Nala masih menatap penuh rasa kasihan dan jijik pada dirinya sendiri di cermin besar yang ada di dalam kamar tidurnya.
Dia teringat sepuluh tahun yang lalu saat pertama kali pertemuan dirinya dengan Gala, di Yogyakarta.
Nala bekerja di sebuah perusahaan industri pengrajin perak di Kotagede, Yogyakarta.
Sejak kecil Nala suka sekali dengan desain perhiasaan, saat lulus kuliah dia langsung bekerja di perusahaan milik keluarga Diandra, yang tak lain adalah sahabat dari almarhum ayahnya.
Keluarga Diandra sudah menganggap Nala seperti putrinya sendiri karena sejak kecil dia memang sering melihat para pengrajin perak di sana setiap kali ayahnya mengajak berlibur ke Yogyakarta.
Sampai akhirnya cita-cita Nala tercapai dan bekerja di perusahaan tersebut.
Putra pertama Diandra, Abian Diandra adalah teman Gala.
Dari Abian-lah Nala diperkenalkan oleh Gala.
Mereka bertemu dan Gala menyukai Nala, akhirnya mereka menikah.
Pertemuan keduanya memang sangat singkat, sampai akhirnya mereka menikah.
Padahal Calya, sejak awal sudah memberi peringatan pada Gala untuk mempertimbangkan gadis pilihannya tersebut, bukan tanpa alasan.
Menurut Calya, ada banyak wanita menarik dan pintar di Jakarta kenapa harus Nala, hanya seorang gadis udik yang bekerja di perusahaan industri perak di Kota Yogyakarta.
Saat Nala mengingat kenangan masa lalunya, suara Gala terdengar keras dari lantai bawah.
“NALA … LAMA BANGET SIH …”
Nala terkesiap, dia langsung tersadar dari lamunannya dan buru-buru mengambil map yang ada di atas nakas setelah itu dia bergegas keluar dan menuruni anak tangga.
Saat dia berusaha berlari ….
“Argh …”
Kaki kanan Nala terkilir.
Dia menahan sakit yang sangat luar biasa sambil meringis.
Gala yang melihat langsung berlari menaiki tangga, buru-buru dia mendukung Nala.
Beruntung Nala pegangan kuat pada tepi tangga.
“Hati-hati kamu ceroboh banget sih!” gerutu Gala pada Nala.
Nala hanya bisa memejamkan matanya mendengar omelan Gala.
Bukan itu yang ingin dia dengar saat ini, tapi … Nala sadar, suaminya ini …
“Ayo turun, bisa kan … aku udah kesiangan nih, sini map-nya.”
Nala hanya bisa menerima dengan pasrah perlakuan suaminya itu.
“Bi Darmi bantuin Nala ya.”
Setelah itu dia mendudukkan Nala di anak tangga dan berlari ke bawah.
Calya yang sudah memegang tas-nya tersenyum sinis dan berkata, “Makanya kalau punya mata yang bener, jalan aja sampai begitu kalau kamu jatuh dari tangga gimana? Siapa yang susah ntar.”
Bi Darmi yang berjalan menuju anak tangga hanya bisa diam mendengarnya, begitu pula Nala.
Keluarga ini sungguh luar biasa!
Keterlaluan …
‘Aku sudah …’
“Non, sabar ya!”
Seketika suara lirih Bi Darmi terdengar di telinga Nala.
Wanita paruh bayah itu setengah berjongkok membantu Nala untuk berdiri dan membawanya kembali ke lantai atas.
Calya dan Gala akhirnya pergi.
“Kamu tuh sama istri jangan baik-baik kenapa. Udah aku bilang, istrimu itu ceroboh, nggak pernah bener kalau kerja.”
Calya ngedumel sembari berjalan ke area parkir mobil di sisi tempat duduk pengemudi Ayunda sudah duduk manis menatap kedua orang itu berjalan ke arahnya.
Gala yang mendengar ocehan Calya tidak menyahut.
“Awas kalau nanti ada apa-apa lagi, kejadian kemarin-kemarin udah cukup ya, bikin repot orang.” Bentak Calya lagi.
Gala hanya mengangguk.
Kejadian kemarin adalah saat Nala harus masuk rumah sakit karena pingsan dan terpaksa Gala yang menunggu Nala di rumah sakit, sementara Calya merasa semua itu jadi merepotkan karena di rumah berantakan, Bi Darmi sudah tidak seperti dulu lagi.
Pekerjaan rumah sebagian besar diambil alih oleh Nala.
Bukan secara suka rela, tapi Nala melakukannya karena memang dia harus melakukannya.
….
Di kamar tidur …
“Non, kakinya harus panggil tukang urut dulu ini mah, nanti bengkak loh.” Ucap Bi Darmi.
“Nggak usah Bi, Bibi bisa urut kan?”
“Tapi Non …”
“Nggak usah, uda biasa.”
Mendengar itu Bi Darmi yang sedang mengoleskan minyak urut hanya bisa pasrah.
“Agak sakit ya Non, bisa nahan kan …”
Nala mengangguk …
Beberapa detik kemudian ….
“ARRRGHHH ….”
Suara Nala menggema sampai ke parkir mobil.
Gala, Calya dan Ayunda yang masih berada di parkiran rumah langsung terkejut mendengar suara teriakan Nala.
“Pa, Mama kenapa?” ucap Ayunda dengan panik langsung menoleh ke belakang.
Gala langsung panik, tangannya sudah berusaha mendorong pintu mobil tapi ditahan oleh Calya.
“Nggak papa, lagian kita udah kesiangan. Paling-paling lagi diurut sama Bi Darmi.” Jawab Caya acuh dan tidak peduli.
Ayunda menatap ayahnya yang duduk di belakang dari kaca spion.
Gala langsung menahan tangannya untuk kembali duduk.
“Ya udah kita jalan, tadi mamamu ke kilir di tangga tapi bener kata Bude, dia pasti akan baik-baik saja.”
“Kamu nanti kesiangan, kita belum sarapan juga.” Lanjut Calya, dia menyalakan mesin mobil.
Iya, selama ini Calya yang selalu mengemudi, dia sama sekali tidak percaya oleh siapa pun terutama adiknya, Gala untuk membawa mobil.
Kecelakaan yang pernah dialami Gala membuat Calya tidak pernah mengizinkan adiknya itu menyetir.
“Gala, kamu sudah pertimbangkan usulan aku kemarin kan?” tanya Calya pada adiknya.
“Hm …” jawab Gala.
“Aku nggak mau lama nunggu jawaban, lebih cepat lebih baik, lagian kamu juga udah nggak nyaman kan hidup begini.”
“Mbak, aku butuh waktu.”
“Waktu apa lagi, udah jelas kalian berdua nggak cocok sama sekali.”
“Tapi Mbak …”
“Kenapa?”
“Jangan bahas di sini.”
“Kenapa?”
Ayunda yang duduk di depan di samping Calya mendengar percakapan mereka dengan ekspresi wajah bingung.
“Nggak papa, Ayunda juga pasti uda ngerti kok. Sayang, kalau mama papa kamu pisah kamu tetap sama Bude kan?”
“Mbak Calya …” teriak Gala dengan mata membesar.
Ayunda langsung terdiam, meski katakanlah dia memang sudah sering mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan bahkan mereka sudah sering pisah ranjang, Ayunda tidak menyangka kalau semua ini akan terjadi.
Dia, menjadi dewasa karena keadaan keluarganya, terutama budenya sendiri.
Calya memegang tangan Ayudan, tersenyum dengan manis dan berkata, “Ponakan Bude yang pintar pasti paham siapa yang bisa mendukung dan pantas berada di sisinya, ya kan?”
Ayunda hanya bisa tersenyum, dia tidak berkata apa-apa.
“Mbak Calya, kamu …”
“Tuh, dia aja setuju sama aku, diam itu berarti iya.”
Gala langsung menatap putrinya dari sisi, ekspresi wajah Ayunda datar, dia duduk diam menatap ke depan seolah tidak terjadi apa-apa.
“Ayu …” suara Gala terdengar ringan memanggil putri semata wayangnya itu.
“Pa, Ayu nggak masalah keputusan apa pun kalian berdua, yang penting yang terbaik.” Jawab Ayunda.
Calya yang mendengar tersenyum dan berkata, “Tuh kan … aku bilang jug apa.”
Gala paham, Ayunda sudah sering melihat pertengkaran dia dan Nala, jadi tidak mungkin Ayunda tidak tahu kondisi keluarganya tapi …. Anak usia sepuluh tahun seperti Ayunda sudah berpikir seperti ini.
Gala merasa bersalah, tapi dia juga sudah tidak tahan harus hidup seperti ini ….
Bertengkar dan selalu berselisih paham dengan Nala.
Begitu juga kakaknya, Nala dan Calya tidak pernah akur sama sekali.
Di kamar utama, Nala yang sedang dipijit oleh Bi Darmi meringis menahan kesakitan, kaki kanannya sudah terlihat agak sedikit bengkak.“Non, tahan ya, Bibi sih mau panggil tukang urut aja, biar diurut kakinya nanti Non nggak bisa jalan gimana.”“Nggak papa Bi, nanti kalau uda Bi Darmi urut pasti enakan. Auh!”“Tuh kan sakit.”“Iya, nggak papa aku tahan, uda biasa kan nahan sakit.”Mendengar itu Bi Darmi hanya bisa tersenyum.Dia sangat menyukai Nala, sejak wanita ini memasuki rumah keluarga Wistara, Bi Darmi merasa dia senang sekali, karena Nala sangat baik pada dirinya dan selalu mengalah dan diam diperlakukan apa pun oleh Calya.Bi Darmi sangat mengenal Calya, sejak kecil Bi Darmi yang merawat dan mengurus Calya dan juga Gala.“Non, kamu nggak papa?” tanya Bi Darmi masih mengurut kaki Nala.Perempuan paruh baya itu memperhatikan Nala yang termenung, terlihat lusuh dan sedikit kurus.“Kenapa Bi?”“Kamu kelihatan capek, apa ada yang dipikirin? Kalau masalah Mbak Calya, Non mah uda bias
“Calya, segitunya lo benci sama adik ipar lo itu, bahkan udah berapa tahun Calya. Kenapa sih lo masih dendam sama dia.” Suara dari seberang telepon suaranya terdengar merendah.Mendengar itu Calya merengut, dia terdiam sesaat lalu memikirkan pertanyaan barusan.‘Kenapa gue benci sama Nala?’‘Kenapa?’‘Ah kalau nggak suka, ya nggak suka aja emangnya harus ada alasan. Lagian gara-gara dia juga hidup gue sama Gala jadi berantakan.’“Calya … Hello … any bdoy home … spada … lo masih di tempat kan?”“Eh … hum …. Sorry. Emangnya harus ada alasan kalau gue nggak suka sama seseorang?”Tanya Calya balik.Di sana, orang yang ditelpon oleh Calya terdiam sesaat lalu setelah jeda ada suara jawaban, tawa keras terdengar setelahnya.“Hahahaha … bener kata lo, emangnya harus ada alasan. What ever lah ya, sekarang lo bisa transfer ke gue lagi biaya ongkos jalan sama ke orang pintarnya, kan?”“Nggak masalah, ntar gue transfer, tapi ….”“Apa? Lo masih punya permintaan?”“Iya, gue mau lo bilang ke orang p
Gala menerima telepon dan sedikit berteriak, "Eh kok bisa! Bukannya harganya sekitar 120 juta? Mahal banget""Siapa yang kasih keputusan?""Aku paham."Gala menutup telepon dan mendesah.“Karina, berapa harga yang kita tawarkan sebelumnya?” Gala bertanya dengan tidak sabar."Sembilan puluh juta," ujar Karina.Harga itu jauh melebihi perkiraan. Selisihnya lebih dari 10 juta. Gala bisa membayangkan pantas saja keluarga Diandra tidak memberikan penawaran itu kepada perusahaannya. Seratus dua puluh juta, harga yang harus dibayar untuk menjaga reputasi keluarga.“Pak Gala, apa mereka sekarang mencoba untuk menekan perusahaan kita? Atau sengaja mengeluarkan kita dari komunitas? Kalau seperti ini kita nggak punya stok dan barang untuk dipamerkan nanti” lanjut Karina.“Dia kayaknya sengaja,” Gala berkata dengan ekspresi kekesalan. Meskipun dia tidak tahu Diandra pasti melakukan ini dengan sengaja. Semenjak Gala menikahi Nala, dan istrinya memutuskan keluar dari perusahaan keluarga Diandra, te
Nala dan Bi Darmi berada di rumah sakit …Nala dengan cepat membalikkan Ayunda dan mengangkat dagunya.Wajah putrinya sangat pucat sehingga tidak ada jejak kehidupan yang tersisa di pipinya. Matanya terpejam rapat seperti tertidur.Mengikuti gerakan Nala, tangan gadis itu terjatuh di sampingnya dengan lemah ...“Ayu? Ayunda!”Ketakutan yang tak dapat dijelaskan menyelimuti pikiran Nala saat dia memeluk gadis itu seperti wanita gila. “Ayu, bangun! Bangun sayang kamu kenapa ....”“Apa yang terjadi sama Ayunda?”Bi Darmi berdiri dengan ekspresi ketakutan.Bukankah tadi pagi, gadis ini terlihat baik-baik saja?Lalu kenapa sekarang Ayunda seperti orang sekarat, wajahnya sangat menakutkan.Mereka bergegas ke rumah sakit, karena mendapat telpon dari pihak sekolah memberi tahu bahwa Ayunda sedang dirawat di rumah sakit karena pingsan dan sebelumnya sempat histeris.Nala mengangkat kepalanya dan menatapnya. Kesedihan dan kemarahan melonjak di dadanya.“Bi Darmi, apa yang terjadi pada anakku?” t
Di tempat lain …Nala terus bersin, entah kenapa dia seperti ini padahal sebelumnya dia baik-baik saja.Bi Darmi yang melihat langsung berkomentar, “Non, kayaknya ada yang lagi ngomongin Non Nala.”Nala yang mendengar tersenyum lalu berkata, “Bi Darmi ada-ada aja, masih percaya mitos kayak gituan ah.”“Bisa jadi gara-gara asap tadi Bi.” Sambung Nala lagi.“Hehehe … iya kali ya.” Bi Darmi langsung merasa tidak enak hati, dia meringis sendiri.Setelah selesai membakar bungkus kain putih dan membersihkan diri, hari mulai siang Nala dan Bi Darmi berjalan-jalan di taman belakang. Mereka berdua lalu duduk di bangku bambu yang ada di bawah pohon mangga yang daunnya rindang. Itu adalah tempat favorit keduanya.Saat selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan senggang, mereka berdua sering menghabiskan waktu di sana.Biasanya Nala menyulam, Bi Darmi membersihkan sampah daun kering.“Non, apa udah baikan kakinya?” Bi Darmi bertanya pada Nala.Tapi sebenarnya Bi Darmi tahu bahwa Nala sedang memikirk
Selesai berbicara, ponsel Calya berbunyi …Drtt …. Drrtt … Drtt ….Dengan cepat dia meraih ponsel di dlam tas miliknya.Saat manik matanya menangkap sebuah nama di layar ponsel tersebut, kedua alisnya berkerut.Calya bergumam sebelum mengangkat panggilan telepon tersebut.“Wali kelasnya Ayunda?” Gala yang mendengar juga ikut terkejut, ekspresi wajah lelaki itu pun sama terkejutnya dengan Calya.“Ada apa Mbak? Ada apa sama Ayunda? Kenapa wali kelasnya telpon ke Mbak?”Gala mengajukan banyak pertanyaan, dengan perasaan khawatir.Calya meliriknya dengan ketus dia menjawab, “Mana aku tahu? Ini juga belum dijawab.”“Buruan angkat Mbak?” lanjut Gala, dia berdiri di depan Calya dengan wajahnya yang terlihat cemas, menatap ponsel yang ada di tangan Calya.Melihat sikap Gala, Calya mendengus dan berkata, “Santai aja kenapa sih.”“Siapa tahu itu penting Mbak, buruan angkat. Wali kelas Ayunda nggak mungkin nelpon kalau nggak penting kan?”“Issh …. Berisik!” sewot Calya, dia menekan satu jarinya
Melihat wajah ibunya memerah, Ayunda langsung bergegas mengangkat suaranya, “Tante, aku baik-baik saja, semua ini nggak ada hubungannya sama mama.”Mendengar itu Calya yang tangannya masih di udara dengan cepat melirik Ayunda, gadis itu tatapan matanya penuh dengan permohonan kepadanya.Menarik napas panjang Calya menurunkan tangannya.Bi Darmi yang melihat menahan emosi di dadanya saat dia harus menyaksikan lagi sikap arogan dan kasar Calya pada Nala.Begitu dia menatap pada Gala yang hanya berdiri dengan ekspresi datar, Bi Darmi menahan tinju tangannya dengan kuat.Calya menatap kembali pada Nala yang masih memegang pipinya yang merah.“Sudah aku bilang berkali-kali kalau ada masalah terkait Ayunda, kamu harus cepat hubungi aku. Dan ingat, jangan pernah melakukan sesuatu tanpa seizin aku.”“Mbak, dia juga anakku, jadi apa salahnya kalau aku …”“Apa salahnya? Dasar bodoh! Kamu nggak ngaca, ngerawat diri kamu sendiri aja nggak becus gimana mau ngerawat anak kamu hah!”Mendengar itu Na
Gala yang ditanya hanya bisa diam mematung, dia bingung harus menjawab apa.Lalu pada akhirnya Gala hanya bisa memalingkan wajahnya ke arah putrinya, dia merasa bersalah tapi dalam hati Gala juga kesal kepada Calya, kakaknya ini sungguh keterlaluan, seharusnya dia tidak mengatakan hal itu di depan putrinya.“Gala, kenapa diam, kamu jadi suami harus tegas dong.” Sela Calya dengan melotot pada Gala.“Mbak, bukan waktunya ….”“Apa? Kamu bilang belum waktunya? Mau nunggu sampai kapan lagi? Kamu berdua sama-sama nggak cocok dan menderita ngapain sih dipertahankan.”Saat berbicara Calya memperhatikan pandangan Gala, manik matanya bertemu dengan Ayunda, Calya menarik napas panjang setelah paham dengan situasi Gala saat ini.“Ayunda pasti paham kok!” jawab Calya dengan entengnya.Sementara Nala yang masih berdiri di antara keduanya tidak bisa menahan setiap perkataan kakak iparnya itu, dia mengaitkan kedua tangannya, menarik napas, yang awalnya menunduk, perlahan dia mengangkat wajanya dan be