Jihan tidak berharap masa seperti ini terulang lagi. Kembali duduk berduaan bersama Sam, itu adalah sebuah malapetaka bagi Jihan."Ayo minum tehnya!" sambil mengangkat gelas minumannya, Sam berkata pada Jihan. "Teh di sini sangat enak, sayang jika kamu lewatkan," lanjutnya dengan polos. Seperti tidak mengenal lelah, Sam masih saja bersikap sama pada Jihan. Penuh ambisi untuk mendapatkan perhatian wanita itu.Sudah tentu Jihan mengabaikan ucapan Sam. Alih-alih minum bersama, dia langsung bertanya pada intinya. "Malam itu, bukankah kamu yang mengantarkan aku ke rumah sakit?" tanya Jihan dengan penuh selidik. Jihan ingat bagaimana perjuangan Sam yang masih datang membujuknya meski kondisinya dalam keadaan hamil. Dalam kondisi kurang fit juga Jihan terpaksa dilarikan ke rumah sakit hingga harus melahirkan secara prematur.Seperti biasa, Sam selalu terlihat tenang. Tidak ada perasaan bersalah dalam dirinya. Setelah meletakkan gelas di atas meja, dia berkata pelan, "Ya, aku lah yang memb
Siang itu, langit terlihat cerah, namun terangnya cahaya matahari seakan tidak mampu menyinari hati dan pikiran Jihan. Dia tampak rapuh setelah mengetahui kabar yang baru didapatkannya. Jihan yang hanya memegang map berisi setumpuk foto itu seakan sedang memikul puluhan kilo beban yang teramat berat. Setelah pandangannya mulai meredup, perlahan tubuh Jihan pun tumbang. Bruuuk. Jihan terjatuh di lantai halte, tempat dia berdiri selama beberapa menit itu. "Jihan ...!" Seorang pria berteriak sambil berlari mendekati Jihan. Dia adalah Samuel, pria yang sedari tadi mengikuti Jihan dan juga memantau pergerakan wanita itu dari jarak yang tidak terlalu jauh. Setelah mendapat pengobatan seadanya, Jihan tersadar dan mendapati dirinya berada di sebuah bilik. Entah rumah milik siapa, dia tidak mengenalnya sama sekali. Ruangan itu cukup mewah dan Jihan tidak dapat mengenali tempat tersebut. "Di mana aku?" Sambil memijit kepalanya, Jihan berusaha mengangkat tubuhnya. "Siapa yang mem
Tidak seperti yang diharapkan Jihan, Bram justru melewati istrinya ketika akan memasuki rumah kontrakan tersebut. Aura yang dipancarkan pria itu juga terlihat berbeda dari hari sebelumnya. Mereka seperti orang asing saja, bertemu tanpa saling bertegur sapa. "Bram ...!" Jihan segera mengejar suaminya. Dia juga berusaha menepis prasangka buruknya saat ini agar bisa bicara dengan kepala dingin. Tampak jika Bram mempercepat langkahnya menuju kamar. Di sana dia mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan langsung memasukkannya ke dalam koper mini. "Bram ... kamu mau ke mana?" Jihan bertanya dengan khawatir. Dia belum mendapat penjelasan apapun, tapi suaminya sudah lebih dulu mengabaikannya. Apa lagi yang terjadi? "Aku ada urusan penting." Bram menarik seretan koper miliknya. Setelah itu, dia menatap Jihan yang nyaris menangis. "Tidak usah menghubungiku dulu, kepergianku sekaligus untuk menenangkan diri." "Menenangkan diri?" Jihan menatap heran suaminya. Harusnya dia yang butuh p
Tidak hanya terkejut, Jihan juga shock berat mendengar pengakuan ibunya. Tubuhnya lemas seketika dan dia terduduk lesu di samping ayahnya. Saat itu juga, perut Jihan terasa keram, tapi rasa sakitnya segera ditepis akibat terlalu fokus memikirkan keadaan orang tuanya."Hutang apa saja itu, Bu?" Jihan menangis sambil bertanya pada ibu dan ayahnya. "Kenapa kalian sampai berhutang sebanyak itu? Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?"Sona merasa bersalah. Dia bersimpuh di hadapan putrinya. "Maafkan ibu, Jihan, ini salah ibu, harusnya ibu tidak mengizinkan ayahmu melakukan semua itu?""Apa maksud Ibu?" Jihan bingung dengan pengakuan ibunya yang berbelit-belit.Karena merasa iba dengan putrinya, Sona yang tidak punya pilihan lagi akhirnya mengakui segala perbuatan suaminya yang selama ini ditutup-tutupi dengan rapat. Dengan pengakuan ini, dia juga berharap jika Jihan akan menerima salah satu pria yang telah membuat janji dengan suaminya."Apa-apaan ini, Bu?"
Karena tidak ada balasan apapun dari Bram, Jihan memutuskan untuk menghubungi Farouk. Pria itu pun memberikan alamat baru yang ditempati Bram dan belum diketahui Jihan sebelumnya. "Aku ingin bertemu dengan Bram, apa kamu belum memberitahukannya tentang kedatanganku ini?" ucap Jihan saat bertatap muka dengan Farouk. "Ada perlu apa?" balas Farouk dengan sinis. "Tentu saja ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengannya." "Sayangnya Bram sudah tidak ingin bertemu denganmu," balasan Farouk semakin menyakitkan. "Jihan, aku sarankan kamu segera meminta cerai pada Bram, itu lebih baik daripada Bram yang menceraikan kamu!" "Apa maksudmu mengatakan itu?" Tidak ada kata menyerah untuk Jihan. "Kami masih suami istri, tolong jangan halangi aku untuk bertemu dengan suamiku sendiri!""Jika kamu mau, aku bisa membantumu untuk mendapatkan uang dari Bram, hitung-hitung sebagai biaya kompensasi selama kamu menjadi istrinya." Farouk berkata demikian karena sulit baginya untuk mempengaruhi Bram.
Jihan berusaha berontak dari dekapan Sam, tapi tubuhnya yang jauh lebih kecil tidak memungkinkan untuk melepaskan diri. Bahkan dia terlihat kesulitan untuk bergerak bebas. Usahanya sia-sia belaka. Sementara itu, Sam tampak menyunggingkan senyum kemenangan. Sambil memeluk Jihan, dia menatap ke arah Bram. Tindakan Sam seperti mencemooh salah satu teman baiknya itu. Selama ini Sam dan Bram adalah dua orang yang paling gencar menarik perhatian Jihan. Tidak heran jika mereka berdua selalu bersaing secara ketat. Kesal, Jihan akhirnya berteriak kencang, "Lepaskan aku, Sam ... lepaskan aku!" Jihan meronta-ronta, namun Sam semakin mengeratkan pelukannya. Pria berkumis tipis itu baru akan melonggarkan dekapannya setelah melihat mobil Bram meninggalkan tempat tersebut. 'Berhasil juga,' pikir Sam dengan tenang. Jihan tidak sanggup mengontrol diri lagi. Amarah yang ditahan-tahan sejak tadi meledak seketika. Dia segera mengangkat tangan dan melayangkan tamparannya yang sangat kuat pada
Sona bergegas menuju rumahnya. Malam itu sedang hujan lebat, tapi dia berkeras untuk menemui Jihan yang mana putrinya itu baru saja menjawab panggilan darinya dan mengatakan akan kembali ke rumah mereka.Ketika Sona tiba di kediamannya, dia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Rumahnya tampak sunyi lengang. "Ke mana kamu Jihan?" Sona terduduk lesu di atas ubin.Di tengah kekecewaannya, seorang tetangga kemudian datang mengetuk pintu. Sania, nama gadis itu. Dia memberitahu dan menceritakan apa yang terjadi pada Jihan."Anakku sudah dibawa tuan tanah itu. Bahkan dia tidak mengatakan apapun sebelum membawa putriku." Sona keluar rumah sambil mengotak-atik ponselnya. "Kalau dia membawa Jihan, bagaimana dengan nasib suamiku? Dari mana lagi aku bisa mendapatkan uang dalam waktu singkat?"Ketika sedang panik di tengah jalan, Sona didatangi seorang wanita cantik. Langkah wanita paruh baya itu seketika terhenti saat bertatap muka dengan wanita di depannya."Siapa kamu?" Sona bertanya karena ti
Bab 7."Aku tahu saat ini kamu masih membenciku, Bram, tapi tidak bisakah kita membicarakan semuanya secara baik-baik?" Wajah Jihan masih basah, air matanya bercampur dengan air hujan. Selagi Bram memberinya kesempatan bicara, dia masih berusaha untuk mencoba membujuk suaminya itu. "Ini hanya salah paham, aku akan menjelaskan semuanya, tolong kembalilah, berikan aku waktu untuk menjelaskan semuanya!"Kesal, Farouk maju lebih dulu. "Apa yang ingin kamu jelaskan?" Bram langsung mengangkat tangan untuk menghadang. "Diam di tempatmu!" seru Bram dengan tegas, kemudian kembali fokus pada Jihan. Untuk sejenak, Bram mengamati raut wajah Jihan yang terlihat menyedihkan itu."Bram ...." Jihan maju beberapa langkah, tapi dia juga langsung dihentikan oleh suaminya itu."Jangan mendekat, bicara saja dari situ!" Ucapan Bram terdengar singkat dan dingin. Hal itu tentu sangat menyakitkan untuk Jihan. Namun, dia sadar kesalahpahaman lah yang telah membuat suaminya berubah. Maka detik itu juga, J