Bab 7."Aku tahu saat ini kamu masih membenciku, Bram, tapi tidak bisakah kita membicarakan semuanya secara baik-baik?" Wajah Jihan masih basah, air matanya bercampur dengan air hujan. Selagi Bram memberinya kesempatan bicara, dia masih berusaha untuk mencoba membujuk suaminya itu. "Ini hanya salah paham, aku akan menjelaskan semuanya, tolong kembalilah, berikan aku waktu untuk menjelaskan semuanya!"Kesal, Farouk maju lebih dulu. "Apa yang ingin kamu jelaskan?" Bram langsung mengangkat tangan untuk menghadang. "Diam di tempatmu!" seru Bram dengan tegas, kemudian kembali fokus pada Jihan. Untuk sejenak, Bram mengamati raut wajah Jihan yang terlihat menyedihkan itu."Bram ...." Jihan maju beberapa langkah, tapi dia juga langsung dihentikan oleh suaminya itu."Jangan mendekat, bicara saja dari situ!" Ucapan Bram terdengar singkat dan dingin. Hal itu tentu sangat menyakitkan untuk Jihan. Namun, dia sadar kesalahpahaman lah yang telah membuat suaminya berubah. Maka detik itu juga, J
Pada pukul 11 siang Jihan terbangun. Perlahan dia membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Ketika kesadarannya mulai stabil, Jihan bisa mendengar dengan jelas percakapan dua orang wanita. Jihan mengenal salah satu di antara kedua suara itu. Ya, itu adalah milik Sona, ibu Jihan sendiri. Sedangkan satu lainnya, Jihan tidak begitu familiar."Bagaimana bisa kamu membiarkan anakmu hamil tanpa seorang suami? Anak cuma sebiji tidak bisa kamu jaga, hahhh ..." Velove adalah wanita asing itu. Dia seenaknya mencemooh seakan dia adalah orang yang bertanggung jawab pada Jihan.Jihan tidak mengenalnya, namun wanita yang dia lihat itu sangat berani membentak ibunya. Bahkan Sona terlihat pasrah dan tak berkutik dengan gertakan Velove."Ibu seperti apa kamu ini?" Velove kembali menegur dengan sombongnya. Dia terlihat berani karena telah menjadi penyelamat terakhir untuk Jihan. "Kamu tahu sendiri selama ini banyak pria di luar sana yang mengincar putrimu, kalau sudah seperti ini, mana ada lagi
Orang pertama yang Jihan tatap dan ingin dimintai pembelaan adalah Sona. Apa ini juga bagian dari rencana ibunya?Apakah Sona, wanita yang sudah pernah mengandung dan melahirkan itu sanggup menyuruh Jihan untuk membuang darah dagingnya sendiri?"Ibu ...!" Dengan suara yang lemah, Jihan memanggil ibunya. Dia masih menunggu Sona bicara. Mengingat perintah yang baru saja disebutkan ibunya tadi, tentu Jihan harus mengikuti setiap perkataan Velove tanpa terkecuali.Jihan berharap ibunya berpikiran bijak, karena ini berkaitan dengan nyawa seseorang.Sona tidak punya pilihan lain. Di bawah tekanan Velove, dia berkata dengan jelas. "Turuti saja apa yang dikatakan bibimu!" Dengan atau tidak adanya anak itu, Jihan sudah tidak menjadi tanggung jawab Sona lagi. Bahkan menurutnya, membuang anak dalam kandungan Jihan adalah solusi yang lebih baik.Jihan sontak panik mendengarnya. Wajahnya terlihat tegang. Meski kondisinya masih lemah, dia memaksakan diri untuk bergerak. Karena berusaha menggapai
Bab 10 "Apa yang kalian lakukan di sini?" Jihan mengepalkan kedua tangan. Tatapannya penuh dengan awas. Tampak jika dia mengambil sikap hati-hati begitu melihat kedatangan Sam dan Nafa. Kedua manusia licik itu yang menyebabkan kebencian Bram terhadapnya, tentu dia langsung berpikiran negatif. Ketika Sam dan Nafa berjalan mendekat, Jihan juga langsung berseru. "Jangan mendekat, atau aku akan teriak!" Dia sangat waspada, tangannya berusaha meraih bel yang berada di atas kepalanya. "Jihan, kami datang untuk mengunjungimu," sama berkata dengan enteng seakan hubungan mereka masih baik-baik saja. Dia juga menunjukkan cedera mata yang mereka bawa. "Lihat, ini adalah buah-buahan segar kesukaanmu, aku membelikannya khusus untukmu." Untuk meyakinkan Jihan, Nafa segera menimpali. "Itu benar, Jihan, Sam sampai rela turun tangan mencari aneka buah segar untuk wanita hamil hanya untuk menyenangkan hatimu." "Aku tidak butuh semua itu. Tolong pergi dari hadapanku!" Jihan sungguh tida
Daripada mengandalkan Farouk, Bram lebih memilih seorang detektif yang dipercayainya. Dia turun tangan langsung tanpa memberitahu sahabatnya itu."Jangan beritahu siapapun tentang ini!" Bram berkata pelan, lalu menyerahkan amplop berisi uang. "Terutama Farouk, jangan sampai dia mengetahui tentang tugas yang aku berikan padamu!"Dia hanya ingin menjaga hubungan persahabatannya dengan Farouk."Siap, Bos." Varun menerima upahnya, lalu berpamitan. "Kalau begitu saya permisi dulu!"Sepeninggal Varun, Bram kembali memeriksa satu persatu berkas di mejanya. Karena kondisi Jihan menjadi pusat perhatiannyaa, dahi Bram seketika mengkerut."Kamu hamil dan tak memberitahunya padaku." Kedua tangan Bram mengepal sempurna. "Apa kamu ragu tentang siapa ayah dari anakmu itu?" Prasangka buruk masih melekat dalam diri Bram. Penyebabnya karena Farouk selalu mempengaruhinya sepanjang waktu. Setiap ada kesempatan, Farouk akan membahas tentang kejelekan Jihan. Entah dari mana, pria itu akan selalu mendapat
Tekad Bram sudah bulat. Pria itu berniat menemui Jihan secara langsung. Tujuannya tak lain hanya untuk memastikan ayah dari bayi yang dikandung Jihan.Meskipun sang ibu sempat menahan kepergiannya, tapi Bram bersikeras untuk meninggalkan rumah saat itu juga."Ini sudah pukul 10 malam, tapi dia belum juga kembali." Yuda mondar-mandir di ruang tamu. "Jangan sampai perangai buruknya kambuh i lagi setelah setuju dengan pernikahan ini."Kekhawatiran jelas terlukis di wajah Yuda. Saat mengetahui keputusan sepihak dari Bram, dia masih ingin bicara banyak dengan sang anak terkait jadwal pernikahan yang tiba-tiba ditunda oleh putranya sendiri. Marisa juga merasa cemas. Tampak jika wanita itu tidak sanggup duduk berlama-lama. Sebelumnya, Bram sudah memberikan alasan yang tepat untuk Marisa. Maka dia pun menjelaskan hal yang sama pada suaminya. "Bram ingin ke kampung, katanya ada pekerjaan mendadak di sana, jika dibiarkan, usahanya itu akan berantakan dan sia-sia, itu sebabnya dia ngotot ber
Bab 13.Pada malam sebelumnya.Bram tiba di desa Siama pada dini hari. Begitu menginjakkan kaki di perkampungan tersebut, tiba-tiba dia merasa asing dengan tanah kelahiran ibunya itu.Mungkin karena penampilan Bram terlihat berbeda saat ini, membuat pria itu dipandang aneh saat akan memasuki area rumah kontrakan yang pernah dia tempati bersama Jihan."Maaf, tujuan bapak mau ke mana ya?" Seorang satpam yang biasa keliling desa menegur Bram. "Ini sudah lebih dari tengah malam, orang luar tidak boleh berkeliaran di sini!"Bram menatap rumah di depannya. Jaraknya hanya sekitar beberapa meter saja. Namun dia tersadar jika mereka mungkin tidak berhak atas rumah itu lagi . Rumah kontrakan itu sudah mereka tinggalkan, harusnya dia tidak kembali ke sana.Kepada Jihan, Bram mengenalkan diri sebagai orang biasa. Dia selalu mengatakan jika pekerjaan orang tuanya hanyalah pegawai biasa dan menjalankan bisnis seadanya."Maaf, sepertinya aku salah alamat."Karena Jihan masih dirawat di rumah sakit
Sementara itu, Jihan semakin bingung dengan pertanyaan Bram. Sakit hati terhadap pria itu saja belum menghilang, sekarang, tuduhan demi tuduhan bermuculan lagi. Hal itu membuat Jihan shock hingga kesulitan untuk berkata-kata.Bahkan keterkejutan itu melemahkan pikiran Jihan. Dia hanya sanggup bertanya dalam hati. Apanya yang puas?Alih-alih berpuas diri, Jihan justru sedang menderita lahir dan batin, semua orang menjauhinya. Bahkan orang-orang terdekatnya tidak menginginkannya lagi.Melihat diamnya Jihan, hati Bram semakin panas. Prasangka buruknya semakin menjadi. Bukannya merasa iba, dia malah menghina sesuka hati."Ternyata yang dikatakan Farouk benar adanya, kamu sangat egois, Jihan. Karena banyak yang mengakui kecantikanmu, kamu menjadi angkuh berbesar kepala. Selama ini kamu hanya memikirkan kepuasanmu saja!""Aku ... aku tidak mengerti ... Bram .... aku ...," meski terbata-bata, akhirnya suara Jihan keluar juga.Namun oleh Bram langsung dihentikan. "Cukup ... mulai sekarang l