari seberang telepon suaranya terdengar merendah.Mendengar itu Calya merengut, dia terdiam sesaat lalu memikirkan pertanyaan barusan.‘Kenapa gue benci sama Nala?’‘Kenapa?’‘Ah kalau nggak suka, ya nggak suka aja emangnya harus ada alasan. Lagian gara-gara dia juga hidup gue sama Gala jadi berantakan.’“Calya … Hello … any bdoy home … spada … lo masih di tempat kan?”“Eh … hum …. Sorry. Emangnya harus ada alasan kalau gue nggak suka sama seseorang?”Tanya Calya balik.Di sana, orang yang ditelpon oleh Calya terdiam sesaat lalu setelah jeda ada suara jawaban, tawa keras terdengar setelahnya.“Hahahaha … bener kata lo, emangnya harus ada alasan. What ever lah ya, sekarang lo bisa transfer ke gue lagi biaya ongkos jalan sama ke orang pintarnya, kan?”“Nggak masalah, ntar gue transfer, tapi ….”“Apa? Lo masih punya permintaan?”“Iya, gue mau lo bilang ke orang p
Gala menerima telepon dan sedikit berteriak, "Eh kok bisa! Bukannya harganya sekitar 120 juta? Mahal banget""Siapa yang kasih keputusan?""Aku paham."Gala menutup telepon dan mendesah.“Karina, berapa harga yang kita tawarkan sebelumnya?” Gala bertanya dengan tidak sabar."Sembilan puluh juta," ujar Karina.Harga itu jauh melebihi perkiraan. Selisihnya lebih dari 10 juta. Gala bisa membayangkan pantas saja keluarga Diandra tidak memberikan penawaran itu kepada perusahaannya. Seratus dua puluh juta, harga yang harus dibayar untuk menjaga reputasi keluarga.“Pak Gala, apa mereka sekarang mencoba untuk menekan perusahaan kita? Atau sengaja mengeluarkan kita dari komunitas? Kalau seperti ini kita nggak punya stok dan barang untuk dipamerkan nanti” lanjut Karina.“Dia kayaknya sengaja,” Gala berkata dengan ekspresi kekesalan. Meskipun dia tidak tahu Diandra pasti melakukan ini dengan sengaja. Semenjak Gala menikahi Nala, dan istrinya memutuskan keluar dari perusahaan keluarga Diandra, te
Nala dan Bi Darmi berada di rumah sakit …Nala dengan cepat membalikkan Ayunda dan mengangkat dagunya.Wajah putrinya sangat pucat sehingga tidak ada jejak kehidupan yang tersisa di pipinya. Matanya terpejam rapat seperti tertidur.Mengikuti gerakan Nala, tangan gadis itu terjatuh di sampingnya dengan lemah ...“Ayu? Ayunda!”Ketakutan yang tak dapat dijelaskan menyelimuti pikiran Nala saat dia memeluk gadis itu seperti wanita gila. “Ayu, bangun! Bangun sayang kamu kenapa ....”“Apa yang terjadi sama Ayunda?”Bi Darmi berdiri dengan ekspresi ketakutan.Bukankah tadi pagi, gadis ini terlihat baik-baik saja?Lalu kenapa sekarang Ayunda seperti orang sekarat, wajahnya sangat menakutkan.Mereka bergegas ke rumah sakit, karena mendapat telpon dari pihak sekolah memberi tahu bahwa Ayunda sedang dirawat di rumah sakit karena pingsan dan sebelumnya sempat histeris.Nala mengangkat kepalanya dan menatapnya. Kesedihan dan kemarahan melonjak di dadanya.“Bi Darmi, apa yang terjadi pada anakku?” t
Di tempat lain …Nala terus bersin, entah kenapa dia seperti ini padahal sebelumnya dia baik-baik saja.Bi Darmi yang melihat langsung berkomentar, “Non, kayaknya ada yang lagi ngomongin Non Nala.”Nala yang mendengar tersenyum lalu berkata, “Bi Darmi ada-ada aja, masih percaya mitos kayak gituan ah.”“Bisa jadi gara-gara asap tadi Bi.” Sambung Nala lagi.“Hehehe … iya kali ya.” Bi Darmi langsung merasa tidak enak hati, dia meringis sendiri.Setelah selesai membakar bungkus kain putih dan membersihkan diri, hari mulai siang Nala dan Bi Darmi berjalan-jalan di taman belakang. Mereka berdua lalu duduk di bangku bambu yang ada di bawah pohon mangga yang daunnya rindang. Itu adalah tempat favorit keduanya.Saat selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan senggang, mereka berdua sering menghabiskan waktu di sana.Biasanya Nala menyulam, Bi Darmi membersihkan sampah daun kering.“Non, apa udah baikan kakinya?” Bi Darmi bertanya pada Nala.Tapi sebenarnya Bi Darmi tahu bahwa Nala sedang memikirk
Selesai berbicara, ponsel Calya berbunyi …Drtt …. Drrtt … Drtt ….Dengan cepat dia meraih ponsel di dlam tas miliknya.Saat manik matanya menangkap sebuah nama di layar ponsel tersebut, kedua alisnya berkerut.Calya bergumam sebelum mengangkat panggilan telepon tersebut.“Wali kelasnya Ayunda?” Gala yang mendengar juga ikut terkejut, ekspresi wajah lelaki itu pun sama terkejutnya dengan Calya.“Ada apa Mbak? Ada apa sama Ayunda? Kenapa wali kelasnya telpon ke Mbak?”Gala mengajukan banyak pertanyaan, dengan perasaan khawatir.Calya meliriknya dengan ketus dia menjawab, “Mana aku tahu? Ini juga belum dijawab.”“Buruan angkat Mbak?” lanjut Gala, dia berdiri di depan Calya dengan wajahnya yang terlihat cemas, menatap ponsel yang ada di tangan Calya.Melihat sikap Gala, Calya mendengus dan berkata, “Santai aja kenapa sih.”“Siapa tahu itu penting Mbak, buruan angkat. Wali kelas Ayunda nggak mungkin nelpon kalau nggak penting kan?”“Issh …. Berisik!” sewot Calya, dia menekan satu jarinya
Melihat wajah ibunya memerah, Ayunda langsung bergegas mengangkat suaranya, “Tante, aku baik-baik saja, semua ini nggak ada hubungannya sama mama.”Mendengar itu Calya yang tangannya masih di udara dengan cepat melirik Ayunda, gadis itu tatapan matanya penuh dengan permohonan kepadanya.Menarik napas panjang Calya menurunkan tangannya.Bi Darmi yang melihat menahan emosi di dadanya saat dia harus menyaksikan lagi sikap arogan dan kasar Calya pada Nala.Begitu dia menatap pada Gala yang hanya berdiri dengan ekspresi datar, Bi Darmi menahan tinju tangannya dengan kuat.Calya menatap kembali pada Nala yang masih memegang pipinya yang merah.“Sudah aku bilang berkali-kali kalau ada masalah terkait Ayunda, kamu harus cepat hubungi aku. Dan ingat, jangan pernah melakukan sesuatu tanpa seizin aku.”“Mbak, dia juga anakku, jadi apa salahnya kalau aku …”“Apa salahnya? Dasar bodoh! Kamu nggak ngaca, ngerawat diri kamu sendiri aja nggak becus gimana mau ngerawat anak kamu hah!”Mendengar itu Na
Gala yang ditanya hanya bisa diam mematung, dia bingung harus menjawab apa.Lalu pada akhirnya Gala hanya bisa memalingkan wajahnya ke arah putrinya, dia merasa bersalah tapi dalam hati Gala juga kesal kepada Calya, kakaknya ini sungguh keterlaluan, seharusnya dia tidak mengatakan hal itu di depan putrinya.“Gala, kenapa diam, kamu jadi suami harus tegas dong.” Sela Calya dengan melotot pada Gala.“Mbak, bukan waktunya ….”“Apa? Kamu bilang belum waktunya? Mau nunggu sampai kapan lagi? Kamu berdua sama-sama nggak cocok dan menderita ngapain sih dipertahankan.”Saat berbicara Calya memperhatikan pandangan Gala, manik matanya bertemu dengan Ayunda, Calya menarik napas panjang setelah paham dengan situasi Gala saat ini.“Ayunda pasti paham kok!” jawab Calya dengan entengnya.Sementara Nala yang masih berdiri di antara keduanya tidak bisa menahan setiap perkataan kakak iparnya itu, dia mengaitkan kedua tangannya, menarik napas, yang awalnya menunduk, perlahan dia mengangkat wajanya dan be
Bima Wistara adalah sepupu Gala.Pria itu dulu satu SMA dengan Nala.Siapa sangka dia bertemu kembali dengan Nala, gadis yang dulu pernah bersamanya saat masih di bangku SMA tapi … wanita yang kini ada di depannya jauh berbeda dari Nala yang dulu pernah dia kenal.Dengan tatapan penuh terkejut Bima langsung berkata, “Nala … Gala …”Nala dan Gala, keduanya juga terkejut saat melihat Bima berdiri di depan mereka.“Bima?” sapa Gala balik dengan mengerjapkan mata.Sementara Nala yang masih berdiri dengan penampilannya yang sungguh kacau tidak bisa berpikir dengan jernih dan kesadarannya masih belum pulih.Tapi saat dia melihat senyuman Bima, perlahan ingatan Nala kembali ke masa lalu.Sosok yang dia kenali dulu ada di hadapannya.Bima masih terus tersenyum, bukan pada Gala tapi pada Nala.Jelas saja membuat Gala mengernyitkan dahinya saat melihat Bima acuh tak acuh kepadanya.“Nala, kamu Nala kan? Yang dulu …” sapa Bima dengan gembira.Nala saat melihat wajah yang tak asing di depannya di