Share

Bab 4 - Mulai Curiga

“Calya, segitunya lo benci sama adik ipar lo itu, bahkan udah berapa tahun Calya. Kenapa sih lo masih dendam sama dia.” Suara dari seberang telepon suaranya terdengar merendah.

Mendengar itu Calya merengut, dia terdiam sesaat lalu memikirkan pertanyaan barusan.

‘Kenapa gue benci sama Nala?’

‘Kenapa?’

‘Ah kalau nggak suka, ya nggak suka aja emangnya harus ada alasan. Lagian gara-gara dia juga hidup gue sama Gala jadi berantakan.’

“Calya … Hello … any bdoy home … spada … lo masih di tempat kan?”

“Eh … hum …. Sorry. Emangnya harus ada alasan kalau gue nggak suka sama seseorang?”

Tanya Calya balik.

Di sana, orang yang ditelpon oleh Calya terdiam sesaat lalu setelah jeda ada suara jawaban, tawa keras terdengar setelahnya.

“Hahahaha … bener kata lo, emangnya harus ada alasan. What ever lah ya, sekarang lo bisa transfer ke gue lagi biaya ongkos jalan sama ke orang pintarnya, kan?”

“Nggak masalah, ntar gue transfer, tapi ….”

“Apa? Lo masih punya permintaan?”

“Iya, gue mau lo bilang ke orang pintarnya, bikin adik ipar gue makin parah atau buat dia mampus sekalian.”

“Hm … bisa diatur itu mah, asal ada cuan …”

“Oke, pokoknya gue serahin semuanya sama lo, ingat ya, jangan kayak sebelumnya, gue nggak habis pikir sama si Nala, dia kenapa kek nggak mempan sih diapa-apain sama kita.”

Suara Calya terdengar sedikit keras, ekspresi wajahnya terlihat kesal.

“Calya, jangan khawatir kali ini gue bakal beresin semuanya, lo percaya sama gue kan?”

“Hum … gue selalu percaya sama lo.”

“Sip … jangan lupa, transfer cuan-nya.”

“Oke …”

“Bye Calya …”

“Hum ….”

Setelah itu suara panggilan terputus.

Tidak butuh waktu lama bagi Calya, dia membuka aplikasi M-banking miliknya lalu dengan cepat pula dia mentrasnfer sejumlah uang ke sebuah rekening atas nama seseorang di laman favoritnya.

Setelah terproses Calya mengirimkan bukti transfer yang baru saja dia lakukan.

TERKIRIM 1.000.000

Di tempat lain, seseorang yang menerima pesan dari Calya tersenyum bahagia saat dia mendapati pesan yang berisi bukti transfer dari Calya.

Senyuman di wajah wanita yang usianya tak jauh dari Calya itu terus melebar.

Setelah sekian detik senyuman itu berubah menjadi senyuman sinis, dia bergumam sendiri.

“Aku bahkan bisa hidup tanpa bekerja dengan uang seperti ini, Calya, dia memang wanita menyebalkan tapi … kalau bukan karena uang gue malas berteman sama dia. Wanita menyebalkan.”

….

Kediaman Keluarga Wistara.

Nala dan Bi Darmi sudah berada di halaman belakang rumah.

Halaman itu sangat luas.

Ada banyak pohon di sana, berbagai macam tumbuhan bunga dan rumput yang tertata rapi.

Iya, Nala memang rajin merawat halaman belakang rumah keluarga itu.

Halaman luas itu bisa digunakan untuk bermain bola.

Rumput yang dirawat oleh Nala sangat bagus, begitu juga bunga-bunga yang tertanam di pot berada di pinggiran tembok, mereka tumbuh subur.

Pohon besar yang ada di sana membuat rindang halaman belakang.

Hanya saja, Nala dan Bi Darmi yang sering berada di halaman belakang tersebut.

Bagi Calya dan Gala, halaman belakang adalah tempat yang membosankan dan juga sangat mereka hindari.

Mereka berdua bahkan tidak pernah ke sana, bagi keduanya halaman belakang hanya membuat keduanya mengingat kenangan kedua orang tuanya.

Pernah suatu hari Calya murka, karena Nala sibuk berkebun dan merawat tanaman di sana.

Tapi Bi Darmi menenangkan Calya, kalau semua itu dilakukan karena Bi Darmi juga yang meminta agar halaman belakang tidak terlihat seram dan menakutkan.

Atas permintaan Nala pada Gala.

Akhirnya Calya bisa menerima dan membiarkan Nala dan Bi Darma merawat halaman belakang rumahnya.

Nala dan Bi Darmi membuang bungkus kain putih ke dalam tong sampah kaleng yang ada di sudut halaman.

Bi Darmi bergegas berjalan ke arah dapur mengambil pematik.

Setelah itu dia kembali dan berdiri di sisi kanan Nala.

“Ini Non …”

“Bi, apa karena benda seperti ini juga aku sering mimpi macam-macam.”

Bi Darmi menoleh, menatap nanar wajah wanita yang terlihat lusuh di sampingnya itu.

“Non, emang suka mimpi apa?” tanya Bi Darmi penasaran.

“Aku sering mimpi buruk dan kadang suka dikejar-kejar orang Bi.”

“Ya Allah, Non … ada-ada aja.”

“Menurut Bi Darmi?”

“Apa Non, mau Bibi carikan orang pintar?”

“Hah? Orang pintar? Dukun maksudnya? Bi, biar aku nggak paham agama tapi aku takut kayak gitu-gituan.”

“Bukan Non, maksudnya kek semacam Kyai atau Ustad gitu loh, kayak di tv yang sering Bibi lihat kalau pas senggang.”

“Hm … apa iya Bi?”

Bi Darmi mengangguk lalu menjawab, “Non mau?”

Nala terdiam, dia menoleh ke tong sampah, tepatnya fokus pada bungku kain putih di dalam tong sampah itu.

Bi Darmi mengikuti arah pandang Nala.

Lalu keduanya terdiam.

“Nggak perlu Bi? Aku takut nanti kenapa-kenapa. Selama kita percaya sama Allah, pasti dilindungi kan?”

Nala berkata dengan suara pasrah.

Bi Darmi menatapnya dan berkata, “Kalau Non Nala nggak yakin, ya udah nggak usah, kita berdoa aja semoga dijauhkan dari hal-hal buruk.”

“Aamiin …”

“Jad dibakar nggak Non?” tanya Bi Darmi.

“Iya …”

Setelah itu Nala menyalakan pematik lalu membuang ke tong sampah.

Api mulai menyala dan melahap bungkus kain putih di depan mereka.

Keduanya terdiam menatap api yang menyala di hadapan keduanya.

Nala, dalam diam teringat akan kejadian beberapa tahun yang lalu saat dia jatuh sakit dan dokter menyatakan bahwa Nala tidak memiliki riwayat penyakit apa pun selama dirawat.

Itu artinya, dia tidak sakit tapi tubuhnya lemas selama beberapa bulan dan harus dirawat di rumah sakit.

Bahkan hanya Bi Darmi yang peduli padanya.

Meski Calya dan Gala, suaminya itu hanya merawat Ayunda tanpa mempedulikan dirinya.

Mengingat semua itu Nala semakin yakin, ada seseorang yang berusaha ingin membuat dirinya celaka.

‘Tapi siapa?’

‘Aku tidak pernah menyinggung perasaan orang lain.’

‘Atau …’

‘Ah, Nala jangan mengada-ngada, tidak mungkin!’

Nala menggelengkan kepalanya kuat.

Bi Darmi yang melihat hanya mengerutkan dahinya.

“Non, ayo masuk. Bersih-bersih dulu, Non belum mandi.”

“Hm … Iya Bi.”

Keduanya berbalik setelah api padam. Berjalan masuk ke dalam rumah.

Nala masih memikirkan kejadian yang baru saja dia alami.                  

Lalu dia teringat perkataan sahabatnya saat dia sakit.

“Nala, gue yakin penyakit lo ini nggak bener, ada sesuatu yang mencurigakan. Lagian suami lo kok bisa sih cuek banget, istri sakit dia santai aja di rumah. Jagain kek istrinya.”

Nala berjalan sambil mengingat semua ucapan sahabatnya itu.

Dia selama ini tahu, Gala, suaminya itu memang sudah berubah.

Sejak melahirkan Ayunda, suaminya bahkan sudah tidak peduli dengannya dan mereka sebenarnya sudah pisah ranjang sejak lama.

‘Apa Mas Gala punya wanita lain?’

‘Bungkusan itu … apa jangan-jangan …’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status