Share

Bab 2 - Ipar VS Istri

Nala masih menatap penuh rasa kasihan dan jijik pada dirinya sendiri di cermin besar yang ada di dalam kamar tidurnya.

Dia teringat sepuluh tahun yang lalu saat pertama kali pertemuan dirinya dengan Gala, di Yogyakarta.

Nala bekerja di sebuah perusahaan industri pengrajin perak di Kotagede, Yogyakarta.

Sejak kecil Nala suka sekali dengan desain perhiasaan, saat lulus kuliah dia langsung bekerja di perusahaan milik keluarga Diandra, yang tak lain adalah sahabat dari almarhum ayahnya.

Keluarga Diandra sudah menganggap Nala seperti putrinya sendiri karena sejak kecil dia memang sering melihat para pengrajin perak di sana setiap kali ayahnya mengajak berlibur ke Yogyakarta.

Sampai akhirnya cita-cita Nala tercapai dan bekerja di perusahaan tersebut.

Putra pertama Diandra, Abian Diandra adalah teman Gala.

Dari Abian-lah Nala diperkenalkan oleh Gala.

Mereka bertemu dan Gala menyukai Nala, akhirnya mereka menikah.

Pertemuan keduanya memang sangat singkat, sampai akhirnya mereka menikah.

Padahal Calya, sejak awal sudah memberi peringatan pada Gala untuk mempertimbangkan gadis pilihannya tersebut, bukan tanpa alasan.

Menurut Calya, ada banyak wanita menarik dan pintar di Jakarta kenapa harus Nala, hanya seorang gadis udik yang bekerja di perusahaan industri perak di Kota Yogyakarta.

Saat Nala mengingat kenangan masa lalunya, suara Gala terdengar keras dari lantai bawah.

“NALA … LAMA BANGET SIH …”

Nala terkesiap, dia langsung tersadar dari lamunannya dan buru-buru mengambil map yang ada di atas nakas setelah itu dia bergegas keluar dan menuruni anak tangga.

Saat dia berusaha berlari ….

“Argh …”

Kaki kanan Nala terkilir.

Dia menahan sakit yang sangat luar biasa sambil meringis.

Gala yang melihat langsung berlari menaiki tangga, buru-buru dia mendukung Nala.

Beruntung Nala pegangan kuat pada tepi tangga.

“Hati-hati kamu ceroboh banget sih!” gerutu Gala pada Nala.

Nala hanya bisa memejamkan matanya mendengar omelan Gala.

Bukan itu yang ingin dia dengar saat ini, tapi … Nala sadar, suaminya ini …

“Ayo turun, bisa kan … aku udah kesiangan nih, sini map-nya.”

Nala hanya bisa menerima dengan pasrah perlakuan suaminya itu.

“Bi Darmi bantuin Nala ya.”

Setelah itu dia mendudukkan Nala di anak tangga dan berlari ke bawah.

Calya yang sudah memegang tas-nya tersenyum sinis dan berkata, “Makanya kalau punya mata yang bener, jalan aja sampai begitu kalau kamu jatuh dari tangga gimana? Siapa yang susah ntar.”

Bi Darmi yang berjalan menuju anak tangga hanya bisa diam mendengarnya, begitu pula Nala.

Keluarga ini sungguh luar biasa!

Keterlaluan …

‘Aku sudah …’

“Non, sabar ya!”

Seketika suara lirih Bi Darmi terdengar di telinga Nala.

Wanita paruh bayah itu setengah berjongkok membantu Nala untuk berdiri dan membawanya kembali ke lantai atas.

Calya dan Gala akhirnya pergi.

“Kamu tuh sama istri jangan baik-baik kenapa. Udah aku bilang, istrimu itu ceroboh, nggak pernah bener kalau kerja.”

Calya ngedumel sembari berjalan ke area parkir mobil di sisi tempat duduk pengemudi Ayunda sudah duduk manis menatap kedua orang itu berjalan ke arahnya.

Gala yang mendengar ocehan Calya tidak menyahut.

“Awas kalau nanti ada apa-apa lagi, kejadian kemarin-kemarin udah cukup ya, bikin repot orang.” Bentak Calya lagi.

Gala hanya mengangguk.

Kejadian kemarin adalah saat Nala harus masuk rumah sakit karena pingsan dan terpaksa Gala yang menunggu Nala di rumah sakit, sementara Calya merasa semua itu jadi merepotkan karena di rumah berantakan, Bi Darmi sudah tidak seperti dulu lagi.

Pekerjaan rumah sebagian besar diambil alih oleh Nala.

Bukan secara suka rela, tapi Nala melakukannya karena memang dia harus melakukannya.

….

Di kamar tidur …

“Non, kakinya harus panggil tukang urut dulu ini mah, nanti bengkak loh.” Ucap Bi Darmi.

“Nggak usah Bi, Bibi bisa urut kan?”

“Tapi Non …”

“Nggak usah, uda biasa.”

Mendengar itu Bi Darmi yang sedang mengoleskan minyak urut hanya bisa pasrah.

“Agak sakit ya Non, bisa nahan kan …”

Nala mengangguk …

Beberapa detik kemudian ….

“ARRRGHHH ….”

Suara Nala menggema sampai ke parkir mobil.

Gala, Calya dan Ayunda yang masih berada di parkiran rumah langsung terkejut mendengar suara teriakan Nala.

“Pa, Mama kenapa?” ucap Ayunda dengan panik langsung menoleh ke belakang.

Gala langsung panik, tangannya sudah berusaha mendorong pintu mobil tapi ditahan oleh Calya.

“Nggak papa, lagian kita udah kesiangan. Paling-paling lagi diurut sama Bi Darmi.” Jawab Caya acuh dan tidak peduli.

Ayunda menatap ayahnya yang duduk di belakang dari kaca spion.

Gala langsung menahan tangannya untuk kembali duduk.

“Ya udah kita jalan, tadi mamamu ke kilir di tangga tapi bener kata Bude, dia pasti akan baik-baik saja.”

“Kamu nanti kesiangan, kita belum sarapan juga.” Lanjut Calya, dia menyalakan mesin mobil.

Iya, selama ini Calya yang selalu mengemudi, dia sama sekali tidak percaya oleh siapa pun terutama adiknya, Gala untuk membawa mobil.

Kecelakaan yang pernah dialami Gala membuat Calya tidak pernah mengizinkan adiknya itu menyetir.

“Gala, kamu sudah pertimbangkan usulan aku kemarin kan?” tanya Calya pada adiknya.

“Hm …” jawab Gala.

“Aku nggak mau lama nunggu jawaban, lebih cepat lebih baik, lagian kamu juga udah nggak nyaman kan hidup begini.”

“Mbak, aku butuh waktu.”

“Waktu apa lagi, udah jelas kalian berdua nggak cocok sama sekali.”

“Tapi Mbak …”

“Kenapa?”

“Jangan bahas di sini.”

“Kenapa?”

Ayunda yang duduk di depan di samping Calya mendengar percakapan mereka dengan ekspresi wajah bingung.

“Nggak papa, Ayunda juga pasti uda ngerti kok. Sayang, kalau mama papa kamu pisah kamu tetap sama Bude kan?”

“Mbak Calya …” teriak Gala dengan mata membesar.

Ayunda langsung terdiam, meski katakanlah dia memang sudah sering mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan bahkan mereka sudah sering pisah ranjang, Ayunda tidak menyangka kalau semua ini akan terjadi.

Dia, menjadi dewasa karena keadaan keluarganya, terutama budenya sendiri.

Calya memegang tangan Ayudan, tersenyum dengan manis dan berkata, “Ponakan Bude yang pintar pasti paham siapa yang bisa mendukung dan pantas berada di sisinya, ya kan?”

Ayunda hanya bisa tersenyum, dia tidak berkata apa-apa.

“Mbak Calya, kamu …”

“Tuh, dia aja setuju sama aku, diam itu berarti iya.”

Gala langsung menatap putrinya dari sisi, ekspresi wajah Ayunda datar, dia duduk diam menatap ke depan seolah tidak terjadi apa-apa.

“Ayu …” suara Gala terdengar ringan memanggil putri semata wayangnya itu.

“Pa, Ayu nggak masalah keputusan apa pun kalian berdua, yang penting yang terbaik.” Jawab Ayunda.

Calya yang mendengar tersenyum dan berkata, “Tuh kan … aku bilang jug apa.”

Gala paham, Ayunda sudah sering melihat pertengkaran dia dan Nala, jadi tidak mungkin Ayunda tidak tahu kondisi keluarganya tapi …. Anak usia sepuluh tahun seperti Ayunda sudah berpikir seperti ini.

Gala merasa bersalah, tapi dia juga sudah tidak tahan harus hidup seperti ini ….

Bertengkar dan selalu berselisih paham dengan Nala.

Begitu juga kakaknya, Nala dan Calya tidak pernah akur sama sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status