Share

Bab 3 - Guna-guna

Di kamar utama, Nala yang sedang dipijit oleh Bi Darmi meringis menahan kesakitan, kaki kanannya sudah terlihat agak sedikit bengkak.

“Non, tahan ya, Bibi sih mau panggil tukang urut aja, biar diurut kakinya nanti Non nggak bisa jalan gimana.”

“Nggak papa Bi, nanti kalau uda Bi Darmi urut pasti enakan. Auh!”

“Tuh kan sakit.”

“Iya, nggak papa aku tahan, uda biasa kan nahan sakit.”

Mendengar itu Bi Darmi hanya bisa tersenyum.

Dia sangat menyukai Nala, sejak wanita ini memasuki rumah keluarga Wistara, Bi Darmi merasa dia senang sekali, karena Nala sangat baik pada dirinya dan selalu mengalah dan diam diperlakukan apa pun oleh Calya.

Bi Darmi sangat mengenal Calya, sejak kecil Bi Darmi yang merawat dan mengurus Calya dan juga Gala.

“Non, kamu nggak papa?” tanya Bi Darmi masih mengurut kaki Nala.

Perempuan paruh baya itu memperhatikan Nala yang termenung, terlihat lusuh dan sedikit kurus.

“Kenapa Bi?”

“Kamu kelihatan capek, apa ada yang dipikirin? Kalau masalah Mbak Calya, Non mah uda biasa ini pasti ada masalah lain.”

Nala menarik napas panjang, dia berpaling ke arah lain.

Otomatis Bi Darmi mengikuti arah pandangan Nala, tertuju pada sebuah almari di sudut ruangan.

“Kenapa Non?” tanya Bi Darmi.

“Bi …” Nala menoleh menatap Bi Darmi, kali ini tatapannya serius.

Nala berpikir mungkin dia harus bercerita pada Bi Darmi, bagaimana pun Nala sudah menganggap Bi Darmi seperti ibunya sendiri, semenjak Nala menjadi yatim piatu.

“Ada apa?” suara lembut Bi Darmi membuat Nala semakin yakin dia harus bercerita pada Bi Darmi.

“Hm … tolong ambilin sesuatu di lemari bagian bawah, ada bungkusan putih.” Nala menunjuk ke sebuah almari di sudut.

“Bentar …” Bi Darmi menyudahi pijitannya lalu bangun dan berjalan ke arah almari.

Membuka pintu almari, tatapan Bi Darmi langsung tertuju pada bagian bawahnya, ada bungkusan kain putih di sana, Bi Darmi langsung melotot.

Bergegas dia mengambil, menutup almari dan membawanya ke Nala.

Nala yang duduk di sofa tersenyum pada Bi Darmi saat menerima bungkusan kain putih itu dari Bi Darmi.

“Ini apa Non?” tanya Bi Darmi.

“Sini Bi, duduk di sini.”

Nala menggeser posisi duduknya memberi ruang duduk pada perempuan paruh bayah itu.

Awalnya Bi Darmi enggan, tapi Nala menarik tangannya.

“Aku sudah menganggap Bi Darmi seperti ibuku sendiri, jadi aku ingin berbagi cerita sama bi Darmi.”

“Maksudnya gimana? Ini apaan? Kok kek ngeri apa jangan-jangan …”

Mereka berdua saling menatap.

Nala mengangguk lalu dia berkata lagi, “Aku nemu ini di bawah tempat tidur dua hari yang lalu Bi.”

“Astagfirulohadzim … siapa yang berani melakukan ini Non?”

“Bibi buka deh.”

“Sini …”

Bi Darmi menerima bungkusan kain putih itu dari Nala lagi, perlahan dia membukanya.

“Ya Allah, Ya Gusti Pangeran … ini …”

Kedua tangan Bi Darmi gemetar seketika.

Di dalam bungkusan kain putih itu ada jarum, kembang dan juga sebuah batu hitam, entah itu apa.

“Non … ini …”

“Bibi sama kan kek aku mikirnya.”

Bi Darmi mengangguk tegas.

“Non, ngeri … gimana? Siapa yang jahatin Non?”

“Aku nggak tahu Bi, tapi yang pasti ini udah yang kesekian kalinya.”

“Ini bisa jadi santet Non.”

“Hm … bener kata Bibi.”

“Non buang aja bakar ya.”

“Iya, nanti kita bakar. Dari kemarin aku mau cerita sama Bibi, tapi belum ada kesempatan karena dua hari ini kan liburan semua kumpul di rumah.”

“Non, siapa yang berani masuk ke kamar Non?”

“Nggak tahu Bi, kan di sini nggak ada CCTV.”

“Ngeri Non, semoga kita semua baik-baik aja ya. Tapi … apa Non ada masalah sama orang, teman atau …”

“Bi, mana ada, aku mana ada teman? Semenjak menikah sama Mas Gala, aku nggak pernah keluar rumah dan bahkan nggak pernah berinteraksi sama teman-temanku, Bibi tahu sendiri kan, aku … kalau mau izin keluar kek gimana …”

“Iya, Mbak Calya terutama, dia … sing sabar ya Non.” Bi Darmi mengelus pundak Nala.

“Hm … mau gimana lagi Bi, mereka keluargaku.”

“Non, jangan-jangan kejadian barusan ada sangkut pautnya sama benda ini …” ucap Bi Darmi dengan mimik wajah serius.

“Maksud Bibi …”

“Ada orang yang pengen Non celaka, kan kalau Bibi dengar cerita barang-barang begini dikirim buat jahatin orang …”

“Bibi … jangan suudzon, jangan buruk sangka.”

“Siapa yang buruk sangka, Bibi suka nonton acara rukyah, itu di televisi kan kebanyakan suka pada diguna-guna Non.”

“Ih Bibi nakutin. Merinding nih aku …”

Nala langsung memegang tangan Bi Darmi, seketika keduanya saling bertatapan dan mengarahkan pandangan mereka ke segala arah.

“Bibi … jangan mikir macam-macam ah … aku jadi takut.”

“Bibi juga takut Non.”

“Tapi beneran, barang beginian memang suka begitu.”

“Ya udah Bi, ayo cepet kita bakar jangan sampai Mas Gala atau siapa pun tahu.”

“Ayo Non.”

Keduanya berdiri, Nala masih merasakan kakinya sedikit nyeri tapi dia menahannya dan berusaha berjalan.

“Non, bisa jalan?” tanya Bi Darmi melihat Nala berdiri belum sempurna.

“Bisa Bi, agak sakit sih tapi nggak papa, ayo …”

Bi Darmi memegang tangan sebelah kiri Nala, mereka keluar kamar lalu menuruni anak tangga.

Bi Darmi yang turun matanya terus tertuju ke segala arah.

Bungkusan kain putih itu dipegang oleh Nala.

Nala juga yang awalnya biasa saja setelah mendengar cerita Bi Darmi, Nala jadi ketakutan.

Dia juga pernah menonton acara orang-orang yang dirukyah, itu mengerikan.

Seketika bulu kuduknya merinding.

Rumah besar Keluarga Wistara tiba-tiba terasa menyeramkan bagi kedua orang yang sedang menuruni anak tangga yang tinggi itu.

Keduanya terlihat serius dan diam.

….

Di dalam mobil, setelah Calya mengajak Ayunda dan Gala sarapan bubur di tempat langganan mereka, Calya mengantar Ayunda lalu Gala, tempat mereka satu arah.

Setelah keduanya turun, Calya menepikan kendaraannya.

Dia mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi seseorang.

“Hallo … eh bener katamu, itu sakti banget. Tadi pagi, adik ipar gue yang nyebelin itu langsung kena tuh, tapi sayang dia nggak jatuh dari tangga. Orang pintar atau apalah namanya itu, lo nemu di mana? Uang yang gue transfer kurang nggak?”

“Kan, gue bilang juga apa. Gue kalau masalah gituan jangan diragukan lagi. Terus gimana adik ipar lo itu, parah nggak?”

Jawab seseorang dari sambungan telepon.

“Hm … nggak, kurang tragis, gue malah berharap dia mati jatuh dari tangga.”

“Dasar brengsek lo, masak adik ipar sendiri didoain begitu.”

“Emang, gue berharap dia mati segera, puas lo. Gimana uangnya cukup nggak? Bilangin ke orang pintarnya, kurang hukumannya buat Nala, bikin dia makin mampus!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status